Halloween party ideas 2015


Benarkah minat baca hanya dimiliki oleh orang muda? Ataukah hanya milik orang tua? Ataukah otomatis minat itu tetap ada jika sudah eksis sejak muda?

Minat baca memang bukan perkara mudah. Banyak orang yang susah memiliki minat baca. Mungkin karena tidak dibiasakan untuk membaca. Minat baca memang beda dengan minat sepak bola atau bulu tangkis. Minat baca muncul dari kerja otak. Minat itu tidak otomatis muncul. Seperti pemain bulu tangkis, minat itu mesti diasah terus menerus. Namun, minat itu tetap beda dengan minat bermain bulu tangkis. Minat bermain bulu tangkis boleh dibilang terbatas pada masa tertentu. Jika sudah tua, pemain seperti Taufik Hidayat atau Alan Budikusuma akan pensiun. Minat mereka terbatas semasa muda.

Minat baca tidak demikian. Minat itu tetap ada jika dikembangkan terus menerus. Sampai tua pun minat itu eksis asalkan pandai merawatnya. Seorang dosen saya di Jakarta baru-baru ini menyinggung soal ini. Dalam artikelnya di sebuah majalah, dia mengatakan jika di masa tuanya dia tetap punya harapan seperti anak muda. Harapan itu muncul dari kegiatan hariannya yakni membaca. Dia menghabiskan banyak waktunya untuk membuka-buka karya klasik dan modern di dunia Barat dan Timur. Dia tidak mengajar lagi sehingga punya banyak waktu untuk membaca. Katanya, dalam karya-karya tersebut rupanya tersimpan banyak kekayaan intelektual dan ilmu pengetahuan yang bukan saja memperkaya pemahamannya akan arti hidup, tetapi juga mengandung harapan akan masa depan.

Minat baca rupanya mempunyai hubungan erat dengan harapan akan masa depan. Maka, masa depan itu mesti disiapkan sejak masa muda. Sedia payung sebelum hujan, kata pepatah Indonesia. Payung untuk masa depan dalam hal ini adalah membaca. Dengan membaca, hujan itu tidak lagi membahayakan melainkan menjadi harapan. Orang-orang Barat terkenal sebagai pembaca yang handal. Saya kagum pada mereka. Sejak SMA saya sudah melihat para bule yang rajin membaca. Bagi mereka, semua tempat dan setiap saat adalah waktu yang terbaik untuk membaca. Jangan heran jika di balkon hotel, tangan mereka memegang erat buku bacaan. Di pantai sambil menjemur dengan sehelai pakaian, mata mereka terpusat pada bacaan yang ada di tangan. Ketika saya dan teman saya bekerja di salah satu hotel internasional di bilangan Bogor-puncak 7 tahun lalu, saya juga melihat pemandangan ini. Kami sering melihat mereka membawa buku ke kolam renang. Mereka juga meletakkan beberapa buku bacaan di samping tempat tidur. Mereka rupanya punya budaya membaca yang kuat.

Budaya ini tentunya bukan jatuh dari langit. Budaya ini sudah ditanam sejak kecil. Boleh dibilang, orang Barat sudah lahir dengan bakat membaca. Sejak kecil, mereka sudah diperkenalkan dan dijejali dengan budaya membaca. Saya kaget ketika teman-teman saya orang Italia menceritakan pada saya bahwa, mereka sudah dilatih untuk membaca karya sastra sejak di sekolah dasar. Jangan heran jika kelas 5 SD sudah mulai membaca karya Dante yang terkenal itu. Dante (1265-1321) dikenal sebagai penulis sastra dan juga sebagai peletak batu pertama Bahasa Italia. Bahasa Italia sebelum resmi dinamakan demikian hanyalah bahasa pasar. Maksudnya, bahasa yang digunakan oleh rakyat biasa. Tidak seperti bahasa Latin yang digunakan sebagai bahasa resmi dalam bidang hukum dan politik. Dante mulai merintis bahasa pasar ini menjadi sebuah bahasa yang berbobot yang akhirnya menjadi Bahasa Italia sekarang ini. Karya Dante diteruskan oleh ahli-ahli berikutnya.

Dante menulis 5 karya terkenal seperti  Divina Commedia, Inferno, Purgatorio, Paradiso, dan Vita Nuova. Anak SD di Italia sudah mulai membaca karya Dante ini. Dibantu oleh guru sastra, mereka dibimbing untuk membaca, menafsirkan, dan menikmati indahnya dunia sastra lewat karya Dante. Tentu tidak mudah, apalagi bagi anak seusia SD dan SMP. Dalam kelas bahasa Italia, saya dan teman-teman bukan Italia pernah membaca satu halaman dari karya Dante. Sulitnya bukan main. Bukan saja karena masalah tata bahasanya tetapi juga cara menafsirnya. Bagi kami sulit sekali. Kesulitan ini kiranya juga dialami oleh orang Italia sendiri. Tetapi ini tidak jadi alasan untuk melalaikannya. Tugas sekolah tetap menjadi utama yang dikerjakan.

Dengan ini, para siswa Italia pelan-pelan terbiasa menghadapi hal yang sulit. Lebih dari yang sulit, mereka dibiasakan untuk menikmati dunia sastra sejak kecil. Jangan heran jika saat dewasa mereka sudah biasa untuk membaca. Di Bologna bulan Juli yang lalu, saya mengikuti kegiatan bersama teman-teman Italia. Kami punya kesempatan banyak di sela-sela kegiatan itu untuk membaca. Satu dari antara kami bertujuh yang selalu berkumpul dan membaca setelah makan malam, mampu membaca lebih kurang 12 buku dalam bulan ini. Satu lagi 5. Satu lagi 7. Saya hanya mampu membaca 5. Itu pun yang tipis.

Saya yakin sampai tua pun, teman-teman saya ini akan tetap mempunyai minat baca yang tinggi. Budaya baca itu sudah mendarah daging dalam diri mereka. Membaca karya yang sulit saja sudah biasa sejak kecil, apalagi membaca koran harian yang bahasanya mudah dicerna. Italia memang gemar memupuk budaya ini. Dan budaya ini kiranya patutu diturunkan pada generasi penerus. Tahun lalu di seluruh Italia ada kampanye untuk mengajak anak muda membaca. Kampanye ini muncul setelah ada penelitian yang mengatakan bahwa anak-anak muda di Italia mulai melalaikan budaya membaca. Dalam penelitian itu, diperkirakan rata-rata penurunan budaya baca berkisar pada angka 10-15% dari tahun sebelumnya. Ini berarti penurunannya begitu besar. Dan, pemerintah dan organisasi lain yang berminat pun ramai-ramai berkampanye, mengajak anak muda meninggalkan sejenak hp dan games mereka untuk membaca. Ajakan ini kiranya berguna dan akan tampak buahnya pada beberapa saat mendatang. Ini juga menjadi harapan agar budaya baca ini tetap eksis.

Membaca menjadi jalan untuk mengubah masyarakat. Maka, membacalah jika Anda ingin berubah.

Sekian sharing dari seberang.

PRM, 3/9/2015

*ilustrasi/shutterstock

Salah satu tonggak penting dalam pendidikan adalah tersedianya buku pelajaran. Ibarat mobil, buku pelajaran adalah bensin pendidikan. Setiap kali jalan, mobil membutuhkan bensin sebagai bahan bakarnya. Demikian juga pendidikan yang selalu membutuhkan buku pelajaran dalam proses pembelajarannya sepanjang tahun akademik.

Orang Italia rupanya tidak main-main dengan buku pelajaran. Mereka juga menganggap buku pelajaran sebagai penunjang utama pendidikan. Tanpa buku pelajaran, pendidikan boleh dibilang gagal. Ya, gimana mau mengikuti pelajaran di sekolah kalau tidak ada buku pelajaran? Menyediakan buku pelajaran bagi anak didik rupanya bukan saja pekerjaan guru atau pendidik. Orang tua rupanya yang berperan penting di sini. Guru belum mengumumkan buku apa yang diperlukan, orang tua sudah menyediakan lebih dulu.

Hari-hari ini, di setiap pusat belanja, bagian alat pelajaran dan toko buku, adalah salah satu bagian terpadat. Di sini sudah ngumpul para orang tua dan anak-anak mereka. Mereka mulai mencicil keperluan sekolah. Perlengkapan alat tulis, buku pelajaran, dan sebagainya. Alat tulis tentu saja ada di mana-mana dan tidak ada kriteria tertentu. Intinya asal itu menunjang tugas sekolah, beli saja. Dan, biasanya di toko alat tulis seperti ini dijual dengan paket. Di dalamnya lengkap, balpoin, pensil, spidol berwarna, penggaris, dan sebagainya. Tentu ada juga yang dijual per satuan.

Alat tulis tentu beda dengan buku pelajaran. Boleh jadi masalanya jadi sedikit rumit untuk buku pelajaran. Buku mana yang mau dipakai? Haruskah membeli buku baru? Apakah buku lama tidak dipakai lagi? Edisi manakah yang mesti digunakan? Sekadar pertanyaan sebelum membeli buku. Rumit juga yah. Sekolah saja belum mulai, orang tua dan siswa sudah dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini.

Tadi, saya sempat menonton berita setelah makan malam. Satu berita yang menarik justru tentang topik ini. Ada wawancara dengan pemilik toko buku, dan pembeli buku. Menariknya, kedua pihak punya pandangan sama tentang buku pelajaran. Mereka mengakui jika buku pelajaran tidak mesti yang edisi terbaru. Mereka bilang jika perbedaannya sedikit saja. Misalnya dalam edisi baru, hanya ditambah jumlah latihan soal. Materinya tidak diubah. Kalau dipikir-pikir kok pemilik toko buku bisa menjawab seperti ini yah? Bukankah dia harus meyarankan pembeli untuk membeli buku-bukunya. Logikanya bisa saja demikian tetapi tentu logika pemilik toko buku ini berbeda. Baginya, pembeli juga punya hak untuk mengkritisi efisensi pembelian mereka. Apakah harus membeli edisi terbaru jika perbedaan dengan edisi lama hanya dalam jumlah soal latihan saja? Baginya, tidak mesti beli yang baru. Toh hanya soal jumlah latihan saja.  

Yang menarik bagi saya di sini adalah peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Juga akan disinggung peran pemerintah. Tampak sekali orang tua menaruh perhatian serius terhadap pendidikan anak sampai harus meneliti dan menyiapkan buku pelajaran untuk anak-anaknya. Orang tua juga terbantu karena pemerintah sudah menyiapkan materi buku pelajaran ini sebelum sekolah dimulai. Bukan sekolah sudah berlangsung satu atau dua bulan baru sibuk membeli buku pelajaran. Tak heran jika saatnya sekolah ya sekolah bukan huru-hara mencari buku pelajaran. Peran pemerintah ini penting sebab masyarakat juga ingin tahu sejak awal tahun mengenai buku yang dipakai. Tidak dirahasiakan lagi edisi mana yang bisa dipakai. Semua materi pelajaran sudah bisa diakses oleh masyarakat. Di sini tidak akan terjadi monopoli pihak tertentu misalnya pihak penerbit buku dalam mengelola buku pelajaran. Tidak akan ada korupsi karena tidak ada proyek perbukuan. Setiap penerbit bebas menerbitkan materi dari pemerintah. Penerbit boleh beda, isi buku tetap sama. Harganya tentu tidak akan beda jauh.

Model pendidikan seperti ini kiranya perlu ditiru. Saya ingat waktu SMP dulu, betapa susahnya mendapat buku pelajaran bahasa Inggris. Bukunya hanya satu. Milik guru pengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Minggu keempat pada awal tahun baru kami bisa dapat bukunya dalam bentuk fotokopi. Harus kumpulkan uang lebih dahulu untuk menyewa fotokopi dan menyewa utusan yang akan ke kota untuk memfotokopi buku sesuai jumlah siswa. Betapa jauh sekali perbedaannya dengan para murid sekolah di Italia. Mereka tidak seperti kami yang repot mencari buku pelajaran. Mereka tinggal membaca saja karena bukunya sudah disiapkan oleh orang tua mereka sejak awal tahun, sebelum sekolah dimulai.

Salam pendidikan.


Parma, 1/9/2015


Che bello stare insieme con gli indonesiani. Non solo perché possiamo parlare in indonesiano ma, importante è possiamo gustare il cibo indonesiano.


Oggi, 30 agosto 2015, abbiamo festeggiato il compleanno della nostra amica, Mbak Ina. Abbiamo mangiato i cibi tipici dell’Indonesia come nasi, sate, kerupuk, eccetera. Per noi stranieri questa festa è come grazia di Dio. La grazia che ci riunisce in questa gioia del compleanno della nostra amica.

E in questa festa siamo riuniti non solo noi da Parma ma, anche da Treviso, Pavia - Milano, Fidenza, Milano, eccetera. Siamo venuti da più di una città. Proprio come essere indonesiano, cioè essere in varietà. Varie lingue, culture, cibi, ma siamo tutti noi indonesiani.


Grazie a Mbak Ina e buon compleanno. Grazie a tutti amici presenti. 



Powered by Blogger.