Halloween party ideas 2015

 BELAJAR DARI KUKU KERBAU 


Semasa anak-anak, saya suka ikut ayah ke kebun dan ke ladang. Pagi-pagi sekali, ayah bangun. Meskipun tidak tertulis, ia mempunyai kebiasaan yang jadi aturan. Yakni ke ladang dulu baru ke sekolah. Ayah adalah seorang guru sekolah dasar. Namun, ia juga adalah petani yang handal.

 

Sebagai petani, ayah mempunyai kebun kopi, vanili, cengkeh, dan juga ladang sawah. Dalam perjalanan ke sawah inilah, saya selalu melihat jejak kuku kerbau. Kerbau yang berat itu akan menancapkan jejak kukunya di tanah liat yang kami lalui. Jejak itu abadi sampai ada kerbau berikutnya yang lewat dan menghapus jejak yang ada.

 

Jejak seperti itulah yang ingin saya bagikan dalam diary ini. Tahun 2024 menjadi penanda diary ini. Tentunya akan berbeda dengan bentuk tulisan sebelumnya. Ini semacam jejak diary yang tak akan terhapus. Artikelnya akan berupa tulisan pendek nan inspiratif. Hanya jejak kegiatan harian saja. (24/1/24)

 MISIONARIS DARI KELUARGA PAGAN; 

Pw St Timotius dan Titus; 2Tim 1: 1-8; Luk 10: 1-9


 Kemarin kita merayakan Pesta Pertobatan St Paulus. Hari ini, kita memperingati 2 murid Paulus: Timotis dan Titus.

 

Seperti Paulus, kedua murid ini adalah orang beriman. Berasal dari keluarga pagan, tapi mereka menerima ajaran iman, dan akhirnya karena pewartaan Paulus, mereka bertobat. Pauluslah yang menjadikan mereka rekan kerjanya. Ia kiranya tahu bahwa ada begitu banyak pekerjaan dalam mewartakan Injil. Tak mungkin ia sendiri melakukan semuanya. Maka, diangkatlah dua kolaboratornya ini.

 

Pewartaan adalah pekerjaan bersama. Tidak pernah menjadi pekerjaan sendiri. Dalam bahasa kita orang Katolik, misi itu adalah milik Allah. Dan akan selalu dikerjakan oleh Gereja. Maka, perlu diingat bahwa misi itu bukan hanya milik kita, tapi pertama-tama milik Allah. Tapi, Allah tak mungkin mengerjakannya sendiri. Ia membutuhkan kita untuk berkolaborasi dengan-Nya.

 

Misi bukanlah pekerjaan sosial. Maka, jangan menjadikan misi identik dengan pekerjaan sosial. Memang, seperti pekerjaan jenis apa pun, misi juga mempunyai tantangannya sendiri. Lihatlah tantangan ekonomi dan budaya di Afrika. Atau budaya adat di Amerika Latin. Atau egoisme dan ateisme di Eropa.

 

Semua ini kadang menjadi tantangan besar. Di situlah, para pewarta hendaknya kembali kepada ajakan Yesus. Untuk fokus pada pekerjaan misi sebagai misi bersama Allah. Bukan misi pribadi. Dalam kebersamaan, Allah tak mungkin membiarkan pekerja-Nya bekerja sendiri. 

 

Di sinilah, kita dipanggil untuk pertama-tama melibatkan Allah dalam pekerjaan misi. Seperti Paulus, tak mungkin bisa menjadi pewarta tanpa kolaborasi dengan TImotius dan Titus. Umat Katolik terkenal karena ke-solidan-nya. Apakah kita mau bekerja bersama Allah lewat pribadi rekan-rekan kerja kita?

 

 AYAH PERGI TANPA IBU



Hanya anak-anak yang menemani kepergian sang ayah. Entah ibu sempat datang, yang jelas di hari kematian ayahnya, hanya ketiga anaknya yang menemani.

 

Keluarga ini tinggal di Pontianak dan sang ayah meninggal di Jakarta. Dua anak tinggal bersama bapak dan ibu sedangkan anak pertama sudah bekerja dan tinggal di Jakarta. Tapi, di hari kematian ayah ini, ketiga-tiganya ada di Jakarta.

 

Saya memberkati jenazah bapak ini di RS Citpo Mangunkusumo. Saat tiba di ruang tunggu, saya melihat anak pertama di ruangan itu. Bersama keluarga yang menjemput saya, kami bersalaman dan menyampaikan turut berdukacita kepadanya. Mereka sedang bersedih tapi harus tegar. Demikianlah anak kedua yang laki-laki itu sibuk mengurus kepulangan jenazah sang ayah.

 

Sungguh berat perjuangan anak-anak ini ke depannya. Tapi, syukurlah sang ibu seorang PNS. Karena itu, kepulangan jenazah ke Pontianak pun dipermudah oleh fasilitas pemerintah. Setelah pemberkatan malam ini, jenazah akan diberangkatkan besok pagi.

 

Saya berdoa, semoga jiwa bapak ini beristirahat dalam damai. Anak-anak dan istri yang ditinggalkan juga boleh tegar dan menerima kematian ini dengan penuh iman, harapan, dan kasih. Semoga dosa-dosa almarhum diampuni, sehingga pergi dalam keadaan bersih, seperti saat ia hadir di dunia ini. 

 

Saat diantar pulang, saya bertanya pada teman istri bapak ini. Katanya, sang istri tidak datang karena memang dia tidak terlalu mencintai sang suami. Lebih-lebih beberapa tahun terakhir.

 

Saya mengerti sekarang. Tapi, saya juga salut dengan teman-teman sang istri. Persahabatan mereka sudah lama, sejak SMA. Dan sampai sekarang masih terjalin kuat. Sampai-sampai masalah keluarga seperti ini pun mereka saling tahu. Mereka tahu keadaannya seperti ini, dan mereka tetap membantu, terutama membantu anak-anak sang teman ini.

 

Semoga meskipun suami sudah pergi, sang istri tetap bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Salut untuk anak-anak. Yang meskipun orang tua ‘tidak bersatu’, mereka tetap berjuang sampai akhir untuk mencintai ayah mereka. (28/12/23)

 MEMBUKA MATA YANG TERTUTUP; 

Pesta Bertobatnya St Paulus, Rasul; Kis 22: 3-16; Mrk 16: 15-18

 


Berbagai peristiwa memilukan terjadi di sekitar, dan kadang membuat mata kita tidak ingin melihat. Seperti pertikaian yang mengenaskan, mata kita tentu tak ingin melihatnya. Bukan saja muak tapi juga jijik melihat kekejian seperti itu.

 

Tapi hari ini, kita diajak untuk membuka mata dan melihat. Berbagai peristiwa itu tak mungkin bisa dibatalkan oleh kemampuan kita. Oleh sebab itu, kita diajak untuk melihat cahaya di tengah redupnya harapan dari semuanya ini.

 

Perintah Tuhan kepada Paulus hendaknya menjadi refren kita, “Bangkitlah dan pergilah ke Damsyik.” Di tengah himpitan peristiwa itu, kita kadang menjadi lemah dan putus asa. Tapi Tuhan membangkitkan kita. Maka, mari kita pergi mencari cahaya terang. 

 

Di dalam peristiwa inilah, kita diundang untuk menemukan harapan. Kita berharap pada Tuhan yang tak mungkin meninggalkan kita. Berharap pada-Nya berarti mendengarkan suara-Nya. Seperti Paulus, dengan mendengarkan, kita akan mampu mengetahui kehendak-Nya. Dengan kehendak-Nya, kita akan tahu jalan yang benar. Dan pasti ia tidak membiarkan kita tersesat di jalan yang tampak seperti labirin ini. Agar tetap di jalan-Nya, kita perlu terus mendengarkan suara-Nya.

 

Dengan modal ini, kita bisa menjadi saksi-Nya di tengah dunia ini. Untuk itulah kita mempunyai misi: mewartakan Injil. Pewartaan ini tidak akan pernah menjadi tindakan sekali jadi. Maka, kita juga diajak untuk terus menerus bertobat seperti dialami Paulus. Mungkin kita jatuh dan jangan berpikir itu sebagai sebuah kegagalan. Dari Paulus, kita belajar bahwa peristiwa jatuh bisa membangkitkan harapan baru. Ia yang gelap karena matanya buta, kini melihat cahaya baru.

 

Semoga di tengah dunia yang gelap oleh persaingan ini, kita tetap bisa melihat cahaya harapan-Nya, yang membuat kita tetap rendah hati dan tidak ikut bersaing secara tidak sehat. Tuhan, jagailah kami dalam jalan cahaya-Mu. Bukalah selalu mata kami untuk melihat jalan kebenaran yang Kau tunjukkan. 

 


MELEMBUTKAN HATI YANG MEMBATU; Pw S. Fransiskus dr Sales, Uskup dan Pujangga Gereja; 2Sam 7: 4-17; Mrk 4: 1-20

 


Kita tahu, air tak akan pernah menghancurkan batu yang keras. Dua benda alam ini mempunyai sifat yang berlawanan. Tapi, dalam kehidupan alam, kita tahu, batu yang terus menerus ditetesi air, pelan-pelan akan retak. Berarti air yang lembut itu terbukti bisa menghancurkan batu yang keras.

 

Batu itu kiranya terlalu keras dibanding hati kita. Namun, selembut-lembutnya hati kita, suatu saat bisa jadi keras. Jika hati kita keras, apa pun yang masuk tidak akan bertahan lama di sana. Jika yang masuk itu adalah Sabda Allah, pasti hati kita tidak bisa membuat-Nya bertahan lama hidup di sana. Sabda Allah itu memang hidup, tapi ketika dasarnya adalah batu yang keras, pasti sabda itu akan mati.

 

Demikianlah Injil hari ini mengingatkan kita untuk menjawab tawaran Sabda Allah yang akan tumbuh dalam hati kita. Kita semua ingin tanah subur sebagai persemaian Sabda itu, tapi seringkali hati kita terlalu keras. Mana mungkin Sabda itu mau tumbuh dalam tanah yang berbatu seperti ini.

 

Hati yang membatu seperti itu tidak beda dengan semak berduri. Kita mungkin hidup jauh dari semak yang berduri, tapi kesibukan harian kita kadang bisa menghimpit kehidupan spiritual kita. Kita terlalu sibuk sampai-sampai lupa membaca Kitab Suci, merenungkan Sabda Allah, dan mendengarkan Dia yang berfirman kepada kita. Kita berdalih mau mencari sesuap nasi, tanpa sadar bahwa semua itu bisa menjadi semak-semak yang berbahaya bagi kehidupan spiritual kita.

 

Kita biasanya bimbang menghadapi situasi seperti ini, maka, kita hendaknya memohon kehendak Tuhan. Seperti kita, Daud pun pernah bimbang menemukan kehendak Allah baginya. 

 

Tuhan Yesus, ambillah duri dalam semak kehidupan kami, dan angkatlah batu yang keras dalam hati kami, biarkan hati kami menjadi tanah subur bagi pertumbuhan Sabda-Mu. Hantarlah kami menuju pintu kehendak-Mu. 

 


 BERSAUDARA TAPI TIDAK SEDARAH; Selasa PEKAN BIASA III; 2Sam 6: 12-15,17-19; Mrk 3: 31-35

 

Maria adalah Ibu Yesus, tapi mengapa Maria dan saudara-saudara Yesus tidak tinggal di dalam ruangan bersama Yesus? Malah yang di dalam adalah orang lain.

 

Memang Maria adalah Ibu Yesus, tapi Injil hari ini mau menunjukkan siapa sebenarnya Ibu Yesus dan saudara-saudara Yesus. Injil beberapa hari lalu juga berbicara tentang keluarga Yesus. Saat itu, keluarga Yesus menganggap Yesus sebagai orang gila. Memang, Yesus melayani orang banyak sampai tidak ada waktu untuk makan. Tapi, Yesus tidak gila, ia hanya tidak makan. Ia tahu betul, tugasnya adalah melayani.

 

Melayani adalah wujud dari mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya dalam praktik nyata. Itulah yang mau ditunjukkan Yesus dalam kisah itu. Maka, siapa saja yang melayani karena melaksanakan Sabda Allah, itulah sebenarnya yang disebut Ibu dan saudara-saudara Yesus.

 

Apakah kita juga termasuk saudara/i Yesus? Kadang kita mendengarkan Sabda Tuhan, tapi tidak mau melaksanakan-Nya. Meski demikian, kita tetap bangga menganggap diri sebagai saudara/i Yesus. Semoga dengan Injil hari ini, kita disadarkan kembali akan identitas kita sebagai pengikut Kristus.


Maria adalah Ibu Yesus, bukan pertama-tama karena ia dipakai Allah untuk menjadi Ibu Yesus. Tapi, karena Maria sejak awal karya Allah itu menerima tawaran Allah. Meski belum begitu paham, Maria menyimpan semuanya dalam hati, dan mengikuti rencana Allah. Jadi, pertama-tama bukan karena relasi sedarah, tapi relasi dalam melaksanakan kehendak Allah.

 

Daud kiranya juga adalah orang yang melaksanakan kehendak Allah. Dengan gembira, ia berpesta memindahkan Tabut sebagai lambang kehadiran Allah. Seperti Maria membawa bayi Yesus, demikianlah Tabut itu membawa harapan orang banyak akan kehadiran Allah di tengah umat-Nya.

 

Yesus adalah orang Israel dan kita bukan orang Israel, tapi karena melaksanakan Sabda Allah, kita pun akhirnya bersaudara. (Rm Gordi SX)

 


 


 

Di Thailand, bulan Rosario bisa mengalahkan Misa hari Minggu. Ada banyak fakta yang membuktikannya. Memang antara keduanya tidak ada persaingan. Kalau bersaing menjadi orang beriman, bisa saja.

 

Gereja kami selalu penuh tiap malam. Saat berdoa Rosario. Sudah lebih dari 10 hari, kami berdoa bersama Bunda Maria. Antusias umat cukup tinggi. Saya selalu menghitung jumlah yang datang. Sampai sekarang minimal 80-an orang. Maksimalnya bisa sampai 120-an. Jumlah ini memang kecil dibanding Misa hari Minggu, yang sampai 400-an orang. Tapi, itukan hanya sekali seminggu. Meski doanya tiap malam, umat tidak pernah merasa bosan. Ada wajah-wajah yang selalu hadir. Kesetiaan rupanya menjadi pelajaran penting di bulan ini. Boleh jadi mereka juga belajar dari kesetiaan Bunda Maria.

 

Tak terhitung jumlahnya pengalaman di mana iman Maria diuji. Mulai dari kabar malaikat Gabriel bahwa Maria akan mengandung dari Roh Kudus. Tapi tak terhitung pula kesetiaan Maria menjadi makin kuat. Tak sekali pun Maria tergoda untuk menolak arahan malaikat. Maria memang adalah ibu dari kesetiaan. Bersama Maria, semoga kita juga menjadi orang Katolik yang setia pada iman dan kepercayaan.

 

Menjadi setia memang adalah tantangan dalam beriman Katolik. Meski ajarannya sangat ketat soal ini, misalnya dalam hal perkawinan, toh ada juga pasangan yang tidak setia. Bahkan ada pasangan Katolik yang karena satu dan lain hal mengingkari kesetiaan yang dijanjikan itu. Ini tentu amat menodai pasangan yang setia bahkan sampai merayakan pesta perak dan emas perkawinan. Atau juga para Romo yang merayakan pesta emas tahbisan. Ini adalah contoh kita dalam hal kesetiaan.

 

Di Thailand, tantangan kesetiaan itu makin besar. Kecenderungan untuk menengok agama Buddha amat besar. Tak jarang, mereka enggan bergabung dengan agama Katolik karena ketatnya ajaran kesetiaan ini. Tidak semua memang membenci ajaran kesetiaan. Ada yang justru memuji sampai menjatuhkan pilihan untuk menjadi Katolik karena kesetiaan ini. Kesetiaan rupanya bak pedang bermata dua. Meski pada prinsipnya, kesetiaan itu adalah nilai yang harus diperjuangkan. Tidak ada kandungan ajaran positif di dalamnya. Toh, ada juga yang membenci kesetiaan karena nafsu untuk tidak setia.

 

Di hadapan Maria, Bunda yang setia, kesetiaan itu seolah-olah hidup kembali. Umat Katolik dari paroki kami mulai bangun dari tidur panjangnya. Tiap malam, wajah-wajah lama bermunculan. Sudah lama mereka tidak melihat gereja. Di bulan ini, Bunda Maria seolah-olah menarik mereka ke gereja. Mereka boleh tidak setia pada gereja, tapi di depan Bunda Maria mereka akhirnya takluk juga.

 

Rasa terima kasih kami sampaikan pada sang Bunda. Karena dia, umat kami kembali ke rumah Allah. Di hadapan ketidaksetiaan umatnya, Bunda Maria membantu memulihkan rahmat kesetiaan itu. Orang-orang Thailand tentu tunduk pada pemerintah dan kerajaan, tapi tidak tunduk (secara total) pada agama. Paling tidak jika kita amati bagaimana umat beragama menghidupi nilai-nilai keagamaan. Orang Buddha misalnya masih tidak setia pada ajaran Buddha. Mereka memang menghormati dan memberi sedekah pada para Bhiksu yang turun di jalan-jalan tiap pagi. Tapi, mereka lupa bahwa kemabukan karena minuman beralkohol juga adalah bentuk ketidaksetiaan pada ajaran agama. Demikian juga dengan orang-orang Katolik yang kadang-kadang lebih mendewakan para Romo daripada menghayati iman personal kepada Allah. 

 

Di hadapan Bunda Maria, kami ingin mempersembahkan ketidaksetiaan kami ini. Mungkin tidak elok dipandang, ketidaksetiaan kok dipersembahkan pada Bunda Maria. Tapi, inilah kami dengan kerapuhan yang terang-terangan kami alami dan kami hidupi. Bersama Bunda yang setia, semoga kami pun tunduk dan takluk pada ajakan Bunda Maria, untuk menjadi pribadi yang setia. Ya Bunda, tariklah kami pada kakimu yang setia menggendong Yesus Putra Allah selama dalam kandunganmu.

 

Km 48, 11/10/22

BK


 

Bulan Rosario adalah bulan penuh kenangan. Salah satunya adalah persembahan makanan setelah doa Rosario. Meskipun kadang merepotkan, sisipan ini justru menarik anak-anak untuk ikut berdoa.

 

Seperti teman-teman lainnya, saya pun mengingat ini. Saat bulan Rosario (Oktober) atau bulan Maria (Mei) datang, kenangan ini hadir di setiap perbincangan kami. Unsur makanan ini membuat kami anak-anak semangat ikut berdoa dari rumah ke rumah.

 

Hal ini turut membentuk iman kami. Secara tidak langsung, kami sadar bahwa kenangan masa kecil itu membuat kami ingat akan Tuhan. Memang makanan itu disiapkan oleh pemilik rumah, tapi kami yakin bahwa itu adalah bentuk anugerah dari Tuhan. Maka, dalam mendaraskan peristiwa-peristiwa Rosario, kami pun dilatih untuk ikut berdoa. Memohon rejeki bagi kami semua dan terutama bagi mereka yang belum mendapatkannya. Lantunan doa seperti ini secara perlahan membuat kami peka dengan kebutuhan orang lain. Kami pun dilatih untuk bersedekah kepada orang kelaparan. Apalagi anak-anak seperti kami.

 

Kebiasaan ini rupanya ada juga di Thailand. Di paroki kami, kebiasaan menyediakan makanan ringan setelah doa Rosario, rutin diadakan tiap malam. Sekitar 3-4 rumah bertanggung jawab untuk menyiapkan snack. Malam ini, setelah bosan dengan snack kacang, roti, dan minuman ringan, kelompok menyediakan nasi soto. Enak sekali. Suhu dingin di pegunungan cocok untuk soto hangat dicampur setengah pedas. Doanya terasa lengkap. 

 

Saking enaknya, banyak umat yang hadir. Biasanya 70-80 orang. Tapi, malam ini sampai 90-an lebih. Ada yang datang hanya untuk menikmati soto. Sebab, mereka datang dan duduk di luar. Tentu ini menodai kesetiaan dari mereka yang rajin dan tekun berdoa. Mestinya diingat bahwa menikmati makanan adalah bagian kedua. Doa tetap jadi bagian pertama. Namun, tidak apa-apa. Lapar adalah bagian dari keseharian. Iman tidak akan pernah pisah dari keseharian kita. Semoga makanan ini tidak saja menarik mereka untuk datang ke gereja, tapi juga untuk terus menerus berdoa, memohon anugerah dan rejeki dari Allah. Dengan demikian, usaha mereka diberkati oleh Allah.

 

Km 48, 4/10/22

BK

 


Kita biasanya tak terlalu peduli dengan takaran iman. Apalagi itu sulit. Iman tidak berwujud. Tidak bertakaran juga. Takarannya hanya dengan tingkat kepercayaan. Tapi itu pun hanya bersifat interen saja. Yang keluar tetap tak bisa dilihat dan dibuktikan.

 

Iman hanya bisa diukur jika ada peristiwa terkait. Yang menyinggung soal kepercayaan. Memang antara percaya dan iman itu saling terkait. Orang yang percaya Tuhan adalah orang yang beriman pada Tuhan. Tapi, iman jangan dicampur dengan agama. Orang beragama tidak otomatis jadi orang beriman. Jika taat bergama, ia akan jadi orang beragama. Tapi belum tentu disebut orang beriman. Iman sekali lagi terkait dengan kepercayaan, dan tidak terkait dengan kepatuhan pada agama.

 

Iman mestinya bersifat penuh. Berarti tingkat kepercayaannya juga penuh. Tidak ada kata setengah. Kalau pun itu ada, mesti ditambahkan. Inilah yang disampaikan para murid pada Yesus. Mereka—yang meski berada dekat Yesus—rupanya kurang beriman. Mereka memang punya iman tapi kadarnya sedikit. Karena sedikit, iman mereka tidak mampu mengubah orang jahat jadi orang baik. Tapi mereka sadar akan kelemahan ini, sehingga memohon pada Yesus: tambahkanlah iman kami. 

 

Betapa sering kita tidak berlaku seperti para rasul Yesus. Hanya ke gereja sedikit saja, tapi sudah anggap diri orang beriman. Ini tanda kesombongan rohani. Baru berdoa satu kali saja, sudah bisa anggap diri punya iman yang kuat. Parahnya lagi mau mengontrol dan menilai orang lain. Kesombongan ini membuat kita cenderung mengadili orang lain. Padahal, iman itu membuat kita merasa rendah hati. Anggap diri kecil, sehingga ada ruang untuk menjadi besar. Kesombongan rohani adalah tanda bahwa orang itu sudah besar, tak perlu pertolongan orang lain. Termasuk dari Tuhan. Bukan, bukan, bukan ini tanda orang beriman. Ini tanda orang sombong.

 

Tuhan, kadang kami merasa sudah beriman, padahal belum sama sekali. Kadang kami hanya mengikuti kegiatan keagamaan, tapi anggap diri sudah beriman. Kami sadar, iman kami tidak seberapa. Oleh karena itu Tuhan, seperti para rasul-Mu, kami memohon: tambahkanlah iman kami.

 

Km 48, 2/10/22

BK


 

Bulan Oktober adalah Bulan Rosario. Melalui Doa Rosario, kita diingatkan akan Bunda Maria. Bunda Allah, Bunda Yesus, Bunda kita semua. Dalam diri Maria, kita melihat figur seorang pendengar yang baik. Memang Maria selalu mendengarkan malaikat yang menjadi perantara antara Allah dan dirinya (manusia). Meskipun ada keraguan, Maria tetap mau mendengar seruan malaikat, dan menyimpan semua keraguannya dalam hati. Seperti Maria, kadang kita ragu akan banyak hal dalam hidup. Termasuk dalam mengimani Allah, kita pun ragu. Baik jika dalam Bulan Rosario ini, kita memperbarui iman kita. Dengan berdoa kepada Maria, Ibu yang selalu mendengarkan jeritan hati anak-anaknya.


Malam ini, di paroki kami, hadir untuk berdoa Rosario sekitar 74 orang. Dari anak-anak sampai dewasa dan lansia. Kami percaya, Maria lah yang menyatukan kami. Karena dalam diri Maria, kami melihat figur sang Ibu. Dengan lembut hati, Maria mendengar doa-doa kami. Bersama Maria, doa kami sampai kepada Allah di surga. 

 

Selamat memulai Bulan Rosario.

 

Km 48, 1/10/22

BK


Powered by Blogger.