Halloween party ideas 2015

foto oleh Ramadhan2nd
Saya ingat masa-masa indah bersama ibu. Waktu kecil, saya dekat dengan ibu. Tentu saja kita semua memiliki kedekatan dengan ibu, kecuali mereka yang diasuh oleh kakek/nenek atau baby sitter. Kedekatan itu sejak awal dirasakan saat saya menikmati ASI. Dari air susu ibu itulah saya bertumbuh dan berkembang hingga saat ini. Kata para ahli, anak yang kekurangan ASI memiliki pertumbuhan kurang sempurna dibanding anak yang asupan ASI-nya banyak.

Kedekatan dengan ibu amat terasa sebelum mengenyam pendidikan dasar. Ketika kakak dan bapak ke sekolah, saya hanya ditemani ibu. Ibu selalu setia menemani saya. Kadang-kadang saya mengganggu pekerjaannya, namun tak pernah saya melihat dan merasakan kebencian ibu kepada saya. Ibu memang mencintai anak-anaknya termasuk saya. Ketika pulang sekolah saya bermain dengan kakak saya. Kadang-kadang kakak memarahi saya, dan saat itulah saya berlindung kepada ibu. Begitu juga ketika bapak marah, ibu selalu menjadi tempat perlindungan.

Apakah ibu pernah marah? Tentu saja. Tetapi marah bukan karena benci, tetapi karena cinta. Cinta ibu untuk anaknya. Saya pernah dimarahi gara-gara tidak mengerjakan tugas yang dipercayakan kepada saya. Hal-hal sederhana, sesuai kemampuan saya waktu itu. Mencuci piring, memasak, atau memberi makan kepada peliharaan kami. Dari marah ini, saya sadar, betapa ibu mencintai saya.

Ibu juga yang menyemangati saya dalam pendidikan. Sebelum sekolah, saya belajar bersama ibu, setiap malam. Kami membuka buku gambar, lalu ibu menjelaskan tulisan yang ada di gambar itu. Di tempat belajar itu, ada poster besar berisi huruf abjad berukuran besar dan angka-angka dari 1-100. Ada juga perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. Poster itulah sarana pembelajaran kami. Sesekali ketika saya bosan, ibu membuka buku gambar, atau bercerita. Tujuannya sederhana, untuk menyemangati saya. Kadang-kadang saya tertidur karena cerita yang terlalu lama. Kebiasaan belajar bersama ibu, berkembang terus hingga saya selesai SD. Pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Sesekali dengan bapak dan kakak. Namun, seringkali bersama ibu. Ibu juga yang menguatkan saya untuk belajar menyelesaikan sekolah dasar.

Kedekatan ini begitu kuat sampai-sampai ibu merasa sepi ketika, saya tinggal jauh darinya. Ibu meneteskan air mata ketika saya dan bapak pergi ke kota kecamatan untuk melanjutkan pendidikan menengah, SMP. Saya memandangnya sebentar sebelum mobil kami berjalan. Ibu menangis sambil memeluk adik saya dan melambaikan tangan, merelakan saya pergi. Saya tahu, ia dengan berat hati melepas kepergian saya. Namun, bagaimana pun saya mesti bersekolah. Air mata itu menetes lagi ketika saya melanjutkan pendidikan ke kota kabupaten yang letaknya semakin jauh dari rumah. Ibu hanya berpesan, “Nak, belajarlah dengan rajin dan berbuat baiklah dengan sesama.” Pesan itu begitu menggema hingga saya ingat sampai sekarang.

Selama pendidikan menengah, saya jarang pulang ke rumah. Hanya 2 kali setahun, pada saat liburan panjang. Ibu tidak marah. Saya selalu mengirim surat minimal sekali dalam dua bulan. Komunikasi kami waktu itu hanya melalui surat. Ibu senang membaca surat saya. Tiap kali teman sekolah saya berkunjung ke rumah, ibu tersenyum sebelum mempersilakan teman untuk duduk. Ibu tahu, pasti ada surat dari saya. Kegembiraan ibu lebih besar ketika saya kembali saat liburan. Saat itu biasanya, ibu berlama-lama bercerita dengan saya. Kebiasaan ibu ini berlaku untuk semua kami, anak-anaknya. Kami berasal dari desa dan harus melanjutkan pendidikan menengah ke kota.

Waktu liburan adalah kesempatan emas untuk mengobati rasa rindu ibu. Saat hendak kembali ke sekolah, selesai liburan, air mata ibu jatuh lagi. Ini pertanda dia mencintai anak-anaknya. Dengan sabar, dia menyiapkan bekal secukupnya berupa makanan ringan, dan menyelipkan uang saku secukupnya. Ibu lalu berpesan, “Nak apa saja yang kalian minta-asal itu demi pendidikan-kami akan memenuhinya. Kalian harus sekolah dengan baik. Jangan khawatir dengan hidup kami di rumah. Kami mempunyai banyak makanan untuk kebutuhan sehari-hari.” Pesan ini menguatkan saya untuk terus belajar hingga akhir masa SMA.

Ibu merasa berat sekali ketika saya harus melanjutkan pendidikan ke tempat yang lebih jauh lagi. Namun, ia tetap mendukung. “Asal itu kemauan kamu, silakan pergi, kami akan mendukungmu,” kata ibu waktu itu. Saya mengarungi lautan untuk pertama kalinya. Saya dan ibu tinggal di pulau yang berbeda. Lagi-lagi air mata ibu menetes lagi. Saya juga meneteskan air mata. Saya tak tahan melihat air mata ibu kesekian kalinya. Kami berpelukan sebelum saya meninggalkan rumah. Seminggu kemudian, ibu menelepon saya, menanyakan keadaan saya di tempat yang baru. Saya bahagia dan ibu senang mendengar cerita saya. Dia sempat tertawa karena saya bercerita membuat lelucon layaknya di rumah . Sebelum menutup pembicaraan ibu menangis lagi, sambil menyerahkan gagang telepon kepada bapak.

Ibu merupakan sosok yang besar bagi saya. Apa yang dibuatnya murni untuk kebaikan kami anak-anaknya. Saat kami sakit, ibu yang huru-hara mencari bantuan ke tetangga. Saya ingat ketika saya sakit, ibu pergi ke rumah bidan pagi-pagi buta. Untung saja adik saya yang paling kecil tidak menangis mencarinya. Adik masih terlelap ketika ibu berangkat. Hebat! Perjuangan ibu sungguh luar biasa. Terlalu indah mengenang kebersamaan bersama ibu. Sekian tahun kami hidup berjauhan. Namun, kami sering berbagi cerita. Saat yang dinanti adalah masa liburan. Terima kasih ibu, kasihmu selalu kukenang, cintamu begitu besar, dan jasamu luar biasa. Tetes air matamu menguatkan saya dalam hal apa pun termasuk dalam menghadapi tantangan. Terima kasih ibu….

CPR, 17/12/2011
Gordi Afri

toko buku gramedia di Jambi, foto oleh georgesouisa
Harga terjangkau dicari banyak orang. Itulah potret hidup rakyat Indonesia. Sekelompok orang mungkin lebih nyaman dengan harga mahal. Apalagi produk luar negeri. Woao..keren dan gengsi.

Padahal itu kenyaman semu. Toh, ada juga produk dalam negeri yang keren dan bermutu. Persisnya paham ke-gengsi-an yang sempit. Gengsi tak identik dengan produk luar negeri. Namun, inilah keyakinan sebagian warga Indonesia. Merekalah yang secara tak langsung menarik produk luar negeri dan membanjiri pasar rakyat di seluruh tanah air.

Saya dan teman saya baru saja mengunjungi toko buku Gramedia Matraman, Rabu, 20/12/2011. Meski namanya toko buku, di sana dijual juga barang-barang lain. Ada peralatan tulis, perangkat komputer, dan barang elektronik lain. Lebih panjang kalau didaftar di sini. Semuanya ini mempermudah pengunjung yang hobinya belanja. Daripada keluar masuk mol, lebih baik sekalian aja beli di gramedia. Namun, tentu saja yang banyak dijual adalah buku.

Buku-buku dari banyak penerbit dijual di sini. Dari kelompok penerbit kompas-gramedia saja sudah banyak, tambah lagi dengan penerbit lainnya. Buku apa saja bisa dicari di sana. Berbagai bidang ada, buku-buku lama juga kadang-kadang ada. Lebih dominan buku baru dan best seller. Saking banyaknya buku yang dipajang, pengunjung bisa bingung menentukan buku mana yang dibeli. Sebaiknya pengunjung merencanakan membeli buku apa sebelum berkunjung ke sana.

Melihat beragam judul, hati ini ingin meraih semuanya. Tentu tak mungkin. Saya pun kadang-kadang tergoda untuk membeli beberapa buku sekaligus. Apa daya, kantong mahasiswa terbatas. Kalau mau lebih hemat, rajin-rajin saja berkunjung ke sana dan duduk berlama-lama membaca. Satu buku bisa dibaca 2-3 kali kunjungan. Hemat kan???

Nah, untuk kita yang ‘kantong tipis’, gramedia menyediakan buku murah. Harga terjangkau tetapi kualitasnya bagus. Tak ada bedanya dengan buku lain yang dipajang di rak.

Saya menduga buku ini dijual murah karena terlalu banyak cetak atau juga sudah tidak laku di pasaran. Atau juga karena mau cuci gudang. Istilah yang tidak asing bagi saya yang hobi memburu buku murah. Di beberapa penerbit cuci gudang dibuat menjelang akhir tahun. Buku-buku dijual murah sehingga gudang diisi dengan buku baru.

Kami membeli beberapa buku murah ini. Ada banyak pembeli sebelum kami, namun kami beruntung karena bisa mendapat beberapa buku. Bagi yang belum, di sana masih banyak. Persediannya cukup banyak. Tempatnya di lantai 2 pojok kiri. Bisa jadi ada di lantai lain juga. Kami hanya melihat di lantai ini. Lumayan dengan 50 ribu rupiah dapat 3 sampai 5 buku. Harganya berkisar 10 ribu hingga 30 ribu rupiah. Sebagian besar buku novel. Bagi yang hobi sastra silakan mampir ke sana. Yang tidak pun, silakan ke sana, masih ada bidang lain. Jangan lewatkan kesempatan yang datang hanya beberapa kali setahun.

CPR, 20/12/2011
Gordi Afri

la foto ilustrazione da the foreign photographer - ฝรั่งถ่
Era una mattina di dicembre dell’anno 2012. Ho aperto il mio scrigno vecchio nella mia stanza. Ho trovato una vecchia foto. La foto mi ha mostrato io e il mio amico quando eravamo nella scuola media.

Questa foto mi ha fatto pensare ai momenti quando ero nella scuola media. Ho ricordato il mio amico che si chiama Georgio. Lui era uno dei miei amici col quale sempre facevo tante cose insieme. Non so dove sia adesso ma io lo conoscevo bene quando era nella scuola media. Era seduto vicino a me nella nostra classe durante tre anni. Quindi io lo conosceva bene. Era uno degli studenti più intelligenti della nostra classe. Più volte lui è stato il primo della nostra classe.

Nella vita quotidiana lui era timido. Non aveva tanti amici. Qualche volta gli ho proposto di incontrare altri studenti di altre classi per fare amicizia ma lui non ha mai accettato.

Abbiamo fatto tante cose insieme, passato tanti momenti insieme nella scuola e anche nei nostri collegi. Io ricordo, tre volte alla settimana (lunedì, martedì, e giovedì) al pomeriggio studiavamo nella scuola. Era solo un’ora. Passavamo questo tempo a studiare. Questa era anche momento di silenzio perché non potevamo fare rumore durante lo studio. Altrimenti non avremmo potuto fare i compiti.

Avevamo anche altri momenti per fare i compiti cioè alla sera. Per fortuna avevamo una sala per chiacchierare o fare lo studio in gruppo. Usavamo sempre questa sala per fare i compiti. Il mio amico era una persona umile. Lui voleva sentire l’opinione degli altri cioè nella discussione di solito ci sono tante pareri, tante proposte, ecc. Anche quando io e lui facevamo i compiti assieme, lui voleva sapere la mia risposta prima di trovare la risposta definitiva. Lui anche voleva sempre aiutarmi soprattutto quando avevo una difficoltà.

Gordi
Powered by Blogger.