Halloween party ideas 2015

Kau tak sabar dengan situasi ini
Kau mungkin jarang menghadapinya
Kau mungkin tak tahu kalau harus sabar
Kau mungkin tak tahu yang lain juga harus sabar

Kau keluarkan kata-kata kasarmu
Kau hujat kotaku
Kau minta didahulukan
Kau kira yang lain tak mau didahulukan

Kau ingin agar semuanya lancar
Kau tak tahu kalau ketidakberesan ini dialami oleh kita semua
Kau kira hanya kau yang ingin cepat-cepat
Kau tidak tahu kalau mau tak mau kita harus sabar

Kata-katamu mengena semua penduduk kota
Kau mungkin tak sabar keluarkan itu
Kau mungkin terlalu marah hingga katakan itu
Kau mungkin tak membayangkan akibatnya

Aku kira kau tak salah
Kau sedang marah
Kau tak mungkin membayangkan akibatnya
Kau hanya tahu bahwa kata-kata itu harus keluar

Sebagai ungkapan rasa marahmu
Sebagai ungkapan rasa sesalmu
Sebagai ungkapan ketidakpuasanmu
Sebagai ungkapan bahwa tidak semestinya kau alami ini

Aku kira juga kau tak salah menulis itu di media sosialmu
Aku kira sah-sah saja
Aku kira kau juga sah-saha saja meminta maaf pada warga kotaku
Aku kira benar sekali permintaanmu untuk dimaafkan

Aku kira yang keliru adalah mereka yang membesarkan kata-katamu
Aku kira juga mereka keliru membuat nama institusimu sedikit terganggu
Aku kira mereka keliru mengaitkan itu untuk membesarkan persoalan kecil ini
Aku kira mereka keliru menerormu

Aku mengutuk keras kata-katamu
Namun aku tidak mau mengutukmu
Aku muak dengan ejekanmu pada kotaku
Namun aku tak muak dengan permintaan maafmu

Aku tak mau mengusirmu dari kotaku
Namun aku mau kamu belajar budaya di kotaku
Aku tak mau menghinamu
Namun aku mau orang-orang yang menghinamu mesti tahu esensi masalahnya

Bahwa yang pribadi mestinya tetap pribadi
Bahwa sebagai pengguna BBM mestinya tetap terkait dengan BBM
Keterlaluan kiranya mengaitkan kamu dengan institusi pendidikan
Keterlaluan kiranya mengaitkan perilakumu dengan fakultas tempatmu belajar

Kau pantas belajar lagi
Namun keliru kiranya jika fakultas juga ikut menerormu gara-gara kasus ini
Kau berhak meneruskan pendidikanmu
Namun keliru kiranya jika universitas mengeluarkanmu gara-gara masalah ini

Salam dariku warga kota


Prm, 29/8/14
Gordi

foto, voa-islam
Namamu kebanggaan kami
Kami sungguh bangga
Namamu disebut-sebut
Di sini dan di sana 

Kami pun ikut tersanjung
Mereka menyanjung kami
Karena namamu tersanjung
Kami sungguh-sungguh bangga

Kami juga melihatmu di TV
Di koran juga sudah ditulis namamu
Kami membacanya
Dan mereka juga membacanya

Mereka memuji kami
Kami memujimu
Kebanggaanmu
Kebanggaan kami juga

Maju terus Indonesia
Salam Indonesia Raya

PRM, 30/11/14
Gordi


foto, shutterstock
Jakarta banjir. Bukan berita baru. Di postingan facebook teman-teman ramai dibicarakan banjir ini. Ada yang dituangkan dalam status ada pula yang di foto. Ah sama saja. Bukan berita baru. Intinya Jakarta Banjir. Ada yang embel-embel bereaksi kurang bagus. Menyalahkan presiden, gubernur, partai politik, pemimpin lembaga tertentu, dan sebagainya. Wajar jika muncul reaksi spontan seperti ini. Tapi, jangan jadikan ini sebagai hobi. Maksudnya, saking seringnya, jadi terus-terusan nyalahin yang lain.

Banjir memang mau tak mau seperti mewajibkan warga Jakarta untuk menjadikannya hobi. Hobi karena sering mengalamaninya. Sering mengalami harusnya sering pula mengatasinya. Namun, Jakarta tidaklah demikian. Makin sering banjir, makin sering pula jadi korban. Pengamat luar Jakarta dan luar negeri bisa-bisa tertawa. Yang jelek malah dibiarkan. Dibiarkan melanda Jakarta. Banjir itu menelan korban. Mungkin bukan warga tetapi bisa merusak kenyamanan, keindahan, kebersihan, bahkan merusak ekonomi dan pariwisata Jakarta. Seharusnya jika itu merusak, cepat mengatasinya. Yang terjadi malah dibiarkan.

Dibiarkan karena belum bisa mengatasinya. Ada usaha tentu saja. Perbaikan kanal, pembersihan selokan, dan sebagainya. Tapi ya, tampaknya itu-itu saja. Banjir tetap melumpuhkan Jakarta. Banjir memang tidak bisa ditolak. Yang bisa ditolak adalah kerugiannya. Banjir itu ibarat teriknya matahari. Panas dan menyengatkan. Kita tidak bisa mendinginkannya, tidak bisa menghalau cahayanya. Yang bisa ya, cari perlindungan agar teriknya tidak merusak mata dan kulit. Demikianlah banjir.

Maka, kalau Jakarta banjir lagi, itu berita lama. Harapannya muncul berita baru. Maksudnya, berita yang menggambarkan bagaimana warga Jakarta mengatasi banjir itu sehingga tidak ada kerugian. Salam semangat dan semoga menemukan jalan keluar mengatasi banjir ini.

PRM, 09/02/15
Gordi

foto, shutterstock

Salju oh salju
Putih bening nan bersih
Tak ada kotor
Bersihhhh

Salju oh salju
Dinginnya menyengatkan
Enak disentuh
Tapi sakit dirasakan

Salju oh salju
Kulitku mengigil
Kepalaku dingin
Tanganku bergetar

Salju oh salju
Melihatmu hatiku berbunga-bunga
Kuimpikan pemandangan puith seperti dirimu
Terang benderang

Salju oh salju
Beratmu tidak seberapa
Memang kamu ringan
Bak tak ada beban
Kurindukan dunia tanpa beban

Salju oh salju
Warnamu memancarkan kebersihan
Mataku tenang melihatmu
Kurindukan dunia yang bersih

Bersih dari korupsi
Dari tangan-tangan kotor yang mencuri
Dari pikiran kotor yang selalu mencari kesalahan lawan
Dari kekuatan-kekuatan kaku yang memaksa kehendak semau gue

Salju oh salju
Sayang sebentar lagi kamu mencair
Matahari membuatmu menjadi air
Kala malam tiba dirimu tetap bersih
Malam membuatmu beku

Salju oh salju
Salam salju bening putih bersih
Puisi asal tulis
Salam salju

PRM, 11/2/15
Gordi

foto, shutterstock
Jangan buang remah nasi. Demikian kata seorang sahabat dari Jepang semalam. Entah nasi di sana sama dengan di Indonesia atau bukan. Tidak ditanyakan. Maklum, dia berbicara dalam sebuah seminar tentang keluarga. Saya tertarik dengan kata-katanya ini. Tentu dia tidak hanya mengatakan ini. Ada banyak hal lain yang disampaikan. Tetapi, kali ini biar cukup disimak satu saja.

Nasi sebagai bahan makanan pokok memang mesti dihargai. Kalau diuangkan tentu harganya tidak seberapa. Banyak orang mampu membeli nasi meski ada juga yang sama sekali sulit mendapatkannya karena tidak ada uang. Nasi di sini bukan saja dikaitkan dengan harga material. Nasi di sini dikaitkan dengan harga spiritual. Nilai spiritual.

Kok bisa ya, nasi juga ada harga spiritualnya? Ya, tentu saja. Ajaran Budha-dia adalah putri seorang pemimpin keagamaan dalam Budha di Jepang-melihat segala sesuatu sebagai objek yang berjiwa. Segala sesuatu di dunia ini mempunyai jiwa. Jadi, jangan heran jika mikrofon atau kertas juga punya jiwa. Benda-benda mati seperti itu saja ada jiwanya. Apalagi, benda hidup seperti daun. Makanya, dalam ajaran Budha tidak diperkenankan memetik daun. Biarkan daun itu jatuh atau gugur sendiri.

Kembali ke nasi. Nasi yang adalah makanan pokok itu adalah sumber hidup. Karena itu, nasi adalah pemberi hidup. Dia memberi kehidupan pada manusia. Buang nasi berarti buang kehidupan. Demikian kalau boleh ditafsirkan kata-kata teman Budha-Jepang ini.

Jangan buang remah nasi itu. Karena, buang nasi berarti buang kehidupan. Kehidupan yang didapatkan dari jerih payah manusia juga. Meski hanya sebutir, nasi itu mempunyai jiwa. Jangan buat jiwanya menderita karena jiwa manusia juga ada di situ.

Terima kasih sahabat.

PRM, 11/2/15
Gordi


foto, shutterstock
Kutulis untuk sahabatku yang sakit
Sebagai ungkapan ibaku
Aku tahu kamu sakit
Dan aku segan berkunjung

Aku tahu kamu tak makan dengan kami
Aku tahu kamu tidak ada di meja makan
Aku tahu kami merasa kehilanganmu
Aku tahu kami tak berarti tanpamu

Kita sudah biasa bekerja bersama
Di ruang belajar, ruang kuliah
Di ruang makan, ruang pertemuan
Di ruang seminar, ruang doa

Di perpustakaan dan ruang baca
Di ruang rekreasi dan ruang main tenis
Di ruang cuci piring dan ruang masak
Di ruang nonton bareng dan ruang internet

Kini kamu sakit
Kami sehat
Anenhnya aku tak berkunjung ke tempatmu
Aku rasa aku juga sakit

Aku rasa sehat secara fisik
Tak ada yang sakit
Tak seperti tubuhmu yang sakit
Aku bekerja normal

Aku enggan mengunjungimu
Bagiku kamu terlalu tinggi
Kemampuanmu jauh di atasku
Intelektualmu jauh di atasku

Aku selalu melihat kelebihan ini
Sampai aku tak mengunjungimu
Aku rasa akulah yang salah
Aku mesti mengunjungimu

Aku merasa sehat tetapi sebenarnya sakit
Aku sehat dan seolah-olah tidak ada yang sakit
Padahal aku sakit justru karena aku enggan padamu yang sakit
Ah bodohnya aku ini

Sahabat, tunggu aku di sana ya
Meski aku sehat, aku tidak boleh melupakan yang sakit
Justru yang sakit membuatku merasa mesti berbuat sesutu untuk mereka
Aku mau menjengukmu

Sakitmu adalah sebuah panggilan bagiku
Panggilan untuk mendekatimu
Panggilan untuk tidak sombong dengan keadaa sehat
Panggilan untuk selalu memperhatikan orang di sekitarku

Lekas sembuh sahabatku

PRM, 12/2/15
Gordi

foto, shutterstock
Masih melanjutkan perbincangan dengan sabahat Budha-Jepang. Dia tinggal di kota Milan, Italia. Datang di kota Parma dan menjadi pembicara dalam seminar tentang keluarga dalam sudut pandang agama. Dia berbicara dari situasi keluarganya di Jepang. Anak seorang pemuka agama Budha. Punya tempat ibadat (temple-ing atau tempio-ita). Ajaran agama Budha, katanya, menekankan penghormatan kepada segala sesuatu termasuk kepada agama lain selain Budha. Sejak kecil, orang tuanya mengajarkan untuk tidak membenci agama lain. Jangan menjelekkan agama lain. Anggaplah agama lain-sambungnya-seperti sehelai daun bunga yang tidak boleh kamu petik.

Menghormati agama lain kiranya bukan saja ajaran Budha. Di setiap agama, ajaran ini menjadi salah satu penekanan utama. Menjadi miris ketika melihat aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ajaran jangan membenci agama lain lenyap seketika, ketika kelompok tertentu menuding penganut agama lain sebagai musuh, kafir, biang kekacuan, dan sebagainya. Agama di sini menjadi dusta oleh penganutnya. Agama sebagai lembaga sosial menjadi alat untuk merusak tatanan sosial. Agama sebagai lembaga sakral menjadi pedang untuk membunuh kesakralan agama lain.

Saya iba dengan sahabat saya ini. Bertemu teman Katolik, masuk gereja, dia tetap berpegang pada nasihat orang tuanya sejak kecil. Bertemu teman ateis pun, dia tetap menghormatinya. "Saya tidak mempersoalkan dia ateis atau percaya pada Tuhan", katanya. Dia tidak mempersoalkan mengapa tidak percaya. Sekadar bertanya dan memberi hormat pada temannya.

Sahabat ini memberi pelajaran berharga bagi kita semua. Hormat kepada orang lain termasuk agamanya kiranya digemakan sejak kecil. Kelak saat besar, ajaran itu tetap menggema. Tentu ada yang bisa saja beruba saat masa remaja dan dewasa. Dipengaruhi kelompok lain, jadilah pembelot. Masuk kelompok pembenci agama lain.

Ajaran sahabat saya ini kiranya perlu dan terus digemakan. Kelihatan sederhana tetapi nilainya tidak sederhana. Kadang-kadang mudah berbicara tentang menghormati agama lain tetapi praktiknya tidak sesuai. Terima kasih sahabat. Engkau memberi pelajaran berharga bagiku. Kiranya bagi sahabat-sahabatku juga. Dari Budha kiranya menjalar ke agama lain.

Sahabat memang bisa jadi musuh Tapi musuh kiranya jangan jadi musuh alami Musuh mesti dirangkul agar jadi sahabat Salam saling bersahabat dan jangan saling memusuhi

PRM, 13/2/15
Gordi

foto, shutterstock
Betapa indah hidup bersaudara
Semuanya dipandang sama
Bagai saudara dan saudari
Tidak ada kamu, hanya ada kami 

Kulit hitam dan putih
Rambut keriting dan lurus
Darah biru dan merah
Mata sipit dan tidak sipit

Orang Eropa dan Asia
Orang Afrika dan Amerika
Juga Orang Australia
Semua menjadi penghuni satu dunia

Yang Asia bergabung dengan yang Afrika
Yang Eropa gabung dengan yang Amerika
Yang Australia gabung dengan yang Amerika Latin
Yang Oceania gabung dengan yang Timur Tengah

Bukan membeda-bedakan
Bukan mengelompokkan sesuai warna kulit
Bukan mengelompokkan sesuai model rambut
Bukan mengelompokkan sesuai bentuk mata

Hanya mengakui perbedaan
Bahwa perbedaan itu ada
Tidak boleh disangkal
Mau menerima apa yang diberikan

Memang demikian adanya
Tidak ada yang sama
Semua khas Itulah sebabnya jadi unik

Yang berbeda-beda itu
Tetap berbeda
Memang tidak perlu disamakan
Namun bergabung menjadi satu

Satu dalam perbedaan
Berbeda dalam persatuan
Satu hasrat banyak harapan
Satu hati aneka wajah

Terima kasih saudara-saudari
Kita sudah berkumpul bersama
Jadi satu bangsa
Bangsa yang mendunia

PRM, 14/2/15
Gordi

foto, shutterstock

Tak ada agamamu dan agamaku
Yang ada hanya agama kita
Tak ada sebutan kamu kafir
Yang ada hanya mari kita bersaudara 

Yang Muslim Yang Hindu Yang Katolik
Yang Budha Yang Protestan Yang Konghucu
Yang Yahudi Yang menganut kepercayaan
Yang ateis Yang sekuler Yang Bahai Yang Tao

Banyak sebutan lainnya
Biarlah tetap dalam nama mereka
Jika tidak bisa disebutkan semuanya
Bukan mau melupakan

Yang ada hanya kita semua bersaudara
Saudara sebagai manusia
Tidak ada pembedaan menurut agama
Tidak ada pembedaan menurut keyakinan

Baik yang berkeyakinan maupun yang tidak
Tidak pula memaksakan keyakinan
Tidak pula memaksakan untuk meyakinkan apa yang kita yakinkan
Cukup menawarkan jika ditanya

Indahnya dialog seperti itu
Ada pertanyaan ada jawaban
Mari kita berbagi
Apa yang kita yakini

Tidak ada yang menghakimi
Tidak ada yang membenarkan
Tidak ada yang mendustai
Tidak ada yang mengutuk

Mari kita bersaudara
Satu rasa banyak keyakinan
Satu suku banyak nama
Satu kebangsaan banyak warga negara

PRM, 14/2/15
Gordi

foto, shutterstock
Kau datang dengan senyum
Dengan senyum kau sapa diriku
Aku membalasnya dengan senyuman
Jadilah kita berbagi senyum

Tak ku sangka kau menyapaku
Aku kira hanya datang untuk belajar
Tak peduli diriku yang lebih dulu tiba
Kamu memang tiba setelahku

Sudah jadi kebiasaanmu
Tersenyum setiap kali bertemu
Menyapa setiap kali bertatapan
Kesannya kita saling akrab

Memang kita menjadi akrab
Mula-mula hanya sebatas sapa menyapa
Sapaan yang dibalas sapaan juga
Tak lebih dari itu

Lama-lama kau buka perbincangan baru
Berbagi pengalaman
Berbagi sukacita
Berbagi ilmu juga

Semua berawal dari senyum
Senyum tanda berbuka diri
Senyum tanda mau menyapa
Senyum tanda mau mengenal yang lain

Senyum yang memutus rantai kekakuan
Senyum yang membuka relasi baru
Senyum yang meruntuhkan prasangka
Senyum yang menerima keadaan sesama

Terima kasih untuk senyummu sahabat
Kaulah sahabat dua jam
Kaulah bidadari di ruang baca
Di antara buku-buku dan majalah

Salam sahabat dan salam berbagi senyum

PRM, 17/2/15
Gordi

foto, shutterstock
Tanganmu menyentuh ujung bajuku. Suaramu bergetar memanggilku dari belakang. Tanganmu bergegas begitu melihat tangan saya. Pertanda memberi salam.

Itulah pemandangan yang saya rekam tadi pagi. Usianya lebih dari 80 tahun. Selalu duduk di kursi roda. Makan, ngobrol, menonton TV, selalu di atas kursi roda. Hanya saat tidur saja, tidak di atas kursi roda. Dia mesti dibantu untuk turun dari kursi roda. Perawat membantunya sesaat sebelum dia tidur.

Dia tak bisa bicara tetapi mau menyapa. Ya, itulah ironisnya hidup. Dia seakan-akan mengatakan, jangan biarkan diri Anda larut dalam ketakberdayaan. Jika larut dalam ketakberdayaan, hidup Anda makin tak bernilai. Memang sahabat saya ini tidak membiarkan dirinya terlarut dalam ketakberdayaan. Dia selalu tersenyum begitu ada yang bertatap dengannya. Saya selalu memerhatikan ini ketika mendekatinya. Seperti juga tadi pagi, ketika saya menjumpainya. Dengan tangannya dia mengganggu saya. Gangguan yang membangunkan saya dari kecuekan saya.

Dia tak mampu bicara tetapi mau menyapa. Saya yang bisa bicara ini malah terlambat memerhatikannya. Dari dalam dirinya muncul keingingan yang kuat untuk berbicara. Sayang fisiknya tak memungkinkan. Hanya sebatas mengeluarkan suara tanpa kata-kata yang jelas. Tapi, dalam keadaan demikian dia tetap tersenyum. Menyapa dengan senyuman. Sesekali tertawa ketika ada yang membuat lelucon. Dia mengerti apa yang sedang dikatakan.

Tingkahnya ini seakan-akan juga menegur mereka yang enggan bertegur sapa. Dengan keterbatasan fisik, dia masih bisa menegur sesama. Keterbatasan fisik memang bisa menjadi hambatan, namun, ini tidak berlaku baginya. Dia tetap bisa melampaui keterbatasannya ini. Berarti orang yang tidak mampu menyapa pun sebenarnya masih bisa menyapa. Asal ada kemauan dari dalam hatinya.

Ah, tulisan ini sampai di sini saja. Sekadar bertegur sapa untuk teman-teman saya. Salam saling tegur sapa ya buat para pembaca sekalian.

PRM, 20/2/2015
Gordi


foto, shutterstock
La preghiera molto semplice da tutte le preghiere è il padre nostro. Questa preghiera è come la preghiera di un bambino al suo padre. Come una preghiera di una bambina alla sua madre. Non solo questo, questa preghiera anche tocca tutto quello che abbiamo bisogna. 

Ci sono questi elementi, la santificazione di Dio, chiede il suo regno, la sua volontà, chiede il nostro cibo, i nostri abiti, chiede a Lui di non dimenticarci, e liberare dal male. Questi sono anche gli elementi che abbiamo bisogna in questa terra.

Preghiamo con questa semplice preghiera.
Powered by Blogger.