Halloween party ideas 2015

*Foto, Aldo Fenalosa, regional.kompas.com
Pagi ini saat sarapan, seorang sahabat bertanya, apakah kalian sudah siapkan sesuatu untuk acara besok? Acara yang dimaksud adalah perayaan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Negara Republik  Indonesia.

Dia bertanya karena dia ingat acara ini. Dia orang asing tetapi jiwanya ada di Indonesia. Maklum dia pernah tinggal dan bekerja di Indonesia bertahun-tahun pada masa mudanya. Tak heran, jika acara ini membekas dalam benaknya.

Ingatan akan sejarah adalah salah satu cara menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur. Para pahlawan yang bukan saja bergelar pahlawan tetapi para pejuang pada umumnya. Soekarno sejak awal menekankan ini. Kata Soekarno, bangsa yang mau maju adalah bangsa yang mengingat sejarahnya sendiri. Pertanyaan sahabat saya tadi mengingatkan saya akan pentingnya memahami sejarah bangsa Indonesia.

Saat ini, sejarah bangsa memang kurang diminati. Jangan heran juga jika anak-anak sekolah kurang berminat mempelajarinya. Para pendidik ditantang untuk meningkatkan minat siswa dan mahasiswa untuk mempelajari sejarah. Agak susah memang pada awalnya. Bukan karena pelajarannya tetapi karena sejarah bangsa Indonesia sendiri telah dipalsukan. Bukan rahasia lagi jika saat (almarhum) Presiden Soeharto masih berkuasa, sejarah bangsa dipalsukan. Maksudnya, didesain agar sesuai dengan kemauan penguasa. Tak heran jika kemudian tak banyak yang tahu sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya. Bukan hanya itu, sejarah bangsa Indonesia menjadi sekadar kronik karena tidak menjelaskan secara detail latar belakang di balik peristiwa. Saya ingat dosen sejarah di STF Driyarkara-Jakarta yang mengajak kami untuk berlatih menulis sejarah bukan dengan gaya kronik tetapi dengan membeberkan latar belakang peristiwa di balik tanggal sejarah.

Tentang hal ini, saya beruntung bisa membaca literatur asing yang membahas sejarah bangsa Indonesia. Tentu banyak juga pelajar Indonesia yang membaca literatur ini khususnya yang menekuni sejarah. Salah satu sumber yang mudah kita dapat adalah literatur yang ditulis dalam bahasa Inggris. Ada banyak kiranya khususnya yang ditulis oleh peneliti asing. Kalau mau yang lebih lagi—tentu untuk mereka yang menguasai bahasa asing selain Inggris—silakan cari dalam bahasa Jerman, Prancis, Belanda, atau Italia. Saya kebetulan saja menemukan literatur ini saat mempresentasikan sedikit budaya Indonesia di luar negeri. Orang asing suka bertanya dan mereka senang jika kita bisa menjawab pertanyaan mereka. Maka, di sinilah pentingnya mencintai sejarah.

Hari ini, 17 Agustus 2015, Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Usia yang tidak muda. Atau boleh dikatakan masuk usia tua. Kitab kuno meramalkan umur manusia hanya 70, jika kuat 80 tahun. Maka, umur bangsa kita menandakan kuatnya bangsa ini. Namun, bangsa ini sebenarnya belum dikatakan kuat. Kenyataannya lemah. Lihat saja duka kita yang mendalam hari ini yakni jatuhnya pesawat Trigana di Papua. Ini tentu jadi kelemahan kita. Teman-teman asing bertanya pada saya, mengapa kalian tidak mencegah celaka ini? Bukankah beberapa waktu lalu kalian juga mengalami musibah seperti ini (maksudnya kecelakaan pesawat Herkules)? Benar juga. Mengapa kita tidak bisa mencegahnya? Salah satu jawabannya ya kita sebenarnya belum siap menangani semua kelalaian kecil seperti ini. Ini hanya salah satu kasus. Kasus lain bisa didaftar dan akan jadi panjang sekali.

Umur 70 menjadi harapan kita bersama agar Bangsa kita bisa makin sejahtera. Biarlah kata orang usia ini menandakan ketuaan. Bagi kita, usia ini menadakan kekuatan. Maksudnya, makin tambah umur, makin kuat pula kita membangun bangsa ini. Mungkin mudah dibicarakan tetapi menjalaninya sulit. Tidak apa-apa. Yang penting kita mencobanya. Asal ada semangat, kita pasti bisa.

Semangat ini juga yang kami selalu banggakan di luar negeri. Kemarin sore, kami membuatkan makanan khas Indonesia untuk menandakan pesta kemerdekaan ini. Teman-teman kami senang dan memuji kami. Kami memang membuatnya dengan semangat kemerdekaan. Banyak yang memuji betapa enaknya makanan Indonesia. Kami lalu membalasnya selain dengan terima kasih juga membanggakan bahwa ini tandanya di Indonesia masyarakatnya makan makanan enak dan bergizi. Meski kenyataannya banyak juga warga yang makan makanan ala kadarnya alias kurang gizi. Lihatlah di NTT yang masih ada anak kurang gizi. Entah mereka tidak bisa mencari makanan bergizi padahal tanah masih subur untuk menanam makanan bergizi. Ataukah pemerintah provinsi NTT yang tidak mau memerhatikan mereka. Ini tantangan untuk Bapak Gubernur NTT, Frans Lebu Raya yang baru saja mendapat penghargaan dari Presiden Jokowi untuk memerhatikan rakyatnya khususnya yang kekurangan gizi. Semoga penghargaan ini menjadi semangat baru untuk memberi gizi kemerdekaan kepada rakyat. Termasuk merdeka dari kondisi kurang gizi.

Di tanah air, semangat kemerdekaan ini ada. Ini tandanya rakyat Indonesia tetap bangga akan hari kemerdekaannya. Kebangaan ini juga yang membuat kami di luar negeri merayakan pesta kemerdekaan in. Besok, 17 Agustus, kami akan berkumpul di kota Milan tepatnya di paviliun Indonesia di tempat Expo untuk merayakan kemerdekaan ini. Kami tetap membawa kebangaan sebagai anak bangsa Indonesia. Kami ingat betapa berat perjuangan para pejuang kita dahulu. Jangan heran jika di Nunukan-Kalimantan sana, para veteran ingin mengingat lagi semangat juang mereka dulu dengan menghormati bendera Merah Putih. Kami ingat perjuangan mereka dan kami menghormatinya. Acara yang akan kami rayakan besok menjadi salah satu tanda penghormatan kami kepada para pejuang dan kepada seluruh rakyat Indonesia di tanah air.

Kami berada di negeri asing tetapi hati kami ikut bergembira bersama kalian, segenap rakyat Indonesia di tanah air. Hati kami berbunga seperti hati sahabat saya yang menanyakan persiapan kemerdekaan tadi pagi. Dia bertanya karena dia ingat dan ingin mengikuti acara 17-an yang dia hidupi selama bekerja di Indonesia.

Salam kemerdekaan dan selamat ulang tahun ke-70 untuk Bangsa Indonesia.

Parma-Italia, 16/7/2015 dini hari
Gordi

GENERAL AUDIENCE POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Wednesday, 5 August 2015

The family - 21. Wounded families (II)
 
Dear Brothers and Sisters, Good morning!
With this catechesis we return to our reflection on the family. After speaking the last time about families wounded due to misunderstandings between spouses, today I would like to focus our attention on another reality: how to take care of those who, after an irreversible failure of their matrimonial bond, have entered into a new union.
The Church is fully aware that such a situation is contrary to the Christian Sacrament. However, her gaze as a teacher always draws from a mother’s heart; a heart which, enlivened by the Holy Spirit, always seeks the good and the salvation of the people. This is why she feels obliged, “for the sake of truth”, to “exercise careful discernment of situations”. This is how St John Paul II expressed it in the Apostolic Exhortation Familiaris Consortio (n. 84), giving as an example the difference between one subjected to separation compared to one who has caused it. This discernment has to be made.

If we then also look at these new bonds through the eyes of the young sons and daughters — and the little ones watch — through the eyes of the children, we are aware of a greater urgency to foster a true welcome for these families in our communities. For this reason it is important that the style of the community, its language, its attitudes, always be attentive to people, starting with the little ones. They are the ones who suffer the most in these situations. After all, how can we encourage these parents to do everything possible to raise their children in the Christian life, to give them an example of committed and exercised faith, if we keep them at arm’s length from the life of the community, as if they are excommunicated? We must act in a way so as not to add even more to the burdens which the children in these situations already feel they have to bear! Unfortunately, the number of these children and youth is really large. It is important for them to feel the Church as loving mother to all, always ready to listen and to meet.

In these decades, in truth, the Church has been neither insensitive nor lazy. Thanks to the in-depth analysis performed by Pastors, led and guided by my Predecessors, the awareness has truly grown that it is necessary to have a fraternal and attentive welcome, in love and in truth, of the baptized who have established a new relationship of cohabitation after the failure of the marital sacrament; in fact, these persons are by no means excommunicated — they are not excommunicated! — and they should absolutely not be treated as such: they are still a part of the Church.
Pope Benedict XVI spoke about this question, calling for careful discernment and wise pastoral accompaniment, knowing that there are no “simple solutions” (Speech at the Seventh World Meeting of Families, Milan, 2 June 2012, answer n. 5). Here the repeated call to Pastors to openly and consistently demonstrate the community’s willingness to welcome them and encourage them, so they may increasingly live and develop their membership in Christ and in the Church through prayer, by listening to the Word of God, by attending the liturgy, through the Christian education of their children, through charity and service to the poor, through the commitment to justice and peace.

The biblical icon of the Good Shepherd (Jn 10:11-18) summarizes the mission that Jesus received from the Father: that of giving his life for the sheep. This attitude is also a model for the Church, which embraces her children as a mother who gives her life for them. “The Church is called to be the house of the Father, with doors always wide open”.... No closed doors! No closed doors! “Everyone can share in some way in the life of the Church; everyone can be part of the community”.... The Church “is the house of the Father, where there is a place for everyone, with all their problems” (Ap. Exhort. Evangelii Gaudium, n. 47).

In the same way all Christians are called to imitate the Good Shepherd. Especially Christian families can cooperate with Him by taking care of wounded families, accompanying them in the life of faith of the community. Each one must do his part in taking on the attitude of the Good Shepherd, who knows each one of his sheep and excludes no one from his infinitive love!

Special greetings:
I offer an affectionate greeting to all the English-speaking pilgrims and visitors present at today’s Audience, including those from England, South Africa, China and the United States. May your stay in the Eternal City confirm you in love for our Lord, and may he make you his witnesses, especially for families who feel separated from the Church. May God bless you all! I address a special thought to young people, to the sick and to newlyweds. Today we celebrate the Dedication of the Basilica of St Mary Major, where the icon of Salus Populi Romani is venerated. Invoke the Mother of God, dear young people, to feel the sweetness of her love; pray to her in moments of the cross and of suffering, dear sick people, especially you, Angels of Liberty of Syracuse; look to  her, dear newlyweds, as the model of your marital journey of devotion and fidelity.

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana


ANGELUS POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Sunday, 28 June 2015

Dear Brothers and Sisters, Good morning!
Today’s Gospel presents the account of the resurrection of a young, 12-year-old girl, the daughter of a one of the leaders of the synagogue, who falls at Jesus’ feet and beseeches him: “My little daughter is at the point of death. Come and lay your hands on her, so that she may be made well, and live” (Mk 5:23). In this prayer we hear the concern of every father for the life and well-being of his child. We also hear the great faith which that man has in Jesus. And when news arrives that the little girl is dead, Jesus tells him: “Do not fear, only believe” (v. 36). These words from Jesus give us courage! And He frequently also says them to us: “Do not fear, only believe”. Entering the house, the Lord sends away all those who are weeping and wailing and turns to the dead girl, saying: “Little girl, I say to you, arise” (v. 41). And immediately the little girl rose and began to walk. Here we see Jesus’ absolute power over death, which for Him is like a dream from which one can awaken.

The Evangelist inserts another episode in this account: the healing of a woman who had been bleeding for 12 years. Because of this ailment, which, according to the culture of the time, rendered her “impure”, she was forced to avoid all human contact. The poor woman was condemned to a civic death. In the midst of a the crowd following Jesus, this unknown woman says to herself: “If I touch even his garments, I shall be made well” (v. 28). And thus it happened. The need to be freed urges her to dare and her faith “snatches”, so to speak, healing from the Lord. She who believes “touches” Jesus and draws from Him a saving grace. This is faith: to touch Jesus is to draw from Him the grace that saves. It saves us, it saves our spiritual life, it saves us from so many problems. Jesus notices and, in the midst of the people, looks for the woman’s face. She steps forward trembling and He says to her: “Daughter, your faith has made you well” (v. 34). It is the voice of the heavenly Father who speaks in Jesus: “Daughter, you are not cursed, you are not excluded, you are my child!”. And every time Jesus approaches us, when we go forth from Him with faith, we feel this from the Father: “Child, you are my son, you are my daughter! You are healed. I forgive everyone for everything. I heal all people and all things.

These two episodes — a healing and a resurrection — share one core: faith. The message is clear, and it can be summed up in one question: do we believe that Jesus can heal us and can raise us from the dead? The entire Gospel is written in the light of this faith: Jesus is risen, He has conquered death, and by his victory we too will rise again. This faith, which for the first Christians was sure, can tarnish and become uncertain, to the point that some may confuse resurrection with reincarnation. The Word of God this Sunday invites us to live in the certainty of the Resurrection: Jesus is the Lord, Jesus has power over evil and over death, and He wants to lead us to house of the Father, where life reigns. And there we will all meet again, all of us here in this square today, we will meet again in the house of the Father, in the life that Jesus will give us.

The Resurrection of Christ acts in history as the principle of renewal and hope. Anyone who is desperate and tired to death, if he entrusts himself to Jesus and to his love, can begin to live again. And to begin a new life, to change life is a way of rising again, of resurrecting. Faith is a force of life, it gives fullness to our humanity; and those who believe in Christ must acknowledge this in order to promote life in every situation, in order to let everyone, especially the weakest, experience the love of God who frees and saves.

Let us ask the Lord, through the intercession of the Virgin Mary, for the gift of a strong and courageous faith, that might urge us to be diffusers of hope and life among our brothers and sisters.

After the Angelus:
Dear brothers and sisters, I address my greeting to all of you, Romans and pilgrims! I greet in particular the participants in the march: “One earth, one human family”. I encourage collaboration among people and associations of different religions for the promotion of an integral ecology. I thank FOCSIV, Our Voices and the other organizers, and I send my best wishes for the work of the young people of various Countries who, in these days, are gathering on the care of our common home.

I greet the Guides, that is, women-scouts. They are very good, these women, very good, and they do so much good! These women-scouts are taking part in the International Catholic Conference and I renew my encouragement to them.
I greet the faithful of Novoli, the polyphonic choir of Augusta, children of several parishes in Padua who have recently been confirmed; the “Grandparents of Sydney”, an association of elderly emigrants to Australia who have gathered here with their grandchildren; the children of Chernobyl and the families of the East and of Ospedaletto who are hosting them.

I wish everyone a good Sunday and a good lunch. Please, do not forget to pray for me. Arrivederci!
   
© Copyright - Libreria Editrice Vaticana


GENERAL AUDIENCE POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Wednesday, 24 June 2015

The family - 20. Wounds (I)

PHOTO, papaboys.org 
Dear Brothers and Sisters, Good morning!
In recent catecheses we have spoken about the family suffering through the frailties of the human condition, poverty, sickness and death. Today, however, we will reflect on the hurts that are incurred in family life. When, that is, we hurt one another within the family. The worst thing! 

We know that in every family history there are moments in which the intimacy of loved ones is offended by the behaviour of its members. Words and actions (and omissions!) that, rather than expressing love, dismiss it or even mortify it. When these hurts, which are still rectifiable, are ignored, they deepen: they transform into impertinence, hostility and contempt. And at that point they can become deep wounds that divide husband and wife, and induce them to find understanding, support, consolation elsewhere. But often these “supports” do not consider the good of the family!

The depletion of conjugal love spreads resentment in relationships. And often this disintegration “collapses” onto the children.

There: the children. I would like to meditate a little on this point. Despite our seemingly evolved sensitivity, and all our refined psychological analyses, I ask myself if we are not just anaesthetizing ourselves to the wounds in children’s souls. The more you try to compensate with gifts and snacks, the more you lose your sense of these spiritual wounds — so painful and so deep. We talk a lot about behavioural problems, mental health, the well-being of the child, about the anxiety of parents and their children.... But do we even know what a spiritual wound is? Do we feel the weight of the mountain that crushes the soul of a child in those families where members mistreat and hurt one another to the point of breaking the bonds of marital fidelity. How much weight, do our choices have — mistaken choices, for example — how much weight do they place on the soul of our children? When adults lose their head, when each one thinks only of him- or herself, when a dad and mom hurt one another, the souls of their children suffer terribly, they experience a sense of despair. And these wounds leave a mark that lasts their whole lives.

In the family, everything is connected: when her soul is wounded in some way, the infection spreads to everyone. And when a man and a woman, who have committed to being “one flesh” and forming a family, think obsessively of their own need for freedom and gratification, this bias affects the hearts and lives of their children in a profound way. Frequently these children hide to cry alone.... We need to understand this fully. Husband and wife are one flesh. Their own little children are flesh of their flesh. If we think of the harshness with which Jesus admonishes adults not to scandalize the little ones — we heard the Gospel passage (cf. Mt 18:6) — we can also better understand his words on the serious responsibility to guard the marital bond that gives rise to the human family (cf. Mt 19:6-9). When man and woman have become one flesh, all the father and mother’s wounds and neglect have an impact on the living flesh of their children.

It is true, on the other hand, that there are cases in which separation is inevitable. At times it becomes even morally necessary, precisely when it is a matter of removing the weaker spouse or young children from the gravest wounds caused by abuse and violence, by humiliation and exploitation, by disregard and indifference.

There are, thanks be to God, those who, sustained by faith and by love for their children, bear witness to their fidelity to a bond they believed in, although it may seem impossible to revive it. Not all those who are separated feel called to this vocation. Not all discern, in their solitude, the Lord calling them. Around us we find various families in so-called irregular situations — I don’t really like this word — and it causes us to wonder. How do we help them? How do we accompany them? How do we accompany them so that the children aren’t taken hostage by either dad or mom?

Let us ask the Lord for great faith, in order to see reality through the eyes of God; and for great charity in order to approach people with his merciful heart.

Special greetings:
Having just returned from Turin, I would like to address a heartfelt thank you to the people of Turin and Piedmont for their warm welcome. I thank in particular Archbishop Cesare Nosiglia of Turin, the priests, consecrated persons and all the bishops of Piedmont for their heartfelt participation. A special thought goes to the sick of Cottolengo, who by offering their suffering sustain the life of the Church. From my heart, I thank the many young people for their courage, their witness and their will to live the values of the Gospel. I would also like to thank the civil authorities, law enforcement, volunteers, associations and movements, the regional, provincial and municipal administrators, the world of labour and all those who contributed to the realization of my visit on the occasion of the exposition of the Shroud and the bicentennial of the birth of St John Bosco. Dear people of Turin, I felt truly at home, embraced by your affection and your hospitality. May the Lord bless all of you and your beautiful city.

I offer an affectionate greeting to all the English-speaking pilgrims and visitors present at today’s Audience, including those from England, Scotland, Wales, Ireland, Sweden, Australia, Indonesia, Japan, the Philippines, Vietnam, the Islands of the Bahamas, Canada and the United States. May Jesus Christ heal every wound present in the life of your families, and may he make you witnesses of his mercy and love. May God bless you all!


© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

ANGELUS POPE FRANCIS
Piazza Vittorio, Turin/Torino-Italy
Sunday, 21 June 2015
PASTORAL VISIT OF HIS HOLINESS POPE FRANCIS
TO TURIN

photo, notizie.tiscali.it
At the end of this celebration, our thoughts go to the Virgin Mary, a loving, caring mother towards all her children, whom Jesus entrusted to her as he offered Himself on the Cross in the greatest act of love. An icon of this love is the Shroud, which has again drawn so many people to Turin. The Shroud attracts people to the face and tortured body of Jesus and, at the same time, urges us on toward every person who is suffering and unjustly persecuted. It urges us on in the same direction as Jesus’ gift of love. “The love us Christ urges us on”: these words of St Paul were the motto of Joseph Benedict Cottolengo. 

Recalling the apostolic fervour of so many holy priests of this region, starting with Don Bosco, the bicentennial of whose birth we commemorate, with gratitude I greet you, priests and religious. You dedicate yourselves with commitment to pastoral work, and you are close to the people and their problems. I encourage you to carry forward your ministry with joy, always focusing on what is essential to the proclamation of the Gospel. And as I thank you for your presence, Brother Bishops of Piedmont and Valle d’Aosta, I urge you to stay close to your priests with paternal affection and warm closeness.

To the Holy Virgin, I entrust this city and the surrounding area and those who live therein, that they may be enabled to live in justice, peace and fraternity. In particular, I entrust to her the families, young people, elderly, inmates and all those who suffer, with a special thought for leukaemia patients on today’s National Day Against Leukaemia, Lymphoma and Myeloma. May Mary the Consolatrix, Queen of Turin and Piedmont, make firm your faith, make sure your hope, and make fruitful your charity, that you may be the “salt and light” of this blessed land, of which I am a grandson.

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana



Bercinta memang asyik. Saking asyiknya, bercinta bisa dibuat di mana saja. Asal tidak mengganggu yang lain. Maka, bercinta pun bisa dibuat bukan saja di darat tetapi juga di laut.

Bercinta itulah yang dibuat sepasang anak muda Italia. Bercinta di atas perahu. mereka—seperti kami—menyewa perahu kecil dan berlayar ke tengah Danau Molveno. Bayarnya 10 euro. Perahu itu bisa untuk berempat dan bisa juga berdua. Tempat duduk di dalamnya memang ada 4. Tetapi, kalau mau berdua saja pun bisa.

Ini kali ketiga saya naik perahu ini. Kalau dihitung-hitung saya sudah menghabiskan 7,5 €. Padahal saya tidak mengeluarkan 1 sen pun. Saya memang hanya penumpang titipan alias naik gratis. Teman saya yang orang Italia dan Brasil yang membayar. Toh sekali naik biasanya hanya 2,5 € per orang. Tetapi kami tidak membayar seperti itu. Istilahnya kami ditraktir. Sekali oleh teman saya yang Brasil dan dua kali oleh teman Italia. Mereka memberi secara gratis pada saya maka saya juga memberi mereka secara gratis. Saya tidak memberi mereka uang tetapi saya memberi mereka gambar-gambar dan video pendek yang saya buat selama berlayar.


Tidak lama. Hanya sejam. Tetapi waktu sejam itu bisa dimanfaatkan dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dalam sejam pun bisa bercinta. Dan, inilah yang dibuat oleh pasangan muda yang kebetulan berlayar di dekat perahu kami. Kebetulan saja, kami memang berlayar ke tengah danau. Dan, mereka juga rupanya ke tengah danau. Bagi kami, pelayaran ini asyik. Di atas danau yang tenang, sesekali ada angin, matahari cerah, suhu panas di sore hari antara jam 4 dan 5.

Pelayaran ini memang asyik. Saya sungguh menikmatinya. Kiranya dua anak muda ini juga menikmati keasyikan itu. Mereka menikmatinya dalam bercinta. Karena asyiknya, mereka lupa mengendalikan perahu mereka. Saya lihat, mereka masih di tengah ketika kami bergerak menuju pinggir danau. Rupanya memang tidak mendayung pedal perahu sehingga perahu terombang-ambing begitu saja. Ditiup angin. Bergoyang lalu tak berarah lagi. Saya tengok mereka. Rupanya mereka duduk di dua kursi belakang. Kursi yang letaknya berdekatan. Di situlah mereka berciuman. Ciuman tanda cinta. Ciuman yang menghangatkan. Ciuman yang membuat mereka menikmati pelayaran ini. ciuman yang membuat mereka lupa daratan. Bagi mereka, bercinta atau ciuman itu tidak mesti dilakukan di darat tetapi juga di lau atau di danau, di atas perahu seperti ini.


Teman saya meminta saya menggantinya mendayung pedal perahu ini. kami bergantian. Kali kedua, saya dan teman saya dari Brasil. Kami mendayung pedalnya yang seperti mendayung pedal sepeda dan saya mengatur arah pelayarannya.

Hampir 55 menit berlayar. Kami berhenti sejenak sebelum menuju dermaga. Saya melepaskan pedal perahu. Perahu diam di atas air. Suasana hening menyelimuti kami. Tidak ada bunyi air di belakang perahu. Dalam hening ini pula kedua anak muda tadi melanjutkan percintaan mereka di atas perahu. Bercinta memang asyik. Mereka juga tidak mengganggu yang lainnya. Bagi mereka, bercinta mesti dilakukan di tempat yang intim. Hanya berdua saja. Dan, mereka sudah melakukan itu. Tidak tanggung tanggung, di atas perahu lagi. Di tengah danau lagi. Bercinta memang membutuhkan ketenangan seperti ini. Tidak perlu takut perahunya dibawa ke mana. Perhau itu tetap akan terapung di atas air. Dan, dalam keterapungan itulah mereka bercinta.

Bercinta seperti ini nikmatnya luar biasa. Bercinta seperti ini kiranya perlu. Tidak perlu malu-malu. Untuk orang Timur memang mungkin malu. Memang bukan budaya orang Timur. Tetapi, orang Timur bisa belajar bahwa bercinta memang mesti dibuat pada tempat yang nyaman. Tidak merasa terganggu. Tidak perlu takut akan adanya ancaman dari pengontrol. Emang ada pengontrol bercinta? Lihat tuh di Aceh, ada polisi yang mengontrol anak muda yang bercinta di pantai. Bercinta seperti ini tentunya tidak asyik. Bercinta dalam suasana takut memang tidak asyik dan tidak baik. Maka, carilah tempat yang aman dari segi keamanan dan nyaman dari segi perasaan untuk bercinta. Jangan bercinta di tempat umum terutama kalau di negara-negara Timur. Jangan sampai seperti turis asing yang diperlakukan tidak adil di India.

Salam cinta dari atas perahu.

Molveno-Trento 12/8/2015



Da tanto tempo non ho scritto niente in questo blog. E’ vero che non ho tempo. Durante luglio sono impegnato all’esercizio spirituale a Bologna. L’esperienza di Bologna sarà pubblicata in questi giorni prima che compia gli articoli. 

Dopo Bologna, torno a Parma. Sono rimasto solo 3 giorni lì. Poi, parte per Molveno-Trento. Ho espresso qualche esperienza bella qui. Sarà pubblicata anche in questi giorni. Voglio scrivere ancora. Non voglio lasciare questo blog. Anche se non scrivo bene in Italiano. Anche se non ha tanti lettori. Credo che pian piano scriva meglio in Italiano. Non è che subito diventa un scrittore. Non è la mia lingua. Ma, mi piace usarla come la mia lingua. Non solo per studiare ma per praticare.

Non c’è persona grande senza essere persona piccola. Magari questa espressione non è così. Magari gli italiani ridono dopo aver letto questa frase. Comunque, voglio esprimere la mia opinione. Credo che anche gli italiani sanno già la mia intenzione con questa frase. Come quando ascolto uno straniero parla nella lingua indonesiana. Subito capisco quello che voleva dire, anche se parla in grammatica sbagliata.

Molveno, 11/8/2015

Modal ramah rupanya bermanfaat. Dengan ramah urusan jadi lancar. Yang tidak ramah pun bisa ketularan ramah.

Ramah itulah yang saya temukan pagi ini saat membeli roti. Saya menggantikan teman saya yang berangkat pagi-pagi ke gunung. Jam 6.30, saya tiba di toko roti. Sudah banyak yang antri. Di kasir juga demikian. Saya ikut antri di tempat pengambilan roti. Seorang ibu dengan ramah mendahulukan saya. Saya kaget ketika dia mengatakan pada saya dalam bahasa Italia yang amat sopan bahwa saya datang lebih dulu dari dia. Padahal, dalam antrian kelihatannya dia di depan saya. Saya yang satu-satunya orang asing di toko itu menjawabnya dengan sopan TERIMA KASIH.

Saya maju dan tukang roti yang cowok tersenyum sambil menunjukkan jarinya hendak menebak asal saya. Saya menyebut nama langganan kami dan dia langsung tersenyum tanda tebakannya benar. Dia lalu mengambil kantong roti itu. Saya lalu pindah ke antrian kasir. Di sini barisannya teratur karena kasirnya hanya satu. Meski satu kerjanya cepat sekali sehingga lancar. Kasir cewek ini juga melayani dengan ramah dan senyumnya lama dan ditujukan pada semua orang. 

Ibu tadi mengingatkan saya akan antrian di Jakarta dan Yogyakarta. Di Jakarta, sudah jelas situasinya tidak atau sedikit sekali budaya antrinya. Lihatlah di jalan, antrian di kasir mol dan pusat belanja. Kalau pun ada antri, masih ada yang memanipulasi antrian. Di Yogyakarta masih mendingan antrinya. 

Budaya antri memang sepele sekaligus berbelit-belit. Tetapi jika sudah biasa nyamannya bukan main. Bidaya antri kiranya membuat yang antri merasa nyaman. Sebaliknya saling rebut membuat repot luar biasa. Bisa jadi ada yang terinjak-injak seperti lazim di Jakarta. Belum lagi kalau ada isu-isu, yang ditunggu hampir habis. Padahal kalau mau habis ya tak usah direbut. Cari di tempat lain atau tunggu di lain kesempatan lagi. Apa susahnya menunggu giliran berikutnya. 

Budaya antri membuat pikiran tenang. Budaya antri seperti menunggu terbitnya matahari pagi. Sudah pasti akan terbit dan tidak perlu ribut-ribut apakah jadi terbit atau tidak. Budaya antri memupuk sikap saling menghormati. Saya tidak menduga kalau saya yang orang asing pun dihormati oleh orang Italia. Dengan ramah pula.
Tukang roti tadi betul-betul bekerja melayani pelanggan. Tidak ada hp di tangannya. Dia melayani dengan total makanya dia bisa ramah dan kesannya langsung akrab. Akrab seperti keluarga saja. Pelayan yang bekerja sambil memegang hp memang sulit melayani dengan ramah seperti tukang roti ini. Pelayan seperti ini dengan mudah mengabaikan pembeli. Dia bisa saja asyik membalas sms atau menjawab telepon sambil melayani pembeli. Maka, sudah pasti kesannya bukan melayani pembeli tetapi mengabaikan pembeli.

Alangkah lancarnya jika pelayan publik di Indonesia seperti di bank, pusat belanja, kantor pemerintah, kantor pelayan publik lainnya menerapkan pelayanan yang ramah seperti tukang roti ini. Lebih bagus lagi jika masyarakat atau pelanggannya berbudaya antri dan saling menghormati.

Salam senyum ramah dari seberang.

Molveno-Trento, 11/8/15


Menghormati yang tua sudah lazim. Yang tak lazim adalah menghormati yang muda. Mungkin karena tak lazim, saya pun kaget ketika mengalaminya.

Saya mengalaminya persis seperti saya dituankan. Saya merasa seperti bos yang dikelilingi anak buah saya. Padahal saya bukan bos. Tidak pernah mengalami rasanya dihormati oleh anak buah. Wong saya tidak pernah punya anak buah. Semua sama bagi saya.

Ketika penghormatan itu datang, saya betul-betul merasa saya dimuliakan. Saya yang muda ini kok diberi penghormatan oleh yang tua ini. Ah bukannya saya yang harus menghormatimu. Bukan. Rupanya di sini semuanya saling menghormati. Bahkan yang tua pun mesti menghormati yang muda.

Kajadian ini saya alami persis saat kami pulang dari gunung. Kami naik gunung meski hanya sampai pos ketiga dengan ketinggian 1630 meter di atas permukaan laut. Kami memang berencana untuk sampai di sini saja. Tidak perlu sampai di puncak. Sebab, kami berangkatnya agak siang. Jam 9 pagi.


Saat pergi kami hanya bertiga saja. Muda-muda semua. Kuat jalan kaki. Naik tanjakan dan jurang tetap tangguh. Pulangnya berempat. Sahabat kami yang umurnya 75 tahun, orang Italia ikut rombongan kami bertiga.

Jalanan menurun dan penuh jurang. Di beberapa bagian, kami hanya bisa menaruh keseimbangan hanya pada tali yang dilekatkan ke bebatuan di tengah jurang. Ketakutan tentu ada. Tetapi prinsipnya kalau yang lain bisa melewati jalan ini, saya juga harus bisa. Kami mengkhawatirkan sahabat kami ini. Bagaimana mungkin dia yang 75 tahun ini bisa melewati jalan berjurang ini?

Rupanya dia kuat. Dia mampu melewati rute-rute yang sulit tanpa hambatan. Dia memang suka naik gunung. Katanya setiap tahun, di musim panas, dia selalu naik gunung. Kadang-kadang sampai 2-3 kali. Jalanan ini baginya bukanlah jalan tersulit. Biasa saja. Wong rute jalan pegunungan memang seperti ini. Pegunungan yang kami tuju memang hanyalah gunung batu. Alias gunung yang puncaknya berupa batu karang yang besar. Jurangnya dalam. Beda dengan Gunung Sinabunga atau Merapi atau Semeru di Indonesia yang di puncaknya masih berupa tanah.

Yang membuat saya berkesan adalah kata-katanya pada kami. Dia mengatakannya dalam bahasa Italia yang sangat sopan. Kalian boleh jalan duluan. Kalian bisa cepat sampai. Jangan khawatir dengan saya. Saya punya ritme perjalanan saya yang lebih lambat dari kalian. Saya akan tiba juga seperti kalian. Saya iba mendengarnya. Saya—kami—merasa dihormati oleh sahabat kami ini.

Rasa iba ini muncul begitu saja. Kata-kata sahabat ini lebih dari sebuah penghormatan bagi saya. Dengan kata-kata ini, saya malah diundang untuk menghormati yang lain yang berbeda dengan saya. Saya bukan saja mesti menghormati yang tua tetapi juga yang muda. Sahabat kami ini tidak seperti orang tua lainnya yang kadang-kadang minta untuk dihormati. Atau menyuruh orang muda menghormatinya. Jika tidak, dia dengan marah minta untuk dihormati. Sahabat kami ini tidak. Dia malah menghormati kami sebelum kami menghormatinya. Sungguh luar biasa. Saya iba dan sedikit merasa malu. Betapa saya kadang-kadang menuntut yang muda menghormati saya. Saya malu rupanya saya tidak lebih dulu menghormatinya tetapi dia yang lebih dahulu menghormati saya. Terima kasih sahabat untuk kebersamaannya dari gunung sampai tiba kembali di rumah.

Salam hormatku.

Molveno-Trento, 8/8/2015

Ini sekadar sebuah tulisan yang mungkin tidak banyak bermanfaat. Tapi, saya yakin masih ada manfaatnya. Saya tulis ini sekadar untuk berbagi kepada pembaca. Maaf kalau yang saya tulis bukanlah hal yang luar biasa mengagumkan. Saya menulis yang sangat sederhana saja.

Sudahkah Anda bijaksana memakai barang elektronik khususnya telepon genggam? Saya yakin di negeri kita ini, soal barang ini, banyak yang tidak bijak. Lihat saja macam bentuk ketidakbijakan ini. Anak sekolah pakai hp untuk mengambil video porno dari internet. Ada juga keluarga yang retak gara-gara pesan singkat di hp. Dan sebagainya. Dari ini disimpulkan bahwa kita, sebagian dari kita rakyat di negeri ini, belum bijak memakai hp.

Saya bagikan pengalaman teman saya di Italia, bagaimana dia dan orang-orang di sana BIJAK memakai hp.

"Saya pakai hp hanya untuk pekerjaan saya," katanya. Dia menghubungi klien di tempat kerjanya dengan hp. Atau ada kesulitan dari rekan kerjanya, maka mereka menghubunginya lewat hp. "Saya tidak membeli hp ini tetapi memakai hp ini", sambungnya.

TIDAK MEMBELI, benar. Dia tidak membeli tetapai MEMAKAI. Tentu dengan membayar. Membeli hp berarti membayar sejumlah uang kepada pemilik hp dan kemudian hp akan menjadi milik pembeli. MEMAKAI yang ia jelaskan di sini maksudnya demikian. Ia memakai hp dan setiap bulan membayar sejumlah uang. Hp tetatp menjadi milik pemilik hp dan bukan miliknya.

Dia membayar dengan uang hasil kerjanya. Katanya lagi, "Jika saya tidak bekerja lagi, saya kembalikan hp ini." Woao.....bagus ya.. Andai di Indonesia ada penjual hp seperti ini, saya mau gabung. Membayar tiap bulan tanpa membeli.
Saya kira ini bentuk BIJAK dalam memakai hp. Hp dipakai sebagai sarana untuk menunjang pekerjaan. Bukan untuk yang lain seperti yang dibuat oleh sebagian dari pelajar di negeri kita ini. Memang beda. Pelajar di Italia tidak diijinkan memakai hp. Itu yang saya dengar dari cerita beberapa siswa di beberapa sekolah. Kalau mau menghubungi mereka, silakan lewat nomor telepon rumah. Atau nomor hp orang tua.

Bagaimana dengan kita di Indonesia? Di sini, anak kecil pun sudah bebas memegang hp. Ada yang menyindir KOLOT kalau belum pegang hp. Bahkan hp jadul pun juga dianggap kolot. Maunya hp mutakhir, serba baru, yang lengkap dengan elemen pemutar video. Ah semua ini hanya memperbudak pemakai hp saja.

Salam BIJAK.

Prm, 16/1/2014
Gordi


Powered by Blogger.