Halloween party ideas 2015
Showing posts sorted by relevance for query FILSAFAT. Sort by date Show all posts

Dari Penuh jadi Hampir Kosong

foto, AFP Getty Images, dari thepromota.co.uk
Kemarin penuh, hari ini hampir kosong. Warna-warni situasi di Gereja Santa Cristina, kota Parma, Italia. Dalam suasana Paskah, hari ini sebenarnya masih ada misa meriah. Di Indonesia memang kebiasaan ini masih kuat. Paling tidak di Nusa Tenggara, Ambon, dan Papua, juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Jakarta, kurang begitu kuat. Semua seolah-olah berakhir pada Minggu Paskah. Di NTT umumnya ada istilah Paskah kedua. Maksudnya, hari Senin setelah Minggu Paskah. 

Di kota Parma, tidak ada istilah paskah kedua. Ada istilah pas’quaetta. Maksudnya sama seperti Paskah kedua. Kata ini berasal dari kata pasqua (easter) dan pas’quaetta diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Easter Monday. Dan, orang Italia masih merayakan paslkah kedua ini. Di bagian Selatan—kata teman saya—paskah kedua ini masih ramai. Banyak umat datang misa. Daerah Selatan memang boleh dibilang lebih hidup kekatolikannya ketimbang di Utara. Penyebabnya tentu banyak. Kita bisa menggunakan kacamata dengan berbagai merek untuk melihatnya. Ada kacamata ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat.

Di Santa Cristina hari ini, hadir setidaknya 30-an orang. Jumlah ini kecil sekali dan tidak sebanding dengan kemarin. Meski, sedikit, kami tetap merayakan misa dalam semangat kekeluargaan. Keluarga yang kecil—komentar beberapa teman—punya semangat kekeluargaan yang tinggi. Tentu keluarga yang besar juga. Tergantung kepala keluarga menciptakan suasana kekeluargaan dalam rumah keluarganya. Ada juga keluarga besar yang tampak sekali kekeluargaannya. Keluarga seperti inilah yang patut ditiru dan patut diambil semangat kekeluargaanya. Semangat kekeluargaan yang menciptakan suasana kebahagiaan.

Dan, kami merayakan misa hari ini dalam suasana bahagia paskah. Dalam homili, pastor paroki meminta saya untuk membacakan beberapa kutipan dari bahan kuliah yang dibuatnya, juga dari buku yang ditulisnya. Jadi, homili hari ini tidak seperti homili kemarin dan homili hari Minggu lainnya. Homili hari ini lebih bercorak kuliah. Tidak apa-apa. Ini juga bagian dari kreativitas. Setiap pastor yang memimpin misa mempunyai gaya tersendiri dalam membawakan homilinya. Seperti kita lihat juga gaya Paus Yohanes Paulus II yang sudah jadi santo itu beda dengan Paus Benediktus XVI yang profesor Filsafat dan Teologi itu. Homili Paus Benediktus XVI juga beda dengan Paus Fransiskus, Jesuit dan profesor itu. Apa pun coraknya homili, misa hari ini tetaplah misa Paskah kedua. Misa yang kami ikut dalam suasana kekeluargaan dan kebahagiaan Paskah.

Setelah misa, saya langsung mengambil sepeda saya dan kembali ke rumah. Di rumah, kami membuat pesta paskah. Makan siang bersama di halaman rumah. Makan yang kami siapkan sendiri. Tidak ada spagetti, pizza, pastasciutta. Hanya ada daging bakar, nasi, sedikit roti, cabe sebagai pendorong nasi, dan buah-buahan yang tak akan kami tinggalkan. Kebahagiaan Paskah ini kami ciptakan juga di halaman ini. bangku dan meja kami ambil di kamar makan. Radila halaman ini seperti kamar makan alam. Di kamar makan ada kebahagiaan. Di sini juga ada. Kami merayakan pesta ulang tahun seorang teman yang hari ulang tahunnya jatuh 3 hari yang lalu. Ada sepatah dua kata darinya sebagai ungkapan terima kasih. Ada juga lagu indah yang kami nyanyikan bersama dalam bahasa Prancis dan Spanyol. Ah indahnya kebersamaan dalam suasana kebahagiaan Paskah ini.

Selamat Paskah 2015 dan selamat ulang tahun temanku.

Parma, 6 April 2015
Gordi

FOTO, iodonna.it 
Seorang perempuan mungkin melupakan bayinya tetapi aku tidak akan meluapakanmu (Isaia, abad VIII SM).

Saya kira tidak ada seorang perempuan yang melupakan bayinya. Jika ia yakin itu bayi dari kandungannya, ia pasti menyanyanginya. Jika tidak, ia mungkin enggan menyanyanginya dan mudah melupakannya. Tetapi, pada dasarnya seorang ibu menyanyangi anaknya dan juga anak-anak lainnya. Di sinilah seorang ibu menampilkan naluri mengasuhnya.

Beberapa waktu lalu, kami makan malam bersama teman-teman. Bersama kami, anak muda, orang tua, juga anak-anak, dan beberapa yang masuk kategori tua (60-70 an). Tetapi yang tua ini datang dengan jiwa muda. Saat itu, setelah membereskan semua perlengkapan kamar makan, menata meja-kursi, dan menata jenis makanan yang ada, saya bermain-main dengan beberapa anak kecil usia 8-12 tahun. Satu di antara mereka suka main sulap dan tebak-tebakan. Saking sukanya, dia mengajak saya menyaksikan sulapnya. Saya tidak berhasil menjawab semua pertanyaannya dari tebakan itu. Kadang-kadang saya sengaja tidak menjawabnya supaya dia juga tetap semangat menunjukkan tebakan berikutnya. Saya juga mengajak seorang teman saya yang suka menyulap dan suka main tebak. Jadilah mereka dua ramai sekali dalam permainan ini. Saya malah jadi penonton saja sejak keikutsertaan teman saya. Tidak apa-apa. Saya hanya mengawasi saja biar ada pekerjaan juga.

Di dalam ruangan suasananya ramai sekali. Makin banyak orang yang datang. Kami menyingkir ke luar. Kami bermain sulap di dekat salah satu pintu masuk. Saya menjadi jembatan antara mereka yang di dalam dan kami yang di luar. Anak kecil ini makin asyik bermain sulap sampai-sampai dia tidak mau meninggalkan begitu saja para penontonnya. Lama-lama, kami keasyikkan bermain sulap ini.

Sesekali ibunya melihat kami. Ibunya yakin anaknya tidak terjadi apa-apa karena dia sedang bermain dengan kami. Ibunya pun tidak mengkhawatirkan anaknya. Dia asyik bercerita dengan teman-temannya di meja makan. Kami juga lanjut bermain. Meski ibu ini yakin sekali, dia tetap memerhatikan anaknya. Sesekali dia bangkit dari kursinya dan memastikan bahwa anaknya sedang dalam pengawasannya. Dia rupanya kurang yakin jika kami memberitahukan bahwa anaknya sedang bermain dengan kami. Dia datang langsung dan menyaksikan permainan kami. Kemudian, dia kembali ke tempat duduknya.

Anaknya lalu pergi ke toilet yang jaraknya kira-kira 80 meter dari tempat kami bermain. Entah apa yang dirasakan ibu ini, dia datang kembali. Dengan senyum manisnya dia seperti yakin sekali akan melihat anaknya. Padahal, anaknya sedang tidak bersama kami. Lalu, dia bertanya pada saya, “Di mana Daniela (nama samaran) ?”
Karena dengan senyum dia bertanya, maka saya juga menjawabnya dengan senyum dan dengan nada meyakinkan.
“Daniela sedang ke toilet bu. Jangan khawatir dia sedang bermain bersama kami.”

Ibu ini menganggukkan kepala sambil tersenyum, “Okelah, saya percaya dia baik-baik saja bersama kalian di sini,”katanya sebelum kembali ke tempat duduknya. Kami pun senang mendengarnya dan juga lega.

Tindakan ibu ini kiranya didasarkan pada naluri mengasuh. Ya, seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya sekalipun anaknya berbuat jahat. Seorang Ibu dari dalam hatinya sudah memancarkan naluri mengasuh ini. Isaia dalam kutipan awal tulisan ini melukiskan naluri mengasuh seorang ibu. Isaia dalam hal ini sedang menggambarkan betapa naluri mengasih seorang ibu begitu kuat. Isaia mengatakan mungkin seorang ibu melupakan bayinya. Ini tentu hanya sebuah perbandingan. Kenyataannya, tidak ada seorang ibu pun yang melupakan anaknya. Kalau pun kita pernah mendengar seorang ibu membunuh dan melupakan anaknya, ibu itu bertindak melawan naluri mengasuhnya. Dalam bahasa filsafat moral, ibu itu bertindak melawan hati nuraninya. Hati nuraninya tetap mempunyai naluri mengasuh dan menyanyangi anaknya. Maka, jika ia melupakan, ia sebenarnya bertindak melawan nuraninya. Dan, boleh jadi, dia bertindak demikian karena desakan dari pihak luar apa pun bentuknya. Sebagai konsekuensi lanjutnya, ibu ini pasti akan selalu diganggu oleh bayang-bayang gelap tindakan melawan hati nuraninya ini.

Maka, saya paham mengapa ibu ini tidak puas melihat anaknya dari tempat duduknya. Dia mesti melihat langsung. Dia mesti meyakinkan dirinya dan memastikan bahwa, anaknya sedang dalam pengawasannya dan bukan pengawasan orang lain. Dia yakin, tak cukup jika kami saja yang mengawasi anaknya.

Ah betapa ibu ini menyangangi anaknya. Terima kasih bu untuk tindakan konkretmu ini. Semoga banyak ibu yang konsisten mengasuh anaknya dan tidak tergoda untuk memberikan tugas ini pada pengasuh. Ibu ini kiranya mengkritik para ibu modern yang lebih asyik kelihatan tak beranak daripada mengasuh anaknya secara langsung. Ibu ini juga mengkritik para wanita modern yang enggan mengasuh anak karena merepotkan. Ibu ini sudah menunjukkan senyumnya saat mengasuh anak. Ia seolah-olah mengatakan, mengasuh anak itu mengasyikkan lhoo. Buktinya dia mengasuh sambil tersenyum.

Ah ibu senyummu memang menawan. Dan, sambil mengingat senyummu ini, saya selalu mengingat tindakanmu, mengasuh dengan senyum.

PRM, 26/5/15
Gordi



Satu model ruang baca, gambar: google
Pukul 12 tepat. Siang itu, suasana ruang baca Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) sepi. Empat pengunjung tampak diam, tidak ribut. Membaca, membuat catatan, mengedit tulisan, dan membuka internet.


Saatnya shalat dzuhur. Penjaga ruang baca keluar sebentar. Saya hendak pulang ke rumah. Tanda waktu di atas bagi saya menjadi pembatas kunjungan ke ruang baca. Kunjungan siang ini terjadi karena tidak ada kuliah.

Menuju tempat parkiran sepeda. Inilah sarana trasnportasi para mahasiswa. Siang itu, suasans parkiran sepi. Tampak sepeda-sepeda mengisi sebagian tempat itu. Sepeda tersebut adalah sepeda para mahasiswa yang sedang kuliah. Sebagiannya kosong. Hanya beberapa mata kuliah yang dijadwalkan pada jam kuliah ketiga (11-12.30).

Di sebelah pagar tempat parkiran tampak dua orang. Seorang adalah tukang sepatu. Dia biasa nongkrong di situ. Menunggu mahasiswa yang memanfatkan jasanya memperbaiki sepatu. Dia duduk di bangku panjang yang ditempatkan di dekat pagar.

Seorang lagi adalah tukang syomai. Dia tampak tertidur di bangku panjang. Pengunjung sepi karena mahasiswa sedang kuliah. Selain itu, sebagian besar mahasiswi/a sudah kembali ke rumah dan kosan. Jualan seperti ini amat  laku pada jam istirahat. Jam jeda antar-mata kuliah bagi mahasiswi/a.

Sementara itu, seorang petugas satpam sedang duduk di kantornya. Dia biasa memerhatikan setiap dosen dan mahasiswi/a yang keluar-masuk kampus. Penjagaan semakin ketat apalagi dengan maraknya teror bom di sejumlah tempat di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor. Sesekali dia keluar membuka pintu gerbang ketika ada mobil yang masuk atau keluar.

Saya keluar dengan sepeda. Melalui jalan Cempaka Putih Indah. Melewati komplek perumahan. Di sebelah kiri jalan terdapat 6 rumah. sedangkan sisi kana jalan, terdapat gedung sekolah Melania dan salah satu gedung kampus.

Selanjutnya, saya melalui Jalan Cempaka Putih 26. Jalan yang selalu ramai karena dilalui kendaraan umum dan kendaraan angkutan barang. Namun, siang ini tampak lenggang. Kendaraan yang lewat amat sedikit.

Selokan di sebelah kanan jalan masih bersih. Sayangnya, selokan ini menyebarkan bau tak sedap. Selain itu, kalau hujan sekitar 2 jam, selokan ini penuh. Kadang-kadang meluap sehingga menyebabkan kemacetan.

Generasi penerus, gambar:google
Sementara di sebelah kanan jalan suasana gelanggang olahraga Arcici tampak sepi. Di sinilah para atlet muda, seusia SD/SMP mengasah kemampuan. Dua jam lagi (pukul 14.00), lapangan sepak bola bagian depan ramai dengan pemain bola dan penonton. Mereka beratraksi di siang bolong.

Di salah satu bagian jalan, saya memerhatikan siswi/a SDN Cempaka Putih dan SMPN 137 Jakarta. Mereka sedang keluar. Waktunya untuk pulang ke rumah. Sebagian dari mereka berada di jalan. Ada yang berdiri sedang menunggu angkuatan dan mobil  jemputan. Ada yang sedang asyik bercerita. Ada pula yang bermain-main.

Mereka menguasai sebagian jalan. Kendaraan yang lewat menggunakan sebagian jalan. Pemandangan seprti ini kerap terjadi ketika jam keluar sekolah. Dua sekolah yang berdiri di pinggir jalan ini mendidik banyak murid. Ada beberapa unit gedung berbentuk huruf U. Tiap unit memiliki tigan lantai.

Ada rasa bangga ketika melihat jumlah anak sekolah seperti itu. Ruang kelas terisi dengan manusia yang siap dibentuk. Merekalah generasi penerus bangsa Indonesia. Harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik ada di pundak mereka.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri juga fakta anak dan remaja yang putus sekolah. Di Jakarta jumlah mereka banyak. Data yang dihimpun berbagai instansi terkait kadang-kadang berbeda. Ini menunjukkan mereka belum terdata semua. Singkatnya masih banyak anak yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan.

Ada anak jalanan, anak yatim piatu yang tidak diurus, anak yang memang tidak mau bersekolah, anak yang mampu secara akademis tetapi lemah secara ekonomi, dan sebagainya.

Jalan berikutnya melalui komplek perumahan Cempaka Putih Barat. Di sini terdapat banyak pohon rindang beserta bunga hias. Sebagian besar pohon ini terdapat di pinggir jalan. Ada pula yang ditanam di sudut lapangan.

Pada siang hari, sekitar jam 12 sampai jam 2 siang, banyak kendaraan berteduh. Komplek ini memang banyak menyediakan tempat teduh. Sebagian besar tempat teduh ada di pinggir jalan. Pengendara tergoda untuk memarkir kendaraan. Menikmati udara segar di bawah terik matahari yang menyengat.

Selain itu, kesejukan juga terlihat dalam pagar rumah. Ada beberapa rumah yang memiliki lahan tempat bertumbuhnya pohon rindang. Di sinilah tempat nongkrong yang aman di siang hari. Kadang-kadang pemilik rumah berkumpul sekeluarga di bawah pohon sambil menikmati minuman segar, es kelapa muda, dan minuman segar sejenisnya.

Selain pohon rindang, komplek ini terkenal dengan tanaman hias. Pot bunga menyebar di sepanjang jalan. Ada petugas khusus yang merawat tanaman ini. Beberapa penduduk juga sering merawat. Tanaman ini rupanya bukan milik petugas kebersihan, petugas kelurahan, petugas RT dan aparat setempat. Tanaman ini milik semua penduduk. Sense of belonging ini menjadi pendorong untuk merawat tanaman umum seperti ini.

Ada satu masjid besar yang terletak di pinggir jalan. Masjid Jami Al-Falah. Di sinilah sebagian besar penduduk mengadakan ibadah Jumatan. Masjid ini juga menjadi tempat pembinaan anak-anak usia dini. Hampir setiap pagi ada kelompok anak-anak  yang menggunakannya. Kelompok menari, membaca, bermain, dan sebagainya.

Lima belas menit berlalu. Sepeda saya masuk di garasi. Tempat garasi hampir terisi semua. Sepeda lain rupanya sudah diparkir lebih dulu. Sebagian besar penghuni rumah sudah kembali dari kampus.

Perjalanan siang ini cukup melelahkan. Mengayuh sepeda di bawah terik matahari. Menghabiskan banyak kalori. Tenaga yang dikeluarkan mesti diganti dengan penambahan tenaga baru. Cairan tubuh mesti diisi dengan cairan tubuh.

Perjalanan mencapai garis akhir. Segenap impian lenyap bersama tenaga yang dikeluarkan. Satu yang tidak boleh lupa, hidup tidak berakhir hari ini. Biarlah kesusahan hari ini cukup untuk hari ini. Kegembiraan hari esok sedang menanti. Meski kita tak tahu, kita mesti tetap berharap.
Cempaka Putih, 16 Maret 2011
Gordy Afri



Menulis skripsi ibarat berjalan di jalanan umum. Ada rambu lalu lintas yang mesti dipatuhi, ada petunjuk jalan yang mesti diikuti. Maka, pada bagian keempat ini, kita akan membahas “rambu-rambu menulis skripsi” yakni Membaca Buku Petunjuk Menulis Skripsi.

Buku petunjuk menulis skripsi biasanya disiapkan dari kampus. Di kampus kami, buku ini dibagikan saat ketua program studi membahas persiapan bersama sebelum menulis skripsi. Buku itu dibagikan keada setiap mahasiswa. Di dalamnya terdapat petunjuk misalnya, bagaimana memilih buku, membaca buku, membuat rangkuman dan kesimpulan, teknik mencari ide utama paragraf, dan sebagainya. Ada juga petunjuk praktis lainnya seperti ukuran kertas, model catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote), ukuran huruf, panjang kiri-kanan-atas-bawah, tata letak judul, kulit depan skripsi, penulisan abstraksi, dan sebagainya. Singkatnya, segala yang berkaitan dengan teknik penulisan dan teknik praktis, ada di situ.

Buku petunjuk menulis skripsi juga sebenarnya sudah banyak dijual di toko buku umum. Ada banyak dosen dan penulis lain yang membuat satu buku petunjuk menulis skripsi dan karya ilmiah lainnya. Buku petunjuk semacam ini amat membantu kita dalam menulis. Beberapa teman mengalami kesulitan pada awal menyusun skripsi. Ada juga beberapa teman yang tidak mengalami kesulitan karena sudah membaca buku petunjuk itu sebelumnya. Ini berarti bahwa buku petunjuk itu sangat membantu kita dalam menyusun skripsi.

Buku petunjuk yang dijual di toko buku umum digunakan sebagai referensi menulis. Dengan petunjuk yang tertulis di situ, kita bisa menulis dengan baik. Kekreatifan dalam menulis akan muncul setelah membaca buku itu dan mulai mempraktikkannya.

Namun, untuk keperluan yang lebih penting sebaiknya membaca buku petunjuk dari kampus. Sekali lagi, buku petunjuk dari toko buku umum hanya digunakan sebagai bahan untuk memperkaya bacaan dan pegangan. Buku petunjuk dari kampus tetap digunakan sebagai referensi utama dalam menulis. Mengapa?

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kampus memiliki kriteria tersendiri dalam menulis skripsi. Ini kebijakan intern kampus. Standar atau model skripsi di UGM misalnya bisa jadi berbeda dengan standar dan model skripsi di Universitas Nusa Cendana Kupang. Bahkan boleh jadi, standar dan model skripsi di setiap fakultas dan program studi di satu kapus akan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sebaiknya kita berpegang pada buku petunjuk yang diberikan dari kampus, entah melaui ketua program studi atau dekan fakultas.

Di kampus kami standar dan modelnya sama untuk dua program studi Filsafat dan Teologi. Standar di sini mencakup peraturan tentang ukuran kertas, panjang kiri-kanan atas-bawah, ukuran huruf, dan sebagainya.

Hal ini kelihatan sepele namun turut berpengaruh dalam keberhasilan dalam menulis skripsi. Ada kisah menarik dari kakak kelas saya dulu. Seorang dosen penguji menanyakan alasan mengapa tidak dicantumkan tujuan penulisan skripsi sebagai persyaratan mencapai gelar sarjana. Syarat itu tertera dalam buku petunjuk dari kampus. Gara-gara itu nilai ujian skripsi berkurang.

Jadi, dalam menulis skripsi perlu diperhatikan hal kecil semacam ini. Petunjuk itu berguna bagi kita demi kelancaran penulisan skripsi sekaligus menjadi momok yang mematikan jika kita melanggarnya. Bayangkan jika kita tidak berhasil gara-gara melanggar peraturan dalam buku petunjuk itu? Bagian berikutnya, kita akan melihat bagaimana membaca buku skripsi. Salam, 26/3/2012 Gordi Afri.***

Menulis Skripsi (3)



Powered by Blogger.