Halloween party ideas 2015

foto illustrasi dari internet
Akhir-akhir ini agama sering menjadi alasan—bagi orang tertentu—untuk membenarkan tindakannya. Kalau tindakan itu baik dan tidak merugikan yang lain, tidak masalah. Namun, jika tindakan itu justru mengkhianati yang lain bahkan sampai menghilangkan nyawa, itu menjadi masalah. Lantas, timbul kesan dan persepsi orang tentang sebuah agama dari tindakan seorang yang membenarkan tindakan brutalnya. 

Di kampus kami, ada satu mata kuliah yang membahas tentang toleransi agama. Tepatnya, membahas masalah yang berkaitan dengan relasi antar-agama. Lepas dari agama yang diakui pemerintah atau tidak. Pokoknya, relasi antar-agama. Dalam salah satu sesi kuliah, kami ditugaskan untuk mewawancarai penganut agama lain. Dari situ, kami diharapkan mampu memahami agama lain dari penganutnya. Bukan dari buku yang kami pelajari atau dari cerita, persepsi, dan tanggapan orang tentang sebuah agama. 

Saya tertarik dengan sesi ini. Ketika hendak mewawancarai, hati ini berdebar. Ada pertanyaan bergejolak, benar nggak ya, kalau saya memintanya mengajarkan agamanya kepada saya. Jangan-jangan salah. Saya buang jauh-jauh, pikiran itu dan melangkah menghadap orang yang akan saya wawancarai. Memang ada penolakan dari orang yang akan saya wawancarai. Dia menolak karena dia bukan ahli agama(nya). Latar belakangnya bukan pendidikan agama. Namun, dia mau diwawancarai ketika saya mengatakan, kami mau memahami agama bapak dari penjelasan bapak. Dan, bukan dari buku yang bias kami baca. Bapak itu lalu bersedia diwawancarai.

Penjelasan bapak tentang agamanya sungguh mengesankan. Dia menjelaskan sesuai dengan praktik hidup keagamaannya selama ini. Dia pun mengakui kalau itu kadang-kadang belum lengkap sebab dia tidak menguasai semuanya. “Mohon maaf ya dik, penjelasan saya ini boleh dibilang hanya sebagian saja dari ajaran agama saya,” katanya. Saya kira ini pengakuan jujur seorang bapak terhadap orang lain. Kata-katanya menggambarkan sikap kerendahatiannya. Selain itu, saya menjadi tahu bahwa, pandangan orang tentang agama tertentu kadang-kadang tidak sesuai kenyataan. Kalau orang ngotot pada pandagan itu, bisa jadi itu akan menjadi prasangka.

Sebagian dari kita masih ingat kasus pembakaran buku pada zaman orde baru. Seorang wartawan mewawancarai seorang bapak yang ikut dalam aksi mendukung pembakaran buku. Dia ternganga ketika wartawan menanyakan alasan membakar buku itu. Ternyata dia belum membaca buku itu. Tetapi aneh bin ajaib, dia mendukung acara pembakaran buku. Boleh jadi dia hanya ikut-ikutan saja dan mungkin hanya bermodalkan prasangka kalau buku itu tidak baik isinya sehingga perlu dibakar.

Pandangan sebagian orang tentang agama kadang-kadang hanya berupa prasangka. Dan bermodalkan prasangka, orang menuduh penganut agama lain begini-begitu. Padahal dia tidak tahu situasi sebenarnya. Alangkah baik kalau prasangka itu disimpan saja dan tidak perlu dikeluarkan sebelum mengetahui situasi sebenarnya. Bisa jadi prasangka itu muncul setelah melihat kulit luar saja dari sebuah komunitas agama. Maka, alangkah baik dan menyenangkan, jika para penganut agama, berkumpul, berdialog, membicarakan hal-hal penting yang terjadi dengan agamanya.

Memahami agama lain tidak cukup dengan membaca buku tentang agama tersebut. Yang lebih berarti adalah belajar langsung dari penganutnya. Dengan itu, pandangan yang tersimpan dalam pikiran kita merupakan hasil interaksi dengan penganut agama tersebut dan bukan dari persepsi orang tentang agama tersebut. Inilah dialog kehidupan beragama. Dialog yang hidup ini menjauhkan prasangka buruk tentang agama tertentu. Mari berdialog, kita ini hidup di bawah selimut Bhineka Tunggal Ika. Majulah bangsaku Indonesia.

Cempaka Putih, 16 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL SEBELUMNYA BACA DI SINI 

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI

foto ilustrasi oleh uplinkindonesia
Seorang nenek berbaring di tempat tidurnya. Siang itu ia sedang tertidur. Tempat tidurnya berupa sebuah spon bekas yang cukup tebal. Spon itu diletakkan di atas tenda setinggi lutut orang dewasa. Di samping tempat tidur, ada anaknya, sedang berbincang dengan suaminya. Mereka tersenyum menyambut kedatangan saya dan seorang teman. 

Boleh jadi, senyum itu pertanda mereka gembira. Kegembiraan bagi mereka muncul ketika ada yang berkunjungi ke situ. Lebih dari situ, mereka gembira karena kami membawa sekotak nasi untuk sang nenek. Ini kali pertama bagi saya mengantarkan makanan ke situ. Namun, mereka tahu, kami datang dari rumah yang menyumbang sedikit rezeki untuk sang nenek.

Mereka tentu mengalami kesulitan ekonomi. Perbincangan siang itu terjadi di bawah kolong tol, tepatnya di bilangan Jakarta Utara. Mereka tak memiliki rumah. Mereka hanya berlindung di bawah kolong tol. Inilah tempat yang nyaman bagi mereka. Gubuk-gubuk berdiri berderetan. Ada yang berdinding tripleks, ada pula yang sama sekali tak berdinding. Bagi mereka, merupakan sebuah keberuntungan mendapat hunian di bawah tol. Tak perlu repot mendirikan rumah. Tak perlu sulit mencari lahan.

Tampaknya, kehidupan di situ memang nyaman. Mereka bisa berlindung ketika hujan. Inilah salah satu kenyamanan menurut mereka. Kenyamanan yang tentu berbeda dengan bayangan banyak orang kota Jakarta. Meski nyaman, sesekali mereka juga bisa terancam banjir. Permukaan tanah di situ tidak lebih tinggi dari tanah di sekitar. Kalau hujan, boleh jadi air mengalir ke situ.

Pemandangan yang tak kalah kurang nyaman adalah tumpukan sampah di samping gubuk mereka. Kolong tol ini rupanya menjadi tempat serba guna. Tempat ini menjadi hunian manusia dan hunian sampah. Di samping gubuk nenek tadi, ada gundukan sampah. Kalau diangkut sampah itu bisa memenuhi 2-3 mobil. Bahkan, sebelum sampai ke gubuk itu, kami harus melewati jalanan bergelombang. Jalan itu terbentuk di atas tumpahan sampah.

Pemandangan ini berlawanan dengan pemandangan di atas tol. Di atas tol ada manusia yang lalu-lalang dengan mobilnya. Mereka ini menggunakan jalan bebas-hambatan ini untuk memperlancar aktivitas. Mereka membayar sejumlah uang agar mereka bisa menggunakan jaln ini. Singkatnya, jalan ini hanya dilalui oleh orang yang mempunyai sejumlah uang.

Sementara di bawahnya, ada manusia yang tinggal di gubuk sederhana di antara gundukan sampah. Mereka ini tidak mempunyai sejumlah uang untuk mendirikan rumah. Lantas, gubuklah yang mereka dirikan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bertahan di tempat itu. Mereka rela menikmati pemandangan dan suasana yang ada dengan segala konsekuensinya.

Saya teringat kata-kata seorang dosen. “Kalau mau melihat Jakarta secara umum, naiklah jalan tol dalam kota. Anda akan mendapat gambaran kota Jakarta dengan pemandangannya. Namun, kalau mau melihat Jakarta dengan situasi sosialnya, naiklah angkutan umum dan kereta api. Anda akan tahu, seperti apa kehidupan warga Jakarta.” Dan, saya menganjurkan, kalau pembaca mau melihat salah satu model penderitaan warga Jakarta, kunjungilah gubuk-gubuk di bawah tol ibu kota. Anda akan melihat kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang dialami warga perumahan mewah di Jakarta.

Cempaka Putih, 27 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL TERKAIT DI SINI

foto ilustrasi oleh Fajrin Rahardjo
Bangsa Indonesia menempatkan 10 November sebagai hari pahlawan. Setiap tahun ada perayaan pada tanggal tersebut. Ada yang berupa perayaan sederhana, ada juga yang meriah. Di balik perayaan itu muncul banyak pembicaraan. Di harian KOMPAS 10/11/2011 dikisahkan tentang rumah tempat lahir Soedirman (ejaan asli). Soedirman adalah pahlawan kemerdekaan. Ia lahir di Purbalingga pada 24/1/1916 dan meninggal diMagelang pada 29/1/1950

Dalam kisah itu, diceritakan bahwa rumah Soedirman yang kini menjadi museum sepi pengunjung. Seorang penjaganya mengatakan, yang rutin datang ke tempat ini adalah para prawira TNI dan sekelompok mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman, Purbalinga. Karena itu, perawatan terhadap museum ini pun minim.

Saya menduga di balik alasan ini, ada pengurangan dana perawatan. Kalau dana itu bergantung pada pemasukan museum maka alasan ini tepat. Namun, jika pemda ataupempusat mengalokasikan dana khusus maka alsan ini tidak tepat. Perawatan museum juga tidak tergantung pada banyak-tidaknya pengunjung. Museum mesti terawat dengan baik.

Mengunjungi rumah pahlawan seperti ini boleh dibilang sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Ini hanya salah satu bentuk. Ada bentuk lain seperti mengunjungi makamnya, mengenangnya dengan menceritakan kepada generasi penerus, atau juga membuat tulisan tentang pahlawan itu.

Selain kisah ini, ada juga gonjang-ganjing lain seputar hari pahlawan. Ada yang pesimis tentang keberadaan pahlawan di masa kini. Ada yang takut menjadi pahlawan. Ada pula yang kurang berminat membicarakan hal seputar pahlawan di zaman sekarang. Ada yang berkomentar pahlawan hanya ada di zaman dulu sebagai pembela bangsa. Sekarang sudah tidak ada lagi. Apalagi sekarang sangat langka sosok seorang pahlawan. Gonjang-ganjing ini muncul dengan berbagai latar belakangnya.

Pahlawan adalah orang yang berjasa bagi bangsa. Kalau definisi ini dipegang, maka semua orang bias menjadi pahlawan. Semua orang bias berjasa bagi bangsa. Lepas dari besar-kecilnya jasa itu. Ada macam-macam jasa untuk bangsa. Menjadi atlet diSea Games, menjadi duta bangsa di luar negeri untuk mempromosikan wisata Indonesia, menjadi wakil Indonesia dalam debat internasional antara mahasiswa se dunia, menjadi wakil Indonesia dalam perlombaan internasional, menjadi TKI di luar negeri, menjadi dokter, guru, pembersih jalanan, pengusaha yang memajukan rakyat, dan sebagainya. Kalau demikian sudah banyak yang menjadi pahlawan. Dengan demikian menjadi pahlawan itu tidak ditentukan oleh zaman. Dulu, sekarang, dan nanti, kita bisa menjadi pahlwan.

Soal diakui menjadi pahlawan atau tidak itu soal lain. Pengakuan itu hanya bentuk apresiasi. Apreasi memang perlu tapi tanpa apreasi pun pekerjaaan tetap berjalan. Lagi pula pengakuan itu hanya sebuah bentuk pengakuan yang diberikan oleh pemerintah. Masih banyak orang yang memberi pengakuan atas tiap pekerjaan.

Apalagi kalau gelar itu diperoleh dengan mengeluarkan biaya tertentu atau megajukan persyratan yang rumit. Kita berkaca pada guru-guru kita di Indonesia yang dikenal dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Kita semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, kalau ada yang mau menghormati dan mengenang jasa kita dengan member gelar pahlawan kita ucapkan terima kasih. Selamat hari pahlawan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

Powered by Blogger.