Halloween party ideas 2015

FOTO, spiegel.de
Keinginanku untuk hidup bahagia hampir tak terbendung. Entah kapan realisasinya. Saat ini, aku sedang mencarinya. Hidup bahagia memang tidak saja bahagia di dalam hati tapi juga bahagia dalam hidup di luar. Hidup harian yang bahagia akan menambah kebahagiaan dalam hati. Mesti, tanpa bahagia luar itu pun, bahagia dalam hati tetap ada. Tetapi, lebih baik keduanya sama-sama bahagia, saling melengkapi.

Pagi itu, aku dibawanya ke rumah besar. Tampak seperti penampungan lagi. Memang, ini rumah penampungan. Namun, tidak seperti rumah penampungan sebelumnya. Yang ini agak teratur. Ada jadwal yang harus diikuti. Keluar rumah saja diatur. Jam terakhir masuk rumah saja teratur. Untuk merokok saja, tidak di semua tempat. Ini betul-betul Eropa. Dan, orang Eropa rupanya seperti ini. Beginikah caranya supaya bahagia?

Wah…semuanya serba diatur. Aku tidak bisa lagi bebas merokok seperti di negeriku. Aku tentu saja bebas merokok di luar rumah. Tapi, tidak boleh di dalam rumah. Apalagi dalam kamar. Ada bagusnya juga, aku tidak bisa lagi merokok terus terusan. Apalagi, di sini aku hanya pendatang, pencari hidup bahagia. Aku tak punya uang tapi aku bisa makan gratis. Kalau gratis terus, apa jadinya nanti? Aku tak ingin gratis semua. Paling tidak, aku harus merasakan pahit manisnya mendapatkan uang. Ada usaha, puas, dan bahagia. Tidak mau terus menerus menunggu gratis. Aku tak mau meminta meski banyak yang ingin memberi barang satu dua euro.

Aku ingin kerja sekarang. Namun, tidak ada tawaran untuk bekerja. Memang tidak mudah. Apalagi, aku belum bisa berbahasa dengan baik. Untuk bercakap-cakap saja bisa. Mungkin aku harus mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan peran intelektual. Terlalu sulit bagiku yang belum bisa berbahasa dengan baik ini. (bersambung)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa. 

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)

FOTO, dw.de
Dari ruang penampung ini, kami dipisahkan. Aku tak tahu lagi, ke mana perginya teman seperahuku. Kami memang banyak di ruang ini. Aku juga tak tahu, dari mana datangnya yang lain. Aku hanya tahu, sebagian besar dari kami, berkulit hitam dan berambut keriting. Aku juga bertanya, mengapa mereka ke sini. Mungkin mereka juga datang untuk mencai kehidupan yang penuh damai. Mungkin mereka juga datang dari negeri yang berkonflik dan perang tak berujung. Entah. Bisa YA bisa TIDAK. 

Aku ikut perintah seorang berkulit putih, tinggi, tegap, dan bermata biru. Aku perhatikan betul-betul bentuk tubuhnya. Dia mirip seperti mereka yang tertawa, yang aku lihat di TV beberapa tahun lalu. Aku berangan-angan bisa bahagia dan damai seperti mereka itu. Namun, aku juga pikir-pikir. Jangan-jangan kebahagiaan itu hanya ada dalam TV itu. Jangan-jangan itu hanya angan-angan juga. Jangan-jangan itu hanya seperti iklan saja. Jangan-jangan aku jatuh lagi dalam dunia perang yang bernafsu itu.

Ah…aku tidak mau ingat masa laluku. Masa gelap itu merusak harapan akan masa depanku. Aku ingin berubah. Berubah berarti melupakan masa lalu. Kalau sulit dilupakan, ingat sajalah yang penting-penting saja. Ambil saja hikmahnya dari situ. Lalu, tataplah masa depan.

Itulah sebabnya aku turuti saja perintah sang tuan ini. Entah nanti dibawa ke mana. Aku yakin sekali. Aku akan menikmati hidup yang damai. Hidup yang tidak seperti kehidupan di negeriku yang bergejolak perang berkepanjangan. Di sana nanti, aku akan bertemu keluargaku. Keluarga yang seperti aku bayangkan dulu. Keluarga yang tidak bersekat agama, ras, warna kulit, warna mata, model rambut. Tidak. Aku kini menuju ke kehidupan itu. Ke manakah aku dibawanya saat ini? (bersambung ).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

dari postingan di kompasiana PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA

FOTO, cnnindonesia.com 
Kapal besar yang kami lihat tadi, kini bergerak ke arah kami. Entah apa maksudnya. Mungkin mau menghadang kami. Tampaknya memang demikian. Dia menghalangi jalur kami. Atau, mungkin perahu kami yang sederhana ini tidak diizinkan masuk pelabuhan itu? Boleh jadi demikian. Pelan-pelan, kapal besar itu merapat. Tujuh petugas melompat ke perahu kami. Kami takut. Tetapi, mereka rupanya tidak menakuti kami. Kami tak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi, kami paham perintah mereka. Mereka menyuruh kami pindah ke kapal besar itu.

Wah…rasanya bagus sekali di sini. Bisa melihat ke mana-mana. Kami bisa melihat ikan yang menari-nari di permukaan air laut. Di perahu kecil tadi, kami hampir saja tidak memerhatikan keindahan seperti ini. Kami memang dekat dengan permukaan laut, tetapi kami rasa jauh dari keindahan ini. Ah, keindahan itu rupanya sudah mulai aku nikmati.

Di pelabuhan, kami turun. Kami dibawa ke rumah penampung. Di sana, kami diberi makan dan dicek kesehatan. Kami dilayani dengan baik. Lagi-lagi, aku mulai menikmati keindahan itu. Keindahan yang aku impikan. Keindahan yang aku kira hanya milik mereka yang berkulit putih, yang bermata biru, dan yang berambut lurus saja. Rupanya tidak. Mereka rupanya ingin berbagi keindahan mereka itu pada kami. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan indah ini. (bersambung ).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

Dari postingan di kompasiana PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA 

FOTO, print,kompas,com
Di pantai itu, perahu motor kecil merapat. Tidak seperti di pelabuhan. Maklum, perahu milik nelayan. Kulihat orang berlari ke arahnya. Aku pikir, aku juga harus berlari seperti mereka. Kekuatan perang yang pernah kujalani rupanya membuatku menjadi orang terdepan di kelompok pelarian ini. Aku berhasil masuk di perahu motor ini. Jumlah kami banyak. Boleh dibilang, perahu ini sebenarnya tidak layak layar. Dengan beban yang begitu berat, mungkin akan macet. Namun, kami mencukupkan diri saja. Anggap saja layak. Kami rupanya punya satu misi yang sama. Ingin hidup lebih baik.

Setelah berahari-hari di laut, kami tiba di pelabuhan yang mewah. Satu kapal besar bersandar di dekatnya. Ingin rasanya segera turun dan mendekat ke sana. Sudah bosan di atas perahu ini berminggu-minggu. Aku ingat beberapa temanku tidak tahan lagi. Mereka akhirnya benar-benar pergi alias meninggalkan kami. Mereka tidak jadi meraih mimpi hidup indahnya. Mereka hanya mengimpikan kehidupan ini. Tetapi, mungkin mereka akan menemukan indahnya hidup itu, di seberang sana. Di dunia yang satu itu. Dunia yang tidak menyatu dengan kami. Entahlah. (bersambung).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

dari postingan di kompasiana, PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA



FOTO, media.iyaa.com
Aku mau pergi ke seberang. Aku ingat di dunia lain, masih ada kehidupan yang lebih baik. Aku ingin tinggal di dunia itu. Negeriku—seperti aku—mungkin mengimpikan itu juga. Sayang, negeriku masih jauh dari impian itu. Mimpi memang asyik tetapi kenyataan itu lebih asyik. Hidup di alam mimpi itu membuat kita beterbang ke mana saja meski tak bersayap. Namun, hidup di alam kenyataan juga tak kalah menariknya.

Aku berlari mengejar keindahan hidup itu. Aku ingin bergembira, tertawa, tenang, nyaman, seperti mereka. Ya, aku lihat mereka berbeda dengaku. Kulitku hitam dan rambutku keriting. Mereka putih dan rambutnya lurus. Mata mereka juga bening dan biru. Mataku hitam dan penuh bercak. Mataku memang sering berdebu. Debu akibat letusan di sana sini. Debu akibat bom yang memborbardir bangunan tinggi di negeriku ini. Mungkin karena itu, mataku tidak seperti mereka. Mungkin karena itu, kulitku tidak seperti mereka. Mungkin karena mata mereka sering melihat keindahan alam, sehingga tampak bening dan biru. Tapi, apakah mataku tidak bisa menjadi seperti mata mereka itu? Mungkin itu terlalu sulit. Tapi, aku mau coba. Aku ingin agar mataku juga bening seperti mereka. Kulitku mungkin sulit menyamai kulit mereka. Aku ingin pergi menikmati kehidupan seperti yang mereka miliki. (bersambung)

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

dari postigan di kompasiana, PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA

LA PREGHIERA VI DOMENICA DI PASQUA
10 maggio 2015
David M. Turoldo

CANTA IL SOGNO DEL MONDO

FOTO, baglioreresiduo.blogspot.com
Ama
saluta la gente
perdona
ama ancora e saluta

Dai la mano
aiuta
comprendi
dimentica
e ricorda solo il bene.

E del bene degli altri
godi e fai godere.

Godi del nulla che hai
del poco che basta
giorno dopo giorno:
e pure quel poco—se necessario—dividi.

E vai,
vai leggero
dietro il vento
e il sole
e canta.

Vai di paese in paese
e saluta
saluta tutti
il nero, l’olivastro
e perfino il bianco.

Canta il sogno
del mondo
che tutti i paesi
si contendano
d’averti generato.

*del foglietto per la messa in Chiesa Santa Cristina-Parma.

LA PREGHIERA V DOMENICA DI PASQUA
3 maggio 2015
PREGHIERA DELL’IMMIGRATO

FOTO, rivista.energie9.org
Anche Tu Bambino, mio Signore,
ti allontanasti dalla tua terra
per volontà del perfido sovrano,
che pensieri oscuri coltivava su di te.

Insieme con Maria, tua madre
ed il fedele Giuseppe
entrasti in Egitto,
assaporando la tristezza della fuga
e la estraneità dei luoghi.

Tu comprendi, o mio Signore,
com’è duro andare altrove,
per guadagnare il pane
e cercare, tante volte invano,
qualche lavoro.

Dammi la forza ed il coraggio
Di ricominciare ogni giorno
Con rinnovato amore il mio cammino
nella speranza di tempi migliori.
Fa che incontri amici che sappiano
condividere la bontà del cuore
e la serenità dell’accoglienza.

La nuova patria sappia leggere ed apprezzare.
La mia storia
mi aiuti a ricordare la mia terra
e ad integrarmi sul suo suolo.

Amore e condivisione siano i nuovi doni
che con gesti gratuiti e ricolmi di attenzione
possa incontrare.

Le mie mani vuote siano colmate
dal tuo amore di Padre,
che ridona sempre entusiasmo per la vita.

Tu non mi abbandonerai mai, o Signore,
perché sei fedele ai poveri,
che sempre hai rappresentato
e teneramente amato, come tuoi figli.

*del foglietto per la messa in Chiesa Santa Cristina-Parma.


REGINA CÆLI POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Fifth Sunday of Easter, 3 May 2015

  
Dear Brothers and Sisters, Good morning!
Today’s Gospel shows us Jesus during the Last Supper, in the moment He knows His death is close at hand. His ‘hour’ has come. For it is the last time He is with His disciples, and now He wants to impress firmly a fundamental truth in their minds: even when He will no longer be physically present in the midst of them, they will still be able to remain united to Him in a new way, and thus bear much fruit. Everyone can be united to Jesus in a new way. If, on the contrary, one should lose this unity with Him, this union with Him, would become sterile, or rather, harmful to the community. And to express this reality, this new way of being united to Him, Jesus uses the image of the vine and the branches: Just “as a branch cannot bear fruit by itself, unless it abides in the vine, neither can you, unless you abide in me. I am the vine, you are the branches” (Jn 15:4-5). With this image He teaches us how to abide Him, to be united to Him, even though He is not physically present.

Jesus is the vine, and through Him — like the sap in the tree — the very love of God, the Holy Spirit is passed to the branches. Look: we are the branches, and through this parable, Jesus wants us to understand the importance of remaining united to him. The branches are not self-sufficient, but depend totally on the vine, in which the source of their life is found. So it is with us Christians. Grafted by Baptism in Christ, we have freely received the gift of new life from Him; and thanks to the Church we are able to remain in vital communion with Christ. We must remain faithful to Baptism, and grow in intimacy with the Lord through prayer, listening and docility to His Word — read the Gospel —, participation in the Sacraments, especially the Eucharist and Reconciliation.

When one is intimately united to Jesus, he enjoys the gifts of the Holy Spirit, which are — as St Paul tells us — “love, joy, peace, patience, kindness, generosity, faithfulness, gentleness, self-control” (Gal 5:22). These are the gifts that we receive if we remain united in Jesus; and therefore a person who is so united in Him does so much good for neighbour and society, is a Christian person. In fact, one is recognized as a true Christian by this attitude, as a tree is recognized by its fruit. The fruits of this profound union with Christ are wonderful: our whole person is transformed by the grace of the Spirit: soul, understanding, will, affections, and even body, because we are united body and soul. We receive a new way of being, the life of Christ becomes our own: we are able to think like Him, to act like Him, to see the world and the things in it with the eyes of Jesus. And so we are able to love our brothers, beginning with the poorest and those who suffer the most, as He did and love them with His heart, and so bear fruits of goodness, of charity, and of peace in the world.

Each one of us is a branch of the one vine; and all of us together are called to bear the fruits of this common membership in Christ and in the Church. Let us entrust ourselves to the intercession of the Virgin Mary, so that we might be able to be living branches in the Church and witness to our faith in a consistent manner — consistency of one’s own life and thought, of life and faith — knowing that all of us, according to our particular vocations, participate in the one saving mission of Christ.

After the Regina Caeli:
Dear brothers and sisters, yesterday in Turin Luigi Bordino, consecrated layman of the Congregation of the Brothers of St Joseph Benedict Cottolengo, was proclaimed blessed. He dedicated his life to the ill and suffering and worked ceaselessly on behalf of the poor, treating and washing their wounds. Let us thank the Lord for his humble and generous disciple.

A special greeting today goes to the Méter Association, on the Day of Children Victims of Violence. I thank you for your commitment to seeking to prevent these crimes. We must all work so that every human person and especially children maybe be defended and protected.

I wish everyone a happy Sunday. And please do not forget to pray for me. Have a good lunch and Arrivederci!

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

GENERAL AUDIENCE POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Wednesday, 6 May 2015

The family - 13. Marriage (II)
 
Dear Brothers and Sisters, Good morning,
In our journey of catecheses on the family, today we touch directly on the beauty of Christian marriage. It is not merely a ceremony in a church, with flowers, a dress, photographs.... Christian marriage is a sacrament that takes place in the Church, and which also makes the Church, by giving rise to a new family community.

It is what the Apostle Paul says in his celebrated expression: “This mystery is a profound one, and I am saying that it refers to Christ and the church” (Eph 5:32). Inspired by the Holy Spirit, Paul says that the love between spouses is an image of the love between Christ and his Church. An unimaginable dignity! But in fact it is inscribed in the creative design of God, and with the grace of Christ innumerable Christian couples, with all their limitations and sins, have realized it!

St Paul, speaking of new life in Christ, says that Christians — each one of them — are called to love one another as Christ has loved them, that is to “be subject to one another” (Eph 5:21), which means be at the service of one another. And here he introduces an analogy between husband-wife and Christ-Church. It is clear that this is an imperfect analogy, but we must take it in the spiritual sense which is very lofty and revolutionary, and at the same time simple, available to every man and woman who entrusts him and herself to the grace of God.

Husbands — Paul says — must love their wives “as their own body” (Eph 5:28); to love them as Christ “loved the Church and gave himself up for her” (v. 25). You husbands who are present here, do you understand this? Do you love your wives as Christ loves the Church? This is no joke, these are serious things! The effect of this radical devotion asked of man, for the love and dignity of woman, following the example of Christ, must have been tremendous in the Christian community itself. This seed of evangelical novelty, which reestablishes the original reciprocity of devotion and respect, matured throughout history slowly but ultimately it prevailed.

The sacrament of marriage is a great act of faith and love: a witness to the courage to believe in the beauty of the creative act of God and to live that love that is always urging us to go on, beyond ourselves and even beyond our own family. The Christian vocation to love unconditionally and without limit is what, by the grace of Christ, is also at the foundation of the free consent that constitutes marriage.

The Church herself is fully involved in the story of every Christian marriage: she is built on their successes and she suffers in their failures. But we must ask in all seriousness: do we ourselves as believers and as pastors, accept deep down this indissoluble bond of the history of Christ and his Church with the history of marriage and the human family? Are we seriously ready to take up this responsibility, that is, that every marriage goes on the path of the love that Christ has for the Church? This is a great thing!

In the depths of this mystery of creation, acknowledged and restored in its purity, opens a second great horizon that marks the sacrament of marriage. The decision to “wed in the Lord” also entails a missionary dimension, which means having at heart the willingness to be a medium for God’s blessing and for the Lord’s grace to all. In deed, Christian spouses participateas spouses in the mission of the Church. This takes courage! That is why when I meet newlyweds, I say: “Here are the brave ones!”, because it takes courage to love one another as Christ loves the Church.

The celebration of the sacrament must have this co-responsibility of family life in the Church's great mission of love. And thus the life of the Church is enriched every time by the beauty of this spousal covenant, and deteriorates every time it is disfigured. The Church, in order to offer to all the gifts of faith, hope and love, needs the courageous fidelity of spouses to the grace of their sacrament! The People of God need their daily journey in faith, in love and in hope, with all the joys and the toils that this journey entails in a marriage and a family.

The route is well marked forever, it is the route of love: to love as God loves, forever. Christ does not cease to care for the Church: he loves her always, he guards her always, as himself. Christ does not cease to remove stains and lines of every kind from the human face. Moving and very beautiful to see is this radiation of God's power and tenderness which is transmitted from couple to couple, family to family. St Paul is right: this truly is a “great mystery”! Men and women, brave enough to carry this treasure in the “earthen vessels” of our humanity, are — these men and these women who are so brave — an essential resource for the Church, as well as for the world! May God bless them a thousand times over for this!

Special greetings:
In the next few days various capital cities will commemorate the 70th anniversary of the end of the Second World War in Europe. On this occasion I entrust to the Lord, by the intercession of Mary Queen of Peace, my hope that society may learn from the mistakes of the past and that, faced with the current conflicts that are tearing asunder various regions of the world, all civil leaders may persevere in their search for the common good and in the promotion of a culture of peace.

I offer an affectionate greeting to all the English-speaking pilgrims and visitors present at today’s Audience, including those from Denmark, Switzerland, Indonesia, Korea, the Philippines, Canada and the United States. May Jesus Christ confirm you in faith and make your families witnesses to his love and mercy. May God bless you!

I address a special thought to young people, to the sick and to newlyweds. Last Friday we began the Marian month. May the Mother of God, dear young people, be your refuge in the most difficult moments; may she sustain you, dear sick people, in facing with courage your daily cross and may she be your reference point, dear newlyweds, so that your family may be a domestic source of prayer and mutual understanding.

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

FOTO, simomot.com
Senyumnya menawan
Pipinya mulus
Matanya melotot
Tubuhnya seksi 

Kesan pertama melihatnya
Dia adalah dara cantik
Wanita idaman lelaki
Bagai gadis desa

Dia tinggal di kota
Pastilah dia orang kaya
Dari penampilannya
Pakaian, hiasan, dan gaya rambutnya

Kalau bukan orang kaya
Dia adalah orang berilmu
Mungkin mahasiswi
Entah kuliah sarjana atau master

Penampilan seperti ini memang jarang
Pastilah bukan asal wanita
Dialah wanita yang tahu diri
Baru ketemu langsung ramah

Rupanya ada yang lain di balik sikap ramahnya
Dia harus ramah
Dia harus tampil menggoda
Bahkan dia harus menggoda

Tampilannya tidak sekadar pamer
Dia memang mesti seperti itu
Kelihatannya tak digoda pun
lelaki sudah tergoda dengan sendirinya
Tapi dia rupanya tetap berusaha menggoda

Telusur punya telusur
Dia rupanya sudah banyak menggoda lelaki
Banyak yang jatuh dipelukannya
Banyak yang bermalam dengannya

Tetapi masih mau menggoda juga
Apakah dia tidak puas
Baginya kepuasan bukan tujuan
Kepuasan hanya roh yang terus menerus menggoda

Menggoda baginya adalah jiwa dari pekerjaannya
Tiada hari tanpa menggoda
Dia ada untuk menggoda
Dia tidak berarti jika tak mampu menggoda

Dengan menggoda dia mendapat dolar
Itulah sebabnya, tidak cukup modal seksi, cantik, menawan
Pamer tubuh hanya awal dari tujuannya
Dari pamer, dia pasti menggoda
Dan menggoda sampai sasarannya jatuh

Itu pun tidak berhenti
Dia akan terus menggoda
Dia menggoda maka dia ada
Ah rupanya dia adalah tukang prostitusi

Hampir saja kutergoda menggaetnya
Dasar penggoda
Kalau dia bukan prostitusi
Dia kujadikan istriku

PRM, 10/5/15
Gordi

FOTO ilustrasi, infojambi.com
Jadi rakyat kok sakit. Emang gak ada rumah sakit yang bisa ubah sakit jadi sehat? Ya tetap saja sakit. Sakit gara-gara jadi rakyat di negeri ini. Kalau rakyat sakit, itu artinya ada yang tak beres. Entah rakyatnya yang memang tidak tahu jaga kesehatan atau pemerintahnya yang tidak pandai menyehatkan warga yang sakit. 

Baru saja menyapa teman di facebook. Ngobrol sebentar seputar situasi terkini di kampung halaman. Didahului dengan kabar terkini dari kami. Kami baik-baik saja. Sehat walafiat. Teman yang bekerja di Pulau Dewata ini bertanya, kapan telepon ke rumah? Saya telepon terakhir kali bulan lalu. Belum telepon untuk bulan ini. Kami memang beda. Dia, katanya, sering telepon ke rumah. Maklum, dari Bali bisa telepon setiap saat ke rumah. Dia beda dengan saya, yang tak hobi telepon berkali-kali jika tak perlu. Jika perlu, dua atau tiga kali pun, saya bisa telepon dua atau tiga kali ke rumah. Tapi jarang sekali. Toh, semuanya berjalan baik-baik saja.

Karena dia sering telepon ke rumah, saya tanya kabar darinya. Dia menyinggung masalah yang sudah lama kami bahas. Soal jalan raya dan listrik. Hari gini masih bahas jalan raya dan listrik? Beginilah kehidupan di kampung. Orang kota mungkin kaget. Tapi, orang desa tidak kaget. Seperti orang desa memandang orang kota, tidak perlu kaget. Orang desa dengan keterbatasannya dalam teknologi canggih tidak perlu banyak kaget apalagi khawatir tentang hidup harian. Sebab, tanpa teknologi pun sebenarnya hidup harian tetap bisa dijalani. Bukan pembelaan tapi pujian. Maklum, saya orang desa yang pernah dan selalu merasakan indahnya kehidupan di desa.

Jalan raya sudah dikerjakan namun belum sampai di kampung. Listrik juga demikian. Instalasi sudah dipasang di tiap rumah, tiang listrik sudah didatangkan, namun pekerjaan terganjal. Jalan tidak dilanjutkan. Listirk dibiarkan berhenti di tengah jalan. Lalu saya tanya, mengapa?
Jawab teman saya, untuk jalan mungkin dilanjutkan tahun 2016, sesuai program Jokowi. Untuk listrik, ada masalah teknis antara kepala PLN di kecamatan dan kontraktor yang mengerjakan proyek ini.

Saya lalu menyambung, hemmm ini namanya perjanjian. Dalam dunia politik, janji adalah harta emas. Dengan janji, politikus bisa menjual idenya. Ide yang membuat masyarakat terbius dalam kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Janji kampanye politik ibarat narkoba yang selalu menawarkan kenikmatan sepanjang waktu. Meski nikmat, janji itu sebenarnya pahit. Pahit sekali. Dan, itulah sebabnya, saya membalas kepada teman saya, beginilah sakitnya jadi rakyat di negeri ini.

Dia setuju jika janji itu menyakitkan. Jalan dan listrik yang diprogramkan itu sudah dimasyarakatkan sejak beberapa tahun lalu. Sebelum pemilihan bupati yang sebentar lagi berakhir masa jabatannya ini, program itu sudah dikabarkan pada masyarakat. Dan, politik itu betul-betul datang sebelum makan siang dimulai. Menjelang akhir masa jabatan, pemerintah berusaha menggenapi janjinya. Janji yang menciptakan janji baru lagi. Di mana-mana pekerjaan di menit-menit tterakhir biasanya tidak membuahan hasil memuaskan. Dan benar, jalan dan listirk itu pun tidak tuntas.

Boleh jadi ketidaktuntasan itu jadi harta emas para politikus untuk berkampanye menjelang pilkada nanti. Dengan itu, dia bisa bermulut manis di hadapan pemilih. Ah, rakyat selalu jadi korban janji manis. Sakitnya menjadi rakyat di negeri ini. kalau begini terus, di bawa ke mana negeri ini?

Jakarta mungkin terlalu jauh menjangkau pelosok negeri ini sehingga penguasa di pelosok dengan langkah kaki lenggang menguasai rakyatnya semau gue.

Salam cinta rakyat.

PRM, 9/5/15
Gordi

FOTO, www.jokowinomics.com
Pembangunan kiranya menjadi kebutuhan rakyat Papua. Dengan pembangunan, jaringan antara daerah terjangkau. Pembangunan ini konkretnya dalam transportasi dan komunikasi. Pembangunan dalam dua bidang itulah yang membuat rakyat Papua bisa terus terhubung satu sama lain. Dan, pembangunan seperti ini sebenarnya bukan hanya berlaku di Papua. Warga di seluruh tanah air juga merindukan kedua hal ini. Warga Papua—termasuk warga daerah lainnya—selalu mengimpikan pembangunan ini.

Pembangunan seperti ini memang dibutuhkan dan dirindukan, namun, realisasinya tidak mudah. Pembangunan dalam kenyataannya selalu dihadang berbagai pihak. Masyarakat pun akhirnya mau tak mau menerima kenyataan pahit yakni tidak menikmati pembangunan yang diimpikan. Pembangunan bisa jadi nyata jika mampu menembus halangan sosial dalam masyarakat. Sebab, tentu saja selalu ada pihak yang menghalangi jalannya pembangunan di negeri ini. Salah satu bentuk halangan itu adalah konflik di mana-mana. Di Papua, konflik berkepanjangan itu juga yang nyata-nyata membatalkan niat masyarakat menikmati pembangunan yang diimpikan. Ada pihak yang bertanya-tanya, dari mana datangnya konflik itu? Jawaban yang sering muncul adalah dari ketidakpuasan masyarakat atas pembangunan. Ini tentu saja jawaban logis. Tapi, bisa ditanya lagi, siapa yang menciptakan konflik itu? Boleh jadi ada pihak lain di luar masyarakat sendiri.

Di Papua, dari dulu dikenal istilah OPM, Organisasi Papua Merdeka. Nama OPM ini selalu dilawankan dengan nama TNI atau militer. Maklum, hubungan militer dan OPM inbarat tikus dan kucing. Maksudnya jelas, saling berlawanan. Yang satu menginginkan Papua Merdeka dari bangsa Indonesia. Yang satu menginginkan tetap bersama Indonesia dan menciptakan kedamaian. Keberadaan OPM pun kadang-kadang sulit dilacak. Ini berarti OPM bisa saja beroperasi di tengah masyarakat. Atau bisa juga beroperasi dari pihak lain di luar masyarakat. Namun, apakah OPM sekarang masih berjaya dan terus menerus memperjuangkan misinya? Tidak jelas. Boleh YA boleh TIDAK. Hanya masyarakat yang tahu. Atau hanya TNI dan OPM yang tahu.

Menteri Tedjo Edhi hari ini membawa berita gembira tentang OPM ini. Katanya, OPM bukan lagi Organisasi Papua Merdeka tetapi Orang Papua Membangun. Jika ini benar, OPM dengan misi lama akan lenyap dengan sendirinya. OPM ini kiranya ibarat mobil bekas bermesin baru. Mesin baru inilah yang dirindukan rakyat Papua. Dan, kiranya ini betul-betul terwujud nanti. Jika tidak, kata-kata menteri Tedjo ini hanya pemanis lidah untuk rakyat Papua. Kata-kata yang menarik simpati dengan demikian menjadi kata-kata yang dibenci. Semoga ini tidak terjadi. Semoga rakyat Papua dan pemerintah memang betul-betul bersama berusaha mencapai PEMBANGUNAN yang diimpikan ini.

Kerinduan rakyat Papua ini adalah gambaran rakyat Indonesia pada umumnya. Setiap hari kiranya rakyat Indonesia—khususnya yang berada di pelosok—merindukan pembangunan ini. Mereka bosan mendengar dan menonton drama politik di pusat yang sama sekali tidak menyentuh kebutuhan mereka. Inilah ironisnya Indonesia yang besar dan luas ini. Di Jakarta politikus sibuk mengurus misi pribadi mereka, di daerah rakyat merindukan pembangunan. Satu negara, dua realitas. Yang satu merindukan, yang satu sibuk dengan urusannya. Ini namanya rindu di atas ketidakpedulian. Dan, hidup cuek di atas pengharapan orang lain.

Obrolan hari ini.

PRM, 9/5/15
Powered by Blogger.