Halloween party ideas 2015

Apa sih Ciri-ciri Cowok yang Jujur?

ilustrasi, di sini

Mencari ciri-ciri cowok yang baik menjadi kebiasaan para cewek. Cewek memang pantas membicarakan ini. Karena mereka bergaul dengan pria. Dan ini bukan sekadar untuk ditanyakan tetapi mesti diselidiki.

Pertanyaan di atas dilontarkan seorang teman cewek. Saya kaget, mengapa pertanyaan itu dilontarkan. Ada asap ada api. Teman ini memang sedang menjalin asmara dengan teman cowok. Dia pantas mengajukan ini. Dia pantas mengetahui ciri pria yang baik.

Menanyakan prihal pria merupakan awal yang baik. Mengetahui sebanyak mungkin informasi tentang orang yang akan dihadapi. Cewek mengetahui sebanyak mungkin dan sejauh mungkin seluk-beluk kehidupan seorang cowok. Kebiasaan cowoknya seperti apa. Apakah dia pembohong, pencemburu, playboy, pemfitnah, perayu dahsyat, dan sebagainya. Sifat-sifat ini mesti ditelusuri. Ini menjadi awal untuk menelusuri lebih dalam lagi kepribadian pria itu.

Hubungan asmara menjadi hubungan yang mengikat jika saling cocok. Mencapai kesepakatan yang cocok bukan perkara mudah. Ada rentang waktu tertentu untuk mengetahuinya. Proses panjang. Inilah masa pacaran. Pacaran bukan sekadar ungkapan kata-kata gombal tetapi mempelajari sifat sang pacar. Jika sudah cocok hubungan itu bisa dilanjutkan dan bahkan kalau mungkin sampai pada perkawinan.

Kecocokan ini juga bukan jaminan. Ada pasangan yang setelah berjalan ternyata sampai pada pembatas. Mereka berpisah. Muncul alasan karena tidak cocok lagi. Padahal dulunya sudah pacaran, dan masing-masing menemukan bahwa mereka cocok. Ini pasangan yang pas buat saya. tahu-tahunya hubungan mereka berakhir sebelum target tercapai. Hubungan ini rencananya seumur hidup. Dalam suka dan duka. Dalam untung dan malang.

Apa sih ciri-ciri pria yang jujur, bisa diubah, apa sih ciri-ciri wanita yang jujur? Bukan hanya pria yang bermata keranjang. Setidaknya beberapa teman mengakui pacarnya mata keranjang. Ini mungkin yang dialami cewek remaja. Yang belum menentukan secara pasti hubungan pacarannya. Atau yang emosinya labi. Gampang berpindah ke lain hati. Wanita bisa berbohonh pada pacarnya. Katanya sakit padahal ingin bertemu cowok lain. Mata keranjang juga bukan?

Pertanyaan di atas memang mestinya diajukan oleh cowok dan cewek. Bukan saja pada cowok yang lekat dengan pandangan mata keranjang. Cowok memang mata keranjang tetapi jangan terlena cewek juga bisa punya mata keranjang.

Gara-gara pertanyaan teman cewek ini saya menjadi tahu, bahwa mata keranjang itu milik si cowok dan cewek. Tetapi mudah-mudahan tidak banyak cewek yang mata keranjang. Kalau banyak nantinya cewek bersaing dengan cowok yang sebagian besar dicitrakan mata keranjang. Biar cewek tidak identik dengan mata keranjang, cewek mestinya tetap jaga mata yah, buanglah mata keranjang itu.

Pertanyaan di atas membuat saya menyinggung mata keranjang padahal inti pertanyaan ini hanya sifat pria yang jujur. Menyinggung sifat pria bisa juga mengaitkan dengan sebutan mata keranjang. Dan rupanya mata ini sudah menyebar di antara kaum cowok dan cewek. Hai cowok maukah kamu melepas mata keranjangmu? Hai cewek maukah kamu diidentikkan dengan mata keranjang? Tidak bukan? Yukkk bersihkan mata baik cowok-cewek agar tidak melihat dengan mata keranjang.

Lalu manakah ciri-ciri cowok yang jujur? Saya juga tidak tahu mana-mana saja cirinya. Tetapi mestinya cowok itu tahu, dia harus jujur, mengungkapkan yangs ebenarnya pada ceweknya. Demikian juga si cewek emsti terbuka, ungkapkan dengan jujur, katakan dengan tulus ikhlas pada cowoknya. Itulah ciri-ciri cowok dan cewek yang jujur.

PA, 29/5/13

Gordi

Godaan selalu datang
Tak kenal waktu
Pagi, siang, malam
Dan selalu menggoda

Godaan selalu datang
Untuk mengorupsi uang negara
Yang berlimpah banyaknya
Dan mudah mengambilnya

Godaan selalu datang
Untuk mengorupsi aturan
Yang tidak terlalu ketat
Dan mudah diubah-ubah

Godaan selalu datang
Untuk mengabaikan kepentingan rakyat
Yang mudah diabaikan
Dan mudah dilupakan

Godaan selalu datang
Untuk membuat laporan palsu
Yang mudah dibuat
Dan mudah ditutupi

Godaan selalu datang
Untuk memeras sopir truk
Yang mudah diperas
Dan mudah diakali

Godaan selalu datang
Untuk membeli wanita idaman
Yang mudah dipesan
Dan mudah dipanggil

Godaan selalu datang
Untuk mencabuli murid
Yang mudah dibuat
Dan tak perlu keluar biaya

Godaan selalu datang
Untuk masuk rumah orang kaya
Dan mengambil hartanya
Yang berlimpah ruah

Godaan selalu datang
Semoga aku tidak tergoda
Dengan bujukan teman
Yang datangnya bak pencuri

Sekarang, nanti, yang akan datang
Tak terkira
Tak kenal waktu
Tak kenal tempat

Semoga aku tidak tergoda
Pada yang mudah tergoda ini
Yang membuatku masuk godaan
Dan membuatku sulit keluar dari godaan


PA, 29/5/13

Gordi

Manusia mudah berubah dan mengubah pilihan. Memilih sesuatu menjadi rumit. Kerumitan muncul ketika ada pilihan lain. Dari A ke B ke C dan seterusnya. Pilihan itu mudah jatuh ke mana saja. Mana yang disukai saat ini.

Pilihan dangkal. Karena dangkal pilihan itu tidak punya kedalaman. Demikianlah dalam pilkada. Masyarakat mudah digoda dengan uang. Hari ini partai A memberi uang, keluarga B berjanji akan memilih calon A. Besok datang partai B membagi pakaian, keluarga B juga berubah pilihan ke partai B. Begitu terus hingga tak ada lagi kejelasan. Mana yang pilih. Akhirnya bantuan yang datang menjelang hari pilkada yang akan dipilih.

Hidup manusia seperti memilih partai. Dalam pemilihan itu tampak perubahan itu begitu cepat. Manusia juga demikian. Ke mol pun dengan mudah memilih ini itu sesuai kesukaan. Masalahnya manusia banyak sukanya. Namanya suka pasti berubah. Suka dipengaruhi oleh suasana luaran. Jika yang ini sedang tren maka saya pilih ini. Jika yang itu yang tren maka pilih yang itu. Padahal pilihan itu dinamis, berubah-ubah.

Sebagai rakyat selayaknya kita memantapkan pilihan. Sebelum memilih kenali kandidat yang dijagokan. Selidiki seluk-beluk kehidupan politiknya. Seperti kita memilih baju. Kita selidiki warnanya, ukurannya, jenis kainnya, bentuknya, dan sebagainya. Setelah itu baru kita pilih.

Iseng-iseng siang hari.

PA, 30/5/13
Gordi

Jangan panggil aku bos
Karena aku bukan bos
Aku jauh di bawah bos
Bahkan tidak masuk jajaran anak buah bos

Jangan panggil aku bos
Karena aku tidak layak jadi bos
Aku hanya bawahan yang tak layak jadi bos
Aku layak jadi bawahan yang paling bawah

Jangan panggil aku bos
Karena aku tak mau memerintah orang
Aku mau memerintah diri sendiri
Dengan itu aku memerintah orang lain

Jangan panggil aku bos
Nanti aku jadi sombong
Aku bukan pencari posisi atas
Aku bahkan jadi sombong kalau sampai posisi itu

Jangan panggil aku bos
Karena aku mudah memerintah dengan mulut
Padahal bos itu harusnya memerintah dengan tindakan
Bukan asal bunyi tapi betul-betul berbuat

PA, 30/5/2013
Gordi

Membuat pilihan kadang amat sulit. Memilih satu di antara sekian pilihan memang bukan perkara mudah. Semakin banyak pilihan semakin sulit memilih. Sebaliknya makin sedikit pilihan makin mudah memilihnya. Ini dari segi jumlah.

Selain jumlah, tingkatan kategori pilihan juga menentukan. Dua pilihan yang tingkatan kategorinya hampir sama justru menyusahkan membuat pilihan. Pilihan antara yang asyik dan yang baik misalnya. Keduanya menjadi bahan pertimbangan sebelum memilih. Yang asyik atau yang baik. Kalau dilihat, keduanya punya nilai positif. Yang asyik membantu manusia. Yang baik juga membantu manusia. Tetapi keduanya tentu punya risiko.

Risiko inilah yang akan menjadi pertimbangan akhir saat membuat pilihan. Pilih yang asyik risikonya demikian. Pilih yang baik risikonya demikian. Yang asyik tentu saja membuat manusia senang, gembira, menikmati. Yang asyik membuat manusia menikmati dunia yang mengasyikkan ini. Bahkan kadang-kadang terlalu asyiknya sampai lupa bahwa yang asyik itu tidak selamanya mengasyikkan. Yang asyik bisa menjerumuskan manusia pada yang tidak asyik. Manusia menderita karena terlalu asyik menikmati obat terlarang.

Yang baik belum tentu mendatangkan kebaikan. Yang baik sering dikategorikan positif. Dan memang yang baik itulah yang diidealkan, yang dicita-citakan, yang diperjuangkan. Perjuangan mencapai yang baik bukan perkara mudah. Mencapai yang baik kadang-kadang melalaui jalan terjal bahkan jalan yang tidak mudah. Atau juga jalan yang tidak baik.
Menjadi orang jujur misalnya. Jujur masuk kategori yang baik dari segi moral. Tetapi, untuk menjadi orang jujur, jalannya tidak mudah. Pejuang kejujuran dihadang pejuang tidak jujur. Anak SD yang mau jujur mengerjakan soal UN dihadang oknum yang tidak jujur entah itu gurunya, temannya, dan sebagainya.

Jadi, pilih mana, yang asyik atau yang baik? Keduanya punya risiko. Risikonya berat. Pilihan yang tidak mudah. Itulah sebabnya saya menulis status di fb pagi ini, #lebih baik berbuat baik daripada berbuat jahat
lebih asyik berbuat jahat daripada berbuat baik
kalau berdasarkan kategori asyiknya lebih asyik berbuat jahat
tetapi kalau berdasarkan baik-buruknya lebih baik bebruat baik#. Kembai ke pertanyaan, pilih mana?

Jawabannya tergantung kebutuhan Anda. Mana yang Anda butuhkan saat ini. Memilih yang asyik atau yang baik. Jika Anda mau bersenang-senang sebentar, pilihlah yang asyik. Jika Anda mau berbagi dengan sepenuh hati, pilihlah yang baik. Dengan itu kebaikan Anda itu akan menjadi teladan yang baik bagi sesama. Tetapi perlu diingat ketika Anda sedang menikmati yang asyik, Anda juga sedang diuji untuk terus menenerus menikmati yang asyik atau Anda bisa memabatasi diri menikmati yang asyik itu. Yang asyik tentu enak dinikmati tetapi yang asyik itu menjadi lebih enak dinikmati jika Anda tahu batasnya. Di sebelah yang asyik itu ada ketidaknikmatan. Setelah menikmati Anda akan mengalami yang tidak nikmat.

Selamat pagi
Selamat memilih
Selamat menikmati

PA, 31/5/13

Gordi

Tubuhku tampak kuat
Lagi pula kekar dan sehat
Tak tampak keriput
Kulit cerah dan kinclong

Tubuhku menarik perhatian
Padat berisi
Punya bentuk yang khas
Tiada duanya dengan yang lain

Sayang sekali jiwaku lemah
Jiwaku tak sekuat tubuh
Jiwaku mudah lemah ketika ada tantangan
Tak kuat menahan beban

Aku rasakan jiwaku lemah
Saat aku dihadang tantangan berat
Aku tidak melihat jiwaku
Tapi aku merasakan kelemahannya

Beruntung aku punya otak dalam fisik
Berwujud tapi cara kerjanya tak bisa dilihat
Otak bekerja sesuai sistemnya
Sehingga hasil kerjanya dinamakan buah pikiran

Lain tubuh lain jiwa
Tubuh kuat segar
Jiwa lemah layu
Ada otak yang menilai keduanya

Tubuh kuat tapi mudah tergoda
Sedangkan jiwa lemah tapi kuat menahan godaan
Jiwa melarang tubuh
Tapi tubuh bekerja diluar kekuatan jiwa

PA, 31/5/13
Gordi

Ada yang menekuni ilmu
Lantas ada sebutan berilmu
Menyelidiki dan mengadakan penelitian tentang keilmuannya

Ada pula yang menekuni perihal Tuhan
Mengakui Tuhan dan merasionalkan argumen tentang Tuhan
Lalu ada orang menjadi ber-Tuhan

Antara berilmu dan ber-Tuhan
Ada yang mempertentangkannya
Ilmu itu nyata
Tuhan itu abstrak

Berilmu lebih baik daripada ber-Tuhan
Tak mau kalah
Ber-Tuhan lebih baik daripada berilmu

Ada pula yang menggabungkan keduanya
Berilmu sekaligus ber-Tuhan
Ber-Tuhan sekaligus ber-ilmu

Saat berilmu
Ia total mencintai ilmunya
Membuat penelitian tentang keilmuannya

Saat ber-Tuhan
Ia mengakui dan menyembah Tuhan
Memuji dan memuliakan Tuhan

Sebaiknya memang berilmu dan ber-Tuhan
Tidak perlu dipertentangkan
Tetapi mesti tahu batas-batasnya

Tidak semua ilmu
Bisa menyelediki tentang Tuhan
Demikian juga
Tidak semua orang yang ber-Tuhan
Mesti berilmu

Ber-Tuhan yang berlandaskan ilmu juga penting
Dengan demikian dia tidak ber-Tuhan belaka
Dia ber-Tuhan karena argumennya masuk akal
Sesuai kategori ilmu yang ilmiah

Ber-Tuhan layaknya membantu manusia menghayati ajara keber-Tuhanannya
Demikian juga ber-ilmu
Ilmu membantu manusia dalam hidupnya

PA, 1/6/13

Gordi

Sayang ternyata kamu sudah secantik dia
Dia yang kudambakan dulu
Aku ingin kamu secantik dia
Demikian impianku dulu

Andaikan mimpi ini jadi nyata
Kataku dengan penuh harap waktu itu
Aku bahagia dan ingin memilikimu
Dan memang itu impian terbesarku waktu itu

Kini kamu sudah secantik dia
Dia yang aku impikan
Impianku jadi nyata
Apa yang akan aku lakukan?

Kata orang janji adalah utang
Janjiku dulu adalah aku bahagia
Itu sudah aku rasakan
Aku bahagia melihatmu tadi

Tapi ada juga janjiku yang lain
Ingin memilikimu
Ini belum aku wujudkan
Dan mungkin tidak aku wujudkan

Aku tadi melihatmu dan cantik menawan
Kecantikan yang dulu kuimpikan ada padamu
Kini menjadi nyata dalam dirimu
Kamu menjadi dia yang kuimpikan dulu

Tapi aku tidak suka kamu
Aku berkata jujur
Aku melihatmu tadi
Mengisap sebatang rokok

Aku mau berontak
Tapi kurang enak
Ternyata gadis secantik kamu
Suka merokok

Dan memang aku tidak suka kamu rokok
Kamu cewek yang perasaannya halus
Jangan ajdi cowok yang bukan saja suka rokok
Tapi perasaannya kasar

Aku ingin memiliki gadis secantik kamu tapi tidak rokok
Aku tahu kamu rokok
Dan kamu suka rokok itu
Aku tidak akan memilikimu

Aku juga melihat penampilanmu terlalu bebas
Mengabaikan unsur sopan santun
Kamu berdalih itu tren sekarang
Ya tentu saja, tapi tren tidak boleh melampaui unsur kesopanan

Maaf ya sayang
Aku tidak bisa memenuhi janjiku
Mungkin aku yang mengingkar
Tapi aku punya alasan untuk tidak memenuhi janjiku

PA, 2/6/13




Menerima penghargaan merupakan hal yang membanggakan. Penghargaan dari siapa dan untuk jasa apa saja. Penghargaan menjadi nilai tambah. Nilai imbalan dari sebuah perjuangan. Jangan heran jika penghargaan menjadi sebuah kebanggaan. Tetapi di balik kebanggaan, penghargaan juga menjadi godaan.

Godaan untuk merasa bangga. Hal yang sebenarnya tidak perlu dibanggakan malah dibalik menjadi sebuah kebanggaan. Penghargaan memang bukan datang begitu saja. Penghargaan hadir melalui proses. Semua tahu proses merupakan kesempatan yang lama dan panjang. Jadi, kalau akhirnya penghargaan memutarbalikkan yang tidak bangga menjadi bangga, penghargaan itu tidak melalui proses yang akurat.

Saya sering menerima penghargaan. Tetapi bukan seperti penghargaan besar seperti yang diterima SBY dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) di AS. Bagi saya, penghargaan sederhana juga menjadi sebuah kebanggaan. Ketika saya menerima sertifikat karena lancar mengordinasi sebuah kegiatan kampus dari rektor kampus, saya merasa bangga. Saya merasa pekerjaan saya dihargai. Teman-teman bahkan para dosen melihat, meneliti, menyelidiki pekerjaan kecil saya dan memberi penghargaan.

Saya juga pernah mendapat penghargaan sederhana ketika menjadi pencetak gol pertama dalam pertandingan sepak bola di kampus. Penghargaan ini menjadi sebuah kebanggan. Kebanggaan yang muncul dari sebuah kebetulan. Kebetulan tim saya bertanding pada partai pertama dan kebetulan saya mencetak gol pertama. Meski sebuah kebetulan, saya merasa bangga. Justru di sini saya merasa bahwa penghargaan itu memang layak saya terima sesuai kategori panitia. Dan, banyak teman mengucapkan selamat pada saya. sama sekali tidak ada yang protes. Semua paham cara kerja panitia dan melihat fakta, penghargaan itu cocok diberikan pada saya.

Penghargaan kiranya menjadi modal perjuangan. Dengan penghargaan, penerima penghargaan akan berjuang keras mencapai impiannya. Penghargaan dengan demikian menjadi titik awal. Awal dari sebuah proses perjuangan. Ini tentu saja sah-saha saja. Tetapi penghargaan tidak selamanya dipahami demikian. Penghargaan justru bisa dijadikan puncak dari sebuah perjuangan. Saya bekerja lalu mendapat penghargaan. Di sini penghargaan menjadi hadiah dari sebuah pekerjaan.

Penghargaan layaknya memang menjadi penambah semangat daya juang. Penghargaan diterima agar penerima melanjutkan perjuangannya. Penghargaan dengan demikian menjadi semacam rambu di tengah jalan. Rambu menjadi penunjuk dan penanda jalan bagi pengguna jalan agar perjalanannya lancar. Rambu tetap tinggal di tempat sedangkan pengguna jalan terus mencapai tujuan akhirnya.

Kalau demikian masih bisakah berbangga dengan sebuah penghargaan? Bagi saya tentu saja ya. Saya bangga dengan penghargaan yang saya peroleh. Sebab, saya memperolehnya setelah saya bekerja. Penghargaan itu menjadi tanda bahwa orang lain melihat pekerjaan saya. lebih bangga lagi karena saya bekerja bukan untuk menerima penghargaan. Tidak ada impian untuk bekerja supaya dapat penghargaan. Penghargaan dapat dari pihak luar. Saya pun tidak memintanya. Saya hanya diberitahu akan dapat hadiah.

Penghargaan yang diterima SBY menjadi obyek yang diperdebatkan di negeri ini. Masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda. Tentu perbedaan menjadi hal yang harus diterima dalam sebuah masyarakat majemuk. Hanya saja jika perbedaan itu muncul karena penghargaan yang diterima pemimpin, baru menjadi persoalan.

Masyarakat terbelah karena penghargaan ini. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Ada yang mengatakan, mestinya rakyat bangga, pemimpinnya dapat penghargaan. Apa toh susahnya merasa bangga? Ada pula yang mengatakan SBY tidak layak menerima penghargaan itu. Masyarakat justru merasa tidak aman dan tidak tenang karena mereka menjadi korban tindakan kelompok tertentu. Rakyat merasa tidak dilindungi oleh pemimpinnya. Wajarkan, rakyat menolak penghargaan?

Bagi saya pro dan kontra juga wajar. Masyarakat kita majemuk. Saya merasa penghargaan itu memang dilihat dari sudut pandang yang berbeda sehingga muncul pemahaman yang berbeda. Saya tidak mengatakan kelompok A benar, kelompok B salah atau keliru. Saya berpikir bahwa penghargaan itu pada dasarnya diberikan pada mereka yang memang layak menerimanya. Dengan status layak ini penghargaan ini tidak mendapat protes dari mana-mana dan dari pihak siapa-siapa. Berarti SBY tidak layak menerima penghargaan itu?

Saya tidak berwenang untuk mengatakan layak dan tidak-nya menerima penghargaan itu. Sebagai rakyat kecil, saya hanya berpandangan demikian. Jadi, jika penghargaan itu membuat rakyat tidak bangga tetapi malah beradu argumen, maka penghargaan itu sudah mengingkar dari pemberian penghargaan pada umumnya. Penghargaan umumnya menjadi sumber kebanggaan bagi penerima dan juga bagi orang-orang di sekitar penerima.

Jika pemimpin mendapat penghargaan maka bawahannya merasa bangga. Tetapi jika pemimpin mendapat penghargaan dan bawahannya tidak bangga, ada yang tidak terungkap dalam pemberian penghargaan itu. Ada perasaan yang berbeda antara pemimpin dan bawahan. Padahal pemimpin dan bawahan seharusnya satu perasaan saja. Kalau tidak, pemimpin dan bawahan pun boleh jadi tidak seiya sekata dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin berkata A bawahan berkata B.

Iseng-iseng siang ini.


PA, 3/6/13
Gordi



Menunggu lama
Menunggu dengan sabar
Menunggu dengan penuh harap
Menunggu sambil berkhyalal

Jika dia sudah dekat
Aku akan menjemputnya
Betapa senangnya kami berjalan bersama
Betapa teman-teman akan melihat romantisnya kami

Ya pagi ini hujan gerimis
Dingin-dingin menjadi makin romantis
Dikala kami bergandengan tangan
Atau dikala kami berjalan berdekatan

Ah pagi ini jadi luar biasa
Tapi kapankah dia datang?
Kududuk di sini sejak 30 menit yang lalu
Janjinya jam 8.30 pagi

Belum muncul juga
Apakah dia lupa?
Apakah dia ingkar janji?
Apakah dia kecelakaan di jalan?

Itu ada cowok ganteng
Tapi kok gak bersahut ya
Ah mungkin bukan dia
Mungkin hanya mirip saja

Itu ada mobil merah
Tapi kok gak berhenti ya
Ah mungkin bukan mobil dia
Mungkin hanya sama warna saja

Menunggu di tengah hujan gerimis
Akankah dia tetap datang juga?
Seharusnya dia datang
Sudah buat janji

Gerimis ini boleh jadi penyebabnya
Dia mungkin tertidur
Lebih asyik memang
Tapi dia sudah berjanji

Ah daripada ku menunggu lama
Lebih baik aku masuk ruang kelas saja
Tapi nanti mengecewakan dia ya
Ah aku menunggu saja

Kalau dia betul-betul sayangku
Dia pasti akan segera datang
Kalau tidak lupakan saja
Toh masih ada yang lain


Yang lain memang belum mendekat
Tetapi pasti nanti ada yang datang
Sakitnya hati ini jika dia pindah ke lain hati
Tapi aku yakin dia tetap menyanyangiku

PA, 4/6/13
Gordi

ilustrasi di sini
Siapa pun pasti ingin merenung. Merenungi kehidupannya, kejadian yang menyedihkan, kejadian yang membahagiakan. Setiap orang butuh saat-saat khusus ini. Merenung di tempat sunyi. Manusia memang makhluk yang sepi. Maksudnya suka menyepi, suka yang sunyi. Orang Bali boleh berbangga akan hal ini. Setiap tahun ada kesempatan untuk merenung dalam sunyi.

Meski suka sepi, manusia sebetulnya suka ramai. Suka masuk dalam kerumunan, masuk diskotek, masuk lapangan sepak bola, masuk pertunjukkan konser dan sebagainya. Manusia adalah bagian dari keramaian. Dan tampaknya keramaian ini mendominasi hidup manusia. Manusia sulit menyediakan waktu luangnya untuk menyepi. Maunya ikut retret, menyepi, tapi selalu tenggelam dalam kesibukan.

Soekarno adalah tokoh bangsa ini yang pastut dicontoh. Dalam dirinya merenung menjadi kegiatan yang bermanfaat. Bukan sekadar merenung tetapi memperoleh hasil dari merenung. Lima sila yang dikenal sebagai pancasila merupakan kelanjutan dari hasil renungan Soekarno di bawah pohon Sukun di kota Ende-Flores, NTT. Merenung baginya menjadi kesempatan untuk menemukan inspirasi.

Selain membawa manfaat, merenung juga sering diidentikkan dengan tindakan bodoh dan gila. Manusia sering menyindir para perenung sebagai orang gila. Gila, kamu merenung melulu. Demikian komentar beberapa pengritik. Pengritik ini sebenarnya tidak tahu apa arti merenung. Mereka menyamakan merenung dengan menghayal, nglamun. Menghayal memang bisa dipandang sebagai tindakan bodoh. Tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi dalam sindiran bodoh ini, penghayal justru menemukan dirinya jauh dari kebodohan. Dia menciptakan kisah dalam novel justru bermula dari tindakan menghayal. Jadi, menghayal itu tidak selamanya dan tidak melulu tindakan bodoh. Sebagian orang mungkin ya tetapi sebagian lagi tidak.

Jika menghayal saja bukan melulu tindakan bodoh, merenung juga tidak bisa disamakan dengan tindakan bodoh. Merenung tampaknya bodoh. Tak bersuara, bisu, tak bertindak, diam. Dan memang itulah esensi dari merenung. Merenung menjadi saat-saat intim bersama pikiran. Dalam keintiman ini ada gerak pikiran. Pikiran bekerja keras dan menghasilkan sesuatu yang maksimal dalam kesunyian, keheningan, kediaman. Tak jarang memang merenung dikaitkan dengan tindakan diam, bisu, termenung, tak bergerak, dan sebagainya.

Gambaran ini adalah gambaran orang bodoh, tak berpendirian. Memang merenung adalah tindakan bodoh. Karena bodoh, orang menghindarinya. Namun, dari kebodohan itu lahirlah ide cerdik, pintar, dan segar. Perenung tidak identik dengan orang bodoh. Perenung yang dipandang bodoh justru menjadi tokoh visioner dan pintar. Dan memang untuk mencapai ide yang bernas, seseorang mesti merenung. Ide menarik tidak muncul begitu saja. Ide itu datang melalui situasi sunyi, diam, tak bergerak. Melalui tindakan merenung.

Itulah yang dibuat Soekarno, presiden pertama bangsa ini sekaligus proklamator. Diamnya Soekarno adalah diamnya orang pintar. Diamnya orang pintar adalah diam merenung. Dalam merenung dia menemukan ide cemerlang.

Kala manusia tak lagi mau merenung, hidup terasa dangkal. Mau yang mudah dan instan. Pikiran pun sulit diajak memikirkan yang dalam. Suka berpikir yang dangkal. Susah berpikir yang dalam. Lantas muncul ide yang dangkal, tidak mendalam, menyentuh permukaan saja. Debat publik pun menjadi hambar, jauh dari kedalaman aspirasi rakyat. Baik kalau manusia kembali ke asalnya sebagai makhluk pecinta sunyi, makhluk perenung.

Salam merenung.

PA, 5/6/13
Gordi



Manusia Beda dengan Binatang tetapi Manusia juga sama dengan Binatang

Manusia kadang-kadang sombong. Menganggap dirinya lebih baik dari binatang. Manusia sering berdalih, dirinya punya akal budi. Dan binanatang tidak punya akal budi. Memang ini yang membedakan manusia dan binatang. Tetapi perbedaan ini kiranya bukan untuk merendahkan binatang. Binatang sama derajatnya dengan manusia dalam hal sebagai sesama makhluk yang diciptakan.

Manusia kadang-kadang tidak mau tahu. Manusia merendahkan binatang. Padahal sesungguhnya manusia juga tidak bisa menghina binatang di depan mukanya. Komunikasilah yang menghambat manusia menghina binatang. Binatang pun sebenarnya tidak tahu kalau manusia menghinanya. Hanya saja binatang bisa mengerti bagaimana ia dihina oleh manusia. Binatang yang sudah terlatih tidak akan jatuh dalam jurang meski manusia mengarahkannya ke jurang.
Manusia mudah sekali mengadili sesama manusia dengan menyebut binatang. Sering terdengar ucapan anjing loe, babi loe. Ucapan yang mesti dihilangkan. Binatang bukan untuk direndahkan. Binatang kiranya seperti nama manusia bukan untuk disebut-sebut tetapi untuk disebut.
Saya terpaku melihat aksi beruang di kebun binatang tadi. Beruang itu bisa memutar bola basket. Bisa memasukkannya ke ranjang. Beruang juga bisa bergoyang seperti manusia. Beruang ini bisa menyapa manusia. Bisa bertepuk tangan.

Beruang bisa seperti ini karena dilatih. Jadi, sebetulnya binatang, sebagaimana beruang ini, bisa cerdas seperti manusia. Asal dilatih terus menerus. Tentu tidak secerdas manusia tetapi minimal bisa membuat manusia terhibur.

Jadi, kalau manusia merendahkan binatang, dengan menyebut binatang pada sesama manusia, manusia sudah sombong. Manusia memang sombong. Tetapi baik kalau jangan menyombongkan diri dengan merendahkan binatang. Binatang juga perlu dilindungi, perlu dijaga keberadaannya di bumi. Binatang dan manusia sama dalam hal ciptaan. Sama-sama diciptakan untuk hidup di bumi ini.

Betapa sombongnya manusia jika menghina binatang. Lebih sombong lagi jika menyebut sesamnya sebagai binatang. Manusia dan binatang memang beda. Dan tidak perlu disamakan. Kalau manusia menyamakan dirinya dengan binatang, itu bukan hal yang wajar lagi. Manusia dan binatang tetap beda. Perbedaan ini sudah menjadi ciri khasnya. Tetapi perbedaan ini tidak membuat manusia lebih tinggi sebagai ciptaan. Dalam cerita kuno memang disebut manusia adalah makhluk termulia di antara ciptaan. Tetapi ini tidak berarti manusia boleh sombong di depan binatang. Apalagi boleh menghina sesamanya sebagai binatang.

Obrolan sore setelah melihat kebun binatang. Salam selamat menghargai binatang.

PA, 6/6/13
Gordi
Powered by Blogger.