Halloween party ideas 2015



“Tuhan adalah pengarang kitab-kitab dalam agama-agama. Dalam Islam, ada sejumlah kitab. Itu adalah tulisan Tuhan sendiri,” kata Mohammad Sobary dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu. Meski itu adalah tulisan Tuhan sendiri, tak banyak yang membacanya. Hitung saja berapa banyak orang yang membaca kitab-kitab itu dalam setiap agama. 

Ia lalu bercerita tentang kemiripan dan perbedaan antara Tuhan dan dirinya. “Saya juga pengarang. Saya sudah menulis banyak buku. Tetapi, saya kecewa, mengapa masyarakat tidak banyak membeli dan membaca buku saya?” tutur budayawan yang pernah menjadi pemimpin umum Kantor Berita Antara ini dengan nada lantang. Menulis buku, menurutnya penuh perjuangan. Betapa kecewanya penulis ketika buku itu tidak dibaca.

“Di sinilah saya belajar berlapang dada dari Tuhan sendiri,” sambung budayawan yang sering disapa Kang Sobary dengan nada rendah. Menurut budayawan kondang ini, Tuhan tidak marah ketiak kitab-kitabnya tidak dibaca oleh banyak orang .  Beda  dengan manusia yang mudah kecewa ketika menghadapi tantangan. “Maka, marilah kita belajar berlapang dada dari Tuhan sendiri,” ucap putra kelahiran Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 7 Agustus 1952 ini dengan nada ajakan.

Jakarta, 27 Oktober 2011
Gordi Afri


Google images
Bisa jadi orang tak percaya mendengar kabar orang mati hadir kembali. Hal itu mustahil menurut logika manusiawi.

Tak ada salahnya berpandangan demikian. Sistem logika dunia hanya mengenal hal-hal yang dilihat dengan mata indrawi. Di luar itu, logika duniawi tidak bisa berbuat apa-apa.

Saya semakin yakin kalau orang mati kerapkali menjumpai kita. Bagi orang yang tidak mengalaminya bisa jadi tidak percaya. Saya mengalaminya maka saya yakin. Saya sebelumnya percaya melalui dogma/ajaran Katolik. Orang mati masih berkontak dengan kita yang hidup. Maka, berdoalah untuk mereka sebab mereka membutuhkan doa kita.

Dua minggu berturut-turut dalam bulan September ini saya berjumpa dengan Kakak saya, Yos. Dia hadir dalam mimpi. Minggu lalu, kami beraktivitas bersama dalam mimpi. Hanya saja dia tidak bicara. Kami duduk berhadap-hadapan di antara orang banyak. Mereka bercerita dan kami mendengarkan.

Tadi malam juga, dia hadir. Dia tetap diam. Beberapa keluarga saya memandangi fotonya yang ditempel di dinding ruang tamu. Kurang jelas ruang tamu di rumah siapa. Yang jelas saya dan keluarga saya melihat foto itu. Ada juga foto kami berdua waktu kecil. Foto itu juga menjadi pusat perhatian keluarga dalam kesempatan itu. Demikian rangkaian mimpi yang saya ingat.

Minggu lalu, saya menceritakan mimpi ini kepada bapak dan mama di rumah dan kepada dua adik saya yang paling besar. Bapa mengatakan, Kakak Yos hadr meminta doa kita. Ternyata pada saat yang hampir bersamaan, adik saya Afi juga bertemu Kak Yos dalam mimpi. Kakak Yos meminta rokok kesukaannya. Kak Yos—yang meninggal pada 12 Oktober 2008—hadir dalam mimpi, ingin bertemu kami adik-adiknya.

Kebetulan saja, beberapa minggu belakangan saya tidak berdoa untuk Kak Yos. Kalau dihubungkan dengan dogma Katolik, bisa saja Kak Yos datang karena kami kurang berdoa untuknya. (Maaf kak kalau kami ego, hanya ingat diri saja, dan lupa mengingat engkau). Namun, betulkah demikian? Jangan-janganitu hanya kebetulan?

Setelah mimpi minggu lalu itu, saya berdoa untuk Kak yos tiap malam. Minimal pagi atau malam, saya memandang fotonya lalu berdoa untuknya. Namun, semalam dia hadir lagi dalam mimpi. Apa artinya ini? Boleh jadi doa kami belum cukup. Atau adakah hal lain yang Kakak inginkan?

Mungkin saya sudah tenggelam dalam egoisme sehingga lupa berdoa untuk sesama, juga untuk Kak Yos. Bisa jadi ini rambu peringatan darinya. Yang jelas saya rindu Kak Yos. Saya berjanji untuk berdoa baginya. Kak Yos, engkau hadir menjelang 3 tahun kepergianmu, bimbinglah kami, adik-adikmu dari sana…..

Selasa, 17 Oktober 2011
dalam penuh pengharapan….
Gordi Afri, adikmu

Gambar: google



Kemarin (11/10/2011), saya bertemu seorang penjahit. Persisnya saya yang berkunjung ke tempatnya bekerja. Usahanya ini terletak di pinggir jalan kecil nan ramai di Jakarta Pusat. Ibu ini melayani pelanggan usahanya dengan ramah. Siang ini pun seperti itu.


Ketika saya masuk, dia sedang membereskan sebuah celana jahitannya. Dia bercerita kalau sebelumnya ada pemuda yang hendak menjahit celananya namun gagal karena perbedaan harga. Ibu itu mempersilakan pemuda itu mencari tempat jahitan lain. Rupanya pemuda itu tidak menemukan penjahit yang cocok. Tak lama berselang, dia datang lagi. Namun, ibu setengah tua itu menolak jika jahitannya langsung diambil siang itu juga.

Ibu ini memang pekerja keras. Keringat mulai tampak di mukanya. Bisa jadi karena kepanasan. Dia dan suaminya menjalani profesi ini sejak puluhan tahun lalu. Konon, dia adalah seorang perantau. Sebagai perantau, dia mengalami banyak pengalaman bertemu orang dari berbagai latar. Dia memberi nasihat, "Mas sebagai perantau—apalagi sebagai mahasiswa—kita mesti rendah hati dengan penduduk asli." Di mana-mana perantau memang menjadi warga kelas dua. Tak sedikit yang berusaha mengubah/memperbaiki status sosial sehingga menjadi setara dengan penduduk asli. "Kalau mereka olok, kita terima dengan rendah hati saja. Namun, kita juga mesti tegas dengan identitas kita supaya mereka sadar," lanjutnya. Ibu ini sadar akan identitas. Identitas menjadi ciri khas seseorang. Bisa jadi orang yang tidak menghargai akar budayanya tidak beridentitas. 

Identitas ini pula yang membuat ibu ini dipercaya banyak orang. Dia bercerita kalau dulu dia sering melayani pesanan jahitan untuk pegawai TNI AL, dari kantor polisi, dan artis legendaris Indonesia seperti (grup) Koes Plus. "Di rumah saya, ada koleksi kaset Koes. Dia memberi dengan gratis puluhan tahun lalu," kenangnya. Bukan hanya dengan kalangan atas, ibu ini juga akrab dengan tukang sayur. "Kalau ada pakaian yang masih layak pakai, saya berikan kepadanya," cerita ibu yang sudah 35 tahun menjadi penjahit. Keakraban ini membuatnya bisa kenal dengan banyak orang. Di perantauan, peran teman amat penting. Kalau ada masalah, teman bisa membantu. Sumbangan kecil yang amat berarti. Maka, semakin banyak teman dan sahabat, semakin luas jaringan pergaulan. Semakin baik kita bertutur kata, semakain banyak orang percaya dengan kita. Terima kasih Ibu atas nasihatmu.   

Cempaka Putih, 11 Oktober 2011
Gordi Afri


Hemat energi melalui cara berpakaian
Tragedi itu terjadi pada 11 Maret 2011 di Jepang. Bangunan hancur diterpa gelombang tsunami, belasan bahkan puluhan ribu nyawa manusia terenggut. Tambah lagi dengan ribuan nyawa yang dinyatakan hilang. Setelah gempa dan gelombang tsunami itu, muncul banyak persoalan baru. Satu di antaranya adalah ledakan reaktor nuklir yang membawa bahaya radiasi.


Enam bulan berlalu. Trauma masih ada. Sarana untuk warga pun belum tuntas. Masih ada yang tinggal di hunian sementara. Namun, kini Jepang bangkit lagi. Pemerintah dan warga Jepang sedang memulihkan situasi dan kondisi. Semangat tahan uji masyarakat Jepang terbukti dalam mengatasi bencana ini. Sekadar diketahui selama abad XX dan XXI Jepang mengalami beberapa bencana alam dahsyat. Gempa bumi Kanto 1923, Gempa bumi besar Hanshin-Awaji 1995, Gempa bumi Hokkaido 2003, Gempa bumi Chūetsu 2004, Gempa bumi Iwate 2008, Gempa bumi Shizuoka 2009, Gempa bumi Jepang 2010, dan Gempa bumi dan tsunami Sendai 2011. Betapa semangat pemerintah dan masyarakat Jepang teruji dan menjadi kuat melalui peristiwa ini. Semangat ini pula yang membangkitkan mereka untuk membangun negeri.

Laporan kolom intermezzo di TEMPO edisi 12-18 September 2011 memperlihatkan bagaimana pemerintah dan masyarakat mendukung rencana ini. Sarana publik diperbaiki, seperti rel kereta api, bandara, terminal, dan sarana lain. Selain itu, hunian sementara tetap disediakan. Masyarakat boleh menggunakan hunian ini secara gratis sambil menunggu renovasi rumah. Ini yang membuat masyarakat merasa nyaman untuk tetap tinggal di lokasi semula meski kerapkali dilanda ancaman gempa.

Selain itu, masyarakat mendukung dengan beberapa kebiasaan baru seperti penghematan energi listrik. Lampu penerang di rumah dan jalan dihidupkan seperlunya saja. Pendingin ruangan (Air Condition) di hotel dihidupkan dengan suhu sedang dan pada waktu tertentu saja. toko-toko dan pusat belanja dibuka setengah hari, tidak 24 jam seperti biasanya. Mereka juga menggunakan pakaian yang tipis agar tidak terlalu pamas. Ini semua demi mendukung program penghematan energi listrik.

Sumbangan lain juga muncul. Dari kaum tua sedang diusulkan program baru. Mereka menjadi relawan untuk memperbaiki reaktor nuklir. Hitungan dampak radiasi yang akan terjadi setelah 30-40 tahun sudah dipersiapkan. Kalaupun kena radiasi, mereka tidak teralalu rugi karena umur mereka nanti sudah tua. Daripada mengirim relawan muda yang masih usia produktif. Begitu prinsip mereka.

Para perawat dan dokter juga tetap masuk rumah sakit meski suami dan anak mereka menjadi korban bencana. Mereka berprinsip bekerja karena banyak yang membutuhkan. Jangan heran kalau beberapa perawat Indonesia diminta dikirim ke daerah bencana. Solidaritas dan semangat  juang yang tinggi.

Kita, bangsa Indonesia yang berada di daerah gempa dan sering dilanda gempa dan bencana alam lain bisa belajar dari bangsa Jepang. Kita sudah mengalami beberapa bencana besar seperti Aceh (2004), Mentawai, Wasior, dan Yogyakarta (2010). Peristiwa ini kiranya mematangkan persiapan diri kita menghadapi bencana alam. Ekspedisi CINCIN API KOMPAS juga bisa memperluas pemahaman kita tentang bencana alam. Setelah semuanya diketahui, persiapan diri kitalah yang menjadi penentu utama. Bahaya bencana alam akan selalu ada, tinggal saja bagaimana kita menghadapinya. Alam boleh bergejolak, nyawa manusia tetap diselamatkan semaksimal mungkin.

Cempaka Putih, 22 September 2011
Gordi Afri

Tulisan ini dibuat karena tersentuh dengan salah satu mata kuliah semester ini (semester ganjil tahun ajaran 2011/2012). Tersentuh sama sekali tidak ada niat untuk melawankan dengan kata tidak tersentuh. Dalam artian, mata kuliah lain tidak tersentuh. Tidak! Bukan itu maksudnya.

Mata Kuliah ini diberi nama Pembangunan Komunitas Inklusif. Komunitas (masyarakat) yang dibangun di atas suasana inklusif. Kata inklusif sendiri artinya terbuka. Kata yang dilawankan dengan eksklusif yang artinya tertutup. Kata inklusif ini berakar pada kata include yang artinya melibatkan, ikut serta.

Merujuk pada arti kata ini, kuliah ini mengasah pikiran para mahasiwi/a untuk terbuka. Terbuka terhadap pikiran orang lain. Terbuka terhadap pandangan lain, kelompok (orang) lain, negara lain, dan sebagainya. Semuanya yang berbau “lain” atau “beda dengan kami”, serta “bukan kami” diterima sebagaimana adanya. Keadaan mereka perlu dihormati, dihargai, dirangkul, dan dipelajari.

Hari pertama kuliah, para mahasiswi/a berdebar karena kuliah ini agak beda dengan kuliah lain yang didonimasi oleh ilmu Filsafat dan Teologi. Kuliah ini membawa unsur baru, dan sama sekali lain dari dua arus utama kuliah selama ini. Meski beda dengan arus utama, kuliah ini mengarah pada situasi konkret bangsa saat ini. Salah satu masalah bangsa sekarang ini adalah merosotnya nilai keterbukaan terhadap “kelompok” lain. Kelompok agama, budaya, suku, ras, dan sebagainya. Singkatnya kuliah ini relevan dengan situasi masyarakat.

Pada hari kedua kuliah (minggu berikutnya), kami, para mahasiswi/a diajak untuk melihat budaya sendiri. Ide dasarnya adalah “Menghormati budaya lain mesti berangkat dari budaya sendiri”. Kenalilah dulu budaya sendiri baru kemudian bisa mengenal budaya lain. Maka, kami diajak mendiskusikan nilai budaya masing-masing. Lalu, di-share-kan kepada teman. Dari sini saja, kami bisa belajar nilai budaya baru yang berbeda dengan budaya sendiri. Namun, kegiatan share ini sedikitnya membuat kami berbalik  arah. Kembali ke belakang, melihat akar budaya masing-masing.

Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai yang dihayati. “Kalau saya belum menghayati nilai budaya asli saya maka nilai budaya itu masih abstrak”, demikian dosen menjelaskan tentang ini. Maka nilai budaya itu merupakan nilai yang sedang saya hayati, akan saya hayati, dan sudah saya hayati. Nilai budaya yang dihidupi sendiri biasanya tertanam kuat dan akan selalu dibawa dalam tiap gerak langkah hidup. Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada nilai budaya itu tetap melekat. Sumber nilai-budaya itu bermacam-macam. Ada keluarga, masyarakat, sekolah, agama, kelompok sosial tertentu, dan lain-lain.

Konflik pelecehan budaya bisa jadi muncul karena orang tidak mengenal budayanya sendiri. Mengacu pada pernyataan menghormati budaya lain dengan berangkat dari pengenalan akan budaya sendiri, bisa jadi sekarang sebagian dari kita lupa akan akar budaya sendiri. Di kelas ketika diskusi, mudah sekali mendengar paparan teman tentang budayanya. Bisa jadi bagi kami—yang terbiasa dengan perbedaan pendapat dalam kelas—tidak sulit menghormati budaya lain. Namun, bagi orang yang belum terbiasa hidup dengan beragam perbedaan, pemaparan semacam ini menjadi ajang saling olok dan saling leceh tentang nilai budaya.

Apakah konflik yang melecehkan nilai budaya tertentu berangkat dari pemahaman dan kondisi semacam ini? Bisa jadi demikian. Kalau demikian, kuliah ini sangat relevan untuk mengubah pemahaman ini. Kami yang mengambil kuliah ini bisa ditugaskan untuk menyebar pemahaman baru ini. dan dari sini, diharapkan banyak orang yang melihat budaya orang lain sebagai sebuah nilai positif. Maka, Marilah kita menjadikan PERBEDAAN untuk merajut persatuan bangsa. Bhineka Tunggal Ika.   

Cempaka Putih, 12 September 2011
Gordi Afri


BAGIAN LANJUTAN BACA DI SINI

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI



Sebuah kisah dalam Kitab Suci yang menampilkan Allah yang penuh belas kasih kepada manusia.

Sekadar mengingatkan kembali bahwa kisah Orang Samaria yang Baik Hati atau “The Good Samaritan” merupakan salah satu kisah favorit yang amat menarik dalam Kitab Suci. Kalau disimak dengan baik, kita memperoleh pelajaran berharga. Pelajaran yang adalah modal untuk mencapai hidup kekal, seperti dikatakan Injil hari ini. *gambar dari google images

Kisah ini (baca di Luk 10:25-37) menampilkan jarak antara dua keadaan yang berlawanan. Orang yang menderita dan orang yang mengalami kebahagiaan hidup. Orang menderita memiliki harapan besar untuk mengubah hidupnya. Sementara orang yang bahagia mempunyai peluang besar untuk membahagiakan sesama. Seorang pelancong yang mengalami luka pendarahan karena dipukul, hartanya dirampas habis-habisan, adalah orang yang menderita. Berlawanan dengan dia, ada orang Samaria yang bahagia, penuh belas kasihan, berjiwa solider, mau membantu sesama.

Bukan kebetulan kalau orang Samaria mau membantu dengan merawat, mengobati, memberi penginapan, membayar pemilik penginapan. Keduanya mempunyai jarak. Jarak itu menjadi dekat bagi keduanya karena The Good Samaritan ini mau mendekati pelancong itu. Beda dengan dua pendahulu (Imam dan seorang Lewi), yang melihat pelancong itu. Mereka mempunyai jarak yang jauh karena mereka melihat saja lalu melewatinya.

Bukan kebetulan kalau pelancong seperti dikisahkan tadi, berada di sekitar kita saat ini. Kisah ini diceritakan dulu. Namun, sampai sekarang orang seperti ini masih ada. Di perempatan jalan, di stasiun kereta, dan tempat umum lainnya kerapkali ditemui orang semacam ini. Kita dan mereka mempunyai jarak. Kalau kita mempunyai kemauan membantu, berarti kita mendekati sikap The Good Samaritan tadi. Kita menyaingi The Good Samaritan jika kita turun dari keadaan kita dan membantu dengan hati yang tulus. Dengan demikian, jarak antara kita dan mereka menjadi dekat.

Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaatnya di Roma (Rom 13:8-10;) mengatakan “Barang siapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum.” Dalam konteks itu, hukum yang dimaksud bisa jadi adalah hukum Taurat. Hukum yang menjadi patokan banyak orang waktu itu. Sekarang, hukum yang dimaksud adalah hukum Cinta Kasih. Membantu sesama yang lemah dan menderita adalah wujud Cinta Kasih.

Jauh sebelumnya, Nabi Yehezkiel ditugaskan untuk memperingatkan orang-orang sezamannya untuk bertobat (Yeh 33:7-9). Biasanya pertobatan itu mulai dari diri sendiri. Pepatah mengatakan, Ubahlah dirimu sebelum Engkau mengubah dunia. Sekali membantu mereka yang menderita, kita sudah sampai pada awal pertobatan. Perubahan hidup mulai dari situ. Ketika mengulang lagi tindakan yang sama, kita mulai masuk dalam pertobatan diri. Tindakan kita itu akan dilihat dan ditiru orang.

Bukan hanya itu. Dengan tindakan itu, kita menampilkan Wajah Allah yang penuh Kasih. Allah yang adalah Kasih membantu kita yang menderita. Namun, perlu mawas diri, jangan sampai kita mengharap imbalan dari tindakan itu. Kasih menuntut penyerahan total, bukan imbalan sebagai pamrih.

Sambil menekuni (membaca dan merenungkan) Kitab Suci dalam Bulan Kitab Suci Nasional tahun ini, kita berharap kepada Tuhan untuk menyingkirkan penghalang Sabda-Nya. Mencairkan hati kita untuk membantu sesama. Membimbing kita di jalan-Nya. Tuhan bercerita dan kita mendengar lalu mempraktikkannya.

Jakarta, 1 September 2011
Gordi Afri

Bulan Agustus identik dengan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan yang tiap tahun dirayakan. Mulai dari rakyat kecil di pelosok kampung hingga pejabat tinggi di kota-kota besar dan di ibu kota negara, Jakarta. Namun, dari media masa, ada laporan kalau ada daerah tertentu (di dekat perbatasan) yang belum dan baru saja merayakan perayaan besar ini.
Tahun ini, bulan Agustus bukan saja identik dengan kemerdekaan. Saudari/a Muslim mengadakan ritual puasa. Maka, bulan Agustus (untuk tahun ini) idetik dengan bulan puasa (ramadhan). Dalam bulan puasa, saudari/a Muslim mau membebaskan diri (merdeka) dari nafsu duniawi. Jangan heran kalau makanan ada hanya saat buka puasa di sore hari.

Ada keunikan lain di bulan Agustus. Menjelang tanggal 17 muncul banyak pertanyaan di dunia maya dan media masa. Pertanyaan yang dominan seputar tema “kemerdekaan”. Ada yang bertanya, “Sudah merdekakah kita?” Jawabannya beragam. Ya, tidak, sebagian merdeka sebagian belum, dalam bidang tertentu ya, bidang lain tidak. Ada pula yang menguraikan “kemerdekaan” itu sendiri. Dulu, rakyat mau merdeka dari penjajah asing. Sekarang, rakyat mau merdeka dari penjajah dalam negeri.

Jauh dari pertanyaan abstrak seperti itu, ada hal yang mencolok di mata kita. Bulan Agustus identik dengan bendera Merah Putih. Di mana-mana, di kantor, pertokoan, perumahan, dan tempat umum lainnya, Merah Putih berkibar. Bahkan di gang-gang rumah rakyat, ada bendera Merah Putih. Meski ukurannya kecil dan terbuat dari bahan plastik. Ketika dipasang antara dua tiang, kumpulan bendera kecil ini menjadi pemandangan yang mencolok. Di kendaraan juga, ada kibaran Merah Putih.

Dari laporan media, diketahui bahwa, jumlah bendera yang berkibar tahun ini berkurang. Tahun lalu, di setiap gang, ada untaian panjang Merah Putih. Tahun ini, ada juga namun jumlah untaiannya sedikit. Selain itu, para penjual bendera tahun lalu lebih banyak ketimbang tahun ini. Begitu juga dengan laporan tukang jahit bendera. Tahun ini jumlah pesanan menurun ketimbang tahun sebelumnya.

Dari sini, bisa diketahui, sejauh mana geliat rakyat merayakan kemerdekaan bangsa ini. Ibarat orang yang tidak memiliki arah masa depan yang jelas. Bahkan kalau boleh dibilang, ada kemunduran geliat merayakan kemerdekaan. Secara umum, rakyat bisa saja jenuh dan kecewa dengan pencapaian pemerintah menyejahterakan rakyatnya. Mata rakyat melihat penyelesaian kasus korupsi yang tak kunjung selesai.

Selain itu, rakyat sediri mengalami kekecewaan lain. Kekecewaan yang menyentuh hidup harian mereka. Mereka yang menjadi nelayan merasa tidak diperhatikan. Tak ada upaya untuk memberdayakan kegiatan mereka. Para petani sawah merasa tidak dihiraukan perjuangan mereka. Hasil usaha mereka berhadapan dengan beras impor. Tak ada upaya untuk meningkatkan usaha mereka. Petani garam dijanjikan bantuan namun sekaligus juga pemerintah mengimpor garam. Barang kebutuhan rakyat lainnya juga diimpor. Jangan heran kalau di toko-toko ada buah-buahan impor, sepatu impor, pakaian impor, dan sebagainya. Kapan rakyat bisa puas dengan hasil usahanya?

Rakyat Malaysia, India, dan Korea bangga dengan hasil buatan dalam negerinya. Para pejabat diwajibkan memakai kendaraan buatan negeri sendiri. Rakyat pun ikut-ikutan lalu membanggakan hasil usaha mereka. Mereka bisa puas. Sebagian besar kebutuhan dalam negerinya dihasilkan rakyat sendiri. Indonesia agak beda. Ada banyak potensi di laut, udara, dan darat yang bisa diolah. Namun, pemerintah dan rakyat enggan menggalinya. Kapan Indonesia bangga dengan hasil karyanya?

Pertanyaan “sudah merdekakah kita”, agak sulit dijawab dengan “Ya, merdeka” dan sulit juga dijawab “Belum merdeka”. Di jalanan ada banyak mobil mewah. Akan ketahuan bahwa pemiliknya adalah orang berada. Kalau orang luar melihat banyak mobil mewah di jalan dan hanya mobil mewah di tol, akan muncul kesan Indonesia sudah kaya sudah merdeka. Kenyatannya???

Dari bidang pendidikan, ada kebanggaan terutama prestasi anak bangsa dalam olimpiade internasional. Namun, pendidikan Indonesia bukanlah soal memenangkan olimpiade. Itu hanya kebangaan sesaat saja. Secara keseluruhan, pendidikan Indonesia diwarnai komersialisasi. Biaya mahal, bertaraf internasional meski mutunya jauh dari kesan internasional. Kalau pendidikan sebagai agen of changes sebuah negara saja nasibnya begini, bagaimana bangsa ini bisa berubah?

Banyak orang Indonesia berprestasi yang tinggal di luar negeri. Peneliti unggul merasa dirinya tidak dihargai kalau tinggal di Indonesia. Penelitiannya tidak berkembang karena kekurangan dana penelitian. Mereka masih ingat Indonesia dengan sesekali mengadakan pertemuan bersama orang berprestasi. Namun, mereka tetap bekerja di (dan untuk) luar negeri.

Bagaimana mau mengelola kekayaan laut, kalau ahlinya tidak ada? Bagaimana mau mengeloala tambang kalau ahlinya harus didatangkan dari luar negeri? Bagaimana menyejahterakan masyarakat di sekitar lokasi tambang kalau hasil tambang dibawa ke luar negeri oleh pengelolanya dan sebagian ke pusat?

Ini hanya sekelumit potret bangsa Indonesia di hari ulang tahunnya ke-66. Pertanyaan sudah meredeka atau belumkah bangsa ini tidak perlu dijawab ‘ya’ dan ‘tidak’ secara singkat. Kondisi bangsa menjadi titik pijak untuk merefleksikan sejauh mana bangsa ini sudah merdeka dan sejauh mana belum merdeka. Tanpa mengurangi hasil debat pro merdeka dan pro belum merdeka, saya mengucapkan Selamat HUT ke-66 untuk bangsa Indonesia. Merdeka!!!!!

Jakarta, 27 Agustus 2011
Gordi Afri

Ternyata kata “filsafat” masih asing bagi orang tertentu. Beberapa teman bahkan berkomentar, baru dengar nama itu. Entah karena kurang baca, kurang dengar, kurang simak berita, atau alasan apa sampai muncul reaksi itu.

Bisa jadi mungkin karena “filsafat” itu kurang disosialisasikan (dimasyarakatkan) sehingga kurang familiar. Namun, beberapa teman juga mengatakan (orang-orang) filsafat itu terlalu mengawang-awang (abstrak). Ini mungkin karena (ilmu) filsafat itu tinggal dalam menara gading, yang mengerti hanya yang belajar filsafat itu sendiri. *Gambar google images

Mendefinisikan “filsafat” itu memang agak rumit. Ketika defiinisi dibuat selalu saja ada yang kurang. Lantas ada komentar, apakah filsafat itu sebatas itu? Dosen saya bahkan pernah membuat mahasiswa/i-nya kaget. Dia memberikan beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf. Anehnya, terakhir dia mengatakan, filsafat itu tak terdefinisikan.

Maksudnya, “filsafat” itu tak bisa dibatasi dalam definisi itu. Masih ada celah yang bisa ditanyakan dari definisi yang ada. Dari uraian sebelumnya saja, ada pertentangan antara para filsuf. Tak jarang pula muncul definisi, filsafat itu merupakan ilmu yang diawali dan diakhiri dengan pertanyaan. Bisa membingungkan bukan?

Saya mencoba memaparkan sebagian kecil dari definisi filsafat. Definisi yang diambil dari beberapa ahli ini tentu saja masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana pun definisi sebuah kata, kadang-kadang tidak memenuhi kandungan maksud kata itu. Itulah filsafat. Yang jelas ada guyonan, STF (Sekolah Tinggi Filsafat) itu adalah Sekolah Tanpa Faedah.

Nama ”filsafat” dan ”filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama ”filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Pythagoras demikian tercampur dengan legenda-legenda sehingga seringkali kebenaran tidak dapat dibedakan dari reka-rekaan saja. Demikian juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama ”Filsuf” ditemukan oleh Pythagoras (Bertens,  Sejarah Filsafat Yunani, 1999:17-18).

Arti philo-sophos yang adalah pencinta kebijaksanaan ini agak lain dari pengertian filsafat atau falsafah menurut kamus ilmiah populer. Dalam kamus ini, filsafat atau falsafah mempunyai pengertian yakni pengetahuan tentang, asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hukum dan prilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis (lih. Widodo (ed), Kamus Ilmiah Populer, 2002:147).

Lain lagi pengertian filsafat menurut kamus umum bahasa indonesia. “Filsafat atau falsafat atau falsafah berarti pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta atau pun mengenai kebenaran dan arti ’adanya’ sesuatu.”( Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1987:280).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pencinta kebijaksanaan, kebijaksanaan akan pengetahuan; asas-asas pikiran dan perilaku; asas-asas hukum; dan pandangan hidup dengan menggunakan kekuatan akal budi (bdk. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, 1991:18).

*Tulisan ini merupakan olahan dari tugas kuliah di STF Driyarkara pada semester ganjil tahun 2008.

Jakarta, 10 Juli 2011
Gordi Afri


google images
Bagi sebagian orang menyebut hantu itu gampang sekali. Tak jarang ketika terjadi sesuatu, dengan gampang terlontar kata-kata “itu hantu”.

Biasanya hantu dikaitkan dengan tempat gelap. Sebagian orang di kampung saya dulu meyakini kalau hantu itu berkeliaran di tempat gelap. Sejak kecil juga, saya dikuasai keyakinan itu. Namun, sampai sekarang saya belum pernah melihat hantu. Seperti apa bentuknya, tidak jelas. Tak jarang bagi orang tertentu, hantu itu tidak ada.

Kelompok ini meyakini demikian karena belum pernah melihat hantu. Hantu tidak termanifestasi dalam bentuk fisik. Kalau demikian, dari mana orang mengatakan itu hantu? Bisa saja hal ini terkait dengan keadaan perasaan seseorang. Perasaan takut ketika berada di tempat gelap memicu seseorang untuk mengatakan itu hantu.

Hantu sampai di sini merupakan nama yang tidak jelas. Nama itu diciptakan begitu saja, tanpa ada wujudnya yang jelas. Hantu pada zaman dulu merupakan nama untuk kekuatan negatif,  semisal setan, jin, dan sebagainya. Bagi orang yang punya kekuatan untuk melihat kekuatan semacam ini, hantu itu ada. Mereka yakin ada hantu. Ini tentu tidak bisa diterima oleh mereka yang tidak bisa melihatnya. Dua kubu berbeda yang tidak bisa disamakan.

Seorang murid bisa menuduh gurunya hantu. Apalagi kalau dia tidak mengenal betul gurunya. Petrus yang sudah lama tinggal dengan gurunya (Yesus) pun belum mengenal betul gurunya itu. Dia bingung ketika guru itu menghampirinya. Lagi-lagi Petrus dikuasai perasaan takut. Takut terbawa arus laut. Perasaan ini yang membuatnya berteriak, “Itu hantu…”.

Bagi orang yang berada dalam kegelapan, teriakan itu hantu mudah saja. Meski tak jelas, mereka bisa berteriak. Jadi tuduhan itu hantu sebanrnya bisa muncul dari situasi kegelapan. Jangan-jangan kalau hati manusia gelap, teriakan itu juga muncul.

Bisa saja demikian. Ketika seseorang tak bisa lagi menerangi yang lain, yang lain akan tetap berada dalam gelap. Maka dia dan mereka tetap gelap. Dari sini bisa muncul teriakan itu hantu. Ketika kita berada dalam situasi terhimpit, di situ pun bisa muncul kegelapan.

Kalau sang guru itu benar-benar hantu, apa yang terjadi? Sang murid tak dikenali lagi. Demikian pun sebaliknya. Namun, sang guru tetap mengenal muridnya. Hanya saja murid lupa dengan gurunya.

Bagi orang yang masih mengenal sesamanya sebagai manusia, keadaan gelap itu akan menjauh. Dari perkenalan yang mendalam itulah lahir terang yang mengusir hantu. Maka, kalau dia benar-benar hantu, sinarilah dengan terang. Kelak teriakan itu akan berbunyi..”Itu saudara/iku…”

Saudara/I itu bukan hantu. Mereka manusia yang dikenal. Mereka mengenal aku. Kita saling kenal. Tak ada lasan untuk bermusuhan. Tak ada alasan untuk menuduh..  “Itu Hantu” meski datang godaan untuk menuduh demikian.

Cempaka Putih, 7 Agustus 2011
Gordi Afri



 


Siapa bilang Indonesia jaya?
Di ibu kotanya saja banyak terlihat penduduk miskin
Banyak pula pengemis jalanan, pengamen jalanan.

Sabar……
Siapa bilang Indonesia tak berdaya?
Pagi ini saya melihat banyak yang bangun pagi-pagi
Ada dua bapak yang sedang berbincang di depan masjid setelah selesai berdoa
Ada pengendara sepeda motor dengan muatan ayam yang siap dijual di pasar
Ada petugas satpam yang menanyakan tanda waktu ke saya
Ada pula teman-teman olahraga pagi

Dari sini saja sudah tahu Indonesia itu masih “hidup”
Dari pagi sudah berdoa
Belum terhitung yang siang, sore, malam
Entah di tempat ibadat atau bukan tempat ibadat
Berdoakan bisa di luar tempat ibadat
Kalau begitu mengapa rebut-ribut soal tempat ibadat yang ditutup
Atau tak dizinkan berdiri?
Kan bisa berdoa tanpa tempat ibadat

He….itu untuk ibadat bersama
Kalau berdoa pribadi bisa dilakukan di mana saja
Oh begitu..
Yah..kalau begitu kita dukung pendirian tempat ibadat
Yang berguna bagi umatnya
Bukan yang mubazir
Entah karena tidak digunakan
Atau karena kebanyakan

Indonesia masih hidup kok
Sejak pagi sudah ada yang berbisnis di pasar
Roda ekonomi mulai berputar
Lalu mengapa Indonesia tetap saja miskin?
Yahhh itu ma Indonesia secara keseluruhan
Masih ada sebagian orang Indonesia yang kaya
Memiliki banyak perusahaan dan pusat bisnis
Jangan salahh….
Mereka masuk nominasi orang terkaya di dunia

Oh begitu….
Tetapi mereka itu bukan kelompok yang bangun pagi-pagi
Dan menjalankan roda perekonomian
Mereka golongan bangsawan
Alias bangun kesiangan
Yang pagi-pagi memutar roda ekonomi adalah kaum kecil
Mereka berjuang demi hidup
Makanya ada pertanyaan..”pagi ini makan apa ya????”

Ya memang Indonesia masih hidup
Pagi-pagi sudah ada yang berolahraga
Tetapi kok prestasi Indonesia di bidang ini tidak memuaskan?
Yah…itu mah…salah urus..
Emang sich susah ngurus Negara besar seperti ini
Kalau untuk olahraga sendiri-sendiri sich bias
Bangun pagi saja sudah bisa olagraga
Nggak sulitkan ngurusnya?
Ya…. tak serumit ngurus PSSI
Tak serumit mengelola PBSI

Ahhh..sekian dulu
Tak penting ngomongin pengurus olahraga
Kan itu tidak selesai dengan ngomong doank
Mesti ada usaha
Makanya mari kita berusaha
Sekian dulu lari-lari paginya…

*Obrolan sebelum fajar terbit sambil lari-lari
** Semua gambar dari google images

Cempaka Putih, 30 Juli 2011
Gordi Afri

Powered by Blogger.