Halloween party ideas 2015

Pendahuluan
            Tulisan ini dibagi empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Substansi menurut Spinoza (Baruch dpe Spinoza, 1632-77). Bagian kedua menjelaskan dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi yakni konsep ‘attribute’ dan ‘modus’. Bagian kedua ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari pengertian substansi pada bagian pertama. Bagian ketiga menjelaskan konsep Allah atau Alam sebagai kenyataan tunggal. Bagian keempat menjelaskan konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan.

Substansi menurut Spinoza
            Spinoza—seperti Descartes—ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Pegangan yang pasti itu bagi Spinoza adalah konsep substansi. Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.[i] Dalam rumusan lain Spinoza mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[ii] Konsep substansi itu sudah terbentuk pada dirinya sendiri. Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causa sui: penyebab dirinya sendiri). Spinoza berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Ia tidak setuju dengan Descartes yang mengatakan ada tiga substansi yang saling berkaitan. Substansi ini menurut Spinoza bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Sifat lain dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak (artinya sama sekali tidak bergantung pada yang lain), dan tunggal. Menurut Spinoza yang memenuhi semua definisi ini adalah Allah. Allah mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal, dan utuh.[iii]
            Allah adalah substansi menurut Spinoza maka Allah adalah sesuatu yang ada pada dirinya dan dipahami melalui dirinya sendiri; Allah adalah sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya; Allah adalah suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain; Allah tidak berelasi dengan yang lain; Allah tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain; Allah bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Kalau demikian bagaimana Spinoza mengetahui atau mengenal Allah yang tak terbatas kalau Allah itu hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri? Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Di sinilah letak rasionalisme Spinoza. Rasio manusia—menurut Spinoza—mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang adalah substansi itu sendiri.[iv] Rasio itu pula yang memampukan Spinoza untuk menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah itu. Dengan kata lain, Allah yang sedemikian tak terhingga itu bisa dijelaskan dengan kekuatan rasio manusia. Namun sebetulnya pikiran manusia itu adalah bagian dari pikiran tak terbatas dari Allah.[v] Pikiran manusia—dalam hal ini Spinoza—bisa menjelaskan sesuatu yang tak terbatas, yang melampau daya tangkapnya karena masih  merupakan bagian dari yang tak terbtas itu. Yang tak terbatas itu adalah Allah dan pikiran manusia yang menjelaskan Allah itu merupakan bagian dari yang tak terbatas itu.

Dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi
            Spinoza menjelaskan dua konsep yang berhubungan dengan konsep substansi yakni konsep attribute dan modus. Attribut  atau atribut di sini berarti segala sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, sedangkan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.[vi] Atribut merupakan sifat atau ciri khas yang melekat pada substansi dan modi merupakan berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi (dari kata modus, bentuk tunggal kata benda Latin yang berarti ‘cara’).[vii] Keluasan (ekstensi) menurut Spinoza adalah sebuah attribut karena kita tangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Sedangkan warna, ukuran, dst adalah modus. Keluasan juga merupakan attribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Keluasan bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Allah mempunyai sifat keluasan. Tampaknya keluasan yang dimaksudkan Spinoza di sini adalah sesuatu yang tak terhingga. Seperti konsep Spinoza yang dikenakan pada Allah yakni konsep substansi tak terhingga. Allah dimengerti sebagai sesuatu yang tak terhingga. Pikiran menurut Spinoza adalah attribut dari substansi tunggal yaitu Allah. Pikiran memiliki modus-modus, misalnya aliran tertentu, imajinasi tertentu, dst. Pikiran juga bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Hakikat dari Allah adalah pikiran, dan sifat atau ciri khas dari Allah itu sendiri adalah pikiran (berpikir).

Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal
            Spinoza mengatakan bahwa dunia hanyalah satu substansi dengan kedua attribut yakni keluasan dan pikiran. Kita bisa melihat dunia dari attribut pikiran, dan kita menyebutnya ‘Allah’ tapi juga bisa melihatnya dari attribut keluasan dan kita menyebutnya ‘alam’.[viii] Dengan kata lain dunia juga mempunyai dua hakikat atau ciri khas yang melekat padanya yakni keluasan dan pikiran. Dari sini dapat dimengerti bahwa melihat dunia dari segi pikiran sama dengan melihat Allah. Sebaliknya melihat dunia dari segi keluasan sama dengan melihat alam. Pikiran (thought) di sini meliputi kesadaran (consciousness) dan pikiran itu sendriri (thought) sedangkan keluasan (extension)  meliputi tempat atau ruang (space) dan zat atau bahan (matter).[ix]
Kalau Allah adalah satu-satunya substansi maka segala yang ada harus berasal dari Allah.[x] Semua yang ada di atas alam ini; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dst berasal dari Allah. Semuanya ini tidak lain adalah cara berada dari Allah. Keberadaan dari semuanya ini bergantung pada Allah. Maka, bisa dikatakan bahwa alam dan segala isinya identik dengan Allah. Lalu apa bedanya Allah dan Alam? Yang berbeda hanyalah istilah atau sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan).[xi] Dari sini, Spinoza menyimpulkan bahwa Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal. Kenyataan tunggal di sini berarti satu kesatuan. Maka, pandangan Spinoza ini disebut sebagai monisme, yakni keyakinan bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan dan pada akhirnya segala-galanya adalah satu.[xii] Spinoza menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam).
Penjabaran lebih jelasnya bisa dilihat pada skema di bawah. Alam, sebagai Allah atau natura naturans mempunyai sifat abadi, tidak berubah, tersembunyi dan unik. Sedangkan, alam sebagai alam mempunyai sifat sementara, berubah, kelihatan, dan berbeda. Sumber skema: ww.friesian.com/spinoza.htm. *Untuk lebih jelasnya pembaca mengecek ke alamat ini, karena tidak bisa dimasukkan ke laman ini.
Pandangan ini tentu saja berbeda dari ajaran agama-agama monoteis yang melihat Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah yang dipikirkan Spinoza bukanlah Allah yang bersifat personal dan memisahkan diri dari ciptaannya. Menurut Spinoza, batu atau pohon yang tampak di hadapan kita itu tak lain daripada Allah yang menampakkan diri, maka alam semesta ini sakral dan religius. Segalanya ada dalam Allah termasuk manusia yang adalah pikiran Allah. Tidak ada yang di luar Dia. Tak heran kalau Spinoza menyebut Allah sama dengan aturan kosmos.[xiii] Kehendak Allah ia samakan dengan kehendak alam maka hukum-hukum alam itu merupakan kehendak Allah. Pandangan seperti ini disebut sebagai panteisme, ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.[xiv] Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah dan Alam merupakan kenyataan tunggal. Keduanya adalah satu substansi. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa istilah Allah dan Alam muncul karena berbeda sudut pandang dalam melihat substansi ini. 

Allah sebagai substansi tak terhingga
            Pertanyaannya adalah mengapa Allah disebut sebagai substansi tak terhingga? Paparan di atas hanya menyebut Allah sebagai substansi tak terhingga tetapi alasan sampai menyebut demikian belum dijelaskan. Spinoza—seperti pada paparan di atas tadi hanya menyebut dua dari sifat atau hakikat Allah sebagai substansi yakni keluasan dan pikiran atau dalam sumber lain diterjemahkan sebagai pemikiran dan pengembangan.[xv] Kalau argumen Spinoza hanya sampai di sini, konsepnya tentang Allah sebagai substansi tak terhingga bisa diproblematisir. Dia hanya menyebut dua sifat Allah maka konsep Allah itu hanya terbatas pada dua itu. Dengan demikian konsepnya bukan lagi substansi tak terhingga atau Allah tetapi substansi terbatas atau Allah. Terbatas karena hanya terdapat dua sifat dari Allah, dan bukan banyak atau tak terhingga.
            Spinoza tidak berhenti di sini. Ia menjelaskan lebih lanjut tentang konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Menyebut tak terhingga berarti ada banyak sampai tak bisa dihitung atau tak terhingga. Ia mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspeknya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui.[xvi] Di sinilah letak ketidakterhingga-an dari Allah. Hanya dua yang disebut Spinoza saja yang dapat diketahui dari sifat Allah. Masih banyak sifat lainnya yang tidak diketahui. Pemikiran Spinoza ini menjadi kuat dan jelas kalau melihat pengertian Allah menurut Spinoza. Allah merupakan sebuah substansi maka sebagai substansi tentu saja Allah itu tidak bisa dimengerti atau dipahami seluruhnya. Hakikat dari sebuah substansi tidak bisa dipahami sepenuhnya. Selain itu Allah menurut Spinoza bukan person atau pribadi seperti dipahami orang Kristen. Hakikat seorang pribadi yang terbatas saja tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia apalagi hakikat Allah yang bukan pribadi tetapi sebuah substansi. Di sini menjadi jelas bahwa memang konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza itu bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian pertanyaan yang sempat dilontarkan penulis pada bagian awal juga bisa dijelaskan. Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Pikiran manusia termasuk Spinoza memang terbatas tetapi tetap mampu menjelaskan sesuatu yang tak terbatas. Ia tetap konsisten pada pandangannya bahwa Allah itu adalah substansi tak terhingga karena ia melihat ketakterbatasan dari Allah. Dengan pikirannya yang terbatas ia menjelaskan bahwa masih ada sifat-sifat lain dari Allah yang tak terbatas namun sifat itu tidak dapat diketahui. Di sini tampak kekuatan rasio sebagai sumber pengetahuan (rasionalisme) sebagaimana dipikirkan Spinoza. Rasio mampu menunjukkan bahwa ADA yang tak terbatas dari Allah da hal itu tidak diketahui atau mungkin tidak bisa diketahui oleh manusia. Tetapi yang tak terbatas itu tetap ada.

Kesimpulan
            Demikianlah pemaparan mengenai konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza. Bermula dari sebuah kekaguman akan tokoh Spinoza yang dengan tegas mengatakan Allah itu sebagai substansi tak terhingga sementara Allah itu sendiri hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri. Bagaimana Spinoza memahami sesuatu di luar dirinya (Allah) yang tak terhingga dengan pikirannya yang terbatas dan lagi pula hal yang di luar dirinya itu tidak berelasi dengan dia. Di sini mau diperlihatkan bahwa Spinoza adalah tokoh yang mengagungkan peran rasio dalam mencari sumber pengetahuan. Dia yakin bahwa rasio manusia yang terbatas itu mampu menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah.





Catatan Akhir
[i] F. Budi Hardiman, hlm. 47.
[ii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. hlm. 206.
[v] Spinoza, seperti dikutip F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[vi] Ibid. hlm. 47.
[vii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[viii] F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[ix] Bdk. Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm
[x] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[xi] Ibid.
[xii] Franz Magnis Suseno, hlm. 194.
[xiii] Lih. Harry Hamersma, hlm. 11.
[xiv] KBBI, hlm. 1017.
[xv] Bertrand Russell, hlm. 749.
[xvi] Ibid.




Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.
Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm diunduh pada 22/11/09 jam 15.52.

 

Jakarta, 27 Mei 2011

Gordy Afri

Tulisan ini dibuat pada semester ganjil 2009/10 di STF Driyarkara, Jakarta



Google.images
Dalam sebuah perjalanan dari Sunter, Jakarta Utara, ke Bintaro, Jakarta Selatan, saya merasa lelah sekali. Tumit, betis, dan lutut terasa sakit. Belum lagi kalau kami tersesat. Cemas, tidak percaya dengan teman saya mulai muncul.“Masih berapa lama kita sampai di Bintaro?”

Teman saya menunjukkan peta perjalanan. Saking sakitnya, pertanyaan muncul lagi. “Apakah kamu yakin kita tidak tersesat?”

Teman saya menjawab, “Percayalah pada saya, kita akan tiba dengan selamat.”
Setelah seharian menyusuri Jakarta, kami tiba di tempat tujuan. Teman saya senang dan bangga. Peta perjalanan yang dia buat membantu kami dalam perjalanan ini.

Para murid bingung, cemas, dan gelisah menghadapi situasi baru. Yesus yang selama ini selalu bersama mereka akan pergi dan berpisah dengan mereka. Mereka harus buat apa? Mereka tidak tahu, Kemana Yesus akan pergi, dan di mana Bapa itu tinggal.

Sebelumnya, Yesus menjelaskan demikian. Ia pergi kepada Bapa-Nya. Di sana, Ia menyiapkan tempat untuk kita, manusia dan para murid. Setelah semuanya siap, Yesus datang kembali membawa kita untuk tinggal selamanya dengan Dia di tempat itu.Tinggal bersama Yesus berarti tinggal bersama Bapa. Sebab “Bapa dan Yesus adalah satu.”  

Sebelum sampai ke tempat itu kiranya dua hal perlu dipersiapkan. Pertama, tahu jalan ke sana. Jalan itu melalui Yesus sendiri. Melalui Dia sama dengan dekat dengan Dia, akrab dengan Dia, meniru sikap-Nya, dan sebagainya. Kelak kita akan tinggal bersama Dia sebab Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” Kebenaran tak lain adalah “pengalaman hidup yang meliputi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia”.

Kedua, yakin akan jalan yang kita lalui itu. Keyakinan berarti masuk lebih jauh dalam relasi dengan objek yang kita yakini itu. Jika Yesus adalah jalan (yang kita pilih) maka kita yakin akan Yesus. Yakin akan Yesus berarti yakin akan Bapa. Keyakinan ini yang Yesus berikan kepada para murid-Nya sebelum Ia berpisah dengan mereka.

Kita—sama dengan para murid—sering merasa bingung, cemas, dan gelisah dalam hidup. Situasi sosial berubah sedikit saja, kita sudah cemas. Kadang-kadang keyakinan sampai dikorbankan. Kita tidak percaya diri lagi bahkan tak percaya dengan hal yang kita yakini selama bertahun-tahun.

Lepas dari situasi ini, kita tetap mempunyai keyakinan dalam diri masing-masing. Kita akan sampai pada tempat idaman kita, Rumah Bapa. Di sana, Yesus menyiapkan tempat untuk kita dan hidup selamanya dengan kita. Dialah jalan, kebenaran, dan hidup. (Dimuat di http://www.xaverindo.org)

Cempaka Putih, 20 Mei 2011
Gordi Afri

Google images
Pengalaman tinggal bersama keluarga petani sekaligus peternak membekas dalam ingatan saya. Pengalaman itu menjadi segar kembali dalam otak setelah mendengar kisah Gembala yang Baik.  Ada kemiripan yang begitu dekat.

Waktu itu saya masih di sekolah dasar. Tiap bangun pagi, saya selalu berpapasan muka dengan seorang bapak. Mula-mula heran, pagi-pagi begini kok sudah siap ke ladang. Apakah salah kalau tunggu agak siang setelah matahari terbit?Ternyata dia hendak ke ladang, memberi rumput kepada kerbaunya. Biasanya, dia memindahkan kerbaunya ke tempat yang ditumbuhi rumput segar.

Saya tahu sekarang. Dia tak ingin kerbaunya kelaparan. Semalaman, kerbaunya menempati daerah yang ada rumputnya. Paginya, kerbau itu harus dibawa ke tempat baru sehingga dia tetap mendapat rumput. Kadang-kadang bapak itu memotong sendiri rumput lalu dibawa ke tempat kerbau itu.

Menjelang siang, biasanya sekitar jam 10-11, dia pergi lagi. Dia akan memindahkan kerbaunya ke dekat air sungai. Kerbau tidak tahan panas dan cepat haus. Kalau siang, kerbau biasanya merendam di sungai sehingga tubuhnya tidak kepanasan.

Sorenya, bapak itu pergi lagi. Dia menggunakan waktu ini untuk berlama-lama berada di dekat kerbaunya. Ketika kerbau makan rumput, bapak itu berada di dekatnya. Kadang-kadang, saat seperti inilah, dia memberi garam untuk menjinakkan kerbaunya. Sebelum kembali ke rumahnya, bapak ini menempatkan kerbaunya di daerah yang berumput segar. Minimal cukup untuk makanan sepanjang malam sebelum esok pagi dipindahkan.

Dalam relasinya dengan ternak peliharaannya, bapak ini digolongkan sebagai gembala yang baik. Kisah Gembala yang Baik menampilkan hal serupa. Dalam relasi manusia dan Bapa, Yesus adalah perantara. Manusia ibarat domba (ternak peliharaan) dan Yesus adalah gembala (Sang pemilik rumput).

Yesus tahu domba-dombanya (manusia). Seperti bapak mengenal dan dekat dengan ternak peliharaannya. Domba-domba mendengar suara gembala. Mendengar juga kapan sang gembala mendekatinya. Entah pagi-pagi buta seperti bapak tadi maupun saat lain. Hanya domba yang tahu.


Lebih dari itu, gembala memanggil domba-dombanya dengan nama mereka masing-masing. Nama adalah sebuah tanda identitas. Memanggil orang dengan namanya merupakan sebuah penghormatan. Saya selalu bangga tiap kali orang yang lebih besar (kedudukan sosial) dan lebih tua (usia dan pengalaman) memanggil saya dengan nama saya. Ini pertanda dia memperhatikan saya dan sekaligus juga menunjukkan bahwa ia menghormati saya.
Google images

Memanggil dengan nama menurut hemat saya tidak saja merupakan bentuk penghormatan tetapi di situ terjalin relasi. Antara kerbau dan bapak yang tiap sore menemaninya makan rumput dan memberinya rumput ada relasi. Demikian juga dengan Yesus yang mengenal manusia. Ada relasi yang intim entah manusia sadar atau tidak.

Kisah ini menampilkan sosok pemimpin (gembala) yang baik. Gembala yang baik diringkas dengan satu kalimat. Gembala yang mengenal domba-dombanya, pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Dari mengenal, seorang pemimpin menjadi tahu dan dari tahu dia menjadi pelayan. Kita semua adalah pemimpin di suatu tempat, suatu instansi, suatu kesempatan. Bapak tadi adalah seorang pemimpin yang memperhatikan bawahannya (ternak peliharaannya). Dia menjadi pelayan total, dari pagi hingga sore. Dalam dialah ternaknya mencapai kepuasan dalam makanan. Dalam Yesus juga manusia memperoleh hidup abadi, hidup penuh kebahagiaan. Hidup yang selalu ceria meski ditimpa kesusahan dan masalah besar.
Cempaka Putih, 13 Mei 2011
Gordy Afri 


foto ilustrasi dari internet
Berbaring di tempat tidur saat sakit kadang dilihat sebagai tindakan pasif. Tak banyak yang bisa dilakukan selain tidur, berbaring, dan menunggu kunjungan. Sebetulnya, tindakan itu bukan melulu pasif. Tampaknya pasif tetapi bisa juga aktif. Ide cemerlang kadang muncul dari tempat tidur. Meskipun oleh sebagian penulis novel atau cerita pendek, ide itu muncul di toilet.

Beberapa teman menceritakan pengalamannya saat  sakit. Kerinduan akan kunjungan dari sesama adalah kerinduan terbesar saat sakit. Menyendiri di kamar membuka tabir kesepian. Tak ada yang bisa diajak bicara. Sendiri, hanya bisa memandang apa yang bisa dipandang dalam kamar.

Selebihnya ide liar melayang ke mana-mana, lamunan menembus tembok kamar. Ini pertanda si sakit juga berpikir. Selain itu, pergulatan dengan penyakit menjadi menu setiap saat. Di atas semua ini ada pengalaman terdalam yakni kerinduan akan kehadiran orang lain di kamar.

Kadang orang enggan membantu si sakit. Macam-macam alasan bisa diajukan. Bukan mantri/bidan/perawat/dokter, takut terjangkit, tidak ada yang bisa diberikan buat si sakit, takut mengganggu, bukan jam besuk, dan sebagainya. Yang dibutuhkan si sakit sebenarnya hanya satu, yakni kehadiran kita. Syukur kalau bisa menyapanya, bisa berbagi cerita dengannya. Yang lain tidak terlalu mendesak baginya.

 Seorang kakek yang bergulat dengan penyakit AIDS yang dideritanya tidak mengharapkan kesembuhan dari pengunjungnya. Ia tahu penyakitnya tidak mudah disembuhkan. Harapan untuk sembuh kecil. Namun, ia mengharapkan kehadiran orang lain di sampingnya. Memberinya senyum saja sudah merupakan kebahagiaan baginya.

Beberapa teman membenarkan hal ini. Ketika sakit, kerinduan terbesar adalah dikunjungi teman. Betapa sepinya berada di kamar pada siang hari. Saat-saat itulah muncul kerinduan untuk dijenguk. Teman yang sekadar menyapa dari pintu saja merupakan sebuah penghiburan bagi si sakit. Beberapa teman mengakui kalau sapaan semacam itu mengusir kesepian yang menghinggapinya selama sakit.

Penulis salut dengan sepasang suami istri yang dengan berani mengajak berbicara kepada pasien di sebuah rumah sakit. Mulai dengan perbincangan hangat. Rupanya mereka tahu, bercerita adalah hal yang dibutuhkan si sakit. Lama-lama mereka berdoa untuk kesembuhan si sakit. Meski tidak seiman dengan mereka, penulis yang waktu itu sedang sakit  menghargai usaha mereka untuk berdoa. Kehadiran mereka menciptakan suasana baru.

Lebih mudah mengalami Tuhan yang mencintai manusia saat sakit ketimbang saat sehat. Secara fisik, si sakit lebih banyak diam dan pasif. Saat itulah disadari betapa ia rindu akan Tuhan yang bisa menguatkan dan menyembuhkannya. Kesadaran ini agak beda ketika sehat di mana manusia lebih berperan aktif dalam aktivitasnya. Tuhan pun disingkirkan jauh dan sama sekali hampir tidak mendapat tempat di hatinya.

Sebenarnya Tuhan itu ada di mana-mana. Dia melampaui ruang dan waktu. Dia ada baik waktu sakit maupun sehat. Dia ada di mana-mana. Dia bukan melulu ada di Bait Allah, Gereja, Masjid, Kuil, Vihara, Pura, Pohon, Batu, dan tempat tinggal Tuhan lainnya. Ia ada di mana-mana. Dan yang paling sederhana kehadirannya adalah Dia ada dalam hati setiap manusia. Manusia pun berhak untuk “menyadari” dan “tidak menyadari” kehadirannya.

Di sini teruji keyakinannya. Atau memilih yakin “Tuhan ada di hati” atau memilih “Tuhan tidak ada di hati”. Dua-duanya merupakan keyakinan yang paling dalam dari manusia. Bagi yang yakin akan mengatakan bahwa pernapasan adalah bukti bahwa Dia hadir. Dia memutuskan sesuatu setelah mengalami kebimbangan adalah bukti Dia hadir.

Namun, bagi yang tidak pun akan mengatakn bahwa keputusan itu melulu merupakan tindakan saya tanpa intervensi pihak lain. Begitu juga pernapasan adalah pemberian alam. Memang manusia mengalami pernapasan sebagaimana adanya makhluk lain di bumi.

Bagi si sakit, kehadiran dan kunjungan dari orang sekitarnya merupakan bukti cinta Tuhan. Tuhan hadir lewat pengunjung. Bukti cinta paling nyata yang bisa dirasakan oleh si sakit. Dia kiini tahu Tuhan hadri dan mendampinginya selama sakit. Tuhan bukan lagi Dia yang jauh tetapi Dia yang dekat yakni di sampingnya.

Cempaka Putih, 6 Mei 2011
Gordy Afri  

Paskah tahun 2011. Dimulai dengan hari Kamis Putih dan berakhir hari Minggu Paskah. Perayaan hari pertama dimulai pagi di Gereja Katedral, Jakarta. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Monsinyur Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta. Para Imam Katolik memadati gereja ini. Datang dari berbagai paroki di KAJ dan juga ada imam projo dari luar KAJ. Para pastor/imam ini adalah perpanjangan tangan uskup dalam melayani umat.

Selain itu, umat yang hadir juga banyak. Tenda yang dipasang panitia di luar dan samping gereja dipadati umat. Perayaan ini memang merupakan perayaan para imam. Namun, imam juga kan dekat dengan umat. Ibarat gembala dan domba. Maka tak ada salahnya dunk kalau para “domba” ini ikut hadir.

Dalam penggembalaannya, para pastor perlu dikuatkan dengan doa dan dukungan umat. Di samping itu, mereka juga mesi setia dengan panggilan mulia itu. Itulah sebabnya dalam perayaan hari ini, mereka semua membaraui janji imamat mereka di hadapan uskup. Semoga tetap setia ya…para pastor/romo/imam. Proficiat.

Sore, pukul 6.30, komunitas mengadakan misa Kamis Putih. Perayaan mengenangkan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Pada perayaan misa ini, kami mengadakan acara pembasuhan kaki (saling membasuh kaki). Misa yang dipimpin oleh Rm Wawan, SX ini berlangsung dengan khidmat. Dia membagikan pengalaman misionernya selama berkarya di Taiwan. Dia juga mengingat konfrater di sana yang juga merayakan paskah seperti umat Katolik di seluruh dunia.

Dalam khotbahnya dia mengatakan bahwa pembasuhan kaki itu bukan tindakan bodoh dan buruk. Itu merupakan sebuah bentuk pelayanan mulia dari seorang guru kepada murid-muridnya (Yesus dan para murid-Nya). Lebih lanjut ia menerangkan bahwa kesatuan guru dan murid menjadi kegembiraan besar kita, umat Kristiani bagi dunia. Kegembiraan ini kiranya diwartakan kepada semua orang.

Menjelang tengah malam, kami mengikuti doa tuguran di gereja Paroki Paskalis, Cempaka Putih. Tuguran mengingatkan umat Katolik akan doa Yesus di Taman Getsemani. Jadi, malam ini umat Katolik ikut ambil bagian dalam doa bersama Yesus di taman itu. Sekarang, umat melakukannya di hadapan Sakramen Mahakudus yang disimpan dalam sibori (sibori, tempat penyimpanan Sakramen Mahakudus). Yesus bukan saja dekat dengan manusia dalam sibori itu tetapi juga dekat dengan setiap orang dalam hati.*Semua gambar dari google images



Keesokannya (Jumat Agung), umat Katolik mengenangkan peristiwa Yesus menderita karena dideritakan demikian oleh manusia. Disiksa dengan caci-maki, dihasut dengan kata-kata kasar, dipukul, dibebankan dengan kayu salib berat. Semuanya berat. Fisik lemas karena didera begitu hebat. Dia pun jatuh, tak tahan, dan wafat di salib lalu dimakamkan. Telapak tangan dan kaki ditembusi paku, dirapatkan dengan kayu salib. Kejamnya manusia. Dari atas salib itu Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani, Allahku, Allahku mengapa Engkau tinggalkan Aku?” Seruan yang diartikan sepihak oleh para serdadu bahwa Yesus memanggil Bapa-Nya dan menyelamatkan diri-Nya. Yesus tidak turun dari salib. Seruan itu membuka mata mereka kemudian bahwa Yesus benar-benar Anak Allah. Beberapa di antaranya sadar dan membuka hati.

Visualisasi ini juga yang digemakan lagi oleh sejumlah mahasiswi/a dari berbagai kampus di Jakarta Timur. Saya dan ketiga teman diundang mengikuti acara ini. Mereka ini termasuk orang yang berani dan tidak segan mengungkapkan iman di tengah orang berbeda keyakinan. Ini baru namanya iman yang mengakar dalam diri dan bukan iman tempelan.

Yesus yang diperankan seorang mahasiswa diarak menuju tempat wafatnya. Visualisasi jalan salib ini dibuat di kampus Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun. Beberapa penghuni kampus dan pemilik warung di sekitar rute heran-heran dan terharu melihat Yesus disiksa sementara Veronika yang diperankan seorang mahasiswi mengusap wajahnya. Mereka mungkin tak tahu arti di balik semua ini tetapi bagus kalau mereka melihat dan menghormati peristiwa ini. 

Sabtu Suci. Hari yang disebut juga Malam Paskah. Malam Kebangkitan Tuhan Yesus. Kebangkitan yang unik. Setelah menderita, wafat, lalu bangkit. Semuanya dihitung 3 hari sejak Ia wafat di kayu salib. Ini mengingatkan kita akan Syahadat Para Rasul, “…pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati…” Malam ini kegembiraan itu muncul setelah menyaksikan peristiwa sedih kemarin. Namun apakah kita juga bangkit dari kebiasaan buruk kita?

Peristiwa Kebangkitan malam ini merupakan sebuah kerinduan. Tak salah kalau Pastor Paroki Kelapa Gading, Rm Antonius Gunardi, MSF mengatakan kalau anak-anak dan para remaja hari-hari ini merindukan kedatangan Justin Bieber (17 tahun) asal Kanada, apakah umat sekalian juga merindukan Kebangkitan Yesus? Tentu saja ada kerinduan. Ia melihat umat yang sejak pukul 3 sore tadi sudah menduduki bangku-bangku dalam gereja. Mereka takut tidak dapat tempat duduk. Ini sebuah kerinduan untuk menghadiri misa malam paskah. Kerinduan ini kiranya mengubah kebiasaan buruk kita. Yesus hadir membawa pembaruan dalam hati umat masing-masing.

Minggu Paskah. “Pada hari pertama minggi itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur…” Yesus tidak ada dikubur. Ia memang sudah bangkit dan duduk di sisi kanan Bapa. Tak tahu kapan persisinya Yesus meninggalkan kubur itu. Padahal hari Jumat baru dikuburkan. Jumat, Sabtu, dan Minggu pagi hilang. Pas tiga hari. Ya….Dia bangkit pada hari ketiga. Selesailah rangkaian paskah. Namun makna paskah tentu saja terus diperbarui. Selamat Paskah.

Cempaka Putih, 28 April 2011
Gordy Afri



Judul : Ketika Burung-burung Berhenti Berdoa
Penulis: Anthony Harton
Penerbit: Fidei Press, Jakarta, 2006
Tebal: viii +97 halaman

Hidup doa merupakan tema yang tak akan habis dibahas. Ketika kita mencoba mendefinisikan doa dengan sebuah batasan tertentu muncul definisi lain yang menandingi atau melengkapinya. Ini berarti bahwa hidup doa itu sendiri mempunyai kekayaan spiritual yang mesti dicari terus menerus. Pertanyaan mendasarnya adalah untuk apa (sebenarnya) kita berdoa?

Mendengar kata “doa” bayangan kita langsung tertuju pada Dia di seberang sana. Ada yang menyebutnya Tuhan, Dewi/a, Guru, dan sebagainya. Intinya kita membayangkan relasi manusia dengan Dia yang menciptakan manusia dan mempunyai kekuatan yang tak sebanding dengan manusia. Dalam relasi itu terjadi komunikasi. Agar relasi itu kuat kita mesti (perlu) berdoa. Sebab, “Berdoa perlu dan penting karena dengan doa kita menjalin komunikasi dengan Tuhan” (hlm. vii).

Buku KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA bukan buku petunjuk praktis bagaimana berdoa. Meskipun mesti diakui pula bahwa dengan membaca buku ini pola doa kita bisa saja berubah. Penulis buku ini menjadikan karyanya sebagai “bahan renungan, media pengingat, reminder tentang hal-hal yang mestinya kita lakukan, dan juga hal-hal yang sudah kita kerjakan agar hasilnya lebih baik lagi bagi siapa saja yang berada di sekeliling kita” (hlm. vii).

Ada banyak buku tentang petunjuk praktis berdoa. Namun, kita tentu saja tidak puas dengan satu cara berdoa. Kita ingin mencari cara yang cocok untuk kita. Kecocokan ini pun dinamis. Kadang cara A cocok ketika kita berdoa di tempat A dan belum tentu di tempat B. Singkatnya kecocokan itu tergantung situasi dan tempat kita berdoa.

Menurut pembacaan saya atas buku ini, penulis buku membagi dua kelompok orang berdoa. Kelompok pertama menganggap doa sebagai kegiatan ala kadarnya karena merupakan rutinitas belaka. Sementara kelompok kedua menganggap doa sebagai sebuah kebutuhan dan sebagai bentuk ungkapan syukur dan hormat pada Tuhan (Bdk. Hlm vii).  Keduanya melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Yang terpenting—menurut hemat saya—adalah tindak lanjut dari doa kita. Di situ dengan mudah kita bisa lihat keseriusan orang berdoa. Penulis buku ini melukiskan dengan tepat tentang hal ini. “Di samping berdoa, kita juga harus tetap berkarya, bertindak praktis dan tepat terutama pada saat-saat penting” (hlm. vii).

Buku ini mempunyai kelebihan yang berguna bagi pembaca yakni kisah-kisahnya (ada 36 kisah) menarik dan mudah dicerna. Kisah-kisah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Simak saja kisah nomor 7 Sepiring Teh Panas dan 22 Aku Ingin Mengubah Dunia. Cerita nomor 7 menggambarkan hati manusia bagai sebuah piring yang berisi teh panas. Teh panas menggambarkan masalah yang dihadapi manusia. Teh itu baru bisa diminum ketika dingin karena berada di piring ketimbang di gelas. Sementara cerita nomor 22 berisi nasihat untuk mengubah diri sebelum mengubah dunia. Ini sebuah unsur baru yang ditampilkan buku ini.

Selain itu, pada akhir kisah, penulis mencantumkan kutipan berisi nasihat atau inti kisah. Ada yang ditulis sendiri oleh penulis buku (misalnya kisah nomor 1,4, dan 5) dan ada pula yang diambil dari kebijaksanaa Zen, (misalnya kisah nomor 2,18, dan 27), kata-kata bijak tokoh tertentu (Robert Kenedy, Douglas Mallock, keduanya dikisahkan dalam bagian kisah nomor 8) atau dari cerita rakyat (CR Jepang pada kisah nomor 10 dan sebuah kisah dari Filipina pada nomor 36 ). Nasihat-nasihat bijak ini membanty pembaca memahami makna sebuah pengalaman dan kisah.

Buku yang ditulis dengan kosa kata yang mudah dimengeri dan didesain dengan lukisan menarik pada bagian luar ini menjadi lebih lengkap jika semua kisah diakhiri dengan kutipan berupa nasihat atau inti kisah. Entah mengapa, penulis tidak mencantumkan nasihat di akhir beberapa kisah. Misalnya kisah nomor 12 (?),13,15,23,29,31,32,33,34. Mungkin penulis mempunyai alasan tertentu yang tidak dicantumkan dalam buku ini.

Selain itu, judul buku tampaknya belum diterangkan kepada pembaca. Judul itu rupanya dibuat sendiri tanpa ada kaitan langsung dengan judul 36 kisah di dalamnya. Tak satu pun dari 36 kisah yang memberi judul KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA. Ada satu kisah yang mirip yakni KETIKA AKU BERHENTI BERDOA, kisah nomor 17. Mungkin kata “Burung-burung” mau menggani kata “Aku”(?).

Kekurangan lain yang kiranya perlu diperhatikan pada cetakan atau edisi berikutnya yakni susunan daftar isi. Susunan yang sesuai hanya pada kisah nomor 1 sampai11. Dalam kisah selanjutnya mulai ada kekeliruan. Misalnya kisah nomor 12 dan 13 ditulis berada di halaman 26 dan 28 padahal keduanya berada di halaman 27 dan 29.

Namun, ini hanya hal teknis yang tidak mengurangi mutu isi buku. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin memperkaya pengalaman tentang hidup doa dan menyegarkan kisah-kisah harian. Buku ini bisa menjadi inspirasi dan menjiwai setiap aktivitas kita dengan doa.

Cempaka Putih, 17 April 2011
Gordy Afri


“Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!”
Judul Opini Kompas, 8 April 2011.

Pengajaran Gambar google images
Judul opini yang ditulis Yudhistira ANM Massardi ini mengundang untuk ditelusuri lebih lanjut. Secara kasat mata, judul ini menurunkan gairah para pencari ilmu. Bayangkan jika anak SD, SMP, dan SMA mengerti betul apa arti judul tulisan ini.  Sebuah kalimat perintah untuk berhenti bersekolah. Atau juga, sebuah ajakan. Kalau begitu, sia-sialah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah.

Yudhistira ANM Massardi menulis demikian, ”Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.” Jika demikian, betapa malang nasib anak didik yang menjadi tenaga kerja industri dan tenaga kerja bermental pegawai. Mereka akan jadi penganggur.

Sastrawan dan Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi ini mempunyai data jumlah penganggur dan siswa putus sekolah. Sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana menganggur. Siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak 2002, berjumlah rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Jika seperti ini yang terjadi, negeri ini sebenarnya dipenuhi penganggur. Siapkah para siswi/a dan mahasiswi/a menghadapi tantangan ini?

Saya tertarik melihat beberapa penjual makanan yang membagikan karya mereka saat acara “Malam Budaya” di kampus dua malam lalu. Dengan ramah mereka melayani kami. Mereka adalah “orang kecil” namun pekerjaan mereka berguna bagi “orang besar”. Mereka mungkin tidak sempat mengenyam pendidikan seperti kami, para mahasiswi/a yang setiap hari bergelut dengan ilmu. Namun, mereka bisa “mengisi perut” dari hasil jualan mereka. Dengan kata lain, mereka adalah orang sukses.

Fakta sekarang memang berubah dari anggapan sebelumnya bahwa “bersekolah dulu supaya mendapat pekerjaan yang bagus”.  Ada orang sukses yang tidak melalui pendidikan di sekolah formal. Sebaliknya, ada penganggur yang lulusan diploma atau sarjana. Kalau demikian “Untuk apa kita sekolah?”

Sebuah “survei” di situs yahoo menguraiakan pertanyaan “Untuk apa kita pergi ke sekolah setiap hari walau sekolah tidak menjamin hidup baik?” Salah satu jawaban pembaca situs ini demikian “Sekolah bukan untuk menjamin hidup baik, tetapi dengan bersekolah kita bisa berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku yg baik. Selain itu kita juga belajar untuk bergaul, bersosialisasi, semakin banyak teman, semakin besar peluang untuk hidup lebih baik karena dengan berteman dan bersosialisasi bisa mendatangkan kesempatan pekerjaan....”
               

Jawaban di atas bisa menjadi pijakan bagi kaum didik. Sekolah bukan menjamin hidup baik. Fakta di atas tadi bahwa ada diploma dan sarjana yang menganggur. Meskipun ada juga yang mendapat pekerjaan yang layak. Sekolah memang bagai dua sisi mata uang ketika dikaitkan dengan peluang hidup baik. Dengan bersekolah, peluang masa depan lebih baik terjamin sekaligus tidak terjamin.
               
Namun, sekolah menjadi “tempat didik” untuk berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku baik. Di sekolah, dua sikap ini ditempa habis-habisan. Beruntunglah mereka yang betul-betul memanfaatkan kesempatan ini. Selain itu, sekolah juga menjadi “tempat didik” bersosialisasi, bergaul dengan banyak teman yang multikarakter.

Trilogi bermasyarakat
“Pola pikir”, “Pola laku”, dan ”Pola gaul” menjadi tiga hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang pola pikirnya bagus akan dihormati. Orang yang pola lakunya bagus akan dihargai. Dan, orang yang pola gaulnya bagus akan disenangi. Ketiganya menjamin seseorang mendapat banyak teman. Banyak teman/sahabat/kenalan menjamin banyak peluang untuk mendapat pekerjaan.
               
interasksi dalam proses pengajaran
Anggapan “orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai” kiranya kurang bagus. Pendidikan (sekolah) hanyalah “tempat didik” dan bukan berorientasi mencetak tenaga kerja. Persoalan akan menjadi tenaga kerja atau tidak di kemudian hari bukanlah tugas sekolah.
               
Sekolah mempunyai efek tidak langsung dalam membentuk kepribadian tenaga kerja. Jika tiga aspek di atas melekat dalam diri seorang anak didik maka dia akan menjadi tenaga kerja berkualitas. Jika tidak menjadi tenaga kerja, dia tetaplah seorang manusia yang berkualitas di tengah masyarakat.
               
Yudhistira ANM Massardi di akhir tulisannya menyebut dua kata kunci “kreativitas” dan “imajinasi”. Orang yang kreatif amat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai persoalan. Kreatif menyelesaikan sebuah tugas berarti menjadikan tugas tersebut sebagai sesuatu yang berguna, baru, dan dapat dimengerti. Sebab, “Kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan, berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar,……” (A.M. Mangunhardjana, 1992, Mengembangkan Kreativitas, hlm. 11).  

Pribadi imajinatif mempunyai orientasi dalam bekerja. Pekerjaan tidak hanya dinilai “sekarang” tetapi juga dampaknya bagi “masa mendatang”. Benar apa yang dikatakan Yudhistira ANM Massardi bahwa dua hal ini belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun.

Akhirnya kita sekolah bukan melulu menjadi tenaga kerja guna kepentingan industri dan bermentalitas pegawai. Kita sekolah untuk hidup dan bukan hidup untuk sekolah. Sekolah untuk hidup berarti kita sekolah untuk mengerti hidup ini. Hidup untuk sekolah berarti seluruh hidup kita dihabiskan untuk sekolah. Kalau seperti ini, kapan kerjanya?? Non Scholae Sed Vitae Discimus. Pepatah Latin yang artinya kita belajar untuk hidup dan bukan demi sekolah, bukan demi kepentingan industri, dan tenaga kerja bermental pegawai.  

Cempaka Putih 11 April 2011
Gordy Afri

Orang buta disembuhkan
Bayangkan orang buta sejak lahir. Dia tak pernah melihat indahnya dunia ini. Dia tidak tahu berbagai jenis warna. Banyak hal lain yang ia tidak tahu.

Orang buta masuk dalam golongan orang cacat fisik. Pembagian ini dilakukan oleh orang normal. Orang normal dalam hal ini adalah orang yang bisa melihat (lawan dari orang buta). Andai dunia ini didominasi orang buta, bukan tidak mungkin orang yang bisa melihat dianggap cacat.

Namun, jangan harap itu terjadi. Kecil kemungkinan. Orang buta memang dicap “cacat fisik” begitu saja oleh orang normal. Dari sudut orang normal, ia cacat fisik. Andai dia hanya tinggal dengan sesama orang buta, mungkin ia tidak digolongkan cacat.

Konon, orang Yahudi menganggap buta sebagai penyakit. Penyakit kutukan dari Allah. Apakah Allah mengutuk? Manusia yang buta—apalagi sejak lahir—diyakini sebagai korban dosa. Kalau seorang anak buta besar kemungkinan orang tua atau anggota keluarganya berdosa. Tak heran ketika melihat orang buta di pinggir jalan muncul pertanyaan “Siapakah yang berdosa, orang buta ini atau orang tuanya?”. *Semua gambar dari google images

Orang buta kerapkali disingkirkan dari masyarakat. Alasan kuat penyingkiran ini adalah merepotkan. Tak jarang banyak dijumpai orang buta di panti-panti. Penulis pernah tinggal dengan orang buta di salah satu panti asuhan di pinggiran kota Yogyakarta.

Syukur kalau orang buta dititipkan di panti. Masih ada orang yang memerhatikannya. Kalau tidak, betapa besar penderitaannya. Betapa ia disingkirkan jauh-jauh dari pergaulan sosial.

Ada beberapa orang buta yang penulis jumpai di panti itu. Beberapa dari mereka masih dikunjungi oleh keluarganya. Beberapa lagi tak pernah dikunjungi. Repot. Pihak panti bisa kewalahan kalau terjadi apa-apa.

Memang merepotkan tinggal dengan orang buta. Namun, apakah dia mesti disingkirkan? Bentuk penyinkiran itu serupa dengan anggapan orang Yahudi. Orang buta adalah orang berpenyakit maka disingkirkan. Kalau sekarang kita masih berpikir demikian maka kita tak ada bedanya dengan orang Yahudi zaman dulu. Maka, kita termasuk orang zadul dalam konteks ini.

Merawat orang buta tidaklah muda. Kata kuncinya adalah sabar dan setia. Penulis merasa takut melihat orang buta pertama kali. Selain karena beda, dia juga tidak bisa melihat. Menyuap nasi saja susah. Sendok yang dimasukkan ke mulutnya bisa saja meleset sehingga mengenai bagian hidung atau leher. Lagi-lagi di sini perlu kesabaran dan kesetiaan.

Orang buta bisa berinternet
Pelan-pelan tinggal dengan orang buta mengasyikkan. Penulis hanya tinggal sebulan dengan mereka. Ada beberapa teman di panti yang tinggal bertahun-tahun. Mereka kerasan, bisa tinggal lama. Meski ada beberapa yang tidak bisa tahan. Kalau dibimbing dengan baik, orang buta bisa mengikuti kelakuan orang normal. Di panti, orang buta bisa menjahit, mencuci piring, membersihkan kasurnya, dan sebagainya. Dia bisa bekerja karena dilatih.

Orang buta merepotkan tidak sepenuhnya benar. Buktinya ada  juga orang buta yang menghasilkan sesuatu. Ada yang bisa membuat kerajinan tangan dengan berbagai motif dari kain. Bahkan, di daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ada orang buta yang menjadi penyanyi kondang. Daniel Anduk namanya. Dia menghidupi dirinya dengan “menjual suaranya”. Berbekal gitar dan suaranya, dia menghasilkan beberapa kaset tep recorder yang bisa dijual. Lagunya laris manis di kalangan masyarakat Manggarai sampai tahun 1990-an.

Bagaimanapun, orang buta sejak lahir adalah manusia yang harus dihormati. Cap “cacat fisik” hendaknya tidak menambah penyingkiran. Mereka bisa tinggal dengan orang normal. Mereka bisa menghasilakan sesuatu. Maka, mereka tidak sepenuhnya merepotkan. Di satu sisi ya, sebab mereka terbatas. Sama seperti orang normal juga terbatas. Peran orang lain dibutuhkan demi kehidupan bersama.

Tak salah jika dikatakan, “Karya Tuhan sungguh nyata melalui orang buta”. Karya orang buta kadang luar biasa. Orang bisa kagum mendengar suara orang buta. Kok bisa ya? Padahal dia tidak pernah bertemu gurunya untuk melatih nyanyi. Penulis yang bisa menyanyi tetapi tidak sehebat Daniel Anduk hanya bisa kagum.

Maka, buta sejak lahir bukanlah penyakit. Kalau dianggap penyakit, itu hanya karena ada yang mencapnya demikian. Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada yang diciptakan karena penyakit.
(Tulisan ini terinsipirasi oleh Kisah Penyembuhan orang buta dalam Injil Yoh 9:1-41).

Cempaka Putih, 3 April  2011
Gordy Afri

Sebagian besar manusia mengaku dirinya pernah berdoa. Pagi, siang, malam, dan setiap waktu. Berbagai bentuk doa diucapkan manusia. Apa dan bagaimana orang berkomentar tentang doa?

Doa. Kata yang pas untuk mendefinisikan hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu, Tuhan merupakan kata yang sarat dengan berbagai komentar.  Ada yang tidak mengakui Tuhan. Tuhan yang bagaimana dan seperti apa? Tuhan yang diakui umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi? 

Tuhan. Sekali lagi lagi kata yang multi tafsir. Ada yang berontak dengannya. Ada yang berharap padanya. Tuhan yang bagaimana dan seperti apa? Ada yang tidak mempercayainya. Percaya seperti apa? Ada yang hanya di mulut saja. Ada yang di pikirannya. Ada pula yang di hatinya.

Ya... Tuhan tak disentuh. Tak tuntas dijelaskan. Tak bisa dibuktikan. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau dan mampu merasakannya. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau menerimanya. 

Tentang doa, bagaimana?? Doa sebagai sarana berelasi dengan Tuhan muncul kalau Tuhan itu sudah jelas identitasnya. Minimal bagi pendoa itu sendiri. Yakin akan Tuhan menjadi langkah awal untuk menjalin relasi dengannya.

Komentar orang tentang doa
Seorang teman berkomentar tentang doa. Sebelumnya pertanyaan dilontarkan, “Bagaimana pandangan Anda tentang doa? Apakah Anda yakin doamu dikabulkan?” Teman itu menjawab, “Semua doa saya terkabulkan.” Wah hebat sekali. Baginya, Tuhan pasti mengabulkan doanya dan memberi yang terbaik kepadanya. Kadang-kadang waktunya tidak persis seperti yang diminta.

Lebih lanjut dia mengatakan, kalau belum dikabulkan, itu pertanda belum waktunya. Atau juga, Tuhan belum menginginkan hal itu terjadi padanya. Tuhan mengabulkannya di waktu lain. Itulah saat yang tepat untuk memperoleh apa yang diminta. Tuhan tidak menolak.
Seorang tokoh cendikiawan muslim berkomentar lain. Baginya, hanya 2% doa yang dikabulkan Tuhan. Sepanjang hidupnya, dia berdoa dengan berbagai permohonan namun hanya itu saja yang dikabulkan. Sebagian besar, 98%, tidak dikabulkan(?) (dari buku “Mari Berbagi” 2011, 27).

Injil (Matius) mengatakan demikian. Kalau berdoa jangan bertele-tele. Bertele-tele adalah tindakan orang yang tidak mengenal Allah. Jangan pula banyak kata. Banyak kata tidak menentukan banyak doa dikabulkan (Gubahan dari Mat 6:7).  

Lalu bagaimana? Kalau mau berdoa, masuklah ke kamar, tutup pintu dan berdoalah. Bapa di tempat tersembunyi  melihat engkau. Wah tambah hebat. Tuhan itu tersembunyi namun ia bisa melihat orang yang sedang berdoa. 

Ada lagi yang mengatakan hal lain. Doa baginya bukan sekadar mengucapkan kata-kata. Lebih dari kata-kata.  Doa adalah bertindak, bekerja, bernyanyi, menulis, membaca, mengetik, menyetir mobil, membantu orang lain, dan sebagainya. Doa tidak berhenti pada mengucapkan rumusan. Doa berlanjut dalam tindakan. Bertindak juga merupakan doa.

Ada sholat 5 waktu untuk umat Muslim. Ada kebaktian bagi umat Kristen Protestan pada umumnya. Ada misa/ekaristi bagi umat Katolik. Ada doa di Sinagoga bagi umat Yahudi. Penganut Budha, Hindu, Konghucu mempunyai waktu doa juga. Selain itu ada doa pribadi yang dibedakan dengan doa bersama.

Berapa lama waktu untuk berdoa? Tak tentu. Relasi dengan Tuhan tidak terpaku dengan waktu. Kapan saja. Manusia yang membuat batasan untuk berdoa. Namun, doa tetap tak ada batas. Institusi agama membatasi dengan maksud tertentu. Kalau itu terlalu kaku, bisa cari waktu lain.

Beberapa tokoh menyediakan waktu khusus untuk berdoa. Teresa dari Calcuta (1910-1997) dan Anthony de Mello (1931-1987) dari India menganjurkan pengikutnya berdoa 6 jam sehari, di luar doa bersama. Guido Conforti (1865-1931) dari Parma, Italia menganjurkan pengikutnya berdoa 2 jam sehari, di luar doa bersama. Almarhum Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) menganjurkan agar setiap kegiatan harian dilandasi doa. Doa menjadi jiwa dari berbagai kegiatan. Ia tidak memberi batasan.

Doa bisa dilakukan di mana saja. Doa tidak hanya di Masjid, Mushola, Gereja, Kapel, Sinagoga, Kuil, pura, Wihara, Gua, rumah adat, tempat sesaji, dan sebagainya. Ini tempat resmi namun ada juga tempat lain untuk berdoa. Di jalan, di kelas, di ruang kerja, di pabrik, di dalam mobil, pesawat, kereta, di WC, dan sebagainya. Doa tidak hanya di tempat ibadat.

Bagaimana? Ada yang berdoa dengan mengucapkan rumusan baku, dengan bernyanyi, dengan bernyanyi dan berkata-kata, dengan mempersembahkan sesuatu, dengan mengorbankan sesuatu, dengan ritual tertentu, dengan bahasa tertentu, dengan berkumpul, secara sendiri-sendiri, dengan kata-kata spontan, dan sebagainya. 

Berdoa! Hanya berkata atau setelahnya berbuat? Hanya membaca rumusan atau membuat rumusan baru? Berhenti pada kata tanpa tahu latar belakang atau memahami kata dengan latar belakangnya? Terpaku pada rumusan atau bisa sesuaikan dengan situasi tertentu? Banyak berkata atau sedikit berkata? Banyak berdoa atau berdoa banyak? Berdoa dengan bertindak atau berdoa tanpa bertindak?

Doa. Meminta atau mensyukuri? Berharap atau meminta perhatian? Mendengarkan atau mencurahkan isi hati? Sekadar curhat atau melampiaskan kemarahan? Memberontak atau berusaha mencari hikamah? 

Untaian pertanyaan tanpa jawaban. Berharap menemukan jawaban sendiri. Mengembara mencari jawaban dari pengalaman. Ibarat “Seorang perempuan berusia 70 tahun ditemukan hidup, empat hari setelah gempa dan tsunami mengguncang Jepang”. Ibarat, “Seorang pria berusia 60 tahun diselamatkan dari atap rumahnya yang terseret dan mengapung di laut” (KOMPAS 16 Maret 2011). Mereka bergulat untuk hidup. Situasi menjawab harapan mereka. Mereka mengalami penderitaan dan diselamatkan.

Mencari jawaban dengan berusaha. Ibarat “Shinkawa di kota Minami Soma, Prefektur Fukushima, Jepang yang terlihat melambai-lambaikan sepotong kain merah sambil berpegang erat pada reruntuhan rumahnya” (KOMPAS 16 Maret 2011). Ia berusaha mencari penyelamatan dari tim penyelamat. Jawaban bervariasi. Semuanya unik. Jawaban muncul dari pengalaman. Berusaha adalah pengalaman yang baik. *Semua gambar dari google images

Cempaka Putih, 26 Maret 2011
Gordy Afri
Powered by Blogger.