Halloween party ideas 2015
Showing posts with label DI ITALY. Show all posts

*Foto, Aldo Fenalosa, regional.kompas.com
Pagi ini saat sarapan, seorang sahabat bertanya, apakah kalian sudah siapkan sesuatu untuk acara besok? Acara yang dimaksud adalah perayaan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Negara Republik  Indonesia.

Dia bertanya karena dia ingat acara ini. Dia orang asing tetapi jiwanya ada di Indonesia. Maklum dia pernah tinggal dan bekerja di Indonesia bertahun-tahun pada masa mudanya. Tak heran, jika acara ini membekas dalam benaknya.

Ingatan akan sejarah adalah salah satu cara menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur. Para pahlawan yang bukan saja bergelar pahlawan tetapi para pejuang pada umumnya. Soekarno sejak awal menekankan ini. Kata Soekarno, bangsa yang mau maju adalah bangsa yang mengingat sejarahnya sendiri. Pertanyaan sahabat saya tadi mengingatkan saya akan pentingnya memahami sejarah bangsa Indonesia.

Saat ini, sejarah bangsa memang kurang diminati. Jangan heran juga jika anak-anak sekolah kurang berminat mempelajarinya. Para pendidik ditantang untuk meningkatkan minat siswa dan mahasiswa untuk mempelajari sejarah. Agak susah memang pada awalnya. Bukan karena pelajarannya tetapi karena sejarah bangsa Indonesia sendiri telah dipalsukan. Bukan rahasia lagi jika saat (almarhum) Presiden Soeharto masih berkuasa, sejarah bangsa dipalsukan. Maksudnya, didesain agar sesuai dengan kemauan penguasa. Tak heran jika kemudian tak banyak yang tahu sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya. Bukan hanya itu, sejarah bangsa Indonesia menjadi sekadar kronik karena tidak menjelaskan secara detail latar belakang di balik peristiwa. Saya ingat dosen sejarah di STF Driyarkara-Jakarta yang mengajak kami untuk berlatih menulis sejarah bukan dengan gaya kronik tetapi dengan membeberkan latar belakang peristiwa di balik tanggal sejarah.

Tentang hal ini, saya beruntung bisa membaca literatur asing yang membahas sejarah bangsa Indonesia. Tentu banyak juga pelajar Indonesia yang membaca literatur ini khususnya yang menekuni sejarah. Salah satu sumber yang mudah kita dapat adalah literatur yang ditulis dalam bahasa Inggris. Ada banyak kiranya khususnya yang ditulis oleh peneliti asing. Kalau mau yang lebih lagi—tentu untuk mereka yang menguasai bahasa asing selain Inggris—silakan cari dalam bahasa Jerman, Prancis, Belanda, atau Italia. Saya kebetulan saja menemukan literatur ini saat mempresentasikan sedikit budaya Indonesia di luar negeri. Orang asing suka bertanya dan mereka senang jika kita bisa menjawab pertanyaan mereka. Maka, di sinilah pentingnya mencintai sejarah.

Hari ini, 17 Agustus 2015, Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Usia yang tidak muda. Atau boleh dikatakan masuk usia tua. Kitab kuno meramalkan umur manusia hanya 70, jika kuat 80 tahun. Maka, umur bangsa kita menandakan kuatnya bangsa ini. Namun, bangsa ini sebenarnya belum dikatakan kuat. Kenyataannya lemah. Lihat saja duka kita yang mendalam hari ini yakni jatuhnya pesawat Trigana di Papua. Ini tentu jadi kelemahan kita. Teman-teman asing bertanya pada saya, mengapa kalian tidak mencegah celaka ini? Bukankah beberapa waktu lalu kalian juga mengalami musibah seperti ini (maksudnya kecelakaan pesawat Herkules)? Benar juga. Mengapa kita tidak bisa mencegahnya? Salah satu jawabannya ya kita sebenarnya belum siap menangani semua kelalaian kecil seperti ini. Ini hanya salah satu kasus. Kasus lain bisa didaftar dan akan jadi panjang sekali.

Umur 70 menjadi harapan kita bersama agar Bangsa kita bisa makin sejahtera. Biarlah kata orang usia ini menandakan ketuaan. Bagi kita, usia ini menadakan kekuatan. Maksudnya, makin tambah umur, makin kuat pula kita membangun bangsa ini. Mungkin mudah dibicarakan tetapi menjalaninya sulit. Tidak apa-apa. Yang penting kita mencobanya. Asal ada semangat, kita pasti bisa.

Semangat ini juga yang kami selalu banggakan di luar negeri. Kemarin sore, kami membuatkan makanan khas Indonesia untuk menandakan pesta kemerdekaan ini. Teman-teman kami senang dan memuji kami. Kami memang membuatnya dengan semangat kemerdekaan. Banyak yang memuji betapa enaknya makanan Indonesia. Kami lalu membalasnya selain dengan terima kasih juga membanggakan bahwa ini tandanya di Indonesia masyarakatnya makan makanan enak dan bergizi. Meski kenyataannya banyak juga warga yang makan makanan ala kadarnya alias kurang gizi. Lihatlah di NTT yang masih ada anak kurang gizi. Entah mereka tidak bisa mencari makanan bergizi padahal tanah masih subur untuk menanam makanan bergizi. Ataukah pemerintah provinsi NTT yang tidak mau memerhatikan mereka. Ini tantangan untuk Bapak Gubernur NTT, Frans Lebu Raya yang baru saja mendapat penghargaan dari Presiden Jokowi untuk memerhatikan rakyatnya khususnya yang kekurangan gizi. Semoga penghargaan ini menjadi semangat baru untuk memberi gizi kemerdekaan kepada rakyat. Termasuk merdeka dari kondisi kurang gizi.

Di tanah air, semangat kemerdekaan ini ada. Ini tandanya rakyat Indonesia tetap bangga akan hari kemerdekaannya. Kebangaan ini juga yang membuat kami di luar negeri merayakan pesta kemerdekaan in. Besok, 17 Agustus, kami akan berkumpul di kota Milan tepatnya di paviliun Indonesia di tempat Expo untuk merayakan kemerdekaan ini. Kami tetap membawa kebangaan sebagai anak bangsa Indonesia. Kami ingat betapa berat perjuangan para pejuang kita dahulu. Jangan heran jika di Nunukan-Kalimantan sana, para veteran ingin mengingat lagi semangat juang mereka dulu dengan menghormati bendera Merah Putih. Kami ingat perjuangan mereka dan kami menghormatinya. Acara yang akan kami rayakan besok menjadi salah satu tanda penghormatan kami kepada para pejuang dan kepada seluruh rakyat Indonesia di tanah air.

Kami berada di negeri asing tetapi hati kami ikut bergembira bersama kalian, segenap rakyat Indonesia di tanah air. Hati kami berbunga seperti hati sahabat saya yang menanyakan persiapan kemerdekaan tadi pagi. Dia bertanya karena dia ingat dan ingin mengikuti acara 17-an yang dia hidupi selama bekerja di Indonesia.

Salam kemerdekaan dan selamat ulang tahun ke-70 untuk Bangsa Indonesia.

Parma-Italia, 16/7/2015 dini hari
Gordi



Bercinta memang asyik. Saking asyiknya, bercinta bisa dibuat di mana saja. Asal tidak mengganggu yang lain. Maka, bercinta pun bisa dibuat bukan saja di darat tetapi juga di laut.

Bercinta itulah yang dibuat sepasang anak muda Italia. Bercinta di atas perahu. mereka—seperti kami—menyewa perahu kecil dan berlayar ke tengah Danau Molveno. Bayarnya 10 euro. Perahu itu bisa untuk berempat dan bisa juga berdua. Tempat duduk di dalamnya memang ada 4. Tetapi, kalau mau berdua saja pun bisa.

Ini kali ketiga saya naik perahu ini. Kalau dihitung-hitung saya sudah menghabiskan 7,5 €. Padahal saya tidak mengeluarkan 1 sen pun. Saya memang hanya penumpang titipan alias naik gratis. Teman saya yang orang Italia dan Brasil yang membayar. Toh sekali naik biasanya hanya 2,5 € per orang. Tetapi kami tidak membayar seperti itu. Istilahnya kami ditraktir. Sekali oleh teman saya yang Brasil dan dua kali oleh teman Italia. Mereka memberi secara gratis pada saya maka saya juga memberi mereka secara gratis. Saya tidak memberi mereka uang tetapi saya memberi mereka gambar-gambar dan video pendek yang saya buat selama berlayar.


Tidak lama. Hanya sejam. Tetapi waktu sejam itu bisa dimanfaatkan dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dalam sejam pun bisa bercinta. Dan, inilah yang dibuat oleh pasangan muda yang kebetulan berlayar di dekat perahu kami. Kebetulan saja, kami memang berlayar ke tengah danau. Dan, mereka juga rupanya ke tengah danau. Bagi kami, pelayaran ini asyik. Di atas danau yang tenang, sesekali ada angin, matahari cerah, suhu panas di sore hari antara jam 4 dan 5.

Pelayaran ini memang asyik. Saya sungguh menikmatinya. Kiranya dua anak muda ini juga menikmati keasyikan itu. Mereka menikmatinya dalam bercinta. Karena asyiknya, mereka lupa mengendalikan perahu mereka. Saya lihat, mereka masih di tengah ketika kami bergerak menuju pinggir danau. Rupanya memang tidak mendayung pedal perahu sehingga perahu terombang-ambing begitu saja. Ditiup angin. Bergoyang lalu tak berarah lagi. Saya tengok mereka. Rupanya mereka duduk di dua kursi belakang. Kursi yang letaknya berdekatan. Di situlah mereka berciuman. Ciuman tanda cinta. Ciuman yang menghangatkan. Ciuman yang membuat mereka menikmati pelayaran ini. ciuman yang membuat mereka lupa daratan. Bagi mereka, bercinta atau ciuman itu tidak mesti dilakukan di darat tetapi juga di lau atau di danau, di atas perahu seperti ini.


Teman saya meminta saya menggantinya mendayung pedal perahu ini. kami bergantian. Kali kedua, saya dan teman saya dari Brasil. Kami mendayung pedalnya yang seperti mendayung pedal sepeda dan saya mengatur arah pelayarannya.

Hampir 55 menit berlayar. Kami berhenti sejenak sebelum menuju dermaga. Saya melepaskan pedal perahu. Perahu diam di atas air. Suasana hening menyelimuti kami. Tidak ada bunyi air di belakang perahu. Dalam hening ini pula kedua anak muda tadi melanjutkan percintaan mereka di atas perahu. Bercinta memang asyik. Mereka juga tidak mengganggu yang lainnya. Bagi mereka, bercinta mesti dilakukan di tempat yang intim. Hanya berdua saja. Dan, mereka sudah melakukan itu. Tidak tanggung tanggung, di atas perahu lagi. Di tengah danau lagi. Bercinta memang membutuhkan ketenangan seperti ini. Tidak perlu takut perahunya dibawa ke mana. Perhau itu tetap akan terapung di atas air. Dan, dalam keterapungan itulah mereka bercinta.

Bercinta seperti ini nikmatnya luar biasa. Bercinta seperti ini kiranya perlu. Tidak perlu malu-malu. Untuk orang Timur memang mungkin malu. Memang bukan budaya orang Timur. Tetapi, orang Timur bisa belajar bahwa bercinta memang mesti dibuat pada tempat yang nyaman. Tidak merasa terganggu. Tidak perlu takut akan adanya ancaman dari pengontrol. Emang ada pengontrol bercinta? Lihat tuh di Aceh, ada polisi yang mengontrol anak muda yang bercinta di pantai. Bercinta seperti ini tentunya tidak asyik. Bercinta dalam suasana takut memang tidak asyik dan tidak baik. Maka, carilah tempat yang aman dari segi keamanan dan nyaman dari segi perasaan untuk bercinta. Jangan bercinta di tempat umum terutama kalau di negara-negara Timur. Jangan sampai seperti turis asing yang diperlakukan tidak adil di India.

Salam cinta dari atas perahu.

Molveno-Trento 12/8/2015

Modal ramah rupanya bermanfaat. Dengan ramah urusan jadi lancar. Yang tidak ramah pun bisa ketularan ramah.

Ramah itulah yang saya temukan pagi ini saat membeli roti. Saya menggantikan teman saya yang berangkat pagi-pagi ke gunung. Jam 6.30, saya tiba di toko roti. Sudah banyak yang antri. Di kasir juga demikian. Saya ikut antri di tempat pengambilan roti. Seorang ibu dengan ramah mendahulukan saya. Saya kaget ketika dia mengatakan pada saya dalam bahasa Italia yang amat sopan bahwa saya datang lebih dulu dari dia. Padahal, dalam antrian kelihatannya dia di depan saya. Saya yang satu-satunya orang asing di toko itu menjawabnya dengan sopan TERIMA KASIH.

Saya maju dan tukang roti yang cowok tersenyum sambil menunjukkan jarinya hendak menebak asal saya. Saya menyebut nama langganan kami dan dia langsung tersenyum tanda tebakannya benar. Dia lalu mengambil kantong roti itu. Saya lalu pindah ke antrian kasir. Di sini barisannya teratur karena kasirnya hanya satu. Meski satu kerjanya cepat sekali sehingga lancar. Kasir cewek ini juga melayani dengan ramah dan senyumnya lama dan ditujukan pada semua orang. 

Ibu tadi mengingatkan saya akan antrian di Jakarta dan Yogyakarta. Di Jakarta, sudah jelas situasinya tidak atau sedikit sekali budaya antrinya. Lihatlah di jalan, antrian di kasir mol dan pusat belanja. Kalau pun ada antri, masih ada yang memanipulasi antrian. Di Yogyakarta masih mendingan antrinya. 

Budaya antri memang sepele sekaligus berbelit-belit. Tetapi jika sudah biasa nyamannya bukan main. Bidaya antri kiranya membuat yang antri merasa nyaman. Sebaliknya saling rebut membuat repot luar biasa. Bisa jadi ada yang terinjak-injak seperti lazim di Jakarta. Belum lagi kalau ada isu-isu, yang ditunggu hampir habis. Padahal kalau mau habis ya tak usah direbut. Cari di tempat lain atau tunggu di lain kesempatan lagi. Apa susahnya menunggu giliran berikutnya. 

Budaya antri membuat pikiran tenang. Budaya antri seperti menunggu terbitnya matahari pagi. Sudah pasti akan terbit dan tidak perlu ribut-ribut apakah jadi terbit atau tidak. Budaya antri memupuk sikap saling menghormati. Saya tidak menduga kalau saya yang orang asing pun dihormati oleh orang Italia. Dengan ramah pula.
Tukang roti tadi betul-betul bekerja melayani pelanggan. Tidak ada hp di tangannya. Dia melayani dengan total makanya dia bisa ramah dan kesannya langsung akrab. Akrab seperti keluarga saja. Pelayan yang bekerja sambil memegang hp memang sulit melayani dengan ramah seperti tukang roti ini. Pelayan seperti ini dengan mudah mengabaikan pembeli. Dia bisa saja asyik membalas sms atau menjawab telepon sambil melayani pembeli. Maka, sudah pasti kesannya bukan melayani pembeli tetapi mengabaikan pembeli.

Alangkah lancarnya jika pelayan publik di Indonesia seperti di bank, pusat belanja, kantor pemerintah, kantor pelayan publik lainnya menerapkan pelayanan yang ramah seperti tukang roti ini. Lebih bagus lagi jika masyarakat atau pelanggannya berbudaya antri dan saling menghormati.

Salam senyum ramah dari seberang.

Molveno-Trento, 11/8/15


Menghormati yang tua sudah lazim. Yang tak lazim adalah menghormati yang muda. Mungkin karena tak lazim, saya pun kaget ketika mengalaminya.

Saya mengalaminya persis seperti saya dituankan. Saya merasa seperti bos yang dikelilingi anak buah saya. Padahal saya bukan bos. Tidak pernah mengalami rasanya dihormati oleh anak buah. Wong saya tidak pernah punya anak buah. Semua sama bagi saya.

Ketika penghormatan itu datang, saya betul-betul merasa saya dimuliakan. Saya yang muda ini kok diberi penghormatan oleh yang tua ini. Ah bukannya saya yang harus menghormatimu. Bukan. Rupanya di sini semuanya saling menghormati. Bahkan yang tua pun mesti menghormati yang muda.

Kajadian ini saya alami persis saat kami pulang dari gunung. Kami naik gunung meski hanya sampai pos ketiga dengan ketinggian 1630 meter di atas permukaan laut. Kami memang berencana untuk sampai di sini saja. Tidak perlu sampai di puncak. Sebab, kami berangkatnya agak siang. Jam 9 pagi.


Saat pergi kami hanya bertiga saja. Muda-muda semua. Kuat jalan kaki. Naik tanjakan dan jurang tetap tangguh. Pulangnya berempat. Sahabat kami yang umurnya 75 tahun, orang Italia ikut rombongan kami bertiga.

Jalanan menurun dan penuh jurang. Di beberapa bagian, kami hanya bisa menaruh keseimbangan hanya pada tali yang dilekatkan ke bebatuan di tengah jurang. Ketakutan tentu ada. Tetapi prinsipnya kalau yang lain bisa melewati jalan ini, saya juga harus bisa. Kami mengkhawatirkan sahabat kami ini. Bagaimana mungkin dia yang 75 tahun ini bisa melewati jalan berjurang ini?

Rupanya dia kuat. Dia mampu melewati rute-rute yang sulit tanpa hambatan. Dia memang suka naik gunung. Katanya setiap tahun, di musim panas, dia selalu naik gunung. Kadang-kadang sampai 2-3 kali. Jalanan ini baginya bukanlah jalan tersulit. Biasa saja. Wong rute jalan pegunungan memang seperti ini. Pegunungan yang kami tuju memang hanyalah gunung batu. Alias gunung yang puncaknya berupa batu karang yang besar. Jurangnya dalam. Beda dengan Gunung Sinabunga atau Merapi atau Semeru di Indonesia yang di puncaknya masih berupa tanah.

Yang membuat saya berkesan adalah kata-katanya pada kami. Dia mengatakannya dalam bahasa Italia yang sangat sopan. Kalian boleh jalan duluan. Kalian bisa cepat sampai. Jangan khawatir dengan saya. Saya punya ritme perjalanan saya yang lebih lambat dari kalian. Saya akan tiba juga seperti kalian. Saya iba mendengarnya. Saya—kami—merasa dihormati oleh sahabat kami ini.

Rasa iba ini muncul begitu saja. Kata-kata sahabat ini lebih dari sebuah penghormatan bagi saya. Dengan kata-kata ini, saya malah diundang untuk menghormati yang lain yang berbeda dengan saya. Saya bukan saja mesti menghormati yang tua tetapi juga yang muda. Sahabat kami ini tidak seperti orang tua lainnya yang kadang-kadang minta untuk dihormati. Atau menyuruh orang muda menghormatinya. Jika tidak, dia dengan marah minta untuk dihormati. Sahabat kami ini tidak. Dia malah menghormati kami sebelum kami menghormatinya. Sungguh luar biasa. Saya iba dan sedikit merasa malu. Betapa saya kadang-kadang menuntut yang muda menghormati saya. Saya malu rupanya saya tidak lebih dulu menghormatinya tetapi dia yang lebih dahulu menghormati saya. Terima kasih sahabat untuk kebersamaannya dari gunung sampai tiba kembali di rumah.

Salam hormatku.

Molveno-Trento, 8/8/2015


Setelah minum air biasanya saya menuju kamar mandi. Di sana saya menggunakan air untuk gosok gigi dan cuci muka dan melanjutkan dengan mandi.

Saya gosok gigi pakai air bersih. Ada pengaturan dingin, hangat, dan panas. Saya selalu memilih yang hangat. Sesuai keadaan suhu. Kalau dingin ya pilih panas. Kalau panas ya pilih dingin, dan sebagainya.

Demikian juga dengan air untuk mandi. Saat musim dingin sekali, saya memilih untuk mandi pakai air hangat. Saat capek sekali, saya mandi pakai air yang agak panas dari biasanya. Kata teman saya, kalau capek mandilah air panas biar bias tidur pulas setelahnya dan hilanglah capeknya. Saya selalu menggunakan cara ini setelah pulang bepergian yang membuat tubuh saya capek.

Air juga saya pakai sehabis buang air besar dan kecil. Untuk membersihkan perabot yang terkait. Betapa malu juga saya jika selalu mengingat perbuatan ini. Saya buang air kecil, misalnya, kemudian harus menghabiskan air lagi untuk membersihkan toilet. Tetapi memang begitulah hukumnya. Jika tidak, kamar mandi pasti mengeluarkan bau yang tak sedap di hidung.

Hitung-hitung dalam sehari saya menghabiskan banyak air. Pagi hari saja setelah bangun saya menghabiskan sekian liter air. Padahal untuk mengadakan air seperti yang ada di kamar mandi saya butuh biaya besar. Untuk membayar listrik yang mengangkat air menuju kamar saya, untuk membayar listrik yang membuat air bias panas-dingin-hangat, dan sebagainya.

Suatu malam, saya dan dua teman saya, berkunjung ke seorang sahabat. Di sana kami ngobrol sebentar. Saya baru pertama kali ke sini. Tampak luar rumah mereka bagus dan sepintas seperti orang kaya. Mereka tinggal di apartemen mewah. Saya tak tahu berapa bayarnya setiap bulan.

Rupanya tampak luar dan kesan pertama tidak seindah yang dirasakan penghuninya. Di dalam suasananya lain. Saat kami ngobrol saya mulai merasa dingin. Kedua teman saya tahu penyebabnya. Dan, sahabat kami ini langsung saja menyebut penyebabnya. “Maaf ya rumah ini tanpa pemanas ruangan.” Astaga, kataku dalam hati. Pantas saja dingin sekali. Sebab, di kamar saya yang ada penghangatnya tidak merasakan seperti ini.

Di rumah ini setidaknya ada 2 anak kecil. Inilah yang saya sayangkan. Anak kecil ini mandi pakai air dingin. Dan, bayangkan, betapa dinginnya mereka mandi pakai air dingin. Pagi hari misalnya saat suhu masih berkisar 0-5 derajat Celcius mereka mandi. Tidak ada air hangat seperti yang saya pakai di kamar mandi.

Ah betapa ironisnya hidup ini. Saya berterima kasih pada Sang Pemberi yang memungkinkan saya untuk menggunakan air hangat. Saya tidak mau melalaikan penggunaan air ini. Rupanya banyak orang yang membutuhkan air seperti ini tetapi taks anggup mendapatkannya. Terima kasih.

Prm, 10/3/2014
Gordi

Dari Penuh jadi Hampir Kosong

foto, AFP Getty Images, dari thepromota.co.uk
Kemarin penuh, hari ini hampir kosong. Warna-warni situasi di Gereja Santa Cristina, kota Parma, Italia. Dalam suasana Paskah, hari ini sebenarnya masih ada misa meriah. Di Indonesia memang kebiasaan ini masih kuat. Paling tidak di Nusa Tenggara, Ambon, dan Papua, juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Jakarta, kurang begitu kuat. Semua seolah-olah berakhir pada Minggu Paskah. Di NTT umumnya ada istilah Paskah kedua. Maksudnya, hari Senin setelah Minggu Paskah. 

Di kota Parma, tidak ada istilah paskah kedua. Ada istilah pas’quaetta. Maksudnya sama seperti Paskah kedua. Kata ini berasal dari kata pasqua (easter) dan pas’quaetta diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Easter Monday. Dan, orang Italia masih merayakan paslkah kedua ini. Di bagian Selatan—kata teman saya—paskah kedua ini masih ramai. Banyak umat datang misa. Daerah Selatan memang boleh dibilang lebih hidup kekatolikannya ketimbang di Utara. Penyebabnya tentu banyak. Kita bisa menggunakan kacamata dengan berbagai merek untuk melihatnya. Ada kacamata ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat.

Di Santa Cristina hari ini, hadir setidaknya 30-an orang. Jumlah ini kecil sekali dan tidak sebanding dengan kemarin. Meski, sedikit, kami tetap merayakan misa dalam semangat kekeluargaan. Keluarga yang kecil—komentar beberapa teman—punya semangat kekeluargaan yang tinggi. Tentu keluarga yang besar juga. Tergantung kepala keluarga menciptakan suasana kekeluargaan dalam rumah keluarganya. Ada juga keluarga besar yang tampak sekali kekeluargaannya. Keluarga seperti inilah yang patut ditiru dan patut diambil semangat kekeluargaanya. Semangat kekeluargaan yang menciptakan suasana kebahagiaan.

Dan, kami merayakan misa hari ini dalam suasana bahagia paskah. Dalam homili, pastor paroki meminta saya untuk membacakan beberapa kutipan dari bahan kuliah yang dibuatnya, juga dari buku yang ditulisnya. Jadi, homili hari ini tidak seperti homili kemarin dan homili hari Minggu lainnya. Homili hari ini lebih bercorak kuliah. Tidak apa-apa. Ini juga bagian dari kreativitas. Setiap pastor yang memimpin misa mempunyai gaya tersendiri dalam membawakan homilinya. Seperti kita lihat juga gaya Paus Yohanes Paulus II yang sudah jadi santo itu beda dengan Paus Benediktus XVI yang profesor Filsafat dan Teologi itu. Homili Paus Benediktus XVI juga beda dengan Paus Fransiskus, Jesuit dan profesor itu. Apa pun coraknya homili, misa hari ini tetaplah misa Paskah kedua. Misa yang kami ikut dalam suasana kekeluargaan dan kebahagiaan Paskah.

Setelah misa, saya langsung mengambil sepeda saya dan kembali ke rumah. Di rumah, kami membuat pesta paskah. Makan siang bersama di halaman rumah. Makan yang kami siapkan sendiri. Tidak ada spagetti, pizza, pastasciutta. Hanya ada daging bakar, nasi, sedikit roti, cabe sebagai pendorong nasi, dan buah-buahan yang tak akan kami tinggalkan. Kebahagiaan Paskah ini kami ciptakan juga di halaman ini. bangku dan meja kami ambil di kamar makan. Radila halaman ini seperti kamar makan alam. Di kamar makan ada kebahagiaan. Di sini juga ada. Kami merayakan pesta ulang tahun seorang teman yang hari ulang tahunnya jatuh 3 hari yang lalu. Ada sepatah dua kata darinya sebagai ungkapan terima kasih. Ada juga lagu indah yang kami nyanyikan bersama dalam bahasa Prancis dan Spanyol. Ah indahnya kebersamaan dalam suasana kebahagiaan Paskah ini.

Selamat Paskah 2015 dan selamat ulang tahun temanku.

Parma, 6 April 2015
Gordi

Kalau Yesus tidak Bangkit Pagi Ini

Paus Fransiskus saat menyampaiakn pesan Urbi et Orbi
pada 5 april yang lalu, foto dari catholicnewsagency.com
Yesus bangun tepat pada pagi hari. Yesus memang manusia seperti kita, bangun pada pagi hari. Pagi-pagi buta seperti penggembala kerbau di kampung saya. Atau juga seperti ibu-ibu pedagang sayur di Pasar Cempaka Putih, Jakarta. Atau juga seperti tukang bersih jalan di jantung kota Parma. Mereka bangun pagi-pagi buta. Bangun tidur memang mesti pagi-pagi. Saya kenal seorang pastor tua di paroki saya dulu. Dia bangun pagi-pagi dan berdoa. Baginya, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berbicara dengan Dia. Seperti saya juga dulu, bangun pagi, sejak SMP untuk belajar pagi, sebelum berangkat sekolah. 

Pagi hari memang waktu yang baik untuk menyegarkan diri. Termasuk melihat apakah betul yang kita lihat itu sudah jelas. Maria pergi kubur pagi ini dan melihat kubur kosong. Batu palang juga sudah digulingkan. Tidak ada orang di sana. Betulkah kubur itu kosong? Betulkah yang Maria lihat itu sudah jelas? Ataukah dia dihantui ketakutan sampai menghalanginya untuk melihat yang sebenarnya? Maria memang melihat tetapi tidak jelas apa sebenarnya yang terjadi. Apalagi dia langsung merasa takut menghadapi peristiwa ini. Di sana rupanya ada seorang pemuda, berbaju putih, yang membuat Maria bisa melihat dengan jelas.

“Jangan mencari Dia. Dia tidak ada di sini. Dia sudah bangkit”, begitu kira-kira katanya pada Maria.

Dia sudah bangkit. Maklum, pagi hari. Pagi-pagi buta. Kita bangun dari tidur dan Yesus bangun dari tidur panjangnya. Dia memikul salib dan akhirnya wafat pada Jumat lalu dan hari ini, Minggu pagi, Dia bangkit. Dia tidak ada di kubur. Kubur hanyalah tempat istirahat sementara baginya. Dia akan bangkit dari kubur itu. Yesus memberi kita gambaran, hidup kita kurang lebih seperti hidup Yesus. Kita mati dan dikuburkan tetapi kita tidak tinggal dalam kubur itu.

Di kubur itu, kita singgah sementara. Setelahnya—seperti Yesus—kita akan bangkit. Kubur itu seperti terminal sementara. Terminal pusat, tempat banyak orang datang menunggu bus. Dan memang kubur itu seperti terminal, dan bukan tujuan akhir. Dari sana kita akan dibawa menuju tujuan akhir hidup kita. Tujuan akhir perjalanan kita.

Yesus sudah pergi dari terminal itu. Itulah sebabnya Dia bangun dari situ. Orang mencarinya di situ tetapi Dia tidak ada di situ. Maria dan para murid—seperti kita—sudah terlambat. Kereta sudah pergi. Bis terakhir sudah berangkat. Kita kadang-kadang—seperti Maria dan para murid—suka bangun terlambat. Suka mengulur waktu sampai ketinggalan kereta, ketinggalan pesawat, ketinggalan bis. Ada juga yang datang hanya sampai di terminal. Mereka tidak tahu mencari bis dengan jurusan yang mereka tuju. Mereka datang hanya untuk mengantar keluarganya di terminal. Lebih dari mengantar, mereka juga hanya mau melihat Yesus itu. Sayang, Yesus itu tidak ada di terminal.

Yesus memang tidur di kubur yang kita sebut sebagai terminal itu, tetapi Dia tidak tidur selamanya di sana. Meski hanya sementara, orang-orang datang ingin melihatnya. Termasuk kita—kiranya. Beginilah kadang-kadang gambaran iman kita. Iman sebatas sensasi. Iman sebatas yang tampak dari luar. Iman seperti ini dimiliki banyak orang dalam setiap agama.

Iman yang seolah-olah mendalam padahal dangkal. Iman yang seperti air di kolam yang jarang dibersihkan. Iman kolam ikan. Iman yang kelihatannya biru atau hijau dan dalam padahal hanya 1 meter. Dalam 1 meter itu terdapat banyak plankton dan bunga-bunga air. Itulah yang menghambat penglihatan. Iman yang hanya sebatas mau melihat tetapi tidak mau mencari langkah berikutnya.

Maria dan para murid—seperti umat Katolik di Paroki Santa Cristina hari ini. Kami tidak membayangkan akan ada umat sebanyak ini. Baru kali ini gereja ini tidak bisa menampung umat yang datang. Pastor paroki memberi salam kepada semua yang datang dan menegaskan bahwa baru kali ini gereja penuh. Biasanya hanya 200 sampai 300 orang. Hari ini diperkirakan lebih dari 400 orang. Ini sudah banyak untuk ukuran paroki di tengah kota Parma ini. Tentu jumlah ini kecil dibanding gereja-gereja di Jakarta, Jogja, Makasar, apalagi di Flores, Timor, Ambon, Bali, dan Papua.

Iman seperti ini kiranya perlu terus dibina. Iman sejatinya tidak boleh statis tetapi dinamis. Iman perlu perkembangan. Ini tentu tugas setiap orang beriman. Iman dengan demikian menjadi sebuah pencarian. Entah pencarian dengan akal atau juga dengan pengalaman sehari-hari. Iman yang bagi kelompok tertentu harus bisa dipertanggung jawabkan. Tentu dengan akal. Iman yang bagi yang lain juga tak perlu dipertanggung jawabkan dengan akal tetapi dinyatakan dalam perbuatan, dalam kenyataan hidup sehari-hari. Iman seperti inilah kiranya yang juga dimiliki Maria dan para murid Yesus.

Dengan iman ini mereka mencari Yesus. Pencarian mereka mungkin hanya sampai ‘terminal’ tetapi ini adalah titik dasar untuk perjalanan iman selanjutnya. Iman memang kadang sulit dimengerti. Dan justru seperti inilah yang dialami para murid. Mereka hidup dan tinggal bersama Yesus namun butuh waktu bagi mereka untuk memahami arti semua yang Yesus buat. Iman yang butuh pemahaman dan pencarian.

Kiranya umat Katolik hari ini—yang merayakan Minggu Paskah, Pesta Kebangkitan Yesus—tidak saja berhenti pada menjadi Katolik Napas alias Natal-Paskah. Tetapi, menjadi orang Katolik yang menjiwai kesehariannya dengan nilai-nilai Katolik. Tidak dipungkiri iman seperti ini kadang-kadang sulit. Lebih gampang menjadi Katolik Napas ketimbang menjadi Katolik sepanjang hari, apalagi sepanjang hidup. Bagaimana pun menjadi Katolik memang sejatinya adalah menjadi orang yang selalu mencari. Tidak akan pernah puas dengan sebuah penemuan. Hari ini mungkin bertemu Yesus dalam doa namun besok tidak ada lagi pengalaman perjumpaan seperti ini. Tidak apa-apa. Meski Yesus tidak dijumpai sehari-hari, Dia sebenarnya sudah berpesan, “Marilah dan Kamu akan melihatnya.” Marilah kita mencari dan kita akan melihatnya.

Selamat Paskah 2015

Parma, 6 April 2015
Gordi


KRISTUS dan GABRIEL CAHAYA DUNIA

foto, https://rosadigericoblog.files.wordpress.com
Cristo luce del mondo, Kristus Terang Dunia, adalah kalimat yang saya nyanyikan malam ini, dalam perayaan ekaristi Sabtu Suci. Nyanyian ini lazimnya dinyanyikan umat Katolik Roma di seluruh dunia. Kristus adalah cahaya dunia. Dia memang adalah cahaya. Malam ini, atau juga besok pagi, Yesus bangkit. Yesus bangkit dan menjadi cahaya bagi dunia. Cahaya yang menerangi kegelapan manusia. 

Dalam Injil, Yesus dikisahkan bangkit pada pagi-pagi buta, sebelum matahari terbit. Paling tidak, dalam cerita Maria dan para murid yang melihat batu palang kubur dipindahkan. Saat itu, Yesus memang tidak ada dalam kubur. Yesus sudah bangkit, dan menerangi pikiran mereka yang masih meyakini Yesus mati dan tidak bangkit. Yesus kemudian menyuruh Maria untuk memberitakan hal ini pada para murid dan orang-orang di kota.

Lain Yesus lain saya. Tidak bisa disamakan tetapi bisa dibandingkan. Yesus adalah cahaya itu sendiri, saya hanya pelayan, pembawa cahaya itu. Dalam perayaan Sabtu Suci ini, saya bertugas membawa lilin paskah dari tempat perarakan ke ruang gereja. Dari lilin yang saya bawa itulah, umat bisa memperoleh terang bagi lilin-lilin di tangan mereka. Saya bukan saja membawa terang itu, tetapi juga menyanyikan lagu yang saya tulis sebagai judul tulisan ini. Tiga kali. Satu di dekat pintu masuk bagian samping gereja, di dekat pintu utama gereja, dan di dekat altar gereja.

Kristus memang benar-benar cahaya bagi dunia. Dialah cahaya yang menerangi hati manusia, hati kami, hati saya malam ini. Melihat lilin yang menyala malam ini, saya membayangkan Yesus yang menjadi cahaya bagi dunia. Seperti cahaya, Yesus tidak pernah membeda-bedakan mereka yang menerima cahayanya. Dia seperti cahaya, menerangi semua. Cahayanya tidak mengenal warna-warni. Cahayanya adalah murni. Dalam kemurnian, ada warna-warni. Bukan, cahaya warna-warni yang menuju kemurnian. Murni berarti satu. Dan cahaya Yesus hanya satu, yakni cahaya yang menerangi dunia. Dan, oleh sebab itu, cahaya Yesus adalah murni.

Cahaya yang murni ini menyatukan kami dalam perayaan malam ini. Tidak banyak yang hadir. Sekitar 200-an orang saja. Biasanya—kalau perayaan siang hari—bisa mencapai 400-an orang. Tetapi, bisa dimaklumi. Misa ini dimulai jam 11 malam. Jelas saja, anak kecil tidak datang. Kecuali Gabriel dan saudaranya Sebastian. Gabriel berumur kurang dari setahun dan dibaptis malam ini. sedangkan, Sebastian sudah 4 tahun lebih. Mereka datang bersama bapak dan ibu, kakek dan nenek, beserta keluarga besar mereka dalam perayaan malam ini. Gabriel dibaptis.

Malam ini disebut juga sebagai malam cahaya. Gabriel dan Sebastian adalah cahaya bagi kami orang dewasa yang hadir malam ini. Dan, kiranya Gabriel yang baru saja dibaptis malam ini akan menjadi pembawa cahaya bagi sesama. Gabriel adalah nama malaikat yang membawa kabar gembira pada Maria. Maria—kata Gabriel—kamu akan mengandung dan melahirkan seorang anak. Anak ini adalah cahaya dunia. Gabriel—kiranya—kelak akan menjadi pembawa kabar gembira yang adalah cahaya bagi dunia.

Selamat Paskah dan Salam hangat untuk Gabriel. Marilah kita menjadi terang bagi dunia.

Parma, 3 April 2015
Gordi


HARI BERKABUNG

CIUM SALIB, foto oi62.tinypic.com
Salah satu hari khas dalam tri-hari suci dalam Gereja Katolik adalah hari berkabung. Hari ini jatuh pada hari Jumat. Biasa dimena dengan seduta hari Jumat Agung. Meski agung, hari ini sebenarnya adalah hari berkabung. Berkabung karena sedih. Sedih yang amat dalam. Siapa yang tidak sedih jika ada yang meninggal? Dan hari ini, dalam Gereja Katolik, diperingati sebagai hari wafatnya Yesus. Konon, dari kitab suci, diketahui waktunya kira-kira pada sore hari, jam tiga. 

Hari berkabung ini tentu didahului dengan penderitaan. Seperti orang sakit pada umumnya, menderita dulu baru pada akhirnya meninggal. Yesus mengalami seperti ini. dari tadi pagi, Dia menderita. Dalam Gereja Katolik, pagi hari biasanya dikenangkan peristiwa JALAN SALIB. Peristiwa Yesus memikul salib sebagai hukuman. Hukuman dari raja Pontius Pilatus karena Yesus menyamakan dirinya dengan Allah, Tuhan yang diyakini bangsa Yahudi waktu itu. Mereka belum mengerti jika Yesus memang adalah Tuhan. Tuhan yang datang dan hidup bersama manusia, tepatnya demikian. Setelah diinterogasi panjang lebar, Yesus akhirnya dijatuhi hukuman ini. Dia memikul salib itu hingga ke Golgota, gunung Tengkorak. Hanya sekali dibantu yakni oleh Yusuf dari Arimatea. Tiga kali jatuh. Salib itu memang berat. Beratnya sampai membuat Dia mati. Dia memang mati setelah dipaku di salib yang Ia pikul. Betapa beratnya siksaan ini. sudah pikul, lalu dipaku juga di situ.

Peristiwa JALAN SALIB ini dikenangkan dengan berbagai cara. Ada yang dengan mendengar kisahnya yang juga ditulis dalam buku Jalan Salib dengan berbagai versinya. Ada juga yang memvisualisasikannya dengan drama. Ini biasanya yang dibuat di beberapa paroki di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Labuan Bajo, Ruteng,  Ende, bahkan mungkin Mentawai, Sumatera Barat. Di beberapa kota di Italia juga dibuat dengan demikian. Kami di Parma, tidak membuatnya. Itulah sebabnya, hari ini saya dan teman saya berangkat ke Santa Cristina, di jantung kota Parma. Di gereja yang hening itu, kami merenungkan kembali peristiwa jalan salib ini. kami membaca teks menarik yang mengisahkan peristiwa ini. Di gereja yang penuh corak seni dan dibangun pada abad 16 itu, kami menghabiskan sekitar 1,5 jam. Renungan yang dibuat membantu kami menghayati hari ini sebagai hari berkabung. Saya merasakan betapa berat penderitaan Yesus saat itu. Dan, hati saya lebih tersentuh lagi, betapa orang-orang zaman ini juga masih ada yang menderita seperti Yesus. Saya ingat 147 mahasiswa Kristiani yang dibunuh di sebuah universitas di Kenya oleh sekelompok muslim dari Mali. Saya tidak membenci muslim tetapi saya membenci kelompok pembunuh ini. Mereka boleh jadi seperti kelompok penguasa, Pilatus, yang menjatuhkan tuduhan tanpa alasan. Dan, lebih dari Pilatus, kelompok pembunuh ini lebih kejam. Membunuh tanpa tanya intero gasi.

Saya menghabiskan hari ini dengan merenungkan PERISTIWA PERKABUNGAN ini. Sungguh hari ini hari berkabung. Saya tidak makan malam. Maklum, dalam Gereja Katolik, hari ini memang dikhususkan untuk berpantang dan berpuasa. Makan malam tidak ada. Tidak boleh juga makan daging. Tidak ada perayaan ekaristi untuk menghormati Yesus yang wafat. Di berbagai belahan dunia, peristiwa inilah yang dikenangkan hari ini. di Roma, Paus Fransiskus ikut serta dan memimpin perayaan JALAN SALIB di Koloseo yang terkenal itu. Di sana, pada malam hari. Kami di Parma membuatnya pada sore hari. Malam harinya, kami membuat perayaan PENGHORMATAN pada Salib Yesus. Istilah ini di Indonesia dimena juga sebagai CIUM SALIB. Dalam bahasa Italia dimena istilah LA PASSIONE. Dalam la passione ini, umat diberi kesempatan untuk menghormati Salib Yesus yakni dengan menciumnya.

Terima kasih Yesus untuk pengalaman hari ini
Kau menderita di kayu salib
Kuatkanlah kami yang menderita
Mampukanlah kami belajar dari-Mu untuk memahami penderitaan kami.

Parma, 3 April 2015
Gordi
Powered by Blogger.