Halloween party ideas 2015


Ada satu kesalahan besar di kompasiana. Ini bukan dari sudut kompasiana. Tetapi, dari kompasioner. Dan, bukan semuanya. Hanya segelintir. Termasuk saya.

Saya seringkali sulit menentukan jenis kelamin teman kompasioner. Karena fotonya yang bukan asli, atau foto benda tertentu (bunga, garuda, dsb), juga karena namanya.

Saya juga dulu pernah memakai foto benda dan bukan foto saya sendiri. Saya memakai foto tumpukan bulatan pink. Entah apa namanya. Saya mengambil dari google. Gambar itu menarik sehingga saya memakainya.

Beberapa teman memanggil saya mbak. Entah dari mana mereka melihatnya. Dari gambar? Dari nama? Mungkin saja.

Lalu saya menjelaskan saya ini mas lho. Jawaban dalam komentar. Sebulan kemudian saya memakai gambar asli saya. Jadi jelas, saya ini mas dan bukan mbak.

Boleh jadi panggilan itu dari nama. Nama saya sebenarnya netral. Ada yang mas ada juga yang mbak. Apalagi saya hanya memakai nama satu kata saja. Nama saya memang unik. Tidak banyak yang memakai nama itu. Saya bangga dengan keunikan saya.

Kemarin, tepatnya semalam, saya juga buat kesalahan. Saya memanggil mas untuk seorang kompasioner karena namanya ada kata ‘om’ (diedit). Saya betul-betul tidak melihat gambar profilnya. Di gambar itu ada foto kompasioner itu. Dan, teman itu yang menyadarkan saya. Dia itu bukan mas tapi mbak. Wah....saya disadarkan. Saya cek fotonya dan benar dia mbak. Saya mohon maaf padanya. Dan, dia terima.

Pelajaran dari pengalaman ini adalah pentingnya mengecek silang. Jangan hanya menafsir dari nama atau dari foto saja. Mesti cek gambar fotonya. Nama bisa mengecoh. Dan foto juga bisa mengecoh. Mas pakai foto mbak. Dan sebaliknya.

Kalau soal nama lain perkara. Nama sekarang ini sulit ditafsir mas atau mbak. Kadang-kadang nama cewek dipakai cowok. Nama cowok dipakai cewek.

Yang bagusnya adalah memakai nama asli sekaligus foto asli. Jadi jelas jenis kelaminnya. Dan, orang lain tahu. Tidak menerka. Dan jangan menerka. Mesti dicek.

Ini kesalahan atau mungkin kekeliruan terbesar saya di kompasiana. Boleh jadi kesalahan lain. Untuk hari ini cukup yang ini.

Salam kompasiana.

PA, 26/2/13

Gordi


Saya selalu kagum dengan kata-kata para motivator. Menggugah, menyemangati, menginspirasi, menggerakkan, dan sebagainya. Tersentuh juga.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa mereka bisa seperti itu? Adakah kiat-kiatnya?

Kita sering melihat Mario Teguh di Metro TV, kata-katanya disimak banyak orang. Saya juga di media sosial sering melirik kata-kata motivator. Ada beberapa situs motivator yang sering saya ikuti. Saya juga membaca beberapa buku motivasi seperti bukunya Gede Prama. Bahkan kata-katanya Pak Dahlan Iskan juga sungguh menginspirasi.

Selalu ada semangat baru setelah menyimak kata-kata dan buku-buku mereka. Namun, satu yang menarik bagi saya. Hampir sebagian besar isi buku dan kata-kata yang muncul dari motivator menganjurkan untuk melakukan perubahan.

Menariknya kalau mau berubah harus mulai dari diri sendiri. Pengubah utama adalah diri sendiri. Meski banyak baca buku motivasi, kalau tidak mau berubah ya sama saja. Jadi, motivator ulung adalah diri sendiri.

Motivator hanya mengajak dan menggugah kita untuk kembali kepada diri kita. Saya setuju dan senang dengan ajakan ini. Sebab, perubahan dari luar hanya sebagian kecil saja. Pengubah utama tetap diri sendiri. Jadi, mari kita jadi motivator untuk dan mulai dari diri sendiri.


PA, 26/2/13
Gordi


ilustrasi, americamagazine

Hari ini akan berakhir
Waktu telah diberikan
Dari pagi hingga malam

Kita akan beristirahat
Kesempatan menampung tenaga
Kelak, esok bangun lagi

Dari pagi hingga malam
Banyak pekerjaan
Malam rasanya capek

Dari pagi
Belum bertemu anak-anak
Malam bercengkarama

Hanya syukur yang terucap
Atas segala yang diberikan
Sepanjang hari ini

Terima kasih
Pada Dia yang memberi
Kita sudah menerima banyak

Malam pengganti siang
Siang menjadi waktu tuk bekerja
Meski ada yang kerja malam

Mayoritas bekerja siang
Malam hari untuk bersyukur
Syukur atas pekerjaan

Kutulis ini sebagai akhir hari
Muncul dari renungan
Atas pekerjaan sepanjang hari

PA, 26/2/13

Gordi


Lelaki paruh baya
Setiap pagi datang
Dengan sepeda motor merah
Seperti pegawai kantor

Datang jam 7
Pulang sore jam 5
Dia bekerja
Membersihkan kuburan

Sesekali ada kunjungan
Dari yang ramai
Sampai yang rombongan kecil
Tergantung hari-harinya

Bermodalkan karung bekas
Ia mengais sampah kertas dan dedaunan
Dengan sapu lidi tua
Ia mengumpulkan dedaunan

Dengan cangkulnya
Ia menyiang rumput
Yang tumbuh
Di sekitar keramik kuburan

Sesekali ia membawa seember air
Untuk disiram
Di bunga-bunga kuburan
Biar tampak segar

Dikala ramai
Ia disanjung-sanjung
Ia menerima banyak pertanyaan
Ia juga membantu pengunjung

Ada yang menanyakan sejarah
Menanyakan letak kuburan tua
Berapa pengunjung sebulan
Dan pertanyaan lainnya

Dikala ramai juga
Ia menerima banyak recehan
Dari mobil keluarga
Yang datang berkunjung

Angkanya kecil
Tetapi nilainya besar
Bagi dia yang kerjaaannya
Hanya penjaga kuburan

Dikala ada calon penghuni
Ia ditemani kru penggali kuburan
Ia hanya menunjukkan tempat
Kru penggali yang beraksi

Dia menemani pengunjung
Melayani mereka
Meminjamkan kamar kecil
Dan pekerjaan kecil lainnya

Jasamu besar
Semoga arwah mereka
Menguatkamu
Dalam pekerjaan harian

PA, 27/2/13
Gordi




Orang Papua terkenal dengan kepiawaiannya dalam sepak bola. Sebut saja nama yang ada di timnas, Tibo, Oktavianus, Patrich, Boas, dan sebagainya. Mereka hebat mengoceh bola, mengharumkan nama Indonesia.

Karena kehebatan itu, nama Papua selalu muncul di Media. Televisi, koran, radio, internet, dan sebagainya. Apalagi perusahaan asal Amerika Freeport ada di tanah Papua. Nama Papua sampai di Amerika.

Di balik munculnya nama Papua karena hebat, nama Papua juga muncul karena konflik. Bentrokan selalu terdengar dari seantero Papua. Ada polisi, TNI, warga sipil, buruh, tenaga kerja, yang jadi korban.

Pertanyaannya, ada apa dengan Papua? Ada kelompok yang meminta presiden dan pemerintah untuk datang ke Papua. Melihat langsung kehidupan rakyat Papua. Tetapi kadang-kadang pemerintah berkomentar saja dari Jakarta. Jarak Papua-Jakarta jauh. Butuh berapa jam agar sampai di sana.

Tak heran jika ada bentrokan, Jakarta hanya berjanji kirim aparat keamanan dan tidak ada janji akan dikunjungi. Agak aneh sebenarnya logika pemerintah. Jika mengacu pada hukum lama, kekerasan dibalas dengan kekerasan, gigi ganti gigi, solusi pemerintah ini cocok.

Namun, sekarang, hukum lama itu sudah ketinggalan zaman. Tidak ada lagi hukum seperti itu. Maka, bukankah solusi pemerintah selama ini, mengirim TNI ke Tanah Papua ketinggalan zaman? Ada juga buktinya. Bentrokan tetap berjalan. Memang demikian, bentrokan kok dipecahkan dengan mengirim aparat keamanan.

Aparat kemanan kadang-kadang tidak sesuai namanya. Namanya kemanan alias penjaga keamanan. Tetapi nyatanya, tidak aman. Malah mengganggu kemanan warga sipil. Jadi, untuk apa solusi pengiriman TNI ke Tanah Papua?

Yang luput dari perhatian media adalah akar bentrokan di Tanah Papua. Media massa hanya memberitakan jumlah korban tewas dan dari pihak mana korban itu. Belum ada ulasan terperinci mengenai akar konflik.

Mengapa orang Papua suka bentrok? Pertanyaan ini belum dijawab dengan baik. Jika ada yang tidak puas, di pihak mana ketidakpuasan itu? Ataukah ada konflik asli antara suku di Tanah Papua?

Kalau akar-akar konflik ini dicari, itulah yang perlu diselesaikan. Kalau tidak, ya kembali lagi, seolah-olah masalahnya adalah ketidaknyamanan. Sehingga, yang dikirim untuk memecahkan masalah adalah aparat keamanan, TNI.

Ini opini sore dari orang yang prihatin dengan Papua. Papua sebenarnya kaya wisata alam, kaya bakat olahraga, kaya tanaman laut yang indah. Namun, semua ini ternoda oleh bentrokan berkepanjangan.

PA, 27/2/13

Gordi


Angin malam
Berhembus sepoi
Mendinginkan badan ini

Angin malam ini
Bertiup kencang
Mendinginkan tubuh ini

Alam sedang bergejolak
Angin tak terkira datangnya
Kencang dan amat dingin

Dedaunan bergoyang
Daun pintu tertutup kencang
Daun jendela bergetar

Dinginnya membahayakan
Bayi-bayi yang sedang tidur
Di pangkuan bundanya

Manusia dewasa
Tak luput dari sengatannya
Mesti sedia baju tebal

Dinginnya malam ini
Membuatku berselimut
Merapatkan kaca jendela kamar

Akankah hujan akan datang?
Entahlah itu lain soal
Malam ini hanya angin saja

Angin kencang
Membawa musibah juga
Semoga tidak tuk malam ini

PA, 27/2/13
Gordi




Saya betul-betul sedang tidak ada ide untuk menulis. Saya cari-cari tetapi tidak ada. Saya kecewa tidak bisa menulis hari ini.

Saya ingat kata-kata seorang motivator, keadaan yang tidak stabil kadang-kadang menjadi inspirasi untuk menulis. Saya sedang tidak stabil karena tidak ada ide untuk menulis. Biasanya jam begini sudah ada tulisan. Hari ini kok belum.

Lalu, saya berdiam diri di depan laptop saya. Saya mendengar suara anak muda. Mesti tidak bagus, suara itu bisa menjadi hiburan baginya dan temannya. Ada 3 orang yang menyanyi. Juga ada bunyi gitar sebagai pengiring. Dua orang memetik gitar sekaligus menyanyi. Sedangkan seorang hanya menyanyi.

Saya menikmati nyanyian mereka. Kebetulan tidak jauh dari saya. Saya menulis ini karena itu saja yang saya dengar sekarang. Maka, dalam keadaan tidak stabil ini, ternyata saya masih bisa menulis. Saya mendapat inspirasi untuk menulis.

Pemuda-pemuda itu menyanyi dan memetik gitar. Mereka punya keahlian untuk itu. Saya bayangkan sahabat yang bisu, tidak bisa menyanyi. Syukur kalau dia bisa memetik gitar. Bisa gabung di grup musik.

Anak muda ini hebat memetik gitar. Saya bayangkan diri saya yang hanya bisa sedikit-dikit main gitar. Tidak ahli seperti mereka.

Mereka menyanyi dan main gitar karena bisa dalam hal itu. Maka itulah keahlian mereka. Minimal untuk menghibur diri dan orang di sekitar.

Menyanyilah ketika Anda bisa menyanyi. Dana, main gitarlah ketika Anda punya bakat dalam bidang itu. Suatu saat Anda tidak bisa lagi menggunakan kemampuan Anda itu.

PA, 28/2/13

Gordi

Gayamu aduhai
Pakaian seksi
Tak menutup semua badan
Seolah kurang kain

Itu gayamu
Banyak yang mengomel
Mereka tidak tahu gaya sekarang
Mereka bilang itu keterlaluan

Kamu tetap seperti itu
Menurutmu itu trend
Bukan melanggar budaya
Apalagi kurang kain seperti komentar mereka

Memang beda
Dulu dan sekarang
Zamannya berubah
Bukan yang dulu lagi

Karena kamu seksi
Kamu disukai
Motor gede hilir mudik
Ingin memboncengmu

Untunglah kamu mau
Mau menemani mereka
Tetapi dari kampus ke kosan saja
Tidak lebih

Mungkin mereka ingin lebih
Tapi kamu beri batasan
Mereka bangga bisa bonceng kamu
Kamu juga senang bisa penuhi keinginan mereka

Mereka mau yang lebih
Tapi kamu tetap pada aturanmu
Dari kampus sampai kosan
Atau sebaliknya

Gadis malam
Pulang malam
Tak jadi soal
Ada yang jemput

PA, 28/2/13
Gordi


Mataku melotot memandang bunga-bunga itu. Bukan sekali saja lewat di sini. Pandangan pertama memang selalu menyentuh hati. Tapi, berkali-kali lewat pun tak membuat hatiku luntur akan sentuhannya. Ya, sentuhan keindahan bunga-bunga itu.

Bunga-bunga itu bak gadis cantik nan menawan. Gadis seperti ini jadi objek penglihatan lelaki. Boleh jadi bukan saja sebatas melihat tetapi ingin memilikinya. Dan lelaki begitu terpananya akan gadis cantik, dia akan berusaha memperolehnya. Lelaki pada umumnya ingin menunjukkan kejantanannnya. Dan, lelaki belum dikatakan pejantan jika belum memiliki gadis molek itu. Dengan segala cara pun dia menunjukkan pada kawannya bahwa dia adalah sang pejantan tangguh. Dia akan membuktikannya dengan memiliki gadis cantik itu.

Bunga itu memang bukan gadis cantik tetapi bunga itu betul-betul menggoda hatiku untuk memilikinya. Lama kutatap warnanya. Berwarna-warni. Perpaduan warna yang begitu indah. Hijau, merah muda,  merah tua. Betul, perpaduan yang indah. Merah selalu menarik dilihat dari mana pun terutama dari kejauhan. Permainan warna merah inilah yang membuat mataku terpana melihat jejeran bunga ini. Dari kejauhan sudah tampak indahnya. Makin dekat, makin indah. Makin indah, makin lama menatap. Makin lama menatap, jadi jatuh cinta untuk memilikinya.

Bukan saja warna merah. Ada juga warna hijau. Hijau selalu identik dengan kesuburan. Bunga ini memang tentu tumbuh subur. Entah siapa yang memberinya makanan bergizi. Yang jelas, bukan manusia. Pemilik bunga ini hanya menaruhnya dipot. Sesekali dirawatnya dengan memotong ranting dan daun yang tua. Tapi, tak pernah pemiliknya memberi pupuk. Hanya mencari tanah yang subur untuk menambah koleksi tanah dalam pot. Tanah itulah yang memberinya makanan sampai bunga itu tumbuh dan menampakkan keindahannya. Tanah tentu dianugerahi kesuburan oleh Sang Pencipta. Maka, bunga itu mengajakku sejenak untuk tidak berhenti menatapnya lama-lama tetapi menatap lebih jauh, menembus keindahannya, pada Sang Pencipta.

Hatiku masih terus merayu bahkan menggoda untuk memilikinya. Bunga ini memang sungguh bak gadis idamanku. Mengingat gadis idaman tak bosan-bosannya. Selalu saja ada yang kuidamkan. Melihat yang satu, mau. Sayang hanya sebatas mau sebab tak lama kemudian dia lewat lalu pergi. Tapi, tidak ada yang perlu disesali. Sebab, tidak ada waktu untuk mengingat dan menyesalinya. Selang berapa menit kemudian, datang lagi gadis idaman yang lebih cantik darinya. Maka, mengidamkan untuk memilikinya adalah sebuah pekerjaan yang tak hentinya.

Mengingat gadis idamanku itu seperti menginginkan bunga indah yang ada di depan mataku. Mau memilikinya tapi tidak bisa memilikinya. Sebab, bunga itu tumbuh di pot di pinggir jalan. Banyak orang lewat di sini. Banyak yang mengaguminya. Banyak pula yang seperti saya ingin memilikinya. Sayang, tak bisa diambil. Sebab, kalau saya mengambilnya, bunga itu tidak bisa dinikmati lagi oleh pengunjung lainnya. Ah sayang bunga ini hanya untuk dinikmati tetapi tidak untuk dimiliki.

Alam memang menyediakan semuanya untuk kita nikmati. Tetapi tidak boleh menikmatinya berlebihan. Keindahan itu sebaliknya menugaskan kita untuk menjaganya bak menjaga gadis cantik dari cengkeraman lelaki hidung belang. Anak cucu kita punya hak—dan mereka akan menuntut kita—untuk menikmatinya.

Salam cinta alam.

Molveno-Trento medio Agustus 2015


Pernahkah mendapat komentar pedas atau kritik tajam di kompasiana? Jika pernah Anda tahu dan pernah merasakan tajamnya kritik/komentar itu. Jika belum siap-siaplah menghadapinya. Tetapi ada baiknya membaca tips sederhana ini. Mungkin tidak 100% persen berhasil, tetapi bagi saya, inilah yang sudah saya lakukan.

Pada awal bergabung di kompasiana, tidak ada komentar atau kritik pedas terhadap tulisan saya di kompasiana. Kebetulan, saya memang menulis yang ringan-ringan saja. Lagi pula, tulisan saya tidak ada yang menyerang orang/kelompok tertentu. Tidak ada tulisan yang menyalahkan sesama kompasianers. Saya tulis yang baik-baik saja. Saya pegang erat semboyan, Menulis untuk Menyebarkan Kebaikan bagi Pembaca.

Beberapa minggu terakhir, saya mendapat lebih kurang 3-4 kali komentar pedas pada tulisan saya. Sedikit mengarah pada adu-domba dengan komentar orang sebelumnya yang ada pada tulisan itu. Saya mengecek profil kompasianer itu. Ada yang tidak ada gambar fotonya. Ada juga yang identitasnya tidak jelas. Ada juga yang ada foto profil tetapi di setiap tulisannya selalu banyak komentar adu-domba. Singkatnya, komentator model terakhir ini banyak kontroversinya.

Saya pun setuju dengan pendapat beberapa teman bahwa mereka yang berkomentar adu-domba atau sengaja mengritik itu bukan akun asli. Akun mereka tidak jelas alias palsu. Entah sengaja dibuat untuk menyerang kompasioner tertentu ataukah memang ada tujuan lainnya juga.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Saya tidak membalas komentarnya. Biarkan komentarnya ada di situ tetapi tidak perlu ditanggapi. Sebab, saya pernah membalas tetapi malah tambah gawat. Dia membalas dan makin tak terarah debatnya. Tidak ada solusi ke arah yang baik. Saya mengalah.

Dengan cara saya—mendiamkan saja—ini, ada beberapa akun palsu yang sadar. Dia tidak berkoemntar lagi di tulisan saya. Dia tahu, saya tidak akan mudah terpancing dengan komentar liciknya.

Ada pula yang muncul lagi di komentar orang lain yang saya balas. Saya tahu, dia masih mau ajak untuk berdebat. Lagi-lagi saya tak menggubrisnya.

Setelah itu, dia tidak datang lagi di lapak saya. Saya kira cara saya ini bisa teman-teman praktikkan. Tentu ada yang berhasil dan ada yang tidak. Beginilah cara saya mengatasi akun-akun yang bikin gerah di kompasiana ini.

Saya berpikir, untuk apa mereka bergabung di blog keroyokan ini jika tujuannya hanya mengadu domba orang atau hanya menciptakan masalah? Bukankah akan lebih elok jika kita saling membangun? Yang salah kita perbaiki. Yang kurang kita tambahkan, saling melengkapi, seperti suami dan istri yang saling melengkapi.

Tidak dilarang berbeda pendapat, tetapi mesti mau juga menerima perbedaan itu. Jangan karena beda pendapat, terpancing untuk menyerang yang lain. Juga, baik kalau dibaca seluruh isi tulisan sebelum memberi kritik. Kalau hanya membaca sebagian saja, lalu beri komentar, itu tidak elok. Saya ingat sewaktu kuliah dulu, seorang dosen kami menekankan, tidak dilarang berkomentar asal pahami dulu inti persoalan dalam bacaan/makalahnya. Kalau tidak, itu sama dengan berkomentar lepas.

Demikian tulisan berbagi pengalaman ini. Semoga bermanfaat. Selamat siang. Selamat Paskah untuk umat Kristiani yang merayakannya.

PA, 31/3/13

Gordi

ilustrasi di sini
Saya tak tahu apa yang terjadi, jika sore ini hujan lagi. Kalau kemarin, sudah jelas, saya tunda ke gereja untuk beribadat. Apakah sore ini seperti itu lagi? Kalau turun hujan apa boleh buat. Itu kehendak alam. Dan mungkin kehendak Pencipta.

Tetapi sebagai manusia saya berharap agar tidak hujan. Biar kami, umat Kristiani, bisa ke gereja untuk beribadat, Malam Paskah.

Ini harapan besar saya sore ini. Entah itu menjadi nyata atau tidak, tidak jadi soal. Yang jelas saya sudah berharap.

Seperti saya berharap untuk soal lainnya. Berharap agar negeri ini aman dan makmur. Agar negeri ini tidak dijajah oleh sesama warga juga oleh pihak asing. Agar negeri ini tidak dirasuki perasaan benci dan serakah. Agar negeri ini tidak anti perbedaan. Agar negeri ini tidak saling lempar kesalahan. Agar negeri ini bersatu padu membangun kebersamaan dalam perbedaan dan menjauhi musuh bersama.

Harapan abstrak. Namun jika itu jadi nyata, betapa indahnya negeri ini. Salam Indonesia raya untuk pembaca.

PA, 30/3/13
Gordi



ilustrasi, di sini

Hujan tadi sore memberi pelajaran penting bagi saya. Pelajaran yang mengandung nilai pengorbanan.

Betapa tidak, hujan itu membuat rencana saya gagal. Namun saya mencoba cari akal. Akhirnya rencana saya hanya tertunda saja.

Saya mau ke gereja untuk ikut ibadat Jumat Agung pada pukul 3 sore. Sebelum jam 3 saya harus berangkat. Demikian rencananya. Apa yang terjadi? Sebelum jam 2 hujan mulai turun.

Saya berniat membatalkan rencana itu. Hujan pun makin menjadi-jadi. Gagal total, gumamku dalam hati. Saya istirahat saja. Tidak jadi ke gereja.

Saat bangun, saya membuat rencana lagi. Mau ikut ibadat yang jam 6 sore. Masih banyak waktu untuk siap-siap. Ini rencana yang pasti sukses.

Saya mandi dan siap-siap. Rupanya mulai gelap. Saya tak gentar. Pergi saja, toh belum turun hujan. Demikian tekad-laskar saya.

Masuk di parkiran gereja, gerimis mulai beraksi. Saya bergegas masuk. Sekitar 5 menit duduk di bangku, hujan turun. Woaoa....saya beruntung. Sayang sekali untuk umat yang sedang dalam perjalanan. Masih ada 35 menit lagi bagi umat.

Umat pun berdatangan. Menerobos hujan. Inikah bentuk pengorbanan umat?

Boleh jadi demikain. Seperti saya yang berani melampaui suasana gelap tadi, kawan-kawan saya ini berani menerobos hujan, demi ibadat Jumat Agung.

Hujan ini sebagai halangan atau ujian? Bagi orang tertentu hujan ini halangan. Bagaimana ke gereja jika hujan tak kunjung reda?

Namun, bagi yang lain, hujan ini sebagai ujian. Maukah saya mengikuti ibadat meski dihalang hujan? Soal kemauan saja. Dan, bagi yang tetap datang ke gereja, ini adalah bentuk pengorbanan.

Terima kasih Tuhan, hujan ini ternyata memberi pelajaran bagi kami, umat-Mu.

PA, 29/3/13
Gordi


Engkau bukan preman
Bukan pula tahanan di Cebongan
Bukan pula pembunuh sang serdadu
Bukan perusuh

Engkau hanya Mesias
Yang diramalkan membawa perubahan
Perubahan politik menurut orang Yahudi
Namun bukan itu yang mau diubah

Engkau mengubah hukum mereka
Mata ganti mata
Gigi ganti gigi
Itu hukum mereka

Engkau datang  mengganti hukum itu
Hukum untuk manusia
Dan bukan manusia untuk hukum
Itu kata-kata-Mu

Apa lacur
Engkau dituduh menghujat Dia
Dia yang mereka sembah
Dia yang memberi hukum menurut mereka

Lantas, Engkau pun menanggung risiko
Disiksa, dihojat, dirajam, ditelanjangi, tetapi tidak ditembak peluru
Lalu, digantung di salib

Engkau meratap dari sana
Bersahut pada Bapa
Murid-Mu lari
Tetapi Engkau setia sampai wafat di sana

*renungan Jumat Agung


PA, 29/3/13
Gordi



Kamu preman
Kelompokmu preman
Sukumu preman
Etnismu preman
Benarkah aku preman?

Aku sakit hati diejek demikian
Kamu menghina aku
Kamu menghina kelompokku
Kamu menghina etnisku
Benarkah tuduhanmu?

Kalau aku balik menghina
Kamu preman
Kelompokmu preman
Etnismu preman
Terhinakah kamu?

Jangan memanggil aku preman
Jangan menuduh aku preman
Jangan menghina aku preman
Jangan memfitnah aku preman
Buktikan jika tuduhanmu benar

Maukah engkau bertanggung jawab atas ucapanmu?
Tak elok mengeneralisir etnisku
Aku hanya sekian dari mereka
Aku hidup dengan mereka
Tapi aku bukan preman

Kalau kelompok itu preman
Apa sumbanganmu untuk mereka?
Maukah engkau merangkul mereka keluar dari aski premanisme?
Kalau tidak, jangan suka mencibir
Jangan suka melempar dan sembunyi tangan

Negeri ini mencintai keanekaragaman
Pendiri bangsa mengajak rakyat untuk bersatu
Bukan kelompok Jawa, Sulawesi, Irian, Sumatera, Ambon, Kalimantan
Bukan kelompok tertentu
Bukan agama tertentu

Semuanya diajak untuk bersatu
Melampaui sekat-sekat
Kita adalah satu bangsa
Mari bersatu bangun bangsa
Hilangkan prasangka negatif seperti preman untuk etnis/kelompok/agama tertentu

Mereka preman
Tapi kita jangan ikut berpreman
Kita jangan menghakimi seolah-olah hanya kita yang benar
Dan mereka semua salah
Di antara mereka seperti di antara kelompokku ada yang bukan preman

PA, 28/3/13
Gordi
Powered by Blogger.