Halloween party ideas 2015

Ini pengalaman menarik bagi saya. Saya datang dari tempat yang jauh. Dan datang ke tempat yang jauh dari negeri saya. Berjauhanlah. Dan karena jauhnya, banyak perbedaan yang amat jauh. Ada juga yang dekat. Tetapi ada yang sama sekali berbeda.

Salah satunya di bagian kamar mandi. Di Indonesia saya sudah pernah masuk di kamar hotel yang tamunya hanya orang Barat, alias orang Eropa. Dan saya tahu di situ hanya ada 1 kloset dalam 1 kamar mandi. Saya juga pernah masuk rumah orang kaya. Di ruang tamunya ada kamar mandi dan di dalamnya ada 1 kloset. Di rumah kami di Jakarta, Padang, Yogyakarta, juga rumah orangtua saya di Flores terdapat kamar mandi yang berkloset satu.

Saya baru kaget ketika datang ke Eropa ini. Di Roma saya tinggal beberapa hari. Di kamar saya ada kamar mandi. Dan di dalamnya ada 2 kloset. Saya kaget. Untuk apa ini? Kok bias? Selain kaget, saya juga senang. Karena kamar mandinya bagus. Ada ruang khusus untuk mandi. Ada juga wastafel, tempat untuk cuci tangan dan gosok gigi. Di dua tempat ini ada keran yang bias diatur air panas, hangat, dan dingin. Jadi, untuk mandi, airnya bias disesuaikan. Demikian untuk gosok gigi.

Tentang kloset, rupanya hanya 1 yang digunakan untuk buang kotoran. Satunya untuk membersihkan…… tebak sendiri ya. Jadi bukan dua kloset. Hanya satu kloset. Tetapi saya tidak tahu, mungkin yang satu ini namanya juga kloset. Sebab, tidak ada nama lain untuk dia. Dan, saya lihat bentuknya hamper sama. Hanya saja posisi kerannya yang beda. Yang kloset ada penampung airnya. Tertempel di dinding. Dalam tembok. Dan tombolnya saja yang tampak. Sedangkan yang satunya, tampak kerannya. Di bagian atas.

Saya kira pada umumnya kamar mandi untuk orang di sini, Italya, atau juga mungkin Eropa dilengkapi dengan perabot ini. Di kamar saya di Parma juga demikian. Dan di satu rumah kami di daerah Ravenna, ke Utara dari Parma juga demikian.

Bedakan dengan di Indonesia? Ya. Memang beda. Tetapi bukan berarti yang satunya lebih bagus dari yang lainnya. Tentu keduanya bagus. Baguskan menurut selera dan kebiasaan orang. Kalau di Negara saya memang, tidak ada kebiasaan seperti di negeri ini. Sehingga, pada umumnya hanya ada 1 kloset dalam 1 kamar mandi.

Ini perbedaan kecil yang berarti besar bagi saya. Dari perbedaan ini tampak sekali bahwa saya juga harus berubah. Maksudnya kebiasan saya disesuaikan dengan kebiasaan di sini. Yahhh tempat baru, budaya baru, kebiasaan baru, dan pola makanan baru. Untuk bidang lainnya nanti saya ceritakan. Kali ini cukup tentang ini saja. Masih banyak cerita lainnya. Salam. (bersambung)

Parma, 27 September 2013
Gordi




Inilah pengalaman menarik lain dalam perjalanan dari Roma ke Parma. Kami lewat jalan tol supaya cepat. Jalannya tentu sama dengan tol di Indonesia. Namanya sama. Tetapi pengelolaannya beda. Sama sekali beda.

Selain itu, posisi mobil juga beda. Kalau di Indonesia mobil jalan di sebelah kiri. Sebab, sopirnya duduk di sebelah kanan. Tempat untuk menyetir ada di situ. Sedangkan di Italia, sopir duduk di sebelah kiri. Tempat untuk stir ada di situ. Sehingga, mobilnya berjalan di sebelah kanan.

Di jalan tol juga demikian. Kami jalan di lajur kanan. Jalur kiri untuk kendaraan dari arah berlawanan. Dan, di tengah ada pembatasnya. Sudah ada pembagian lajurnya. Tidak ada yang saling rebut. Dan di lajur kanan, ada pembagian lagi seperti di Indonesia. Jalan itu dibagi tiga atau empat. Jalur ujung luar untuk yang paling lambat. Jalur dalam untuk yang cepat atau untuk mendahului.

Di sini, jalur kiri untuk mendahului. Dan hanya itu. Setelah berhasil mendahului kendaraan lain, akan kembali ke jalur semula. Jadi, jalur kiri ini tetap kosong. Dan digunakan hanya saat mendahului saja. Tidak saling rebut. Beda dengan di Indonesia. Jalur dalam ini (bagian kanan) bukan saja untuk mendahului. Sebab, bisa maju dari jalur mana saja. Kiri atau kanan, mana yang kosong.

Selain itu, di sini yang masuk tol bukan hanya mobil atau kendaraan roda 4 ke atas. Kendaraan roda 2 juga bisa. Saya Tanya pastor yang mengantar kami. Katanya, motor yang mesinnya 200-an cc ke atas bisa masuk. Tentu ini motor besar. Ukuran mesinnya seperti itu berarti motor besar. Dan memang saya melihat ada sepeda motor yang masuk tol. Dan bodinya besar. Tentu mesinnya besar.

Yang ini sedikit perbedaan suasana jalan tol di Indonesia khususnya Jakarta dan Italia. Bukan untuk menekankan perbedaan tetapi sekadar berbagi kesan perjalanan. Siapa tahu bisa juga jadi bahan pelajaran. Selamat mencoba. (bersambung).

Parma, 21 September 2013

Gordi

Lihat juga Tulisan Lain tentang Pengalaman di Italy


Inilah Bruder yang tua itu, sayang foto pastor gak ada
Kalau Yang Tua membawa Yang Kecil itu biasa. Ini, Yang Tua membawa Yang Muda. Luar biasa.

Pengalaman ini saya alami dalam perjalanan dari Roma ke Parma. Saya dan teman saya, Fonsi juga Sergio, diantar oleh Bruder Giovanni, SX (74) yang menyetir dan juga Pastor Stradiotto, SX (80). Keduanya adalah orang tua. Umurnya saja di atas 60 tahun. Tapi????

Tapi, masih kuat fisiknya. Buktinya, masih bisa menyetir. Masih bisa melihat jalan. Melihat rambu jalan. Melihat mobil lainnya di jalan. Ini luar biasa. Lalu, mengapa kami, Yang Muda ini, harus diantar oleh Yang Tua?

Bukan berarti saya atau kami tidak bisa. Saya juga bisa menyetir. Kami juga bisa jalan sendiri. Kami punya fisik yang jauh lebih kuat, tentu saja, dari mereka. Kami punya mata yang jauh lebih tajam penglihatannya dari mereka. Tetapi???

Tetapi, untuk saat ini, kami harus diantar oleh Yang Tua. Biarlah kami menjadi anak kecil, yang harus diantar. Kami memang sama sekali tidak tahu, jalan ke Parma. Jalur Roma Parma, bukan jalur biasa bagi kami. Kami masih baru di Roma dan belum tahu apa-apa tentang Roma dan Parma. Kami juga belum bisa berbahasa Italia. Tentu kami bisa naik angkutan umum atau kereta api. Tetapi, apalah artinya naik angkutan itu jika kami tidak tahu harus turun di mana. Kami, betul-betul menjadi anak kecil, untuk saat ini.

Untunglah, Yang Tua ini, bruder dan pastor, mau mengantar kami. Jadi, Yang Tua mengantar Yang Muda. Atau, bahasa kasarnya, Yang Tua membawa Yang Muda. Usia boleh tua, 74 dan 80 tahun, tetapi, semangatnya masih muda. Ya, kedua saudara kami ini punya semangat muda. Mereka juga masih kuat berjalan kaki.
Saya sempat tanya pada pastor ini, masih kuat jalan kaki? Ya, katanya. Alhamdulilah masih bisa, sambungnya. Woao…ini luar biasa. Sudah tua tetapi masih bisa jalan kaki. Boleh jadi mereka berprinsip, kalau masih bisa jalan kaki mengapa harus pakai mobil? Memang di rumah ada mobil yang bisa tentu saja menunjang karya mereka. Tetapi, toh, mereka masih jalan kaki.

Mobil digunakan jika perlu. Jika tidak, jalan kaki saja. Dan, memang kami membutuhkan mobil untuk menuju Parma. Luar biasa bruder yang berumur 74 tahun dan pastor, 80 tahun ini bisa mengantar kami dengan jarak lebih kurang 500 kilo meter. Berkendara dengan jarak itu bukan hal mudah.

Indonesia dan Italia memang beda. Da, salah satu bedanya adalah jalan tol. Jalan tol di sini cukup lancar. Tak heran jika yang tua pun masih bisa menyetir. Terima kasih bruder dan pastor yang sudah mengantar kami. Jasa kalian besar untuk kami. Kami doakan kalian dan kalian doakan kami. Kita saling mendoakan.


Parma, 21 September 2013
Gordi




Jalantol, foto koleksi pribadi
Pagi-pagi benar, kami bangun. Dingin masih menyelimuti kami pagi ini. Memang, Roma, saat ini, dingin sekali kalau pagi hari. Rasanya tidak sulit untuk bangun karena suhu dingin ini. Setelah bangun, segera mandi. Pagi ini, saya, teman saya Fonsi dan Sergio, berangkat ke Parma. Kami tinggalkan kota Roma.

Jarak Roma-Parma sekitar 500 kilo meter ke arah Utara. Diperkirakan ditempuh selama 5 jam dengan mobil. Lewat jalan tol tentu saja. Perjalanan ini akan menjadi kenangan indah bagi saya. Fonsi bilang ke saya, kalau ia tidak akan melupakan kota Roma ini. “Boleh jadi hanya kali ini saja bisa melihat Roma”, kenangnya sebelum berangkat.

Saya rapikan tempat tidur setelah mandi. Barang-barang sudah dibereskan tadi malam. Satu koper dan satu tas. Saya kaget ketika pintu kamar saya diketuk. Mungkin karena terlalu asyik merapikan tempat tidur, sampai kaget kala ada bunyi. Fonsi masuk dan bertanya tentang kesiapan saya. Saya sudah siap dan mau turun.

Matahari terbit, foto, koleksi pribadi
Kamar kami ada di atas. Kamar saya bernomor 527. Entah dihitung dari mana. Tetapi, kalau boleh tebak, 5 itu jumlah tingkat dan 27 itu nomor kamar. Kalau dihitung dari bawah, kami tinggal di tingkat 5. Yang pertama dari lantai yang di bawah tanah. Kamar saya berada di ujung. Kami harus turun 3 tingkat menuju pintu utama rumah. Di depan pintu ada mobil. Kami memang berangkat dengan mobil. Kami turun lewat tangga. Kami sengaja tidak menggunaan lift. Kami tahu, kalau bawa beban berat biasanya untuk naik-turun ke kamar bisa pakai lift. Kami pakai lift waktu kami datang dan harus naik menuju kamar.

Kami bawa sendiri tas dan koper. Hitung-hitung, sudah dewasa dan mandiri dunk. Masak bawa tas sendiri saja tidak bisa. Kami tinggalkan barang di depan pintu dan kami turun lagi menuju ruang makan. Sarapan sebentar dengan minum segelas susu dan makan roti. Ini penting untuk saya. Sebab, jalan tanpa makan bagi saya, seperti mau mati rasanya. Kalau perut ada isinya, mau jalan berapa lama saja, tidak masalah.

Setelah sarapan, kami menuju pintu. Di situ sudah ada beberapa pastor, bruder, dan suster Xaverian yang mau menyalami kami. Saya kagum dan heran degan mereka ini. Perjalanan kami ini rupanya bukan perjalanan yang begitu-begitu saja. Mereka yang tinggal di rumah ini dan memangku jabatan penting dalam kongregasi Xaverian bisa bangun dan melihat keberangkatan kami. Belum waktunya mereka bangun. Masih ada 1 jam atau lebih bagi mereka untuk tidur. Tetapi mereka rela bangun pagi hanya untuk menyalami kami. Kami berjabatan tangan satu per satu sebagai tada perpisahan. Ada yang berpesan, sampai jumpa lagi. Terutama untuk saya yang hanya berpindah kota saja dan masih di negara Italia. Sedangkan, untuk Fonsi dan Sergio yang akan berangkat ke Kamerun, hanya dikatakan, sampai jumpa kapan-kapan.

Pemandangan di jalan, Foto, koleksi pribadi
Kami masukan barang-barang dalam mobil lalu berangkat. Di depan ada Bruder Giovanni, SX yang menyetir dan juga Pastor Stradiotto, SX yang menemani. Di belakang, ada kami bertiga. Kami keluar dari rumah pada 7.30 pagi waktu Roma. Perjalanan ini diperkirakan ditempuh selama 5 jam.

Suasana masih pagi dan pemandangannya indah sekali. Saya sempat mengambil beberapa gambar di sekitar jalan. Tidak banyak karena saya juga tertidur di jalan. Laju mobil kencang karena melewati tol yang lancar. Bruder ini ruapanya sudah biasa berkendara di jalan ini.

Beberapa kali saya bangun dan langsung disodorkan makanan ringan. Pastor rupanya sudah menyiapkan snack. Atau juga dia tahu, kalau-kalau kami lapar di jalan. Saya ambil beberapa. Cukup untuk mengobati rasa lapar. Tambah juga dengan beberapa buah anggur. Kenyang.

Tak terasa kami tiba di Parma. Rupanya tidak sampai 5 jam. Kami tiba pukul 10.30. Berarti 4 jam saja. Jalanan memang lancer dan bruder melajukan mobil dengan kencang. Kami masuk di rumah induk Xaverian (Casa Madre). Menanyakan nomor kamar untuk pastor, bruder, Fonsi, dan Sergio. Setelahnya mereka membawa barang menuju kamar. Saya menunggu sebentar.

Kemudian, saya dan P Stradiotto menuju rumah para Teologan Xaverian (studente). Kami masuk dan diterima oleh beberapa teman saya dan seorang pastor. Keramahan tampak sekali dalam penerimaan ini. Juang dan Pandri, teman saya dari Indonesia mengantar saya menuju kamar saya. Woao…rupanya saya tinggal di kamar paling atas juga, di tingkat 5 rumah ini. Kami naik lift juga biar mudah.

Kota Parma, foto, koleksi pribadi
Saya masuk kamar dan woao….kamarnya luas sekali. Seperti kamar hotel. Mewah. Inilah standar kamar untuk masyarakat di kota ini. Saya melepas kelelahan saya di kamar ini. Duduk sebentar kemudian berbaring. Perjalanan saya sampai tujuan. Dari rumah tanggal 18 Agustus 2013 dan tiba di sini pada 3 September 2013. Terima kasih Tuhan untuk anugerah-Mu ini. (bersambung)


Parma, 21 September 2013



Banyak jalan ke Roma. Demikian kata pepatah. Tetapi, saya tidak menduga kalau saya akan dikirim ke Roma. Betul-betul kaget ketika ada berita saya akan ke Roma. Tetapi saya senang juga karena akan melihat kota Roma. Memang Roma bukan tujuan utama. Tetapi, saya harus melewati kota Roma kemudian ke satu kota lagi di daerah Utara Italia.

Saya senang melihat kota Roma. Dan memang setelah tiba di Roma pada 28 Agustus lalu, saya kagum dengan kota ini. Banyak hal yang bisa dibicarakan. Tetapi kalau mau dirangkum ada beberapa. Budaya, seni, ketertiban, keindahan, kekaguman, kebersihan, dan keteraturan. Ini bisa dilihat di jalan, berbagai hasil karya arsitekstur, dan sebagainya. Saya melihat beberapa hal ini di Roma. Untuk pengalaman perjalanan dari Indonesia dan kunjungan ke beberapa tempat di Roma bisa dilihat di blog saya yang satu ini, gordyafri2011.blogspot.com.


Selain senang, saya juga bangga. Saya menjadi orang yang masuk dalam kelompok yang bisa melihat kota Roma. Tidak semua orang bisa melihat kota ini tetapi banyak orang membicarakan kota ini. Saya bangga karena ini. Meski setelah ke Roma saya menuju Parma dan akan bergulat dengan bahasa dan budaya serta kebiasaan baru. Saya tidak gentar menghadapi semuanya. Saya yakin Tuhan membimbing saya.

Setelah melihat kota Roma saya menyadari kalau memang banyak jalan ke Roma. Tetapi, jalan-jalannya tidak mudah. Tidak gampang keluar dari negeri sendiri. Di bandara diintergogasi, demikian bahasa kasarnya. dan kalau dokumen tidak lengkap, tidak akan diizinkan keluar dari negeri sendiri. Jauh sebelumnya, harus mengurus pasport, tiket, dan visa. Dan untuk visa harus ada surat keterangan sebelumnya yang menyatakan bahwa saya punya tujuan yang jelas ke luar negeri. Kalau tidak, visa tidak keluar.

Ini membuktikkan bahwa tidak mudah keluar negeri. Melewati beberapa pintu yang tidak lebar. Tetapi kalau dokumen lengkap, jalan itu mudah dilalui. Juga, modal sedikit bahasa Inggris agar bisa komunikasi jika tersesat. Sebab, banyak pintu terbuka tetapi hanya satu pintu yang boleh dilewati. *Foto, koleksi pribadi

Senangnya melihat kota Roma. Dan saya tinggal 5 hari di sana. Melihat kota indah ini membuat saya setuju jika banyak orang ingin mengunjungi kota ini. Kota ini menjadi daya tarik untuk melihat tempat lainnya di Italia seperti Milano, Asisi, Venesia, dan sebagainya. Dan jangan lupa, daya tarik ke kota Roma adalah juga negara Vatikan. Di mana Paus, sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik tinggal.

Roma dan Vatikan tidak terpisahkan. Datang ke Vatikan berarti datang ke Roma. Sedangkan datang ke Roma belum tentu datang ke Vatikan. Tetapi alangkah tidak beruntungnya jika datang ke Roma dan tidak melihat Vatikan. Sungguh, kesempatan langka datang ke Roma sekaligus melihat Vatikan. Dan saya sudah melihat keduanya. Terima kasih Tuhan untuk kesempatan ini.
Setelah 5 hari di Roma, saya berangkat ke Utara, tepatnya di Parma. Jarak keduanya diperkirakan 500 kilo meter. Jadi, 5 jam perjalanan dengan bis atau mobil pribadi. Dan, saya naik mobil pribadi, milik sahabat kami. Lima jam. Seratus kilo meter per jam. Dan, saya menulis pengalaman ini dari kota Parma. Selamat membaca.

Parma, 18 September 2013

Begitu katamu pada kami
Dan kami menatapmu dari dekat
Lalu seorang dari kami menjawab
No thanks 

Kata-katamu menggoda
Dan memang mungkin kamu sedang menggoda kami
Ataukah kamu sedang tergoda?

Lebih dari caramu menggoda
Kamu sebenarnya yang tergoda
Dengan lunturnya budaya kesopanan
Tergoda dengan gaya hidup modern

Di tanganmu ada gelas beranggur
Dan kamu dikuasai oleh cairan itu
Itu racun yang menggodamu
Yang membuatmu lupa akan norma hidup

Bukankah seks itu biasa?
Ya tentu saja
Tetapi bukan untuk menjadi hal biasa
Bukan untuk ditawar di jalanan

Di negerimu seks itu dijual-belikan
Tetapi di negeri Timur nun jauh di sana
Seks di jalan itu tabu
Dan tawaranmu itu sungguh mengusik pikiran orang timur

Jika kata-katamu itu dilontarkan di negeri Timur
Orang akan menjawabnya Yes
Siapa yang tidak mau jika ditawar demikian?
Tetapi tawaran itu keterlaluan

Bukankah sebaiknya ditawar dengan sopan pula?
Masuk saja di rumah khusus
Dan di situ akan banyak jual-beli seks
Kamu mungkin bergabung di situ saja

Aku tahu negerimu kaya
Tetapi kaya bukan jaminan untuk kenyamanan hidup
Buktinya kamu tidak nyaman

Ada uang ada anggur ada bir
Tetapi kamu belum puas juga
Masih kurang afdol
Masih minta seks juga

Aku tahu kelompok sepertimu
Sedang terbuai dengan tawaran kaum muda di negeri Barat umumnya
Kurang lengkap jika tanpa seks

Dan kamu masuk godaan itu?
Tentu saja!
Kamu sebenarnya belum layak untuk itu
Usiamu terlalu muda

Tetapi……..
Godaan tak mengenal usia
Godaan melampaui semuanya
Apalagi godaan karena gengsi

Pertanyaan-tawaranmu, do you want to sex
Bukanlah hal luar biasa
Itu biasa
Dan itu sudah merasuk kaum sepertimu

Sayang, kamu tak bias melampaui godaan itu
Andai kau bisa kau akan menjadi pembaru
Dan kau seharusnya melampaui tawaran itu

Prm, 18 Sept 2013
Gordi

Dingin. Inilah kesan saya saat ini. Italy sedang dalam peralihan musim. Waktu saya datang akhir Agustus lalu, suhunya panas. Di Roma saja, baru jam 10 pagi sudah panas. Dan rupanya paling panas pada jam 2-4 sore. Matahari terbenam pada pukul 8 malam. Jadi, jam 9 malam, terang masih ada.

Dan kini setelah di Parma, saya mulai merasa dingin. Sejak minggu lalu (8 September) sudah terasa dingin. Kebetulan kami buat pertemuan di luar kota. Dan saya merasa dingin di situ. Rupanya, sedang beralih ke musim dingin. Teman-teman saya yang sudah lama tinggal di Italy, sudah biasa dengan suhu ini. Saya memakai jaket sedang mereka belum. Padahal sebelumnya panas sekali. Dan, tanggal 15 September yang lalu, hujan turun di Parma. Apakah ini pertanda suhu makin dingin?

Kata teman-teman saya, YA. Mereka bilang, musim dingin berlangsung hingga April. Sekarang masih musim panas. Alias dinginnya belum terasa. Tetapi bagi saya, ini sudah dingin. Boleh jadi karena saya datang dari daerah panas.

Dingin itu memang terasa sekali. Masuk kamar, dingin. Padahal di luar masih siang, ada matahari. Apalagi kalau malam. Dinginnya minta ampun. Boleh jadi karena kamar saya di tempat tinggi. Ya, rumah kami bermodel apartemen. Bertingkat. Saya tinggal di tingkat paling atas, tingkat 5. Di atas itu ada atap. Tinggi sekali. Dan dingin sekali. Teman-teman bilang, tingkat 5 itu paling dingin nanti. Kalau pun ada pemanas ruangan, suhunya tidak terlalu hangat. Alias tetap dingin.

Wala-wala tambah parah. Saya sudah menyiapkan pakaian ala kadarnya untuk musim dingin. Memang jendela dan pintu kamar tertutup rapat saat malam hari. Dan selimut tebal berlapis cukup membantu saya untuk menghangatkan badan. Dan memang saya merasa hangat pada malam hari. Tetapi, begitu bangun pagi, suhunya dinsin sekali. Ingin sekali tetap tinggal dalam selimut. Tetapi, saya harus beraktivitas. Bangun dan rapikan tempat tidur. Lalu, mandi. Dan airnya hangat. Tetapi menunggu air hangat, badan terasa dingin kembali.

Memang ruang ini dingin sekali tetapi hati saya panas untuk belajar bahasa Italy dan budayanya. Kelak, jika sudah mengerti, saya akan menulis dalam bahasa Italy. Dingin boleh saja asal saya tetap bisa menghangatkan badan dan ruang saya. Biarkan Tuhan menghangatkan jiwa dan raga saya.

Parma, 17 September 2013
Gordi 

Aku ada di Tanah orang sekarang. Jauh-jauh dari Indonesia. Datang ke Italia. Bukan saja jauh. Tapi juga banyak bedanya. Itulah yang mulai aku lihat.

Di jalan sudah beda. Di sini jalannya lancar. Sepeda dan pejalan kaki didahulukan. Mobil dan motor kemudian. Padahal di Indonesia mobil dan motor jadi raja jalanan.

Jauh sebelumnya di pesawat sudah beda. Memang jalannnya jauh. Dapat jatah makan dua sampai tiga kali. Dan tak satu pun yang pakai nasi. Ya memang di Italia orang tidak makan nasi. Mulai dari pesawat sudah ada makan roti dan makanan lainnya. Tapi bukan nasi.

Indah rencana Tuhan. Di Italia saya lihat banyak seni. Seni melukis yang tampak dalam gereja-gereja kuno. Kata teman saya, dia baru sadar betapa indahnya seni. Dan memang seni juga adalah ciptaan Tuhan. Bukan hanya seni yang saya lihat indah. Tetapi, juga bidang lainnya.

Pariwisata, keramahan, alam kota, tata kota, keindahan bangunan, deretan gedung megah, dan sebagainya. Ini semua adalah bentuk keindahan rencana Tuhan dalam diri saya.

Akankah saya betah menikmati semua ini? Saya akan mulai belajar bahasa Italia. Dan, kelak kalau sudah lancar, saya akan menggunakan bahasa ini dengan baik. Itu juga merupakan karya Tuhan yang amat indah. Saat ini, saya sedang menikmati beberapa keindahan di kota Parma. Setelah seminggu sebelumnya menikmati keindahan di kota Roma.

Boleh dibilang, bersenang-senang dahulu, baru bersusah kemudian. Boleh jadi saya akan pusing belajar bahasa Italia. Tetapi biarlah saya menikmati keindahan dunia ini dulu.

Parma, 5 September 2013

Gordi

Ratu dan raja. Itulah kata yang terdengar pagi ini saat bangun. Kata itu muncul dari perbincangan di radio. Entah sedang ada renungan pagi atau perbincangan lainnya. Hanya terdengar kata ratu. Langsung di telinga. Ratu juga raja menjadi rebutan. Direbut karena ada kekuasaan di dalamnya. Ratu juga raja memang punya kuasa. Kuasa yang selayaknya untuk mengatur bawahannya. Tetapi kuasa ini bukan untuk mengatur semaunya saja. Mengatur demi kebaikan dan kenyamanan bersama.

Ratu dan raja bagi diri sendiri juga berguna. Sebab, dengan itu seseorang bisa mengontrol dirinya sendiri. Tetapi mengontrol tidak dimaksudkan untuk menutup mata terhadap masukan orang lain. Saya mengatur diri sendiri dan berhak terhadap semua keputusan yang diamil. Tetapi, saya juga berhak untuk mendengarkan masukan dari sesama. Sebab saya hidup bersama dan selalu bersinggungan dengan sesama.

Ratu dan raja yang diidentikkan dengan “yang berkuasa” tampak dalam diri pemimpin. Semua pemimpin adalah ratu dan raja. Tetapi ada ratu dan raja yang memang benar-benar berkuasa demi kebaikan bersama. Ada juga ratu dan raja yang benar-benar berkuasa sesuai keinginanannya tanpa memedulikan kebaikan bersama. Kiranya dia ini mesti menjadi ratu dan raja bagi dirinya sendiri terlebih dulu sebelum menjadi ratu dan raja bagi yang lainnya. Sebab ratu dan raja adalah figur publik yang selalu bersinggungan dengan publik luas.

Ratu dan raja untuk diri sendiri bisa dikembangkan menjadi ratu dan raja bagi yang lain. Ratu dan raja dalam dua kategori ini punya kesamaan yakni berkuasa. Tinggal saja kuasa itu ditempatkan pada posisi yang tepat. Jika tidak kuasa itu akan ‘menguasai’ orang banyak, kuasa itu menuntut pengorbanan, kuasa itu mubazir. Tentu kuasa tidak boleh jadi mubazir sebab kuasa itu menyangkut kehidupan orang banyak. Iseng-iseng, asah otak pagi ini. Selamat pagi.

Jakarta, 22/8/2013

Gordi

Saya tak tahu mulai dari mana lagi. Dari sini saja saat saya membuka tulisan. Sebab, agak sulit memulai menulis satu tema setelah sekian lama berlibur dari kompasiana. Saya hanya ingin menulis sedikit untuk merangsang semangat menulis. 

Saya juga menulis untuk teman yang tetap mengontak saya saat liburan. Dia mengirim pesan sapaan. Pesan yang tak terduga datangnya tetapi bisa diduga reaksi saya senang. Untuk teman ini saya mengucapkan terima kasih. Namanya dirahasiakan saja. Yang jelas saya senang dan bahagia disapa seperti ini.

Saya juga menulis supaya saya tetap nyaman di kompasiana. Sebab, sebelumnya saya nyaman berselancar di sini. Sebulan lebih menjauh dari K dan kini kembali lagi. Saya ingin kenyamana selama ini kembali saya rasakan.

Ini saja dulu tulisan saya. Singkat dan seperti tulisan penulis pemula. Memang saya baru menulis lagi. Rasanya lain setelah lama tidak menulis. Semoga saya tetap biasa menulis dan tidak merasa canggung.

Salam-selamat bertemu kembali buat teman-teman semua.

Jakarta, 19/8/13

Gordi



ilustrasi dari cbeckdkeeeebkddk.blogspot.com
Iman sebesar atau tepatnya sekecil biji sesawi bisa memindahkan gunung. Biji itu, menurut cerita orang yang pernah melihatnya secara langsung, amat kecil. Biji sesawi mungkin menjadi biji yang paling kecil dari segala jenis biji buah dan sayur. Dan, justru iman yang digambarkan seukuran biji itu mempunyai daya kekuatan yang besar. Dayanya bisa memindahkan gunung. Demikian dikatakan Yesus kepada muridnya.

Berarti iman, betapa pun digambarkan kecil, mempunyai daya yang besar. Iman yang bahasa lainnya adalah keyakinan. Yakin akan apa yang diimani. Yakin total dengan apa yang dipercayai. Maka, modal iman adalah kepercayaan. Saya beriman jika saya percaya. Saya beriman jika saya yakin total akan apa yang saya imani.

Tetapi benarkan iman itu ada dalam kenyatannya? Maksudnya, bagaimana jika iman itu diwujudnyatakan dalam kondisi real? Benarkah jika saya punya iman seukuran biji sesawi bisa memindahkan gunung? Benarkah saya bisa? Benarkah kenyatannya demikian?

Tentu ini menjadi perkara rumit. Sebab, sulit membuat alat buktinya. Saya percaya total pun tetap tak bisa dibuktikan. Saya juga tidak yakin, apakah kepercayaan saya itu total atau hanya setengah-setengah. Sebab, kepercayaan juga bisa menjadi situasional. Jika itu menguntungkan saya percaya. Jika tidak saya abaikan.

Tetapi Sabda itu perlu diwartakan agar saya percaya pada kekuatan di luar diri saya. Saya percaya atau menaruh harapan pada Dia yang punya kuasa. Sabda serupa bisa ditemukan dalam rumusan lain dalam buku Kitab Suci. Sabda ini termasuk Sabda Paradoksal. Sabda yang melampaui pemikiran. Seperti mengubah batu menjadi roti. Ini termasuk kenyataan yang luar biasa. Kalau menjadi nyata. Jika tidak, sabda ini hanya obrolan saja.

Maka, Sabda ini bukanlah bicara kenyataan. Tetapi bicara soal iman. Iman yang berarti percaya. Percaya pada apa yang diimani. Saya mengimani Yesus maka saya percaya pada Yesus. Menaruh harapan pada-Nya. (Tulisan Sebelumnya)

Jakarta, 8/7/13
Gordi

Jakarta menjadi kota kenangan sekaligus kerinduan. Dalam tulisan sebelumnya saya menulis tentang Yogyakarta. Saya memang baru saja selesai masa tinggal di Yogyakarta selama hampir setahun terakhir. Itu adalah periode kedua bagi saya tinggal di kota pelajar ini. Meski periode kedua, saya selalu melihat Yogyakarta sebagai kota yang baru berkembang. Itu terjadi karena Yogyakarta terus berbenah sekaligus makin maju. Bersama kemajuan itu ada padatnya lalu lintas, ramainya penghuni kosan dan perumahan baru. Itu adalah bagian dari perubahan yang membuat Yogyakarta sebagai kota yang terus membarui diri.

Saya kembali Jakarta. Kota ini menjadi kota yang akan selalu saya singgah. Memang saya sudah menjadi warga DKI Jakarta. Paling tidak di KTP sudah tercantum sebagai penduduk provinsi ini. Tapi bukan ini saja yang membuat saya selalu singgah di sini. Banyak urusan lainnya baik terkait dengan kampus, kewargaan, birokrasi negara, dan urusan lainnya yang selalu diurus di kota ini. Itulah sebabnya saya akan selalu singgah di kota ini.

Saya sedang mengurus beberapa surat di kota ini sebelum berlibur ke kampung halaman. Untuk selanjutnya kembali ke Jakarta dan akan melanjutkan ke kota dan negara lain. Tetapi suarau saat, beberapa tahun kemudian, saya akan kembali dan akan singgah di kota ini. Kota ini menjadi kota persinggahan. Semoga saya selalu sehat dan bahagia singgah di kota ini. Itulah sebabnya meski hanya singgah saja, saya menyempatkan diri untuk bermain futsal, olahraga paling mudah, di kota metropolitan ini. Jakarta akan sselalu kukenang dan kurindukan. (Tulisan sebelumnya) 

Jakarta, 6/7/13
Gordi Afri



foto dari marcusgoesglobal.com
Yogyakarta, kota impian. Impian untuk kembali ke kota ini. Tahun 2005, saya menginjakkan kaki di kota ini. Tinggal di sini selama 10 bulan lalu pindah ke Jakarta. Meski singkat, kesan untuk kota Yogyakarta cukup kuat.

Yogyakarta, kota yang ramah, sopan, dan teratur, serta berbudaya. Selama tinggal di Jakarta, saya mengimpikan hal-hal ini. Dan hal inilah yang ada di Yogyakarta. Itulah sebabnya saya mengimpikan untuk kembali ke Yogyakarta. Dan, kebetulan saja, impian saya itu menjadi nyata. Saya ditugaskan di Yogyakarta selama setahun 2012-13.

Tanggal 10 Juli 2012, saya berangkat dari Jakarta. Naik bis Safari Dhramaraya dari Jakarta dan tiba pada 11 Juli pagi hari di Yogyakarta. Kini, saya tidak mengimpikan tinggal dan kembali ke Yogyakarta lagi. Saya tinggal dan kembali ke Yogyakarta lagi. Yogyakarta di depan mata dan bukan kota impian lagi. Yogyakarta kini berubah menjadi kota harapan.

Dalam setahun ini, saya berharap saya bisa kerasan dan nyaman tinggal di kota ini. Tidak main-main, saya ditugaskan untuk memberi pengajaran tentang harapan pada anak didik. Saya kini menjadi pendidik. Sebagai pendidik saya bicara tentang masa depan. Maka, di sinilah ada harapan. Harapan tidak menjadi nyata jika tidak mulai dari masa sekarang. Maka, saya sekarang berada di Yogyakarta untuk emngajarkan harapan tentang masa depan.

Tak terasa, setahun di Yogyakarta sudah usai. Saya akan kembali ke Jakarta. Dan, tanggal 2 Juli 2013, saya akan kembali ke Jakarta. Waktu ini saya kenangkan dengan baik. Terlalu singkat rasanya tinggal di Yogyakarta. Tetapi, saya merasa di dalamnya saya mengalami pahit-manis, jatuh-bangunnya berjuang menjadi pendidik. Dalam semuanya ini, saya terbius dengan suasana kota Yogyakarta yang nyaman, teratur, berbudaya, dan punya impian tentang masa depan.

Selanjutnya, saya bermimpi tinggal di benua Eropa. Dan memang saya akan berangkat ke sana. Semoga saya bisa kerasan dan betah di sana. selamat tinggal Yogyakarta. Semoga kelak saya bisa menemukanmu seperti saat ini, nyaman, berbudaya, dan ramah. Yogyaku terima kasih untuk keramahanmu. (Tulisan Lain)

PA, 1/7/13
Gordi Afri
Powered by Blogger.