Halloween party ideas 2015
Showing posts with label OASE. Show all posts



ilustrasi dari google
Ini ide gila saya. Saya menulis daripada tidak menulis. Ide ini muncul setelah melihat blog saya ini masih kosong beberapa hari. Dari Sabtu sampai kemarin belum ada postingan baru. Lebih baik hari ini saya menulis untuk blog ini. 

Dan idenya sederhana. Saya menulis daripada tidak menulis. Kok bahas topik menulis sich? Ya topik menulis. Saya baru saja membuka-buka kompas.com dan melihat tulisan di bagian urbanesia. Kolom ini biasanya hadir di kompas cetak bagian klasika.

Saya ingin tahu siapa saja penulisnya. Dan bagaimana mereka menulis. Juga apa saja topik tulisan mereka. Saya membuka-buka di internet. Saya membaca beberapa tulisan. Mudah dimengerti dan segar.

Saya melihat profil penulisnya. Semuanya hobi menulis. Ada yang sejak kecil. Ada yang sejak SMA. Ada yang saat dewasa. Ada yang menulis karena hobi, ada juga yang menulis karena asyiknya berjalan ke mana-mana.

Ya mereka sebenarnya menulis amat sederhana. Modelnya sederhana tetapi isinya luar biasa segar. Tentu segarnya tidak seperti air. Segar ketika membaca informasinya.

Kalau mereka saja bisa menulis demikian, mengapa saya tidak bisa menulis pengalaman harian saya? Saya mau menulis. Maka, malam ini saya menulis tentang topik menulis ini. Sekaligus mengisi blog kesayanganku.

Malam ini, kompasiana yang jadi langganan tulisan saya sedang eror, macet. Saya beralih ke sini. Namun, bukan karena kompasiana macet, saya ke blogspot ini. Malam ini ada rencana untuk memasukkan tulisan. Kebetulan juga kompasiana sedang macet, maka sekaranglah tulisan ini dimasukkan.

Ini tulisan sederhana juga. Moga mudah dipahami. Wong Cuma bagi-bagi pengalaman menulis. Selamat malam.

PA, 27/2/13
Gordi



Pagi ini indah sekali. Alam memberikan keindahannya. Saya senang melihat keindahan ini. Mata saya berbinar-binar melihatnya.

Dari mata turun ke hati. Hati saya senang sekali karena pagi ini ada rezeki yang tak terkira. Bukan apa-apa kalau saya baru menyadarinya. Kesadaran kadang-kadang muncul setelah kegagalan, setelah masuk jurang, setelah nasi jadi bubur.

Saya bisa mengakses internet pagi ini. Kemarin pagi dan siang memang bisa. Tapi malamnya gagal. Padahal saya sudah memperbaiki komputer saya. Ada keinginan untuk mencoba komputer itu. Tapi apa daya komputer lancar, internet macet lagi. Sejam saya mencoba sendiri. Hasilnya nihil. Gagal total.

Saya matikan komputer dan kembali ke kamar. Ambil buku dan baca. Ponakan saya bilang, om ini waktu yang baik biar om juga tidak sering dalam jaringan alias daring. Saya sadar benar juga yah...selama ini saya jarang baca buku. Seirngnya baca tulisan di kompasiana.

Saya membaca beberapa bab dari buku yang sedang saya baca. Dua jam saya baca. Lumayan. Energi baru muncul. Da benarnya kata-kata ponakan saya.

Pagi ini saya buka komputer lagi. Coba memecahkan masalah koneksi internet ini. Saya mencoba dua kali dan berhasil. Saya membaca baik-baik perintah yang diberikan komputer. Wah ternyata kalau mengikuti betul bisa berhasil juga yah...

Bahasa Inggris saya pas-pasan. Tetapi saya bisa memahami perintah komputer. Yah tidak sia-sia tahu sedikit bahasa Inggris. Paling tidak bisa memahami perintah komputer.

Inilah hikmah tak terkira hari ini. Rezeki pagi hari. Rezeki lain sudah diterima seperti matahari, udara, pernapasan, sarapan, dan sebagainya.

Selamat beraktivitas untuk pembaca semuanya. Salam kompasiana.

PA, 22/2/13

Gordi

iustrasi, di sini
Sekarang, zaman berubah. Dulu—konon kata dongeng—banyak orang bisa diam. Tidak banyak yang ribut. Sekarang banyak ribut. Sekadar ribut ada. Yang ribut mempersoalkan sesuatu ada. Perkembangan teknologi membuat manusia tidak bisa diam. Sehari, 24 jam, bisa ribut. Bicara di telepon, hp, internet, dan sebagainya. Masihkah manusia berjuang untuk diam?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, baik kalau dijawab pertanyaan nakal sebelumnya, untuk apa diam? Bukankah manusia juga termasuk makhluk komunikasi? Maksudnya manusia membutuhkan yang lain dan berarti harus berkomunikasi dengan yang lain. Jadi manusia tidak perlu diam?

Tentu tidak. Manusia tetap membutuhkan diam. Ada saatnya manusia mesti diam. Dalam diam ada banyak yang dialami. Persoalan hidup kadang-kadang bisa diselesaikan dalam diam. Kalau sebuah masalah dibicarakan terus menerus tidak ada solusi. Sebaiknya ada jeda antara bicara dan diam. Saat diam itu digunakan untuk memikirkan solusi. Dalam hal ini diam itu mutlak perlu.

Manusia zaman ini perlu memperjuangkan waktu diam itu. Apalagi dengan teknologi yang ada, manusia tergoda untuk selalu berkomunikasi. Saat diamnya kapan? Kadang-kadang saat makan pun sambil terima telepon. Saat tidur juga kadang-kadang harus mengangkat telepon dan menjawab pesan singkat. Kapan saat menikmati tidur dalam diam, tanpa diganggu?

Sesekali boleh diganggu. Tetapi, kalau terus menerus seperti itu, dan tidak pernah diam lagi, kurang bagus. Manusia tentu bisa memaksa tenaganya bekerja 24 jam. Tetapi, fisik juga butuh diam, sekadar istirahat, atau bahkan diam untuk mengisi tenaga baru.

Jadi, diam itu tetap perlu. Dalam diam ada seribu jawaban atas persoalan yang dihadapi. Asal jangan diam sepanjang hari. Kecuali kalau memang butuh waktu diam selama seminggu untuk sekadar retret, putus hubungan dengan dunia luar. Ini wajib dan perlu diam.

PA, 19/2/13

Gordi



Ada slogan baku, hari Senin adalah hari yang menyebalkan. Hari huru hara. Itu berangkat dari kenyataan. Tetapi kenyataan itu sebenarnya bisa diubah. Bagaimana mengubahnya?

Inilah pengalaman saya pagi ini. Saya mulai dari pengalaman kemudian kesimpulan. Sekadar berbagi cerita motivasi. Meski, saya ini bukan motivator.

Tadi pagi, saya bertemu seorang dosen. Dia tiba pagi di tempatnya mengajar. Kebetulan saya bertemu dia di tempat parkir. Dia sedang memarkir sepeda motornya ketika saya melintas di daerah itu.

“Selamat pagi pak,” sapa saya.

“Pagi,........”, jawabnya.

“Apa kabar?”

Kabar baik. Saya sehat, meski kurus.”

“Orang gemuk kadang-kadang banyak penyakitnya,” lanjut saya.

Tertawa............”

Saya terkesan dengan jawaban dosen ini. Saya kurus tetapi sehat. Banyak orang yang mengimpikan tubuh yang gemuk tetapi tidak tercapai. Banyak pula yang mengimpikan tubuh yang ramping tetapi tidak tercapai. Banyak orang mengimpikan tubuh yang sehat tetapi tidak tercapai.

Peluang ini dimanfaatkan oleh lembaga tertentu, pusat kebugaran, konsultasi diet, dan pusat perawatan tubuh lainnya. Seolah-olah kalau saya kurus saya ini tidak ada apa-apanya. Saya mesti gemuk.

Padahal orang kurus belum tentu sakit. Ada kalanya orang kurus adalah orang yang paling sehat. Sering olahraga. Jauh dari penyakit dan stres.

Di awal pekan ini saya mengajak pembaca untuk mengenali potensi dalam diri. Yang kurus jangan merasa minder karena kekurusannya. Saya juga kurus tetapi saya sehat. Bisa lari, olahraga sepak bola, futsal, voli, bulu tangkis, dan sebagainya. Inilah potensi saya yang membanggakan.

Yakinlah bahwa potensi ini membuat kita semangat untuk bekerja selama seminggu ke depan. Dari Senin sampai Jumat atau Sabtu nanti. Kelak, akhir pekan, kita beristirahat, menimba smeangat baru lagi.

Semangat ini bisa diterjemahkan dalam kata-kata lain. Saya lemah tetapi bisa bekerja selama sepekan. Dengan smeangat ini kiranya kita bisa bangun dan memulai pekerjaan harian dalam suasana semangat baru.

Semoga bermanfaat. Selama awal pekan.

PA, 18/2/13
Gordi


foto dari tempo.co
Tenaga kerja negeri ini banyak membantu orang luar negeri. Tanpa mereka roda perekonomian luar negeri tidak berjalan baik. Inilah sebabnya TKI kita memberi sumbangan besar. Sumbangan itu juga muncul di negeri ini. Uang yang mereka kirimkan jumlahnya besar.

Negeri ini memang kaya tenaga manusia. Jangan heran jika yang lain dikirim keluar negeri. Kaya tenaga tidak sama dengan kaya pekerjaan. Sebab, mereka keluar negeri untuk bekerja. Bekerja demi sesuap nasi. Uang yang mereka peroleh bisa digunakan untuk menghidupi keluarga di sini.

Amat sayang ketika ada berita TKI kita membunuh orang. Majikan, keluarga majikan, dan sebagainya. Tentu ini tidak sesuai dengan tujuan utama. Mereka pergi untuk mendapat uang. Caranya dengan bekerja. Bukan pergi untuk membunuh. Pasukan TNI keluar negeri saja bukan untuk membunuh tetapi membantu mengamankan daerah konflik.

Tetapi mengapa TKI kita sampai membunuh orang? Tidakkah mereka tahu bahwa membunuh itu mencelakakan mereka? Mereka dihukum dengan hukuman berat bahkan sampai mati?

Penyebabnya mesti ditelisik. Ada yang dendam, stres, tidak mau diperlakukan tidak manusiawi, beban terlalu berat, dan sebagainya. Mereka bereaksi demikain karena sudah berat sekali bebannya. Mereka tentu beda dengan TKI lainnya yang lemah tak berdaya sampai diperkosa dan dilecehkan. Ini yang paling disayangkan dari saudari/a kita. Mereka kadang-kadang diperlakukan tidak adil tetapi mereka juga kadang-kadang memperlakukan dengan tidak adil.

Tentu latar belakangnya mesti dicari. Kasus semacam ini sebaiknya menjadi evaluasi bagi pihak penanggung jawab. Masyarakat kita kadang-kadang gampang ditipu. Calo berkeliaran di kampung-kampung. Iming-iming gaji tinggi terus digemborkan. Siapa tidak tergoda?

Bayarannya mahal. Nyawa pun jadi taruhan.

Hai..pemangku jabatan lindungilah rakyatmu. Mereka disanjung tetapi sekaligus dijatuhkan. Di mana matamu ketika sebagian rakyat negeri ini diperkosa oleh orang asing? Di mana perhatianmu ketika sebagaian warga kita dihukum gantung pihak asing? Masihkah engkau berdalih biarkan hukum bekerja dan pihak terkait menyelesaikannya?

PA, 14/12/12
Gordi Afri

foto dari mycamerajournal.wordpress.com

Gambar kamu gak ada yah....

Demikian komentar seorang teman saat melihat album foto di facebook saya. Di situ ada puluhan foto. Foto-foto itu saya potret. Hasil potret itulah yang saya jadikan beberapa album. Di salah satu album sama sekali tidak ada gambar/foto saya. Benar saja pertanyaan teman saya ini. Rupanya dia jeli sekali memeriksa gambar itu satu per satu. 

Memang beginilah situasinya jika menjadi fotografer. Dulu di Jakarta saya mengagumi fotografer karena karya mereka. Sekarang saya menajdi fotografer amatir. Kini saya tahu satu hal unik sang fotografer adalah kurangnya publikasi gambar dirinya. Wong dia yang ambil foto?

Lihat saja fotografer-jurnalis. Jarang muncul gambar muka mereka di koran. Tetapi karya mereka selalu emngagumi pembaca.

Fotografer itu mirip Yohanes Pembaptis. Dia ini membiarkan Yesus semakin besar dan dia semakin kecil. Fotografer membiarkan karya mereka muncul dan menjauhkan potret diri mereka. Foto karya mereka dikagumi orang padahal dirinya belum tentu kagum pada fotografer. Tetapi yahhh beginilah prinsip kerja sang fotografer.

PA, 1/11/12
Gordi Afri


Gara-gara Tulisan Ini saya jadi bangga. Bangga lewat tulisan memang sudah biasa. Para penulis hebat sudah sering mengalami ini. Memang mereka menulis bukan untuk membanggakan. Tetapi kalau tulisan itu membuat mereka bangga, tidak ada salahnya.

Lebih bangga lagi karena saya yang menulis. Tulisan itu membuat saya bangga karena satu hal yakni berkenalan dengan banyak orang. Inilah yang terjadi dalam tulisan saya semalam, Perawat Lebih Mulia daripada Dokter (lihat postingan saya sebelumnya).

Sampai siang ini, ada 68 komentar. Saya dan pembaca lainnya ikut menyumbang komentar. Saya berkomentar untuk menanggapi komentar pembaca. Makanya, komentar jadi lebih banyak. Kalau saya tidak tanggap mungkin komentarnya tidak mencapai itu. Dengan saya berkomentar, pembaca pun membuat komentar balasan juga. Jadilah banyak komentar.

Saya tidak menyinggung terlalu banyak soal komentar ini. Yang menarik perhatian saya adalah tulisan saya itu, termasuk komentarnya, dikomentari oleh pakar-pakar handal dalam bidangnya. Saya menyebut dokter dan perawat dalam tulisan itu. Dalam komentar, muncullah perawat, Titin Rahmawati, dan juga dokter atau mungkin petugas medis lainnya seperti, Dokter Posma Siahaan, Mbak VennyVirdastryn, Indah Lestari.

Mereka ini saya anggap sebagai orang yang pakar dalam bidangnya. Komentar mereka pun membuat saya sebagai penulis artikel dan pembaca lainnya tercerahkan. Mereka berbicara dari fakta yang mereka alami. Ada juga beberapa komentator lain yang mencoba membeberkan fakta yang mereka alami di lapangan. Pengalaman bersinggungan, bertemu, berkonsultasi dengan tenaga perawat dan dokter pun terkuak. Inilah indahnya profesi yang membuat manusia merasa dekat, pasien dekat dengan dokter atau perawat yang membantu proses penyembuhan.

Saya bangga karena orang-orang pakar ini membaca tulisan saya. Saya ini orang biasa dan awam dalam bidang medis. Saya bangga orang pakar dalam bidang medis ikut memberi perhatian dan berbagi ilmu dengan saya dan pembaca lainnya lewat tulisan itu.

Terima kasih untuk teman-teman kompasioners yang sudah emmberi komentar pada tulisan saya semalam. Salam hangat untuk semuanya.

-------------------------------------
*dari postingan saya di kompasiana

PA, 9/9/2012

Gordi Afri

indonetwork.co.id

Beberapa hari terakhir ini saya cukup kesal dengan kondisi komputer di ruang kerja saya. Bukan ruang kerja seperti orang kantoran. Ruang kerja yang berisi komputer dan perangkat modem internet. Sesekali saja saya pakai ruang ini. Meski demikian ruang ini sangat penting sebab semua koneksi internet di rumah kami dikendalikan dari ruang ini.

Di ruang ini sebenarnya sudah ada komputer yang terkoneksi internet. Saya beberapa kali menggunakannya. Teman saya, Fonsi, yang sebelumnya bertugas di ruang ini juga memakai komputer ini. Selama dia pakai, tidak terjadi apa-apa, semuanya berjalan lancar. Namun, beberapa hari belakangan, komputer ini mulai macet.

Saya membersihkan bagian dalamnya. Debu menempel di sejumlah titik. Mungkin debu ini yang membuat kinerja komputer lambat. Ibarat mobil tua yang tidak terawat. Begitu gambaran kondisi komputer bagian dalamnya. Setelah membersihkan semuanya, saya memasang semua komponennya dan menghubungkan dengan internet. komputer berjalan dengan baik. Koneksi internet juga lancer. Tetapi beberapa hari kemudian komputer itu kembali seperti semula. Macet, macet, dan macet.

Saya memutuskan untuk mengganti dengan komputer lain dengan harapan koneksinya lancar dan kinerja komputernya juga lancer. Untuk hari pertama sesuai yang diharapkan. Kinerja komputer dan koneksi internetnya lancar. Saya pun bangga sekaligus berharap inilah komputer yang akan menunjang kinerja saya di ruang ini. Bagai disambar petir, tiba-tiba, komputer itu macet lagi. Wah kali ini saya benar-benar kesal. Saya tidak mau membongkar dan melihat isi bagian dalamnya lagi.

Saya memutuskan untuk mengganti dengan komputer ketiga. Kebetulan computer ini jarang dipakai. Debu-debu di bagian luarnya sudah banyak pertanda jarang disentuh. Tampilan luarnnya memang tidak meyakinkan kalau komputer itu bagus. Tetapi saya yakin saja bagian dalamnya bagus. Bagian dalamnya tidak seperti bagian luarnya yang kotor. Saya menghubungkan komputer itu dengan modem internet dan tersambung. Jadilah tulisan ini.

Ini tulisan pertama dengan komputer itu. Lumayan lancar. Komputernya tidak canggih tetapi cukup bagus untuk mengetik tulisan. Programnya pun masih windows 2003. Semoga komputer ketiga ini berjalan lancar sesuai yang saya harapkan. Kalau tidak mungkin untuk sementara saya tidak bisa membuat dan menampilkan tulisan baru diblog ini.

PA, 23/8/2012
Gordi Afri

*Dimuat juga di blog kompasiana pada 23 Agustus 2012



foto oleh no-body-cares
Minggu, 19 Agustus 2012. Saya bersama Bapak dan Ibu serta Pastor Memo, SX berkunjung ke rumah sahabat kami, Bapak Mul, di daerah Imogiri, Bantul, DIY. Perjalanan dengan menggunakan mobil Toyota Kijang LGX ini cukup ramai.

Bapak yang menjadi sopir mengarahkan mobil melalui ‘jalur dalam’. Maksudnya tidak melalui jalur ramai. Kami melewati beberapa lorong mulai dari Jalan Affandi-Gejayan, masuk satu gang lagi hingga tiba di Jalan Solo. Kemudian dilanjutkan dengan jalan-jalan kecil hingga tiba di daerah Giwangan-Umbulhardjo. Selanjutnya melalui jalan Imogiri.

Kami sengaja melewati jalan-jalan kecil alias ‘jalur dalam’ agar terhindar dari macet. Hari-hari besar atau musim liburan seperti lebaran ini biasanya ramai. Jalanan di kota Yogyakarta biasanya macet karena banyak pengunjung dari luar kota. Dugaan kami ternyata salah. Bapak yang asli Yogya ini menyadari hal ini. Dia pun berujar, “Wah, kita sudah berusaha mencari jalan-jalan kecil, tetapi nyatanya kita masih terlambat dari biasanya.”

Perjalanan ke rumah Pak Mul biasanya bisa ditempuh selama 3o-45 menit. Kali ini agak lama, 50 menit. Maklum hari libur. Meski agak telat, saya justru bersyukur karena bisa mengenal jalur-jalur baru di kota pendidikan ini. tiap perempatan jalan, saya bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya, “Ini daerah apa namanya, bu?” Ibu yang sudah lama tinggal di kota budaya ini pun menjawab dengan lancar.

Diterima dengan senang hati
Setibanya di rumah Bapak Mul, kami disambut dengan senang hati. Ketika mobil kami hampir tiba di rumah, Bapak Mul sudah menunggu di depan rumah, mengenakan baju resmi dan agak rapi. Baju resmi bernuansa Islami. Kami melihat dia tersenyum ketika mobil kami tiba. Lalu, dia menunjukkan tempat parkir yang tidak jauh dari pintu rumahnya. Sekitar 5 meter.

Kami masuk rumah dan bersalaman dengan keluarga Bapak Mul sambil mengucapkan Selamat Hari Raya Lebaran. Pak Mul merasa senang dengan kehadiran kami. Dia mengungkapkan kesenangannya itu di hadapan kami. “Saya senang karena pastor dan kalian semua bisa mengunjungi kami di sini,” katanya.

Pak Mul adalah seorang Muslim. Dia bekerja di rumah kami sudah hampir 20-an tahun. Kami yang berkunjung yang adalah semuanya Katolik bangga dengan kata-katanya. Perbedaan keyakinan dan agama tidak membuat kami canggung. Kami tahu dia Muslim dan dia tahu kami Katolik. Sudah lama kami bekerja sama, saling menghargai, saling menghormati.

Pak Mul bekerja di rumah kami dengan menempuh jarak 25 kilometer setiap harinya. Pergi dan pulang 5o km. Setiap hari dia datang ke rumah kami, kecuali hari Jumat. Dulu, sekitar 7 tahun lalu, dia datang dengan sepeda. Bayangkan orang setua dia masih kuat menggenjot sepeda sepanjang lebih kurang 50 km setiap hari. Setelah gempa yang melanda Yogya, Mei 2006, dia beralih ke sepeda motor. Dia pun berangkat dari rumah sekitar jam 05.30 pagi dan pulang sekitar jam 04.oo sore. Dulu, waktu menggunakan sepeda, katanya, dia berangkat sekitar jam 04.00 pagi.

Jalanannya mendaki waktu datang. Dari sudut Selatan kota Yogyakarta sampai Utara kota Yogyakarta. Dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Sungguh luar biasa perjuangannya. Menurut cerita bapak dan ibu, yang bekerja di dapur, setelah lebaran, Pak Mul berencana datang dengan sepeda lagi. Dengan sepeda memang badan jadi lebih segar dan sehat, olahraga pagi, juga menikmati udara pagi. Tetapi agak aneh, di usianya yang makin tua, dia malah menggenjot sepeda. Bukannya semakin tua tenaga berkurang sehingga lebih bagus kalau pakai motor. Tetapi alhamdulilah jika rencana itu menjadi nyata nanti, mungkin Pak Mul merasa lebih nyaman dengan sepeda.

Ajang dialog antar-agama
Kunjungan silaturahmi kali ini menjadi ajang dialog antar-agama bagi saya. Selain dengan Bapak Mul sekeluarga, kami juga berbincang dengan keluarga adiknya Bapak Mul yang rumahnya bersebelahan. Adiknya datang dan bersalaman dengan kami ketika kami mau pulang. Dia juga membantu mengarahkan mobil untuk berbalik arah. Dia sempat bercerita tentang nyamannya rumah dia dan kakaknya, Pak Mul, yang terletak di atas bukit dan didasari bebatuan yang kuat.

“Waktu gempa, rumah-rumah ini tetap kuat, berdiri kokoh, padahal rumah-rumah lain sudah runtuh,” katanya dengan nada bersemangat. Rumah Pak Mul terletak di atas bukit dan dasarnya terdiri atas bebatuan. Kalau fondasinya kuat, rumah pun akan tahan ketika terjadi gempa.

Setelah perbincangan itu, kami masuk ke mobil lalu pulang. Tak lupa kami melambaikan tangan ketika mobil bergerak melambat dan akhirnya kami meninggalkan mereka. Terima kasih untuk perjumpaan hari ini. terima kasih untuk Bapak Mul sekeluarga yang sudah menerima kami.

PA, 21/8/2012
Gordi Afri

Rabu, 18 Juli 2012. Malam ini turun hujan pertama di kota Yogyakarta. Saya baru beberapa hari di kota ini dan baru merasakan hujan pertama. Entah sebelumnya kapan hujan terakhir. Yang jelas tanah-tanah di kota ini masih kering. Debu di lapangan basket depan rumah makin banyak. Tanah kering karena kekurangan air hujan.

Hujan ini membawa berkat bagi kami di Yogyakarta. Berkat apakah itu? Paling tidak kami tidak perlu menyiram tanaman dan bunga-bunga kami. Air hujan sudah mencurahkan kesegaran kepada tanaman itu. Kami hanya berterima kasih kepada Tuhan sang pemberi hujan.

Kota Yogya sebentar lagi tampak hijau. Bunga-bunga mekar setelah menyerap air hujan. Debu-debu jalanan makin hilang. Jalan-jalan tampak bersih tanpa ditaburi debu yang mengotori lubang hidung.

Inilah berkat dari hujan pertama di kota ini. Tuhan sudah merencanakan semuanya.

PA, 19/7/2012
Gordi Afri


Foto-foto dokumen pribadi
Akhir-akhir ini gerakan menghijaukan lingkungan gencar digemakan. Salah satunya adalah menamam pohon. Bagi orang kota yang lahan kosongnya sedikit dianjurkan menanam bunga entah di pot atau di taman. Bagi orang desa yang lahannya masih luas dianjurkan menanam pohon. Kenyataannya memang banyak warga desa menanam pohon di lahan mereka atau juga menghijaukan kembali hutan-hutan di dekat mereka. Sayangnya, masih ada juga pihak yang merusak hijaunya hutan itu. Ada perusahaan tambang yang merusak berhektar-hektar pohon. Ada juga perusahaan kertas yang menebang pohon sebanyak mungkin. Ada juga perusahaan yang khusus mengambil kayu di hutan untuk komoditas perdagangan. Tidak sedikit dari mereka yang enggan menanam kembali pohon yang sudah diambil.



Dalam perjalanan awal tahun ini, saya mendapati dua buah kampanye berupa ajakan untuk menanam pohon. Kampanye itu tertera di spanduk besar di jalan tol Jagorawi. Ada dua spanduk yang saya lihat, bunyinya demikian, AYO TANAM POHON! BANYAK POHON, UDARA SEGAR. Satunya lagi seperti ini, MARILAH TANAM POHON UNTUK MENYELAMATKAN LINGKUNGAN. Tidak banyak, hanya dua spanduk. Jauh berbeda dengan jumlah kampanye tokoh partai politik. Namun, kalau dua spanduk ini ‘berbicara lantang’, akan ada perubahan besar dalam lingkungan kita. Bayangkan kalau semua pengguna jalan tol memerhatikan tulisan ini lalu mempraktikkannya. Saya yakin lingkungan kita akan hijau kembali.



Bunyi iklan pertama mengandung pesan yang cukup bagus. Banyak pohon, udara segar. Memang di tol udara segar itu mudah didapat. Lihat saja di kiri-kanan jalan tol, tumbuh banyak pohon yang dipelihara dengan baik dan teratur. Sayangnya tidak banyak orang yang mau menikmati segarnya udara di sini. Lihat saja kaca mobil yang tertutup ketika melewati jalan tol. Ada argumen, kalau kaca dibuka suasana dalam mobil jadi tidak enak. Angin kencang yang masuk membuat penumpang bisa masuk angin. Ini tentu saja benar dan amat logis. Dengan melaju kencang di tol, memudahkan kita cepat sampai tujuan. Namun, kita tidak bisa menghirup udara segar di tol. Meski demikian, keberadaan pohon-pohon itu tetap menciptakan pemandangan hijau nan indah di sekitar jalan tol.



Bunyi iklan kedua—menurut hemat saya—mengaitkan peran pohon dalam lingkungan. Pohon erat kaitanya dengan keadaan lingkungan. Hampir pasti pohon memainkan peran terbesar dalam lingkungan. Makhluk hidup lainnya sangat tergantung pada pohon. Meskipun diakui pula bahwa relasi antar-makhluk dalam sebuah lingkungan menjamin keseimbangan alam dalam lingkungan itu. Itulah sebabnya, ajakan menanam pohon dikaitkan dengan situasi lingkungan kita. Apa jadinya kalau lingkungan alam kita tidak ditumbuhio pohon lagi? Boleh jadi bukan hanya lingkungan yang rusak, penghuni lainnya seperti manusia dan binatang akan rusak.



Dua spanduk ini kiranya mengajak kitasemua untuk peduli pada isu lingkungan. Sekecil apa pun sumbangan kita amat berharga bagi keseimbangan lingkungan. Mari menanam pohon. Banyak pohon, hidup kita akan sehat.


CPR, 24/1/2011


Gordi Afri


Kota Jakarta makin gencar didatangi dan dikunjungi orang. Berbagai alasan pun muncul ketika orang atau rombongan terrtentu hendak datang ke Jakarta. Ada alasan yang memang betul-betul mendukung orang atau rombongan untuk datang ke Jakarta. Mendukung karena memang orang tidak bisa menemukan apa yang ia cari di tempat lain misalnya mengunjungi monumen nasional (Monas) atau mencari dokumen sejarah di museum Sumpah Pemuda atau juga meneliti teks sejarah yang ada di museum Sumpah Pemuda. Namun, ada juga alasan-alasan yang dangkal, yang sebenarnya tidak terlalu mendesak untuk datang ke Jakarta. Misalnya saja untuk bersenang-senang atau mencari gengsi dengan cara tinggal sementara di Jakarta. Dia kembali ke kampung halaman membawa kebiasaan jelek yang ia lihat di Jakarta lalu memprovokasi orang kampung yang tidak tahu apa-apa tentang kota Jakata. Orang akan segan dengan dia karena baru saja pulang dari Jakarta. Banyak orang kampung mengira bahwa orang yang tinggal atau pernah tinggal di Jakarta itu orang hebat dan baik padahal tidak semuanya seperti anggapan itu. Apa sebenarnya yang terjadi dengan orang yang ramai-ramai berkunjung ke Jakarta tiap tahun?

Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia tentu saja wajar kalau dikunjungi banyak wisatawan dari luar negeri. Orang yang datang ke Indonesia akan membayangkan kota Jakarta karena di situlah pusat negara Indonesia. Tentu saja mereka menganggap ada yang kurang kalau berkunjung ke Indonesia tetapi tidak melihat kota Jakarta. Begitu juga dengan para pejabat yang berkunjung ke Indonesia entah untuk urusan kenegaraan atau hanya untuk rekreasi saja atau juga untuk keperluan pribadi. Kalau ada urusan kenegaraan pasti mereka akan melihat Jakarta sebagai pusat negara Indonesia. Mereka ini wajar dan pantas berkunjung ke Jakarta karena urusan penting seperti urusan kenegaraan. Tentu saja alasan itu menjadi pendukung kedatangan mereka.

Tiap tahun banyak orang dari seluruh penjuru Indonesia datang dan mau tinggal di Jakarta. Mereka ini tidak hanya mau melihat Jakarta tetapi mau tinggal di Jakarta untuk mencari pekerjaan. Bekerja di Jakarta memang kadang menjanjikan dari segi keuangan atau ekonomi tetapi kadang juga tidak menjanjikan sama sekali. Bekerja atau menjadi pekerja di kampung halaman masing-masing juga menjanjikan dari segi keuangan atau ekonomi asalkan saja orang harus setia pada pekerjaan mulia itu. Kalau begitu mengapa masih banyak orang yang memilih Jakarta sebagai tempat kerja ketimbang kampung halaman mereka?

Dalam hal inilah Jakarta punya kelebihan. Bekerja di Jakarta itu selain menjanjikan dari segi ekonomi juga punya citra lain yakni gengsi dan juga jaminan lainnya misalnya rumah sakit dekat, bahan-bahan kebutuhan pokok mudah didapat. Bekerja di kampung halaman tentu saja menjanjikan dari segi ekonomi namun tidak sebanding dengan yang ada di Jakarta. Bayangkan sebagian besar uang di negeri ini dialirkan di Jakarta. Banyak lapangan kerja misalkan di kantor-kantor, pabrik-pabrik, kantor perusahaan multinasional  ada di Jakarta.

Namun, sebetulnya kalau dilihat lebih jauh persoalan bekerja di Jakarta dan di kampung halaman itu sama saja nilainya. Bekerja di Jakarta terjamin dari segi ekonomi namun hal ini dibayar mahal dengan jaminan lainnya yakni keamanan. Jakarta paling rawan dengan masalah yang berkaitan dengan tindakan kriminal. Harga bahan pokok dan produk lainnya juga mahal sebanding dengan upah karyawan/wati. Upahnya besar pasti harga bahan pokoknya juga mahal. Sementara, di kampung halaman keamanannya terjamin, harga bahan pokoknya juga tidak mahal bahkan ada yang tidak perlu dibeli karena bisa diproduksi sendiri. Dalam hal ini juga orang kampung bisa menjadi teladan dalam menciptakan lapangan kerja. Mereka bisa saja menanam padi, buah-buahan, sayur-sayuran, dan bahan pokok lainnya. Pekerjaan ini tentu saja membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga orang kampung tidak perlu lagi ke Jakarta untuk mencari kerja.

Bekerja di Jakarta kadang lebih banyak pengorbanannya. Mereka yang menjadi pembantu rumah tangga siap menerima perlakuan kasar dari majikan. Memang perlu diketahui juga bahwa tidak semua majikan berlaku demikian tetapi pasti ada yang melakukan hal ini. Mereka yang tidak mendapat pekerjaan layak terpaksa lari ke klub-klub malam dan di bar-bar untuk menjual harga diri alias menjadi pekerja seks komersial untuk mendapat uang. Belum lagi ada kejadian yang menakut-nakuti orang kaya atau orang yang diduga punya banyak uang. Kejadian itu misalnya kasus pencurian dan hipnotis. Ada juga kasus penculikan anak yang kemudian meminta tebusan dari orangtuanya. Masih banyak masalah lainnya. Sudah siap menghadapi hal ini? Di sinilah warga Jakarta dituntut untuk berkorban dan mengatasi semua masalah ini.

Kelompok ketiga yang mengunjungi dan juga menetap sementara di Jakarta adalah para mahasiswa/i yang belajar di Jakarta. Saya rasa wajar kalau mereka ini tinggal sementara di Jakarta asalkan untuk belajar atau belajar sambil bekerja. Sebaiknya setelah selesai kuliah, mereka harus kembali ke kampung halaman dan menciptakan lapangan kerja, mengajak orang kampung untuk bersama-sama mendirikan lapangan kerja baru dan tidak perlu lagi ke Jakarta untuk bekerja. Hal ini kerapkali sulit dilakukan oleh mereka yang belajar di perguruan tinggi padahal sudah mendapat ilmu. Kalau mereka bisa menerapkan ilmu itu pasti banyak lapangan kerja baru di daerah. Kalau lapangan kerja sudah ada, orang tidak lagi ke Jakarta, dan juga peredaran uang tidak hanya di Jakarta saja tetapi ada di seluruh daerah. Memang hal ini membutuhkan pengorbanan besar khususnya untuk orang yang pertama kali membuka lapangan kerja di daerah-daerah. Untuk selanjutnya, keadaan pasti berubah. Pertanyaannya, apakah orang mau berkorban demi kebaikan sesama?

Uang yang beredar di Jakarta saja tentu membawa dampak kurang baik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak orang yang datang ke Jakarta menjadi pengemis karena mereka pikir orang Jakarta itu punya banyak uang. Namun, kadang yang terjadi justru sebaliknya, mereka diusir dari Jakarta. Orang Jakarta mau supaya yang tinggal di Jakarta hanya orang kaya saja yang miskin ditolak. Para pengemis akan mengalami kesulitan. Di kampung, mereka sulit mendapatkan uang, di kota mereka diusir.

Melihat kondisi ini penulis menganjurkan kepada seluruh calon pengunjung kota Jakarta untuk mempertimbangkan baik-baik sebelum datang ke Jakarta. Perlu dipikirkan apa alasan datang ke Jakarta. Alasan itu pun harus betul-betul mendukung orang untuk datang dan tinggal di Jakarta. kalau alasan itu belum ada lebih baik tidak usah datang ke Jakarta.  Kalau punya alasan dangkal alias belum mendesak lebih baik jangan dulu datang ke Jakarta. Kalau masih ada peluang untuk menjadi pekerja di kampung halaman lebih baik bekerja di situ saja dan tidak perlu datang ke Jakarta. Lebih bagus lagi kalau orang kampung menciptakan lapangan kerja baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga orang kampung sendiri yang menjadi pekerjanya. Kalau demikian orang kampung tidak lagi datang mengemis atau menjadi pekerja tidak layak di Jakarta. Sistem yang berlaku selama ini—di mana banyak perusahaan atau pabrik yang hanya beroperasi di Jakarta—tentu saja kurang baik. Sistem ini membuat Jakarta sebagai kota tempat tinggal bagi semua orang. *Gambar dari google.

Jakarta, 02 Desember 2008
Gordi Afri


Powered by Blogger.