Halloween party ideas 2015

XAVERIAN MEETING IN PHILIPPINA



There are many same words between Indonesian’s language (Bahasa) and Philippines’ language (Tagalog). Just for a mention, the word: ‘Sama-sama’. In Indonesian it means ‘together’ and also in Tagalog, that means ‘meeting together’. The meeting always together. If only one person, it is not the meeting.

Today, we have the meeting for all Xaverians in the Philippines. This is the second time for me, participating in this meeting. I am happy meeting with them. I am a newcomer in this country but my confreres welcome me with the open heart. We come from the four community: two formation’s house (Theology and Philosophy) and others from the parish (Maligaya and Marikina).

Thanks to you all and see all of you again in next meeting.



THE HELPER OF HELPLESS
 
St Basil, the great, photo: fineartamerica.com 
O Lord, the helper of the helpless, the hope of those who are past hope, the saviour of the tempest-tossed, the harbour of the voyagers, the physician of the sick. You know each soul and our prayer, each home and its need. Become to each one of us what we most dearly desire, receiving us all into your kingdom, making us children of the light. Pour on us your peace and love, O Lord our God. Amen. Orthodox liturgy of St. Basil


ga-livinginchrist-jan18-p7

MARY, I LOVE YOU
 
St Philip Neri, photo: famigliacristiana.it
Mary, I love you. Mary make me live in God, with God, and for God. Mary, pray for me and for the departed. In every difficulty and distress, come to our aid. Remember me and help me always to remember you. Pray for us, O holy Mother of God, that we may be made worthy of promises of Christ. Amen. St. Philip Neri


ga-livinginchrist-jan18-p7

SAAT BAYI YESUS DIARAK
 
Kandang Natal 2017 di Paroki SFX Maligaya
Misa Natal kali ini agak berbeda bagi saya. Selalu ada hal baru yang dilihat di tempat yang baru. Selama 4 tahun di Italy, ada saja hal menarik yang ada. Natal dalam dingin dan bersalju.

Hal baru itu juga ada di Manila-Filipina tahun ini. Boleh jadi bukan kebetulan, saya datang awal Desember. Sehingga, akhir bulan bisa ikut Natal a la Filipina. Natal ini sungguh sesuatu yang baru. Beda dengan 4 tahun sebelumnya. Semuanya memang beda banget dengan tradisi di Indonesia.

Saya ikut misa Malam Natal pada pukul 7. Misa ini jadi unik karena dalam bahasa Tagalog. Saya tidak mengerti tetapi berusaha mengerti melalui panduan teks misa.

Umat membludak di dalam dan luar gereja. Saya sengaja datang 45 menit sebelum misa untuk melihat suasana gereja. Umat rupanya antusias dengan datang lebih awal. Tadi pagi sebenarnya rasa antusias lebih tepat. Mereka menyelesaikan Misa Ayam Berkokok selama 9 hari. Saatnya untuk mengatakan ahh Tuhan, kami sudah tiba.

Antusias itu rupanya dibawa sampai malam ini juga. Setelah perarakan masuk yang meriah serta pengantar dari Pastor, gereja digelapkan. Sekelompok remaja dan OMK menyiapkan drama singkat. Dalam drama itu diceritakan kisah kelahiran Yesus. Mulai dari perjalanan Yosep dan Maria ke Betlehem. Mereka bingung mau menerima Yesus di rumah siapa.

Dalam kebingungan, mereka malah berjumpa sejumlah anak muda yang sedang berpesta. Minum-minuman dan berjoget ria. Tidak beda dengan mereka, ada juga sekelompok keluarga yang menolak kehadiran mereka. Saat melihat Yosep dan Maria dalam keadaan bingung, mereka mengatakan tidak bisa menampung mereka di rumah.

Boleh disimpulkan: tidak ada tempat untuk Yosep dan Maria. Adegan selingan selanjutnya berupa dialog 5 remaja tentang arti Natal dan seberapa pentingnya. Tampak bahwa Natal membawa kegembiraan sekaligus tidak ada apa-apanya bagi mereka. Ada yang antusias, ada yang tidak.

Setelah dikuatkan dalam mimpi, Yosep dan Maria akhirnya menemukan tempat yang pas. Yesus dilahirkan di kandang ternak. Dalam kesederhanaan itulah Yesus datang ke dunia, di hadapan para gembala yang tidak paham dengan kedatangan-Nya.

Yesus kemudian diperkenalkan pada mereka oleh sang Malaikat. Dan seperti para gembala itu, kami juga diperkenankan melihat bayi Yesus itu. Barisan para putra altar, rombongan Diakon dan Pastor serta pemuda yang berperan sebagai Yosep dan Maria membawa bayi Yesus berarak di dalam gereja. Umat di setiap kelompok tempat duduk pun melihatnya. Bahkan ada yang terharu serta ingin menyentuh bayi Yesus itu. Bagi mereka, bayi itu adalah Allah yang dekat dengan mereka. Mereka pun ingin menyentuh-Nya.

Setelahnya, perayaan ekaristi dilanjutkan. Sungguh sesuatu yang baru bagi saya. Drama itu kiranya ingin menarik para remaja dan OMK untuk ambil bagian dalam perayaan Natal. Natal dengan demikian menjadi sesuatu yang berarti bagi mereka. Kiranya bayi Yesus juga berbicara pada mereka. Adegan mereka tidak sekadar bersuara dan bergerak tetapi juga masuk dalam jiwa mereka.

Natal yang pas memang mesti menyentuh semua orang. Melihat orang muda dan remaja ini, saya teringat dengan Italia. Dari hati, ingin melihat mereka di gereja, apa daya, tidak banyak anak remaja dan anak mudanya. Andai saja Natal di sana diwarnai drama seperti ini, misa Malam Natal akan lebih hikmat lagi.

Semoga suatu saat, para remaja dan OMK ini hadir di Italia.

Salam damai Natal bagi para pembaca

Quezon City, 26/12/17

Gordi SX

TRADISI UNIK ORANG FILIPINA

Pemandangan pada perayaan Misa Simbang Gabi di salah satu gereja 
di bilangan Marikina, Metro Manila, FOTO: philstar.com

Di Filipina, ada tradisi yang bisa dikategorikan sebagai devosi populer. Tradisi ini adalah misa sebelum ayam berkokok. Dalam bahasa Tagalog dikenal dengan istilah Simbang Gabi.

Tradisi ini berasal dari bangsa Spanyol. Orang Spanyol membawa serta tradisi mereka ini ke bangsa jajahannya. Selain Filipina, Meksiko juga terus merawat tradisi ini. Dalam bahasa Spanyol, tradisi ini dinamakan Misa del Galo atau diterjemahkan misa sebelum ayam berkokok.

Hari-hari ini (16-24 Des), rakyat Filipina sedang khusyuk dengan tradisi ini. Mereka bangun pagi-pagi untuk mengikuti misa. Setiap paroki menyediakan beberapa waktu misa. Di Paroki St Fransiskus Xaverius di dekat tempat saya, ada 2 kali misa pada pagi dan sore hari. Mulai pukul 3 pagi, kemudian 4.30 pagi. Di beberapa stasi lainnya juga ada misa pada pagi hari. Jadi, kalau dijumlahkan berkisar 9 misa dalam sehari.

Tradisi ini rupanya sudah tua. Pastor Felipe Fruto Ll. Ramirez, SJ menjelaskan bahwa tradisi ini muncul sejak abad ke-17.[1] Tradisi ini muncul dalam tulisan-tulisa Pastor Jesuit asal Spanyol Francisco Ignacio. Dalam komentarnya, Pastor Felipe juga menarik kaitan antara tradisi Simbang Gabi dengan Novena Natal.

Keduanya memang berkaitan. Bukan kebetulan tradisi ini mengikuti tradisi Novena Natal (doa 9 hari menjelang Natal). Keduanya sama-sama menyiapkan kedatangan Yesus dalam peristiwa Natal. Hanya saja, semangat awal ini dimodifikasi oleh perkembangan zaman.

Orang Filipina kini meyakininya sebagai kesempatan untuk meminta sesuatu pada Tuhan. Maka, muncul aturan baru yang mereka ciptakan. Mereka mesti mengikuti misa selama 9 hari pada jam yang sama. Kalau hari pertama seseorang mengikuti misa pada pukul 3 pagi, selanjutnya dia juga mengikuti misa pada jam itu. Demikian dengan mereka yang mengikuti misa pada jam berikutnya.

Terlepas dari aturan baru ini, tradisi ini cukup berhasil menarik orang Filipina ke gereja. Setiap pagi, gereja dipenuhi banyak umat termasuk mereka yang jarang ke gereja. Bagi mereka, Mesa del Galo adalah kesempatan emas yang mesti dimanfaatkan dengan baik. Datangnya hanya sekali setahun. Itulah sebabnya mereka juga yakin, misa ini adalah yang paling mujarab. Permintaan mereka kemungkinan besar akan dikabulkan oleh Tuhan.

Quezon City, 21/12/17
Gordi SX



[1] Felipe Fruto Ll. Ramirez, SJ, “Sensitive to Jesus Presence in Our Lives” dalam SAMBUHAY edisi Inggris 21 December 2017.

HANYA TUHAN YANG TAHU

Rakyat FIlipina bangga dengan bahasa mereka, Tagalog, Bisai, dll FOTO: pixabayfree

Kita bisa mengetahui sesuatu tetapi tidak semuanya. Dalam keterbatasan ini, kita pun mesti mengakui hanya Tuhan yang maha tahu. Dia memang tahu segalanya. Maka, saat kita berjumpa dengan pengalaman yang tidak bisa atau tidak cukup kita tahu, kita mesti mengakuinya dalam Tuhan.

Ini juga yang saya jumpai minggu lalu dalam misa berbahasa Tagalog. Saya sendiri tidak paham bahasa Tagalog. Dari awal sampai akhir misa, hanya beberapa yang bisa saya terka artinya. Urutan misa tentu saja saya paham. Saya bisa memahaminya karena sudah mempraktikkannya sendiri. Sedangkan, rumusan kata-katanya tidak bisa saya pahami.

Misa dalam bahasa Tagalog ini adalah pengalaman pertama bagi saya. Saya tahu, ini tidak akan menjadi terakhir. Rakyat Filipina mempunyai kecintaan yang tinggi akan bahasa mereka. Maka, ke depannya, bahasa Tagalog ini akan sering saya jumpai.

Sahabat saya yang lebih dulu tiba di Filipina mempunyai pengalaman yang sama. Suatu ketika, ia menjelaskan tentang realitas ini. Sebelum misa, ia juga mengulang penjelasannya. Katanya, “Inililah misteri iman.” Maksudnya, meskipun kita tidak tahu, Tuhan sudah tahu.

Jauh sebelum ia mengatakan ini, Rasul Paulus juga menekankan hal ini. Paulus menyemangati mereka yang kurang paham tentang doa. Ia pun mengatakan bahwa, dalam doa, bukan kita yang berdoa tetapi Roh-lah yang berdoa (Rm 8: 26). Itulah sebabnya, sebelum kita berdoa, Tuhan sudah tahu maksud doa kita.

Dengan peneguhan dari sahabat dan Rasul Paulus ini, saya pun makin yakin untuk mengikuti perayaan Ekaristi dalam bahasa Tagalog itu. Saya tidak tahu tetapi Tuhan tahu. Saya tahu, ini hanya bisa dipahami dalam iman. Dengan iman, saya yakin Tuhan mendengar doa saya.

Saya yakin banyak orang yang tidak paham akan doa mereka. Meski tidak yakin, mereka tetap berdoa. Entah sadar atau tidak, mereka sebenarnya menjalankan nasihat Rasul Paulus. Maka, agar kita paham dalam berdoa, serahkan saja pada Roh yang berdoa pada Allah bagi kita.

Quezon City, 15/12/17
Gordi SX


BERONDONG BERBAHASA TAGALOG

Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, FOTO: rappler.com 

Berondong dan diberondong bisa terjadi di mana-mana. Bukan saja berondong yang memberondong tetapi juga siapa saja bisa memberondong.

Saya sudah diberondong sejak di Bandara Internasional Ninoy Aquino Manila. Berbagai pertanyaan muncul. Yang sering diulang-ulang adalah mengapa Anda tidak bisa berbahasa Tagalog? Saya sudah jawab dengan baik tapi orang ini datang beberapa kali.

Berondongan pertama dengan pertanyaan berbahasa Tagalog. Saya jawab kalau saya tidak bisa bahasa Tagalog. Lalu, masih ditanya mengapa. Kemudian, untuk apa tujuan kedatangan saya ke Filipina. Masih banyak lagi pertanyaan lain dengan bahasa Inggris dan Tagalog.

Berondong di bandara ini rupanya tidak sendiri. Ia sama dengan para gadis di Mol, para perawat di Laboratorium, para Ibu di sebuah kapel, yang memberondong saya dengan bahasa Tagalog. Setelah dijawab tidak bisa berbahasa Tagalog baru mereka ngehhh. Oh rupanya bukan orang Filipina.

Sulit dipercaya tetapi fakta tidak bisa berbohong. Berondong di bandara itu memang tampaknya berpegang teguh pada fakta. Seperti para gadis lainnya, ia menilai seseorang dari tampilan luar.

Beberapa teman muda dari Filipina memang menjelaskan jika wajah saya itu wajah orang Filipina. Di Italia dulu saya selalu punya banyak teman yang menyapa di jalan. Mereka adalah orang Filipina. Mereka menyapa karena melihat saya. Di mata mereka, saya adalah orang Filipina.

Memang benar di mata mereka tetapi belum tentu di identitas saya. Saya orang Indonesia dan tidak bisa berbahasa Tagalog. Inilah yang jadi masalah bagi saya dan bagi mereka. Kalau saya menjawab YA, wajah saya mendukung. Namun, kalau mereka terus menyapa dengan Tagalog, saya mesti mesti jawab TIDAK bisa. Saya tidak membohongi saya dan mereka.

Karena tidak berbahasa Tagalog, saya pun dipandang sebelah mata. Di mata mereka, saya seperti orang sombong. Berwajah Filipina kok tetapi berbahasa Inggris. Ini namanya tidak mencintai bahasa sendiri, demikian anggapan mereka. Padahal, saya memang mencintai bahasa saya dan belum saatnya mencintai bahasa mereka. Jika sudah bisa Tagalog, saya pun akan masuk 100% dari wajah sampai ke lubuk hati dalam budaya mereka.

Karena dipandang sebelah mata, saya pun kesulitan untuk jalan-jalan sendiri. Kalau naik angkot, saya selalu berjalan dengan teman yang berbahasa Tagalog. Biarkan mereka yang menjelaskan rute perjalanan dan besarnya ongkos kirim. Semuanya dalam bahasa Tagalog.

Inilah berondongan awal tinggal di negeri Filipna ini. Semoga ini menjadi pelajaran berharga kini, nanti, dan sepanjang selamanya. Kiranya penting diingat pepatah Indonesia, Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Saya akan mengikuti dan menghormati adat istiadat orang Filipina.

Quezon City, 11/12/17

Gordi SX

EKARISTI DI MOL FILIPINA
 
Salah satu kael di dalam mol di Filipina, FOTO: philconfessionsskel
Andai Filipina ada di Indonesia, orang Indonesia tidak kesulitan mencari gereja. Di Indonesia, masih ada yang sulit menemukan gereja. Di Filipina, gereja ada di banyak tempat. Bahkan di mol pun ada gereja.

Itulah yang terjadi di Filipina. Saya heran dengan kejadian ini. Tetapi keheranan ini mesti sampai pada rasa percaya. Tidak akan berhenti pada rasa heran, meski baru tiba di sini.

Sehari setelah tiba di Filipina, saya melihat keheranan dan kepercayaan itu. Teman saya dari Brasil menceritakan fakta yang akan saya lihat. Saya tidak percaya dan hanya merasa heran.

“Kamu akan melihat gereja di dalam mol. Kita akan mengikuti misa di sana,” cerita teman saya.

“Hahh????? Gereja di mol? Misa di mol???” saya tambah heran.

“Yang benar saja??”

“Kamu akan melihatnya nanti,” jelasnya.

Setelah 5 menit perjalanan, kami tiba di Mol. Di mol ini akan ada tiga rasa sekaligus. Heran, ingin tahu, dan percaya. Ketiganya adalah perasaan saya.

Saya tidak habis pikir dengan kata-kata teman saya. Sambil menyusuri pintu masuk SM City Fairview dan melewati beberapa eskalator, saya merenungkan kata-kata itu. Apakah benar itu akan terjadi?

Menanjak ke lanti 3, perasaan saya menuju pada rasa percaya. Gereja tempat merayakan misa ini benar-benar ada. Dan, tepat saja, gereja itu ada. Berupa sebuah ruang kecil di lantai itu untuk berdoa. Jika penuh isinya bisa 500 orang. Dan, sore ini lebih dari 500 umat yang hadir. Di luar gereja, masih ada umat yang duduk berjejer di kursi.

Tidak seperti saya yang heran, orang Filipina sudah biasa dengan hal ini. Mungkin karena mayoritas Katolik, di sini mol pun bisa jadi tempat ibadah.

Menurut teman saya, di 3 mol yang letaknya dekat dengan rumah kami, ada 3 kapel untuk merayakan misa. Rupanya bukan untuk orang Katolik saja. Di salah satu mol—jelas teman saya—ada gereja untuk orang Protestan. Ini berarti tempat berdoa ini tidak ekslusif untuk orang Katolik.

Dan sore ini, kali pertama bagi saya merayakan misa di dalam mol. Rasanya memang seperti berdoa dalam gedung gereja. Ada umat, ada gambar 14 perhentian jalan salib, ada anggota kor, ada Salib, altar, dan mimbar.

Kebijakan untuk menyediakan satu ruangan doa di mol rupanya muncul sejak lama. Di belakang ini, ada bunga-bunga bisnis. Orang Filipina suka kunjungi mol. Dalam mol, mereka bisa berbelanja sekaligus menghindari sengatnya matahari di luar.

Alasan ini yang jadi pertimbangan pemilik mol. Daripada ke gereja dulu lalu ke mol, lebih baik hadirkan gereja di mol. Selesai misa, mereka bisa keliling dan belanja di mol. Inilah yang terjadi sore ini juga.

Berdoa memang bisa dibuat di mana-mana seperti Yesus mengatakan, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka,” (Mat 18: 20).
Kapan kita akan berkumpul dalam nama-Nya?

Quezon City, 4/12/17

Gordi SX

KEINDAHAN DARI IMAN KITA

FOTO: pixabayfree

Tidak cukup mengajarkan keindahan dari iman, tetapi mesti menunjukkannya dengan perbuatan sehingga pengaruhnya bisa menembus pikiran dan perbuatan Anda.

G.M. Conforti, 9.2.1903

[Terjemahan bebas dari Calendario Saveriano 2016-17 oleh GA-sx]

TIGA MISI YESUS MENURUT MATIUS
 
FOTO: pixabayfree
Tercatat 3 misi Yesus dalam Injil Matius Bab 4 dan Bab 9. Ketiganya bisa ditemukan dalam kutipan 4:23 dan 9:35. Ini berarti mesti dibaca secara keseluruhan dari bab 4 ke bab 9.

Untuk memahami misi Yesus memang tidak gampang. Tidak cukup membaca satu perikop. Mesti dilihat perikop sebelum dan sesudahnya. Dalam 3 misi ini pun, pembaca hendaknya melihat bab 4,5,6,7,8, dan 9. Misi ini pada akhirnya akan ditemukan dalam kegiatan membaca ini. Maka, membaca adalah misi.

Dalam 2 kutipan di atas terdapat rumusan yang sama. Bisa dirangkum demikian: Yesus berkeliling di Galilea dan semua kota dan desa, mengajar di rumah ibadat, memberitakan Injil Kerajaan Allah, dan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.

Inilah ketiga misi Yesus. Misi ini diwartakan kepada setiap orang. Itulah sebabnya, inisiatif awal datang dari Yesus yang berkeliling. Berkeliling bukan tanpa tujuan tetapi dengan misi yang jelas.

BA, 10/10/2017
Gordi SX




GAMBARAN MANUSIA MENURUT INJIL
 
FOTO: pixabayfree
Seperti apakah gambaran manusia menurut Injil? Pertanyaan ini mesti digali dan ditemukan jawabannya dalam Injil, pedoman hidup orang Kristiani.

Tema manusia menurut Injil ini menjadi pergelutan selama retret persiapan tahbisan saya. Pastor Daniel SX membantu saya menemukan jawabannya dalam Injil Matius Bab 8-10.

Pastor Daniel mencintai Injil Matius dan menghabiskan banyak waktunya untuk membaca komentar tentang Injil ini. Dari sini, ia beranjak ke injil lainnya.

“Saya mulai dengan Injil Matius,” komentarnya tentang kebiasaan membaca pesan Injil.
“Memahami Matius membantu saya untuk berbuat serupa dengan Injil lainnya,” tegasnya.

Soal Injil memang bukan hal baru bagi Pastor yang lama berkarya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat ini.

“Saya harus terbiasa untuk membaca komentar Kitab Suci. Sebab, saat berada jauh di hutan Mentawai, saya tidak mungkin membawa buku-buku komentar,” jelasnya dengan penuh percaya diri.

Kebiasaan inilah yang ia bawa juga saat bertugas di Jakarta. Di sana, ia memberikan beberapa kursus Injil Sinoptik bersama umat Paroki St Matius Bintaro. Saat di Pranovisiat dan Novisiat (2006-2008), saya juga ikut kursus ini. Saat itu, Injil Markus sedang ramai dibahas. Hanya beberapa bab saja sesuai kemampuan umat.

Titik pusatnya saat itu memang bukan soal menginterpretasikan Injil tetapi mencari pesan Injil secara bersama-sama. Dalam kebersamaan, ada tindakan berbagi. Jadi, berbagi dalam semangat Injil.

Menurut Pastor Daniel, ketiga Bab dari Matius ini akan dibaca dengan trik tertentu. Bagian ini berisi kumpulan mukjizat dan wejangan. Di antara beberapa mujizat, ada wejangan atau penjelasan atau selipan tentang kemuridan.

Selipan ini bisa dimengerti jika perikop sebelum dan sesudahnya dibaca dengan saksama. Maka, dari sini lahir skema atau trik membaca. Dalam bab 8 misalnya, ada 3 mukjizat. Setelahnya, ada selipan penjelasan tentang kemuridan Yesus. Kemudian, lanjut dengan 4 mukjizat berikutnya yang diikuti dengan penjelasan soal kemuridan lagi. Skema ini berkembang terus menerus seperti ini.

Dari sini, gambaran manusia menurut Injil akan terlihat. Gambaran ini kiranya akan berguna di tanah misi. Boleh dibilang, gambaran ini akan menentukan cara pendekatan terhadap berbagai realitas manusia yang ada.

Dalam bagian akhir pengantar ini, ada kata-kata menarik dari Pastor Daniel. Katanya, “Hidup seorang Kristiani bukanlah datar-datar saja tetapi mesti bercukacita.”

Maka, kalau datar-datar saja, boleh jadi tidak ada sukacita di sana. Saya cenderung datar atau ada sukacitanya juga?

BA, 10/10/2017
Gordi SX



FLAMBOYAN YANG INGKAR JANJI


Salah satu ciri khas bunga Flamboyan adalah bunganya mencolok. Ciri ini pas dengan namanya ‘Flamboyan’. Kata Flamboyan berasal dari Bahasa Prancis, ‘Flamboyant’ yang artinya menyala atau mencolok.

Flamboyan menjadi nama salah satu stasi di Paroki St Paulus, Pekanbaru. Nama pelindungnya adalah Santo Fransiskus Xaverius. Stasi ini tak jauh dari ingar bingar Pasar Flamboyan. Pasar di jalan lintasan Sumatra. Karena di lintasan, pasar ini selalu ramai.

Saat datang, kami melewati pasar ini. Di belakang pasar inilah ada kompleks gereja stasi. Letaknya jauh dari keramaian pasar. Agak masuk, di kawasan perkebunan. Cocok untuk tempat doa. Meski di dalam, letaknya cukup mencolok. Dari bahu jalan amat jelas. Bagian depan gereja agak tinggi. Ada motif khas yang amat menarik. Entah motif dari mana.


Sore ini (Selasa 26 September), Pasar Flamboyan juga ramai. Keramaian ini juga lah yang kami bayangkan saat berencana datang untuk animasi di stasi ini. Dan, memang benar-benar ramai. Hanya saja, keramaian itu hanya terbatas di Pasar. Keramaian itu tidak muncul di gereja.

Wajah mencolok gereja Flamboyan rupanya tidak seindah isinya. Ada Ketua Stasi dan para pengurus lainnya tetapi umat lain amat kurang. Yang ikut animasi pun amat sedikit. Hanya ada sekelompok anak-anak TK sampai kelas 3 SD. Suara mereka merdu saat bernyanyi. Tetapi redup ketika kami bertanya. Berarti, mereka sama sekali kurang paham dengan bahan yang kami siapkan.

Umur mereka terlalu kecil. Pemahaman juga masih terbatas. Mereka juga tampaknya agak sulit keluar dari keterbatasan itu. Mereka seolah-olah dikungkung oleh guru bina iman yang menemani mereka. Guru itu membawa ranting pohon kering, entah untuk apa. Sore ini, ranting itu juga melekat di tangannya.

Kami yakin, ranting itu hanya sebagai ancaman saja. Ancaman ini tak disangka justru membuat anak-anak merasa takut. Lebih takut lagi karena anak-anak akhirnya tidak mendengar kami yang sedang bicara. Guru bina iman itu justru mendominasi perhatian. Dia—dengan modal ranting pohon di tangan—mencoba menarik perhatian anak-anak. Alih-alih mengarahkan anak untuk mendengarkan kami, Ibu itu justru membuat penjelasan menurut versinya.

Pemandangan ini memang sedikit mengganggu apalagi ada orang tua yang mempunyai banyak pertanyaan. Beruntunglah, tim animasi dengan sabar dan bijaksana mengatasi situasi ini. Kami tetap menjawab pertanyaan orang tua dan mengabaikan anak-anak yang asyik sendiri dengan seorang guru pembina mereka.

Tampak seperti sebuah rumah berwajah ganda. Sebelah kiri ada orang tua yang serius menyimak pemaparan dan sebelah kanan ada anak-anak yang asyik dengan kegiatan mereka. Flamboyan dengan pemandangan ini tidak lagi mencolok. Kalau mau mencolok, hanya satu yang muncul. Kalau dua, sisi mencoloknya terpecah jadi dua. Persis seperti Flamboyan sore ini.

Flamboyan versi pasar ramai dengan kebiasaannya. Flamboyan versi gereja bukan saja ramai dengan anak-anaknya tetapi juga dengan kelompoknya sendiri. Keramaian yang dirindukan sebelumnya adalah keramaian yang mencolok seperti Flamboyan yang bunganya mencolok. Andai keramaian itu menjadi Flamboyan yang benar-benar mencolok, Flamboyan itu tidak akan menginkar janji.

Semoga Flamboyan tetap mekar dan menampilkan bunga merahnya di Stasi ini. Kelak, umat di sini menjadi Flamboyan yang menarik perhatian dari sesama. Flamboyan itu memang belum tampak hari ini. Flamboyan yang dominan justru di pasar sebab hari ini adalah hari pasar. Demikian bisikan seorang pengurus stasi. Berarti, ada kesalahan dalam memilih tanggal dan jam-nya. Boleh jadi akan mencolok jika memilih hari lainnya.

Selalu ada harapan untuk Flamboyan.

BA, 9/10/2017
Gordi 





BERSEMBUNYI DI BALIK BERINGIN


Namanya unik: Stasi Santa Agnes, Muara Beringin. Padahal, terletak di tengah perkebunan Sawit. Entah mengapa, Muara Beringin begitu melekat dengan nama daerah ini.

Pohon Beringin sama sekali tidak menjadi ciri khas Stasi ini. Daripada Beringin, Pohon Sawitlah yang justru mendominasi. Memang, daerah Riau identik dengan daerah Sawit. Bersama Sawit, daerah ini juga menjadi ladang Karet. Dua komoditas ini menjadi andalan Provinsi Riau.

Nama Muara Beringin boleh jadi diambil dari nama perkampungan atau pedesaan ini. Entah di mana Pohon Beringinnya. Yang jelas, gedung Gereja atau Kapela Stasi ini berada di tengah Sawit.

Untuk menjangkauinya pun agak sulit. Sulit bukan karena jauh dan jalannya rusak tetapi letaknya yang tersembunyi. Kami—tim animasi—pun mesti mengajak seorang OMK dari Palas untuk menunjukkan jalan. Jadi, kami berangkat ke Palas dulu sebelum menuju Muara Beringin.


Kami pun meletakkan harapan kami padanya. Rupanya, ini tidak cukup. Dia sejak awal memang sudah mewanti-wanti bahwa, dia hanya tahu jalan masuk. Sedangkan, ke dalamnya, masih harus bertanya-tanya. Dan meski bertanya, kami belum menemukan titik terang. Bertanya-tanya yang kesekian baru membawa harapan.

Harapan memang bukan sebuah usaha instan. Harapan membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Jika dua hal ini dilalui, harapan dengan sendirinya akan muncul. Dengan kata lain, harapan membutuhkan waktu dan proses panjang.

Setelah harapan pertama tercapai, kami pun menyusuri jalan yang ditunjukkan. Jalannya tampak jarang dilalui mobil. Jalan itu pun hanya membawa kami menuju gereja Muara Beringin dan beberapa rumah di belakang gereja. Jangan heran jika jalannya masih berupa rerumputan. Ada bekas jalan tapi tidak jelas pembatasnya. Sopir mesti meraba-raba dan mengira-ngira batas luar yang bisa dilalui. Jika tidak, boleh jadi ban mobil akan tertanam di rawa-rawa atau keluar dari jalur jalan.



Dengan kelincahan dan kebiasaan, sopir bisa melaksanakan tugasnya sampai tujuan (Kamis, 28 September). Lega rasanya bisa tiba di tempat ini. Dengan lega, tim animasi turun dari mobil dan berjumpa dengan Ketua Stasi yang sedang menunggu di depan gereja.

Gerejanya kecil, tetapi semangat umat luar biasa besar. Saat tiba, tampak hanya ketua stasi dan beberapa umat lain. Dia juga memberitahukan bahwa umat lain akan berdatangan. Jika ada kesabaran untuk menunggu, hasilnya akan memuaskan. Dan, benar yang ia katakan. Kami sabar menunggu dan bahkan memperlambat 1 jam jadwal pertemuan. Dari pukul 16.00 ke 17.00.

Hasilnya menjadi berlipat ganda karena kami juga disuguhi makan malam bersama. Sebelum sampai pada acara ini, kami beranimasi. Ada banyak pertanyaan menarik setelah kami mempresentasikan kegiatan kami. Durasi tanya jawab pun diperpanjang karena awalnya agak sulit memunculkan pertanyaan. Setelah muncul yang pertama, yang berikutnya berurutan dan banyak sekali. Motivasi lain juga adalah agar selesainya pas pada jadwal makan malam.

Makan malam ini rupanya bukan hadiah terakhir. Masih ada buah-buahan sebagai oleh-oleh. Stasi ini rupanya menjadi satu dari beberapa stasi yang selalu menyumbangkan buah-buahan setiap kali kunjungan pastoral. Buah-buahan itu kami terima dengan senang hati. Kami memang senang karena disuguhi makan malam seperti ini.


Satu dari tim animasi berbisik bahwa, sehari sebelumnya ketua stasi sudah meminta untuk berhenti setelah kegiatan animasi. Ini berarti, makan malam ini direncanakan dengan matang. Padahal, kami sebenarnya datang untuk beranimasi saja. Penerimaan ini tentu menjadi penambah semangat baru bagi kami tim animasi dalam kegiatan mendatang.

Terima kasih untuk Ketua Stasi yang menjadi penggerak umat di Muara Beringin. Tawa dan canda kalian saya bawa dalam perjalanan selanjutnya. Salam jaya untuk Rumah Tuhan Muara Beringin.


BA, 9/10/2017
Gordi 





INGIN SELALU BERSAMAMU




Meski tak diinginkan, perpisahan itu mesti terjadi. Dalam hal ini, perasaan dan fakta berjalan berlainan. Masing-masing sesuai jalurnya. Boleh jadi tak akan bertemu pada titik mana pun.

Perpisahan itulah yang mewarnai animasi terakhir ini. Stasi Fransiskus Asisi, Indah Kiat menjadi pelabuhan terakhir dari rangkaian panjang dalam 2 bulan ini. Bagi kami, tim animasi, kegiatan sore ini juga menjadi perpisahan. Berikutnya, tidak ada lagi kebersamaan untuk beranimasi.

Perpisahan yang sama juga menjadi warna tersendiri bagi Stasi Indah Kiat. Sebentar lagi, stasi ini akan berpisah dengan Paroki St Paulus Pekanbaru dan bergabung dengan Stasi yang baru di Kota Batak. Indah Kiat—dalam hal ini—menjadi pelabuhan terakhir.

Meski terakhir, kegiatan sore ini (Jumat, 29 September) tetap diwarnai semangat yang menggelora. Mulai dari generator yang menjadi kekhawatiran awal sampai pada makan malam di Susteran FCJM, Indah Kiat. Tanpa listrik, kegiatan animasi ini menjadi ‘dingin’. Kami membutuhkan listrik untuk komputer dan proyektor.


Salah satu Pengurus Stasi

Syukurlah, kekhawatiran kami berubah menjadi kegembiraan. Dalam sekejab mata, seorang umat merakit sambungan listrik. Dari sini, aliran listrik bisa menjadi penyedia tenaga bagi komputer kami. Ini sungguh luar biasa. Gereja ini masih baru dan sambungan listrik belum tersusun rapi.

Dengan semangat awal ini, kami membangkitkan keinginan anak-anak, remaja, dan orang tua yang hadir sore hari ini. Meski sedikit, mereka tetap memberikan banyak pertanyaan setelah mengikuti presentasi tim animasi berupa slide power point dan video singkat. Pertanyaan ini bermunculan setelah penanya pertama mendapat hadiah dari tim animasi. Hadiah seperti ini memang kadang-kadang berguna untuk membangkitkan semangat bertanya.

Meski demikian, hadiah bukanlah hal utama. Yang utama adalah pemahaman akan bahan yang kami sampaikan. Orang tua yang hadir kiranya paham. Meski paham, mereka enggan bertanya. Atau boleh jadi, mereka sengaja memberikan kesempatan kepada anak-anak dan remaja untuk bertanya.

Indah Kiat tak ingin berpisah namun kami harus berpisah. Sebelum berpisah, kami membuat foto bersama. Setelahnya, ada mamiri (makan-minum ringan). Gara-gara mamiri ini, waktu pun terus berputar sampai menjelang kegelapan.

Sebelum gelap, Sr Leoni, FCJM mengajak kami untuk mampir di Susteran FCJM Indah Kiat. Di sinilah, kami berenam (Pastor Lius SX, Sr Leoni FCJM, OMK Clara dan 2 dari Stasi Rumbai, dan Diakon Gordi SX) makan malam bersama ketiga Suster FCJM di Susteran Indah Kiat.

Bumbu makan malam pun tidak main-main. Ada mie rebus yang disiapkan dalam sekejab. Mie ini memang cocok untuk hidangan instan seperti ini. Kami juga singgah mendadak di sini sehingga penerimaannya pun mendadak. Bumbu ini masih ditambah dengan bumbu siaran sepak bola lokal.

Siaran inilah yang membuat kami menjadi 2 kelompok. Kelompok depan TV dan kelompok meja makan. Setelah bersatu dalam doa sebelum makan, kami mengambil makanan dan duduk di dua kelompok berbeda. Yang hobi sepak bola langsung di depan TV. Yang hobi bercerita langsung duduk di tempat makan.



Setelah perut kenyang dengan 2 bumbu ini, kami pulang ke Pekanbaru. Perjalanan makin lancar meski dalam kegelapan yang makin gelap. Beruntunglah sang sopir sudah terbiasa melewati beberapa tikungan tajam di sekitar Indah Kiat sebelum menyusuri jalanan lurus selanjutnya.

Hidup memang berliku, penuh tantangan namun ada kegembiraan, ada kebahagiaan setelah semua rencana terpenuhi. Betapa bahagianya hati kami tim animasi setelah kegiatan di 25 stasi berakhir. Terima kasih untuk tim animasi yang menggerakkan kegiatan animasi ini.

BA, 9/10/2017
Gordi 




Powered by Blogger.