Halloween party ideas 2015


Satu model ruang baca, gambar: google
Pukul 12 tepat. Siang itu, suasana ruang baca Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) sepi. Empat pengunjung tampak diam, tidak ribut. Membaca, membuat catatan, mengedit tulisan, dan membuka internet.


Saatnya shalat dzuhur. Penjaga ruang baca keluar sebentar. Saya hendak pulang ke rumah. Tanda waktu di atas bagi saya menjadi pembatas kunjungan ke ruang baca. Kunjungan siang ini terjadi karena tidak ada kuliah.

Menuju tempat parkiran sepeda. Inilah sarana trasnportasi para mahasiswa. Siang itu, suasans parkiran sepi. Tampak sepeda-sepeda mengisi sebagian tempat itu. Sepeda tersebut adalah sepeda para mahasiswa yang sedang kuliah. Sebagiannya kosong. Hanya beberapa mata kuliah yang dijadwalkan pada jam kuliah ketiga (11-12.30).

Di sebelah pagar tempat parkiran tampak dua orang. Seorang adalah tukang sepatu. Dia biasa nongkrong di situ. Menunggu mahasiswa yang memanfatkan jasanya memperbaiki sepatu. Dia duduk di bangku panjang yang ditempatkan di dekat pagar.

Seorang lagi adalah tukang syomai. Dia tampak tertidur di bangku panjang. Pengunjung sepi karena mahasiswa sedang kuliah. Selain itu, sebagian besar mahasiswi/a sudah kembali ke rumah dan kosan. Jualan seperti ini amat  laku pada jam istirahat. Jam jeda antar-mata kuliah bagi mahasiswi/a.

Sementara itu, seorang petugas satpam sedang duduk di kantornya. Dia biasa memerhatikan setiap dosen dan mahasiswi/a yang keluar-masuk kampus. Penjagaan semakin ketat apalagi dengan maraknya teror bom di sejumlah tempat di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor. Sesekali dia keluar membuka pintu gerbang ketika ada mobil yang masuk atau keluar.

Saya keluar dengan sepeda. Melalui jalan Cempaka Putih Indah. Melewati komplek perumahan. Di sebelah kiri jalan terdapat 6 rumah. sedangkan sisi kana jalan, terdapat gedung sekolah Melania dan salah satu gedung kampus.

Selanjutnya, saya melalui Jalan Cempaka Putih 26. Jalan yang selalu ramai karena dilalui kendaraan umum dan kendaraan angkutan barang. Namun, siang ini tampak lenggang. Kendaraan yang lewat amat sedikit.

Selokan di sebelah kanan jalan masih bersih. Sayangnya, selokan ini menyebarkan bau tak sedap. Selain itu, kalau hujan sekitar 2 jam, selokan ini penuh. Kadang-kadang meluap sehingga menyebabkan kemacetan.

Generasi penerus, gambar:google
Sementara di sebelah kanan jalan suasana gelanggang olahraga Arcici tampak sepi. Di sinilah para atlet muda, seusia SD/SMP mengasah kemampuan. Dua jam lagi (pukul 14.00), lapangan sepak bola bagian depan ramai dengan pemain bola dan penonton. Mereka beratraksi di siang bolong.

Di salah satu bagian jalan, saya memerhatikan siswi/a SDN Cempaka Putih dan SMPN 137 Jakarta. Mereka sedang keluar. Waktunya untuk pulang ke rumah. Sebagian dari mereka berada di jalan. Ada yang berdiri sedang menunggu angkuatan dan mobil  jemputan. Ada yang sedang asyik bercerita. Ada pula yang bermain-main.

Mereka menguasai sebagian jalan. Kendaraan yang lewat menggunakan sebagian jalan. Pemandangan seprti ini kerap terjadi ketika jam keluar sekolah. Dua sekolah yang berdiri di pinggir jalan ini mendidik banyak murid. Ada beberapa unit gedung berbentuk huruf U. Tiap unit memiliki tigan lantai.

Ada rasa bangga ketika melihat jumlah anak sekolah seperti itu. Ruang kelas terisi dengan manusia yang siap dibentuk. Merekalah generasi penerus bangsa Indonesia. Harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik ada di pundak mereka.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri juga fakta anak dan remaja yang putus sekolah. Di Jakarta jumlah mereka banyak. Data yang dihimpun berbagai instansi terkait kadang-kadang berbeda. Ini menunjukkan mereka belum terdata semua. Singkatnya masih banyak anak yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan.

Ada anak jalanan, anak yatim piatu yang tidak diurus, anak yang memang tidak mau bersekolah, anak yang mampu secara akademis tetapi lemah secara ekonomi, dan sebagainya.

Jalan berikutnya melalui komplek perumahan Cempaka Putih Barat. Di sini terdapat banyak pohon rindang beserta bunga hias. Sebagian besar pohon ini terdapat di pinggir jalan. Ada pula yang ditanam di sudut lapangan.

Pada siang hari, sekitar jam 12 sampai jam 2 siang, banyak kendaraan berteduh. Komplek ini memang banyak menyediakan tempat teduh. Sebagian besar tempat teduh ada di pinggir jalan. Pengendara tergoda untuk memarkir kendaraan. Menikmati udara segar di bawah terik matahari yang menyengat.

Selain itu, kesejukan juga terlihat dalam pagar rumah. Ada beberapa rumah yang memiliki lahan tempat bertumbuhnya pohon rindang. Di sinilah tempat nongkrong yang aman di siang hari. Kadang-kadang pemilik rumah berkumpul sekeluarga di bawah pohon sambil menikmati minuman segar, es kelapa muda, dan minuman segar sejenisnya.

Selain pohon rindang, komplek ini terkenal dengan tanaman hias. Pot bunga menyebar di sepanjang jalan. Ada petugas khusus yang merawat tanaman ini. Beberapa penduduk juga sering merawat. Tanaman ini rupanya bukan milik petugas kebersihan, petugas kelurahan, petugas RT dan aparat setempat. Tanaman ini milik semua penduduk. Sense of belonging ini menjadi pendorong untuk merawat tanaman umum seperti ini.

Ada satu masjid besar yang terletak di pinggir jalan. Masjid Jami Al-Falah. Di sinilah sebagian besar penduduk mengadakan ibadah Jumatan. Masjid ini juga menjadi tempat pembinaan anak-anak usia dini. Hampir setiap pagi ada kelompok anak-anak  yang menggunakannya. Kelompok menari, membaca, bermain, dan sebagainya.

Lima belas menit berlalu. Sepeda saya masuk di garasi. Tempat garasi hampir terisi semua. Sepeda lain rupanya sudah diparkir lebih dulu. Sebagian besar penghuni rumah sudah kembali dari kampus.

Perjalanan siang ini cukup melelahkan. Mengayuh sepeda di bawah terik matahari. Menghabiskan banyak kalori. Tenaga yang dikeluarkan mesti diganti dengan penambahan tenaga baru. Cairan tubuh mesti diisi dengan cairan tubuh.

Perjalanan mencapai garis akhir. Segenap impian lenyap bersama tenaga yang dikeluarkan. Satu yang tidak boleh lupa, hidup tidak berakhir hari ini. Biarlah kesusahan hari ini cukup untuk hari ini. Kegembiraan hari esok sedang menanti. Meski kita tak tahu, kita mesti tetap berharap.
Cempaka Putih, 16 Maret 2011
Gordy Afri

Gambar: Google images
Senyum dan keramahan merupakan dua hal yang mahal. Meski mahal sebagian besar manusia mendambakannya. Hampir setiap orang ingin diperlakukan dengan ramah dan diterima dengan senyum manis. Sayangnya tidak semua orang mampu memperlakukan sesamanya dengan senyum dan ramah. Memang tidak mudah. Makanya dua hal ini merupakan “barang” mahal.

Untuk kesekian kalinya penulis bertemu dengan pak tua yang menjadi tukang parkir di gereja Pulo Mas. Sebut saja namanya Pak Ujang. Usianya kira-kira mendekati 60-an tahun. Fisiknya tampak kuat. Kulit tubuhnya tidak lekang diterpa sinar matahari. Dari raut wajahnya, tampak kulit mulai keriput. Pakar kesehatan menemukan bahwa kulit manusia pada usia tua akan keriput. Usia mendekati 60 tahun termasuk usia tua. Penemuan ini berlaku untuk Pak Ujang. Meski demikian, semangatnya menjadi tukang parkir tetap tinggi.

Tiap kali mengikuti misa Mingguan di Pulo Mas, penulis bertemu Pak Ujang. Sebagian besar umat bertemu dengannya. Dia duduk atau berdiri di gerbang masuk gereja. Dia biasanya mengurus bagian parkiran kendaraan roda dua di halaman gereja. Bukan hanya untuk misa hari Minggu. Misa harian juga. Penulis termasuk umat yang sering—paling kurang sekali sebulan—mengikuti misa hari Kamis pagi di sana. Pada saat itu juga penulis bertemu Pak Ujang. Tugas hariannya di situ. Dia setia meski hanya beberapa sepeda motor dan mobil yang diurus pada pagi itu.

Satu kebiasaan yang selalu muncul dari Pak Ujang adalah memberi senyum dan keramahan. Seperti yang terjadi hari Minggu, 6 Maret. Dia duduk di kursi plastik yang terletak di samping gerbang. Dia tersenyum ketika penulis menaikkan kaca helem. Dia datang ke dekat sepeda motor. Dengan senyum khas-nya, dia menyapa dengan ramah, “Selamat sore, apa kabar?” Dia lalu memberikan kartu parkiran. Setelahnya,
dia kembali ke kursinya sambil menunggu sepeda motor lain masuk. Untuk kesekian kalinya penulis melihat senyum khas dan sapaan ramah Pak Ujang.

Penulis masuk ke gereja sambil berpikir tentang senyum dan sapaan ramah Pak Ujang. Senyum dan ramah memang mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan. Orang yang dalam keadaan marah dan emosional biasanya enggan dan tidak mampu untuk senyum dan ramah. Senyum dan ramah muncul dari kedalaman hati orang yang bahagia. Senyum dan ramah merupakan ungkapan kebahagian. Senyum dan ramah tidak muncul begitu saja tetapi ada latar belakangnya. 

Mengapa sulit untuk senyum dan marah? Senyum dan marah memang butuh latihan. Orang yang hidup dalam suasana bahagia akan mudah menciptakan senyum dan keramahan. Lama-lama senyum dan keramahan tampak sebagai reaksi asli karena keadaan dan bukan diciptakan untuk tujuan tertentu. Bukan pula dibuat-buat dan dipaksakan. Sebaliknya, senyum dan keramahan akan sulit ditemukan dalam diri orang yang selama hidupnya tampak kaku. Kalau demikian apakah senyum dan marah hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu saja?

Hampir semua orang bisa senyum dan ramah (kecuali yang cacat fisik tertentu sehingga sulit tersenyum). Ya, semua orang. Mulai dari Rudi Hartono dan Michael Hartono (orang terkaya urutan pertama dan kedua di Indonesia versi Forbes 2011) sampai pengemis yang mewakili kaum miskin. Tukang parkir seperti Pak Ujang bisa tersenyum dan berlaku ramah tiap kali bertemu umat. Dia tidak sulit untuk senyum dan ramah. Baginya, kedua hal ini bukan lagi barang mahal tetapi barang murah. Tiap hari ia berlaku demikian. Tidak semua pemilik sepeda motor dan mobil memberi uang sebagai balas jasa kepada Pak Ujang. Pak Ujang bukanlah tukang parkir di ITC Cempaka Mas, Rumah Sakit St. Carolus, atau Taman Monas yang setiap hari keluar-masuk ratusan sepeda motor dan dibayar tetap dengan biaya Rp 1000 tiap jam. Pak Ujang hanyalah tukang parkir yang dibayar tidak tentu. Meski demikian, Pak Ujang tetap saja tersenyum dan ramah ketika menerima kartu parkiran. Dia selalu mengucapkan terima kasih. Tak peduli entah ia menerima kartu dengan uang atau kartu tanpa uang. Senyum dan ramah memang mengakar kuat dalam dirinya. 

Senyum dan ramah bisa mengakar kuat dalam pribadi orang. Dibutuhkan latihan dan kesabaran. Senyum dan ramah akan mudah dikalahkan oleh arus emosional yang melanda pribadi manusia. Namun, jika ada usaha dan kesabaran, senyum dan ramah tetap terpantul. Pengendalian diri menjadi kunci. Pengendalian diri yang baik akan tampak dalam kemampuan untuk mengelola setiap perasaan yang dialami. Pengendalian diri menjadi jaminan apakah senyum dan ramah bisa bertahan jika diterpa emosional dan perasaan lainnya. Jika kuat, senyum dan ramah akan terpancar. Jika tidak, senyum dan ramah akan menjauh. 

Pak Ujang yang melakukan pekerjaan sederhana bisa senyum dan ramah. Ia manusia sama seperti kita yang lain. Bekerja sesuai profesinya. Senyum dan ramah melampaui sekat profesi dan suasana. Dalam setiap pekerjaan ada nada-nada senyum dan ramah. Menjadi mahal jika kita tidak bisa menangkap suasana senyum dan ramah. Sebab, keduanya akan selalu ada. Namun, keadaanya akan selalu terancam. Senyum dan ramah bergantung pada suasana hati. Kalau bad-mood senyum dan ramah akan menjauh. Sebaliknya, kalau good-mood senyum dan ramah mendekat dan dengan mudah keluar dari diri kita. Akhirnya, di mana tubuhmu (pekerjaanmu) ada di situ hatimu (senyum dan ramah-mu) ada.

Cempaka Putih, 12 Maret  2011

Gordy Afri

                 



Jarum jam menununjukkan pukul 5.45 p.m. Para pegawai kantor siap pulang ke rumah. Pekerjaan di awal pekan minggu ini diakhiri.
A
da yang menggunakan angkutan umum, mobil pribadi, dan sepeda motor. Semuanya ramai-ramai menggunakan jalan. Sementara itu suasana jalan padat dengan kendaraan. Laju kendaraan bergeser sekitar 1-2 meter per 5 menit. *Gambar: google images
 

Begitulah situasi Jalan Salemba Raya pada Senin, 28 Februari lalu. Penulis termasuk salah satu pengendara yang terjebak kemacetan. Kemacetan bukan hal baru bagi warga Jakarta. Sebagian besar warga sudah tahu dan pernah mengalami masalah ini. Hampir tidak ada bagian jalan yang kosong. Semuanya dipadati kendaraan, mobil, sepeda motor, dan bajai. Bahkan sebagian sepeda motor naik di trotoar. Ini terjadi karena badan jalan tak mampu menampung kendaraan yang ada. Selain itu pengendara sudah tidak sabar lagi berlama-lama di tengah kemacetan.

Selain di jalan Salemba, suasana serupa terjadi di jalan Salemba Tengah, berlanjut ke Jalan Percetakan Negara dan Jalan Rawasari. Keempat jalan ini berhubungan. Kendaraan dari Jalan Salemba menembus Salemba Tangah dan Rawasari. Pemandangan serupa juga terjadi di Jalan Gunung Sahari hingga simpang lima Senen. Bisa jadi di beberapa tempat lain juga sama. Semuanya macet. Hari ini hari Senin, hari awal pekan. Hari di mana sebagian besar pegawai kantor masuk. Tidak heran kalau keramaian di kantor berpindah di jalan. 

Ada anggapan bahwa sepeda motor menjadi penyebab kemacetan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah sepeda motor yang cukup banyak. Berdasarkan data kepolisian hingga tahun 2010 (akhir Juli), jumlah sepeda motor di Jakarta sudah mencapai 8 Juta unit. Jumlah ini diperkirakan bertambah 900 setiap hari (data dari maiwanews.com). Namun, tentu ada juga penyebab lain. Bis yang “mengetem”, menunggu lama, di sembarang tempat menyebabkan kendaraan lain ikut berhenti. Masalah lain yakni jalan yang tergenang air. Sebagian kendaraan menghindar atau memilih berhenti jika berhadapan dengan genangan air. Ada juga tempat umum yang menggunakan sebagian jalan sebagai parkiran. Ini semua memperlambat arus kendaran.

Kemacetan membawa masalah baru bagi warga Jakarta. Warga ibu kota Jakarta diperkirakan menderita kerugian sebesar Rp. 28 Triliun per tahun akibat kemacetan (Antara News). Kerugian bahan bakar diperkirakan Rp. 10,7 trilun (kerugian terbesar). Ini terjadi karena banyaknya bahan bakar yang terbuang saat kendaraan terjebak macet. Kerugian kedua yakni waktu produktif yang diperkirakan mencapai Rp. 9,7 triliun. Kerugian ketiga dalam bidang kesehatan yakni pengendara yang stres dan terkena polutan. Kerugian ini diperkirakan sebesar Rp. 5,8 triliun. Kerugian terakhir dialami oleh pemilik angkutan misalnya berkurangnya jam angkut. Kerugian ini diperkirakan sebesar Rp. 1,9 triliun. 

Angka di atas besar. Untuk mencapai angka itu seorang pekerja mesti berjuang sekian lama. Angka di atas senilai dengan 100 ribu rumah elit di Jakarta yang harganya Rp 250 juta ke atas. Bayangkan kalau biaya beli 10 rumah itu dibuang dalam waktu setahun. Padahal mencarinya amat sulit tetapi menghabiskannya begitu mudah. Dengan terjebak dalam kemacetan. Sebagian besar di antara pengguna jalan tidak tahu kalau mereka rugi sebesar itu karena begitu lama antri di jalan.

Angka itu bisa diperkecil jika pengguna jalan dan pemerintah memiliki komitmen untuk mencari solusi. Rakyat tidak ingin biaya sebesar itu dibuang begitu saja. Rakyat tidak ingin duduk berlama-lama di angkutan kota, berdiri di jalan dan halte. Rakyat ingin semuanya lancar, cepat sampai di tempat tujuan. Pemerintah dan rakyat hendaknya duduk bersama memecahkan persoalan kemacetan. Rakyat sebagai pengguna jalan ingin nyaman berlalu lintas. Pemerintah semestinya menyediakan fasilitas publik bagi warganya. Jalan merupakan fasilitas publik yang dinikmati semua warga. Rakyat akan puas jika pemerintah memperbaiki jalan yang ada, menertibkan kendaraan yang diparkir di jalan, menindak tegas pengendara yang melanggar.

Sebaliknya rakyat harus berkomitmen menjaga fasilitas publik yang ada. Menjaga jalan umum, bersama-sama memperbaiki jika ada yang rusak. Yang perlu ditekankan juga adalah ketertiban dalam berlalu lintas. Tertib berlalu lintas merupakan langkah awal membantu polisi. Polisi bisa mengendalikan kelancaran kendaraan jika pengguna jalan ikut mendukungnya. Tanpa kerja sama keduanya, jalanan tetap macet. Dengan ini, kecelakaan di jalan dan kerugian akibat macet bisa diperkecil. Mari kita menjadi pengguna jalan yang bijak di tengah kemacetan.
Cempaka Putih, 5 Maret 2011
Gordy Afri


Seorang ibu tampak ketakutan. Ia tidak berbicara dengan teman di sampingnya. Tiap kali ada penumpang baru masuk, dia selalu melihat ke kiri dan ke kanan, mengenali wajah penumpang lain. Ia tetap diam hingga tiba di tempat tujuannya. Begitulah kondisi di bis kota, Metromini, beberapa waktu lalu.*Gambar: google images

Kebanyakan penumpang angkutan umum di Jakarta memilih untuk diam. Mereka diam ketika berhadapan dengan orang baru. Budaya inisiatif untuk menyapa hilang. Mereka akan sibuk dengan keasyikannya sendiri ketika berada di dalam mobil atau kereta. Di dalam Metromini, saya temukan para penumpang yang diam. Anak mudi/a sibuk dengan HP atau MP3-nya, yang tua diam saja tanpa berkomentar. Di dalam bis Transjakarta juga sama. Penumpang berdesakan. Setelah mendapat tempat duduk, kebanyakan memilih untuk diam, tidak peduli dengan teman di samping. Mereka yang berdiri juga sama. Mereka hanya melihat pemandangan di luar bis, atau bergeser ketika ada penumpang lain yang hendak menempati tempat di samping, depan, dan belakangnya.

Hal yang sama terjadi dalam kereta. Selain duduk/berdiri berdesakan, penumpang juga berhadapan dengan pengamen, penjual, dan pengemis. Di tiap stasiun, ada satu (kelompok) oknum yang tidak dikenal yakni pencopet jalanan. Dia (mereka) pun diam, tidak berbicara dengan korban. Yang naik sibuk mencari tempat duduk, yang turun sibuk membereskan barang bawaan, yang mencopet sibuk mencari korban. Yang berbicara hanya mereka yang sudah berkenalan.

Diam berarti misteri. Diam berarti banyak hal. Namun, diam di dalam angkutan umum adalah diam karena curiga dan takut. Curiga terhadap teman di samping. Sebab, teman dalam sekejap saja bisa jadi lawan. Takut terhadap pencopet jalanan. Menurut pengakuan beberapa teman, mereka diam di angkutan umum karena takut. Bayangan tentang pencopet menjadi bayangan yang menakutkan. Kasus-kasus pencopetan jalanan pun kian marak. Ada pencopet yang menggaet kalung emas penumpang di stasiun kereta, ada penodong yang mengancam korban yang sedang berduaan dengan temannya demi mendapatkan sepeda motor, ada pencopet yang menggaet tas korban ketika bersama-sama melaju di jalan, ada pencopet yang membobol ATM, dan sebagainya.

Bayangan pencopet yang menakutkan ini membuat kebanyakan penumpang diam. Diam dan berjaga-jaga agar selamat dari pencopet. Diam sambil menaruh curiga terhadap teman di samping. Ketakutan membungkam mereka untuk diam, tidak mau berbicara, menyapa dengan teman di samping. Ada beberapa teman mengatakan ketakutan bisa hilang pelan-pelan ketika kita bisa berbicara dengan teman penumpang di samping. Saat itulah dia tidak merasa sendiri. Namun, ini tidak mudah. Hanya untuk menyapa saja tampaknya sulit. Ada juga yang “memasang” tampang muka bengis sehingga pencopet takut. Padahal yang namanya pencopet itu tidak mengenal korban, tidak mengenal orang baik/jahat.

Kapan lagi penumpang bisa berbicara? Apakah tunggu pencuri lenyap dari angkutan umum? Mungkin saja. Tetapi, hal itu sulit ditebak. Pencuri datang tanpa kenal waktu. Lebih baik kita tetap mau menyapa dengan teman penumpang lain daripada kita menunggu pencopet lenyap dari angkutan umum. Pekerjaan kita (hanya) menyapa. Dari (tegur) sapa, kita berkenalan. Setelah kenal, kita bisa berbagi cerita. Kalau sampai bercerita, kita tidak takut lagi. Meskipun, kita tetap was-was. Boleh curiga namun jangan sampai kecurigaan kita terlalu besar sampai kita tidak bisa menyapa. Memilih berjalan bersama teman tampaknya lebih nyaman karena kita bisa bercerita. Namun, tak jarang kita mesti pergi sendiri. Kita bisa saja beda tujuan bepergian dengan teman sehingga tidak bisa pergi bersama. Oleh karena itu, mari kita saling menyapa dengan siapa saja.
Cempaka Putih, 27 Februari 2011
Gordy Afri


Gambar: Google images
Tiap kali merayakan hari ulang tahun pasti saya kembali membayangkan peristiwa kelahiran saya. Entah mengapa saya punya kebiasaan seperti itu. Pada hari itu juga saya merasa bahagia ketimbang hari lainnya. Boleh dibilang inilah hari bahagia kekal saya dalam hidup. Oleh sebab itu saya rindu untuk merayakan hari ulang tahun di mana pun dan kapan pun. Kerinduan itu pun menjadi kerinduan abadi dalam hidup.

Menurut cerita mama, kelahiran saya menjadi sebuah momen bahagia bagi keluarga. Dua tahun setelah menjalani hidup berkeluarga, Bapak dan Mama merindukan anak, dan saat itu juga Kakak saya lahir. Kerinduan berikutnya adalah kehadiran saya sebagai adik. Kata mereka, sempat muncul rasa was-was, “Jangan-jangan kita mesti menunggu dua tahun lagi baru adik ada.” Beruntung ketika kakak saya berusia 1,1 tahun, saya lahir. Bapak dan mama amat bahagia. Selain mereka, keluarga dan orang yang membantu proses kelahiran saya turut berbahagia.

Kini, 24 tahun peristiwa itu berlalu. Masihkah ada yang berbahagia? Tanggal 15 Februari yang lalu usia saya merayakan ulang tahun ke-24. (Hmmm…setahun lagi genap ¼ abad). Pada hari itu juga ucapan selamat berbahagia datang dari berbagai penjuru. Yang pertamaYang kedua adalah konfrater sekomunitas. Yang ketiga adalah teman-teman saya yang menyampaikan ucapan selamat melalui dunia maya (facebook dan email). Teman-teman di dunia maya dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok di dalam negeri dan kelompok luar negeri. Yang keempat—yakni  pada malam hari—adalah bapak dan mama serta kedua adik saya yang paling kecil. Pertanyaan di atas tadi dapat dijawab. Selain saya dan keluarga, masih ada orang yang berbahagia di usia saya yang ke-24. mengucapkan selamat adalah adik saya yang pertama dan yang kedua.

“Perawat” pohon kehidupanku
Tangan pertama yang menyentuh jiwa dan raga saya adalah Mama. Dialah yang membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Air susunya menjadi sumber hidup bagi jiwa dan raga saya. Dalam pelukannya yang berbalut cinta, saya bertumbuh secara ragawi dan psikologis. Katanya dalam suatu percakapan dengan saya, “Kamu dulu punya raga yang besar ketimbang kakak. Berat badan saya juga lebih besar. Banyak tidur dan sering nangis pertanda lapar atau mau buang air.” Selain dia ada BapakTerima kasih untuk Mama dan Bapak. yang sering bermain di waktu senggang. Kalau pulang sekolah, dia menggendong saya. “Kamu cepat tertidur kalau digendong,” katanya. Dalam tanggannya yang hangat saya dibesarkan.

Saya bertumbuh dalam didikan para guru/pendidik meski pendidik pertama dan utama adalah Bapak dan Mama. Saya mengingat kembali peran pendidik yang membentuk kepribadian dan pemikiran saya hingga saat ini. Saya mencoba menghitung kira-kira sudah mencapai 50-an lebih pendidik baik di pendidikan formal maupun yang informal dan nonformal. Selain mereka, saya ingat almarhum Kakak saya dan Adik-adik saya yang juga berperan dalam mendidik saya. Saya menganggap merka sebagai “perawat” pohon kehidupanku. Terima kasih buat para pendidik, pengajar, almarhum Kakak dan Adik-adik saya. Pengalaman hidup bersama kalian amat berharga bagi saya.

Saya yang sekarang
Saya yang sekarang adalah buah dari pendidikan yang diberikan keluarga dan para pendidik saya. Saya menjadi “saya yang sekarang” dengan segala kelebihan dan kekurangan, dengan sikap dan sifat serta tingkah laku yang sekarang adalah buah dari perawatan para pembentuk kepribadian saya. Selain keluarga dan pendidik dalam arti luas, yang memengaruhi perkembangan kepribadian saya adalah lingkungan dan teman-teman. Lahir dan dibesarkan di kampung, mendapat pendidikan menengah di kota kecil, dan sekarang menghidupi hidup harian di kota besar. Singkatnya, saya yang sekarang adalah saya yang dirawat, dibesarkan, dididik, dan dipengaruhi oleh keluarga, pendidik, teman, dan lingkungan. Saya berterima kasih buat semua teman saya sejak sebelum sekolah dasar hingga saat ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mau berdoa bagi teman-teman dan siapa saja yang tidak merasa bahagia di saat hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman di penjaraanak-anak jalanan dan kaum tuna wisma yang tidak sebahagia saya dalam merayakan hari ulang tahunnya. Semoga Tuhan memberi mereka kebahagiaan hati dalam mensyukuri hari ulang tahun mereka. Saya juga berdoa bagi teman-teman yang dengan segala cara mendukung panggilan hidup saya hingga saat ini. Tuhan sudah membalas jasa kalian. yang tidak bisa berbahagia bersama keluarga di hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman saya khususnya

Akhirnya, saya mau bersyukur dan berterima kasih kepada Bapa di surga atas anugerah usia yang baru ini. Usia yang baru ini menjadi kesempatan yang baik untuk mewujudkan impian saya. Bagi saya, peziarahan ini belum berakhir. Kesempatan kemarin hingga saat ini menjadi pijakan yang kuat untuk meloncat ke peziarahan esok, lusa, dan hari-hari ke depan. Apa yang sudah saya lakukan, saya persembahkan buat Tuhan. Dan Tuhan ingin memberi tugas baru bagi saya yakni membagi kasih-Nya kepada sesama lewat kesaksian hidup saya. Mari teman-teman, kita bersama-sama, melangkah berdampingan, membagikan kasih Tuhan kepada sesama. Aminnn…

Cempaka Putih, 18 Februari 2011

Gordy Afri

foto dari google
Masih teringat jelas dalam benak kita, aksi akrobat para pemain sejagat dalam ajang “pesta piala dunia 2010” di Afrika Selatan. Sejuta mata melotot ke sana, sejuta orang beramai-ramai ke sana. Di sana ada pesta sejagat. Afrika Selatan menjadi “tempat wisata” sesaat yang mengundang sejuta tamu manca negara. Afrika Selatan bukan saja menjadi tempat yang dituju tetapi juga tempat asal sang reformator ulung yang beberapa waktu lalu sempat dikabarkan meninggal. Padahal dia masih hidup dan sedang dirawat.

Beberapa waktu lalu, kami di komunitas menonton dan mendiskusikan sebuah film menarik yang berjudul “Invictus”. Artinya “tak terkalahkan”. Film ini membuat kami antusias dan memberi sejumlah inspirasi. Di tengah hiruk-pikuk perjuangan negeri kita tercinta Indonesia ini, kami justru menemukan sosok pemimpin yang mampu mengubah situasi (reformator). Inspirasi film ini membuat saya bertanya, mungkinkah Indonesia mempunyai seorang reformator saat ini? Jawabannya mungkin. Hanya saja siapakah orangnya. Negara ini membutuhkan reformator. Kalau tidak, kita akan terhanyut dalam perdebatan tak berujung dan peristiwa-peristiwa yang membuat telinga kita panas mendengarnya.

Petualangan sang reformator
Nelson Rolihlahla Mandela atau dikenal dengan Nelson Mandela lahir di Mvezo, Transkei, 18 Juli 1918. Sekarang dia berusia 93 tahun. Ia adalah anak pertama dari keluarganya yang mengikuti sekolah. Pada umur 16 tahun (1934) dia mulai berkenalan dengan kebudayaan Barat ketika mengenyam pendidikan di Clarkebury Boarding Institute. Tempat lain yang membuat wawasan berpikirnya berkembang adalah Forth Hare University, di mana ia menentang kebijakan universitas dan dikeluarkan; University of South Africa, Johannesburg; University of the Witswatersrand, tempat ia mengambil kuliah di bidang hukum. Selain itu dia pernah menjadi aktivis dan ikut dalam African National Congress (ANC) atau Kongres Nasional Afrika tahun 1942. Di sini dia mulai menggagas aktivitas antiapartheid (pemisahan atau perbedaan ras).

Mandela memulai karirernya menjadi pengacara muda kemudian menjadi ketua ANC. Berbagai aktivitas antiapartheid membawanya ke penjara selama 27 tahun di Robben Island. Ia dibebaskan pada 11 Februari 1990. Dia dan Presiden Frederick Willem de Klerk (menjabat selama 20 September 1989-10 Mei 1994) mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada 1993. Mandela adalah presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan yang terpilih pada 10 mei 1994. Ia menjabat selama 5 tahun (10 Mei 1994-16 Juni 1999). Ia turun ketika warga menilainya gagal memberantas penyakit AIDS yang merebak saat itu. Anaknya Makgatho Mandela menjadi korban AIDS pada 6 Januari 2005.

Berpaling ke Afrika Selatan
Mandela adalah contoh reformator ulung. Seperti pejuang antiapartheid (anti Rasisme) lainnya misal Malcom X di Amerika, Mandela menghadapi berbagai tantangan. Sejak menjadi pengacara muda, dan menjadi ketua ANC, dia sudah dihadapkan dengan yang namanya tantangan. Perjuangan memang menjadi unik ketika dihadapkan dengan tantangan. Puncak perjuangan Mandela adalah ketika dia dipenjara selama lebih kurang 27 tahun. Waktu yang matang untuk membentuk sebuah pemikiran. Apa daya cita-cita Mandela terbendung ketika dia mendekam di dinding tembok penjara. Meski demikian dia tidak mundur. Dalam penjara dia mengatakan dia bersedia mati untuk visinya (membebaskan Afrika Selatan dari apartheid.)

Film “Invictus” hanyalah sebagian dari bentuk perjuangan Mandela. Film ini menampilkan perjuangan Mandela untuk mempersatukan Afrika Selatan melalui olahraga yakni permainan Rughby. Mandela memberi kepercayaan kepada kapten untuk mengharumkan nama Afrika Selatan. Sesuatu yang unik. Kapten dan sebagian besar pemain rughby berkulit putih, hanya satu pemain yang berkulit hitam. Mandela menaruh kepercayaan pada sang kapten. Dia pun tidak ragu-ragu dengan rendah hati mengundang sang kapten ke kantornya untuk “minum teh” bersama. Dia juga mengajak para pemain untuk turun ke seluruh pelosok tanah air, melihat langsung kondisi negeri, mencari bibit pemain, dan meminta dukungan warga.

Indonesia dan Mandela
Film ini cocok ditonton oleh kaum pemimpin di negeri ini (Indonesia). Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari “bunga kehidupan” sang reformator ulung ini. Melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang diliputi berbagai masalah kemiskinan, cuaca tidak menentu, harga pangan naik, kejahatan, dan sebagainya, sudah saatnya pemerintah turun tangan. Gaya kepemimpinan Mandela bisa diterapkan di Indonesia. Kaum pemimpin misalnya berani turun tangan mengentas kemiskinan, memebri dukungan kepada para petani untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu kaum pemimpin perlu turun tangan melihat langsung tantangan yang dihadapi nelayan dan masyarakat kecil lainnya, dan membuat langkah konkret untuk membantu mereka.

Mandela tahu betul kondisi masyarakat dan negaranya. Dia pun tidak segan memanfaatkan potensi yang ada. Alangkah baik kalau kaum pemimpin memanfaatkan potensi di negeri ini dan memberi semangat kepada rakyat untuk mendukung upaya ini. Potensi laut yang bisa memperkaya para nelayan dan masyarakat lainnya. Bahkan dengan perjuangannya, para nelayan kita bisa menjaga kawasan terluar negeri ini. Potensi angin dan matahari yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Akhirnya semuanya kembali kepada kita semua (pemerintah dan rakyat), apakah kita mau berubah? Mau menjadi reformator dalam setiap tugas dan profesi kita? Tidak cukup membuka mata tetapi mesti bertanya, apa yang bisa saya lakukan dengan ini semua?
Cempaka Putih, 6 Februari 2011
Gordy Afri




Mengubah kebiasaan seseorang atau sekelompok orang bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kebiasaan yang sudah melekat kuat dalam diri orang tersebut. Oleh karena itu, perlu kerja keras untuk mengubahnya. Cara mengubahnya harus mulai dari dalam, masuk dan terbenam dalam kebiasaannya. Dari sini, kita keluar dan mencoba membuat trik untuk mengubahnya. Namun, apakah dengan langkah ini, orang tersebut dijamin berubah? Bisakah mengubah kebiasaan mencopet menjadi kebiasaaan berdagang?

Minggu lalu, saya dan konfrater di komunitas menonton film ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI. Judulnya menarik untuk disimak. Belakangan ini, masyarakat Indonesia disuguhkan berita-berita yang kurang enak didengar. Media-media elektronik dan cetak memberitakan kasus korupsi seperti Gayus Tambunan, kasus kriminal seperti pencurian kendaraan dan perampokan yang meningkat di Jakarta dan sekitarnya, tingginya jumlah orang miskin, dan sebagainya. Singkat cerita kasus-kasus itu masih terjadi dan entah kapan selesai. Mengapa penyelesaiannya berlangsung lama?

Entahlah biarlah ini menjadi pertanyaan untuk kita semua. Melihat judul film di atas kita juga bisa bertanya, "Apakah penyelesaian kasus-kasus itu sebuah lelucon saja?" Bisa saja kita melihatnya sebagai sebuah lelucon karena penyelesaiannya belum berujung. Maka, judul film ini menjadi relevan, alangkah lucunya negeri kita ini. Tetapi, di satu sisi kita melihat bahwa penyelesaian kasus-kasus seperti ini memang tidak mudah. Bisa saja ada kemungkinan bahwa pelakunya bukan individu tetapi kelompok. Penyelesaiannya pun mesti melibatkan semua anggota kelompok. Apakah film di ini mempresentasikan kasus-kasus di atas? Tidak. Mari kita simak.

Masuk dalam Dunia Gelap
Muluk, seorang sarjana yang menganggur. Dia belum mendapatkan pekerjaan namun dia tidak putus asa mencari. Suatu ketika dia bertemu Komet, seorang pencopet jalanan. Tak disangka, Komet membawa Muluk ke markasnya dan bertemu bosnya, Jarot. Muluk heran ketika bertemu teman-teman dan bos Komet. "Kami adalah pencopet," suara itu bergema di rumah reyot itu. Rumah itu tidak tampak seperti rumah tinggal. Dari luar, kelihatan seperti sebuah rumah tak berpenghuni. Muluk kaget dan sempat menganga. Akhirnya, dia bisa menerima kalau dia sedang berbincang-bincang dengan kelompok pencopet.

Muluk kembali ke rumahnya sambil membawa tas berisi berkas lamaran kerja. Di rumah, dia bertemu keluarganya. Bapaknya memperlihatkan wajah cemberut ketika tahu bahwa anaknya belum mendapatkan pekerjaan. Muluk tidak peduli. Sambil mengotak-atik laptopnya, dia berpikir keras untuk mengubah perilaku kelompok pencopet tadi. Bapaknya keluar menemui teman-temannya. Mereka berdiskusi tentang pentingnya pendidikan. Ada yang mengatakan tidak penting, toh ada kaum berpendidikan yang menganggur. Ada yang bilang penting, untuk mengubah kualitas masyarakat dan mengangkat harkat warga. Lepas dari perdebatan ini, akan seperti apakah pergulatan Muluk nantinya? Mampukah dia mengubah pencopet menjadi orang yang baik?

Mengangkat Harkat Mereka
Kebiasaan mencopet bisa hilang dan diganti dengan kebiasaan lainnya yang lebih baik. Pemahaman ini menjadi misi Muluk untuk mengubah kelompok pencopet. Dia pun tidak tanggung-tanggung memanfaatkan pendidikan manajemennya untuk mengelola keuangan kelompok pencopet. Dia menawarkan bantuannya untuk mengelola keuangan mereka dan meminta imbalan 10% dari hasil mencopet, termasuk biaya mendidik mereka. Tak segan-­segan, dia membawa dua teman untuk mengajar pendidikan agama, budi pekerti, dan kewarganegaraan. Kelompok ini diperkenalkan dengan dunia baca-tulis, cara berdoa, dan dua cabang ilmu tadi. Pengajaran menjadi menarik karena Muluk membawa seorang guru cewek. Pencopet yang adalah kaum cowok bersemangat ketika di depan mereka ada guru cewek. Mereka juga senang ketika Muluk bersama teman-temannya membawa mereka keliling kota termasuk melihat dari dekat gedung DPR negeri ini.

Pelan-pelan Muluk dan teman gurunya memasukan ide tentang berdagang. Di sinilah awal perubahan dalam diri mereka. Mereka kini bukan hanya bisa baca-tulis dan berdoa, tetapi juga berdagang, mendapatkan uang dengan berjualan. Sebelum terjun dalam dunia berdagang, mereka mengadakan acara makan bersama. Para guru menyediakan makanan dan minuman enak yang diperoleh dari uang anak-anak binaan mereka. Sesaat sebelum menyantap hidangan para guru menjelaskan bahwa makanan ini adalah hasil uang anak binaan. Ini semua terjadi karena pendidikan. Dengan pendidikan, kita bisa mengelola uang dan menghasilkan makanan seperti ini. "Sebelum kita makan, kita mempersilakan bapak Haji (bapaknya Muluk yang hadir di ruangan itu beberapa menit sebelumnya) untuk memimpin kita dalam doa," kata ibu guru. Dengan cara ini, anak-anak binaan tadi mengerti betapa pentingnya pendidikan yang mereka terima selama ini. Bapak Muluk yang mula-mula ragu pun kini yakin akan pentingnya pendidikan.

Kembali ke dunia terang
Kelompok pencopet tadi berubah menjadi kelompok penjual. Satu per satu mereka keluar dari markas sambil membawa jualan berisi makanan dan minuman ringan. Mereka berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya sambil menawarkan jualannya. Mereka menyusuri rute pencopetan namun dengan tujuan berjualan. Kelompok 'pencopet jalan’ turun ke jalan dan menawarkan jualannya. Begitu juga dengan kelompok pencopet pasar dan mall. Betapa hebat pergulatan Muluk dan kawan-kawannya. Kini anak-anak pencopet kembali ke dunia terang. Dunia di mana mereka mesti berjuang mendapatkan sesuatu dan bukan menggunakan cara-cara instan.

Di sini, Muluk berhasilmengubah perilaku dan kebiasaan orang. Dia mulai dari dalam, masuk dalam kebiasaan hidup mencopet namun bukan berarti menjadi pencopet. Dia melihat situasi di mana pencopet hidup lalu keluar dengan cara pandang baru. Cara pandang yang memungkinkan dia mengubah perilaku mereka. Tidak ragu-ragu lagi, hasilnya pun terbukti. Kalau Muluk bisa mengubah dan mengangkat harkat pencopet, bagaimana dengan kita? Beranikah kita menjadi Muluk-Muluk yang lain? Jumlah anak jalanan dan angka kriminal akan berkurang karena setiap orang mempunyai pekerjaan. Meskipun ini hanya sebuah film tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kisah itu bisa menjadi kisah nyata. So,....apa yang bisa kita buat selanjutnya????
Cempaka Putih, 22 Januari 2011
Gordi Afri


Perjumpaan saya dengan anak jalanan di Jakarta berawal dari sebuah kebetulan. Lama-lama perjumpaan itu menjadi pergulatan selama beberapa waktu. Di luar dugaan saya ternyata jumlah mereka kian bertambah dalam dua tahun tahun terakhir. (Sumber gambar: Google images: accbrothersquad.wordpress.com)

Empat tahun lalu (2007), saya untuk pertama kali bertemu anak jalanan. Ini sebuah kebetulan karena saya diberi kesempatan untuk mengalami hidup di luar komunitas selama sebulan. Saya dan beberapa teman berjumpa dan hidup dengan anak-anak jalanan di Stasiun Senen dan beberapa anak jalanan yang mengais rejeki dalam kereta KRL Jabodetabek. Tahun 2008 hingga 2010, saya masih sempat berjumpa dengan anak jalanan di dalam kereta, perempatan jalan, stasiun, dan tempat-tempat ramai lainnya misalnya di pinggir rel kereta dan jembatan layang.

Dalam perjalanan dengan kereta dari Bogor, saya sempat berdialog dengan beberapa teman anak jalanan. Saya sempat menyapa dan dia membalas sapaan saya. Kami tidak bisa ngobrol lama karena mereka sambil bekerja, menyapu kolong tempat duduk kereta. Saya maklumi ketika dia membalas sapaan saya sambil berlalu dengan sapu kecilnya. Melalui kegiatan inilah, mereka mencari rejeki dari para pengguna kereta. Saya juga sempat berdialog lama dan bermain dengan beberapa anak jalanan di perempatan Coca-cola, Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Di sini, saya bisa berdialog dan bermain lama dengan mereka. Kalau lampu merah menyala, mereka biasanya mepet di pintu sopir dan meminta rejeki.

Sebuah pergulatan
Hidup mereka penuh pergulatan. Ada yang menghabiskan waktunya selama seharian di jalan. Boleh dibilang 24 jam di jalan. Mereka makan, tinggal, tidur, dan bekerja di jalan. Tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak lagi pulang ke rumah (meskipun ada). Tidak bersekolah. Mereka ini dikategorikan sebagai Children of the Street. Ada juga yang masih memiliki keluarga dan pulang ke rumah, sebagian ada yang bersekolah. Mereka turun ke jalan untuk membantu orang tua termasuk membiayai sekolah mereka (bagi yang masih sekolah). Mereka ini dikategorikan sebagai Children on the Street (uraian lebih lebgkap lihat di .misstika.wordpress.com).

Ini merpakan sebuah pergulatan besar. Bagi yang menghabiskan waktu di jalan, mereka bergulat melawan polusi, menyelamatkan diri dari tindakan kriminal, persaingan dengan para pengais rejeki lainnya. Kadang-kadang anak jalanan menjadi korban pengejaran aparat yang mau menghilangkan anak jalanan dari jalan. Bagi yang mengais rejeki di kereta, mereka bergulat dengan para pedagang dan pengamen dalam kereta. Ada juga anak jalanan yang mengamen di dalam bis kota, tempat-tempat umum seperti taman kota, dari rumah ke rumah, ada yang nogkrong di stasiun, terminal, pasar, dan sebagainya. Semuanya harus bergulat dan memang realitas hidup di ibu kota mesti bergulat.

Kian bertambah
Menurut data terakhir, jumlah anak jalanan di DKI Jakarta mengalami peningkatan hingga 50 persen. Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000 orang, pada 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Mereka tersebar di 25 titik di Jakarta (megapolitan.kompas.com). Penyebaran lain ada di sekitar beberapa tempat bimbingan belajar anak jalanan seperti Sahabat Anak Prumpung, Jakarta Timur; Sahabat Anak Grogol, Jakarta Barat; Sahabat Anak Cijantung, Jakarta Timur; Sahabat Anak Gambir, Jakarta Pusat; Sahabat Anak Manggarai, Jakarta Selatan; Sahabat Anak Senen, Jakarta Pusat; Sahabat Anak Tanah Abang, Jakarta Pusat (misstika.wordpress.com).
Dalam satu keluarga bisa ditemukan lebih dari satu anak jalanan. Menurut data, Dapat dikemukakan bahwa keluarga anak jalanan di Jabodetabek, 6,7% (3 orang) jumlah anaknya yang bekerja di jalanan sebanyak 1–2 orang, 57,8% (26 orang) 3 – 4 orang, dan 35,6% (16 orang) 5 – 6 orang (tkskponorogo.blogspot.com). Jumlah ini bertambah jika kehidupan ekonomi Indonesia memburuk. Memang tidak semua anak jalanan tinggal di jalan untuk mencari uang. Ada yang hanya main-main dan mau hidup di jalan. Jumlah terbesar dari kelompok pencari uang sebab banyak di antara mereka yang kehidupan ekonomi keluarganya buruk. (Gambar-gambar di bawah ini diunduh dari google images)
Kado untuk kita semua
Saya kadang merasa aneh dengan kehidupan di Jakarta. Di tengah gemerlapnya kehidupan kota, banyaknya bangunan megah, kok masih ada saudari/a kita yang begitu menderita. Kita sama-sama tinggal di jakarta, hanya saja ada yang tidur beralaskan kasur di rumah berdinding tembok, namun ada pula yang beralaskan gardus di emperan toko, bangku di terminal, bahkan ada yang beralaskan gerobak . Ironis bukan? Inilah realitas yang terjadi. Jurang itu begitu dalam antara ‘kaum berpunya’ dan ‘kaum tak berpunya’. Bagaimana kita menghadapi situasi ironis semacam ini?
Membayangkan kehidupan teman-teman jalanan, saya teringat puisi di bawah ini. Puisi ini lahir dari pergulatan saya bersama teman-teman (anak-anak) jalanan. Ini adalah gambaran jeritan hidup anak-anak jalanan. Semoga puisi ini menginspirasi kita semua untuk membantu mereka dengan bentuk dan cara kita masing-masing.

Doa seorang anak jalanan*
Tiap saat aku selalu berjuang
Mengais secuil rezeki dari para aristokrat negeri ini
Kadang aku beruntung, rezeki ada di pihakku
Kadang pula aku tak beruntung, konyol ada di pihakku.
Tiap saat aku selalu berusaha
Kukerahkan segenap tenagaku
Demi secercah harapan yang terbit dari abang-abang di sekitarku
Kadang mereka mengerti keadaanku
Kadang pula mereka cuek karena telanjur keenakan dalam kemapanan hidup.
Tiap saat aku selalu berharap
Harap, harap, dan terus berharap
Kadang harapanku mendatangkan kecerahan
Kadang pula harapanku menjadi sirna ditelan pelangi kelupaan negeri ini.
Tiap saat aku berdoa
Berdoa pada Dia sang empunya kehidupan
Kadang Dia mendengar jeritanku
Kadang pula suaranya tak kudengar karena kebisingan dunia yang sudah kacau balau.
Di atas semuanya ini
Aku hanyalah manusia hampa, dan hamba
Yang selalu berharap dalam petualangan menemukan
Siapa sebenarnya diriku dan
Apa yang sedang kucari dalam alam baka ini.

*Pernah dimuat di Warta Xaverian edisi Oktober 2009-Maret 2010
Cempaka Putih, 18 Januari 2011
Gordy Afri

(Gambar: google: sutono.net)

Tahun lama (2010) baru saja lewat dan tahun baru (2011) sudah tiba. Begitu banyak hal yang kita lalui di tahun lama dan begitu banyak pula yang akan kita alami di tahun baru. Singkatnya banyak hal yang berlalu dan banyak hal yang akan datang. Ada yang berubah dan ada yang tetap. Kemungkinan akan adanya perubahan itu selalu ada. Pertanyaannya adalah “Mungkinkah kita bisa berubah?” Pertanyaan ini bukan membutuhkan jawaban singkat (mungkin-tidak mungkin) tetapi bermaksud menanyakan bagaimana perubahan itu terjadi.
Tiap awal satu masa waktu, saya dan Anda selalu membuat komitmen baru. Inti komitmen itu adalah perubahan. Maka tak heran, ada yang mengatakan, besok saya akan membuat kebiasaan baru misalnya bangun pagi-pagi untuk belajar, atau besok saya mencoba bangun seperti pagi ini supaya bisa belajar. Atau, minggu depan saya akan mencoba untuk mempersiapkan pelajaran sebelum guru atau dosen menanyakan kepada siswi/a di kelas. Atau, bulan depan saya akan mencoba menerapkan prinsip baru yakni prinsip kerja cepat-tepat. Begitu banyak komitmen kita pada awal minggu, bulan, dan satuan waktu lainnya.
Di tahun 2011 ini pun kita sudah membuat komitmen baru. Biasanya komitmen itu dilatarbelakangi oleh pengalaman di tahun sebelumnya. Yang kurang baik di tahun lalu akan diperbaiki menjadi baik di tahun ini. Yang baik di tahun lalu akan diusahakan untuk menjadi lebih baik atau minimal mempertahankan yang baik itu di tahun ini. Contoh konkret. Kalau saya sering terlambat ke kantor tahun lalu maka tahun ini saya mencoba untuk serinng datang cepat atau bila perlu datang cepat setiap hari. Kalau tahun lalu saya sering bangun terlambat pada pagi hari maka tahun ini saya berusaha untuk bangun cepat. Langkah awal yang perlu adalah merombak semua sistem kebiasaan buruk kita. Perombakan ini merupakan sebuah perubahan dan perubahan ini akan berdampak pula pada hasilnya. Kita selalu mengharapkan hasil yang lebih baik.
Pelaku perubahan
Perubahan—seperti komitmen—datang dari diri kita sendiri. Kalau kita mau berhasil maka berusahalah mulai dari diri sendiri. Sean Covey (2001: 94) memberikan nasihat kepada remaja, “Kamu bisa menjadi ‘pelaku perubahan’, dan meneruskan kebiasaan-kebiasaan baik kepada generasi mendatang, mulai dari anak-anakmu sendiri”. Ini menandakan bahwa setiap kita merupakan penentu utama perubahan dan setiap kita bisa berubah dan meneruskan perubahan. Boleh saja kita selalu membuat komitmen baru di awal pekan, awal bulan, dan awal tahun. Berani membuat komitmen berarti berani berubah mulai dari diri sendiri.
Pertanyaan di atas bisa dijawab. Kita mungkin saja dan bahkan kita bisa berubah. Perubahan itu muncul karena kita berusaha mulai dari diri sendiri. Perubahan bukan datang atau mulai dari orang lain. Kita sedang menyusuri tahun baru di mana kita sudah membuat komitmen baru. Maka, komitmen itu sebaiknya menjadi arahan kita untuk berubah. Kita masih punya banyak kesempatan untuk berubah, untuk menyukseskan komitmen itu. Kita berada di awal tahun ini dan kebiasaan kita di awal tahun ini masih labil namun sebaiknya kita arahkan sejak dini sehingga menjadi stabil. Stabilitas yang sesuai dengan komitmen kita. Kalau tidak, kita akan labil terus dan lagi-lagi kita akan gagal. Mari kita mencoba.
Cempaka Putih, 11 Januari 2011
Gordy Afri



Saya kira belum terlambat. Kita masih dalam bilangan oktaf Natal. Bertepatan dengan perayaan tahun baru. Tahun lama diganti dengan tahun baru menurut satu sistem perhitungan waktu. Sebab, masih ada sistem hitungan lainnya misalnya kalender Islam, kalender Cina, dll. Tahun baru yang dirayakan hari ini mengikuti satuan sistem hitungan kalender Gregorian.
Entah mengapa, saya masih terkesima dengan pemandangan gua/kandang natal di kapel. Tiga puluh menit sebelum misa malam Natal, saya sudah ada di kapel. Mata saya tertuju ke gua natal itu. Menatap lama, dan terkesima dengan perabot yang ada di dalamnya. Patung Maria, Yosef, para gembala, keledai (yang ditunggangi keluarga Yosef), domba, tiga orang Majus, dll. Semuanya membentuk pemandangan yang unik. Tentu saja semua ini hanyalah sarana yang membantu merefleksikan peristiwa kelahiran Yesus, sang Juru Selamat. Tanpa ini pun sebenarnya bisa, tetapi kalau ini bisa membantu juga lebih baik. Sehingga, sarana gua Natal ini bisa dipajang.
Ngomong-ngomong soal kelahiran Yesus. Katanya Yesus adalah Allah tetapi kok Dia lahir seperti manusia. Bahkan, kalau memerhatikan dengan baik bacaan-bacaan Injil dalam oktaf Natal, Yesus pun mengikuti adat istiadat Yahudi (dan juga Hukum Taurat). Yesus disunat dan diserahkan kepada Tuhan di Bait Allah. Dari sini bisa diklaim kalau Yesus itu benar-benar manusia. Tetapi perlu diingat bahwa Dia bukan sekadar manusia. Dia adalah manusia yang unik karena Dia adalah Utusan Allah satu-satunya. Kalau demikian dalam dirinya ada manusia dan Tuhan. Maka, tidak salah kalau dibilang Yesus itu sekaligus Allah dan Manusia. Allah karena Dia adalah Utusan Allah, dan Manusia karena Dia memang terlahir sebagai manusia, lahir dari Perawan Maria, dan hidup di tengah budaya orang Yahudi.
Membayangkan kehidupan Yesus bersama orang tuanya, saya jadi ingat sebuah kisah kehidupan saya bersama Bapak saya. Suatu ketika, kami pergi ke tempat pertandingan bola voli. Di situ sudah berkumpul banyak penonton. Mulai dari anak kecil seperti saya, orang muda-mudi, dan kaum tua. Suara mereka bergemuruh meneriaki tim favoritnya. Para pemain semakin percaya diri dan bertambah semangat ketika suporter meneriaki yel-yel untuk mereka. Di tengah suara sorak-sorai itu, saya tetap saja melongo karena tidak bisa melihat atraksi para pemain. Mata saya terhalang oleh penonton yang berdiri merapat. Saya merengek dan memukul-mukul ujung tangan bapak sambil meminta digendong. Akhirnya bapak saya, membungkuk dan mengangkat saya. Saya menjadi setingkat dengan bapak saya dan bisa melihat atraksi para pemain. Peristiwa ini bisa membantu saya merefleksikan bagaimana Allah mengasihi manusia.
Natal adalah kesempatan yang paling baik untuk merenungkan bagaimana Allah mencintai manusia. Dia tidak hanya mengutus (gerak turun) Putra-Nya menjadi manusia tetapi juga mengangkat (gerak naik) manusia menjadi Anak Allah. Manusia menjadi satu (melebur) dengan Allah. Manusia tidak lagi kelihatan sebagai manusia yang tidak berarti tetapi sebagai manusia yang dikuasai oleh Allah. Ibarat setetes air yang ditumpahkan ke dalam piala berisi anggur. Air itu tidak kelihatan sebagai air tetapi sebagai air yang terlihat seperti anggur. Air itu melebur, menjadi satu dengan anggur dan kelihatan sebagai anggur.
Lima menit sebelum jam 12.00 pada tanggal 31 Desember 2010, seorang teman memegang arloji dan mulai menghitung menit demi menit. “Lima menit lagi,” teriaknya sambil menujukkan arlojinya. Kami semua melihat ke arahnya. Begitu seterusnya dia berteriak tiap menit hingga sampai waktunya. “Selamat tahun baru……” kami semua melambaikan tangan, bersorak gembira, lalu berjabatan tangan satu sama lain. Begitulah malam pergantian tahun dilalui. Waktu itu sebenarnya waktu yang sama. Waktu yang bergerak dan berputar melalui siang dan malam. Sistem perhitungan waktu (yang dibuat manusia) yang membuat kita membagi waktu tahun demi tahun seperti ini. Sambil mengingat dan melupakan kemajuan dan kemuduran kita di tahun 2010, kita melangkah maju, menyambut tahun 2011. Semoga kita, Anda dan saya, tetap mengevaluasi diri, mengembangkan segala yang progress dari tahun lama di tahun baru ini, dan memperbaiki yang kurang baik dari tahun lama. Akhirnya selamat berpetualang di tahun 2011. Selamat tahun baru….
Cempaka Putih, 1 Januari 2011
Gordy Afri
Powered by Blogger.