Halloween party ideas 2015

LA PREGHIERA DELLA DOMENICA DI PENTECOSTE
24 maggio 2015
Roberta Laurita
FOTO, wikipedia

Vieni, Spirito Santo,
rischiara il nostro cammino.
Non permettere che veniamo disorientati
dal luccichio di mirabolanti promesse,
né ammaliati da facili percorsi
che non conducono alla felicità
e ci abbandonanto alla nostra debolezza.

Vieni, Spirio Santo,
ricordaci le parole di Gesù
e donaci la forza di seguire i suoi passi.
Rialzaci quando cadiamo
a causa della nostra fragilità
e del nostro orgoglio
e guarisci le ferite
che ci portiamo dentro.

Vieni, Spirito Santo,
rivelaci il volto autentico
del Signore Gesù
perché la nostra relazione con lui
sia solida e feconda di frutti.
Strappaci alla tentazione di costruirci
un Dio fatto a nostro immagine
eaccendi in noi il desiderio del Dio vivo e vero.

Vieni, Spirito Santo,
brucia tutto ciò che dentro di noi
ci impedisce di essere
limpidi e generosi,
misericordiosi e benevoli
e rendici saggi e forti
perché possiamo essere testimoni credibili
e rendere ragione a tutti
della speranza deposta in noi.


*del foglietto per la messa in Chiesa Santa Cristina-Parma.


Restoran adalah tempat orang berkumpul untuk makan. Tentu bisa juga makan di tempat lain. Restoran hanyalah salah satu pilihan. Dan, biasanya kalau bicara tentang restoran, yang tersirat adalah bicara tentang makan. Menunya apa saja. Harganya terjangkau atau tidak. Tempatnya asyik atau tidak. Menunya enak atau tidak. Minumannya apa. Daftar panjang pun bisa dibuat.

Beberapa hari lalu baru bicang-bincang dengan seorang sahabat yang bekerja di Jepang. Katanya, Jepang sudah maju. Di kota-kota, hampir seluruh Jepang, restoran lebih banyak dari pengunjung. Tentu maksudnya, di Jepang terdapat banyak restoran.

Ya, Jepang memang bangsa yang maju. Kalau saja sahabat saja ini mengatakan demikian berarti betapa banyaknya restoran di Jepang. Restoran ini sejatinya dibuat agar penduduk Jepang bisa makan di restoran. Semakin banyak orang berkunjung ke restoran, makin banyak pula kebutuhan akan restoran. Ini tanda Jepang sudah maju.

Untuk bisa maju memang butuh belajar, butuh penelitian, butuh kerja keras. Untuk bangun restoran butuh biaya, butuh tenaga, butuh keahlian. Kalau restoran sudah jadi, butuh keahlian juga untuk mengembangkannya. Mendatangkan pekerja dan membayar upah sepenuhnya pada mereka. Memberi pelayanan maksimal kepada pengunjung.

Dengan demikian, membangun restoran bukan saja berhenti pada bangunan fisik. Membangun restoran itu seperti menumbuhkan sebuah pohon. Jika pohon kekurangan air, dia akan mati dengan sendirinya.

Kiranya Jepang juga sudah membuktikan keahlian ini. Kalau restoran saja sudah banyak, berarti mereka memiliki kemampuan untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan restoran tersebut. Restoran tersebut—yang diibaratkan seperti pohon itu—terus tumbuh hingga jumlahnya banyak. Banyak pohon, udara segar dan bersih. Restoran banyak, pengunjung pun banyak. Pengunjung banyak, kualitas ditingkatkan. Dengan demikian, ada persaingan untuk meningkatkan kualitas agar restoran itu tidak bangkrut seperti pohon yang kekurangan air.

Bicang-bicang tentang Jepang, jadi ingat negeriku tercinta, Indonesia. Indonesia jika dikerucutkan ke Jakarta juga punya banyak restoran. Tetapi, tidak sebanding dengan banyaknya orang miskin di Jakarta yang masih susah mencari makan. Semoga Jakarta kelak juga akan menjadi kota di Jepang, yang restorannya banyak, yang sampai pengunjungnya mengatakan, lebih banyak restorannya daripada tukang makan. Kalau Jakarta sudah seperti kota di Jepang, kiranya kota lain ikut mengekor. Kalau semua kota punya banyak restoran, kelak, Indonesia pun—dari Sabang sampai Merauke—akan dikenang pengunjungnya sebagai negara yang banyak restorannya.

Kapannya ya. Jawabannya nanti. Tapi, usahanya sejak sekarang. Bukan nanti. Salam inspiratif dari seberang.

PRM, 23/2/15
Gordi

FOTO, floresa
Miris rasanya membaca berita tentang Ibu Enik Nangge (44 tahun). Dia dioperasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Sayangnya, operasi itu tidak sampai selesai. Meski tidak selesai, RSUD tetap meminta ganti rugi atas operasi yang berjalan setengah itu. Malang bertambah karena dia dianjurkan untuk operasi lanjut di Makasar atau di Bali. Ibu Enik seperti pemeran pepatah, sudah jatuh, lalu tertimpa tangga. Belum selesai operasi, diminta bayaran, lalu dianjurkan melanjutkan beroperasi di tempat lain (lihat floresa.co edisi on line pada 23 dan 26 Februari 2015). 

Ibu Enik kiranya bukan orang pertama. Boleh jadi ada pasien lain yang mengalami nasib sama. Kisah Ibu Enik hanyalah pembuka jalan untuk pasien lainnya. Pasien memang berhak mendapat pelayanan yang baik dari pihak rumah sakit. Tentu, selain hak mendapat pelayanan, pasien juga berkewajiban membayar biaya. Di sini ada relasi pasien-rumah sakit. Ada hak dan kewajiban.

Pihak rumah sakit semestinya menjadi rumah yang nyaman bagi pasein. Misi rumah sakit kiranya sudah jelas, melayani pasien. Dalam kasus Ibu Enik, rumah sakit sudah bertindak dan mengarah pada misinya. Sayang, misinya tidak tuntas. Malah, boleh dibilang, misi RSUD Ruteng gagal. Selain gagal, pelayan RSUD juga mengecewakan dan membebani pasien. Ibu Enik dan keluarga sudah dibebani penyakit kista. Beban itu bertambah lagi dengan biaya yang diminta pihak rumah sakit. Tambah lagi jika jadi dioperasi di luar daerah.

Beban Ibu Enik mesti diringankan. Sayang jika dia dan keluarga dibiarkan menderita karenan banyaknya beban. Salah satu yang bisa dibuat adalah mengoptimalkan pelayanan RSUD Ruteng. Kehadiran RSUD ini tentu menjadi harapan terbesar masyarakat Manggarai. Bahkan, juga masyarakat di dua kabupaten tetangga, Manggarai Barat dan Timur. Sejauh ini, RSUD Ruteng adalah andalan utama masyarakat. Di Labuan Bajo dan Borong kiranya fasilitas kesehatan belum selengkap RSUD Ruteng. Tentu di Cancar juga ada RS St Rafael. Tetapi, di sana juga butuh biaya yang kiranya lebih mahal karena statusnya sebagai lembaga swasta.

Pemerintah kiranya tidak keliru membangun RSUD Ruteng. Berada di tengah, antara Barat dan Timur. Berada di jantung ibu kota kabupaten. Bisa didatangi pasien dari seluruh Manggarai. Sayang jika tujuan awal ini tidak diwujudkan dalam pelayanan RSUD Ruteng. Pelayan kesehatan—dokter dan perawat atau bidan—RSUD dalam hal ini mesti didesak untuk mewujudkan tujuan ini. Tidak semua pelayan kiranya menghendaki kejadian ini. Masih ada pelayan rumah sakit yang mau melayani sampai tuntas. Rakyat—seperti pelayan rumah sakit—juga ingin mendapat pelayanan yang baik. Dan ini tugas para pelayan.

Tugas ini mulia sekaligus menuntut kerja keras. Di desa-desa, rakyat mulai senang dengan kehadiran bidan desa (bides). Bides ini menjadi ‘dokter pertama’ yang menghadapi pasien di kampung-kampung. Banyak cerita betapa mulianya tugas para bides ini. Banyak di antara mereka menjadi anak kesayangan segenap warga kampung. Sebutan ini muncul karena keterlibatan mereka dalam kehidupan masyarakat. Meski demikian, banyak juga cerita tentang bides yang lari meninggalkan tugasnya. Dia tidak merasa betah di tempat tugasnya yang kadang membuatnya merasa sepi dan terisolasi. Dalam hal ini, bides boleh dibilang gagal dalam membawa misinya melayani masyakarat.

Kisah bides sukses dan bides gagal bukan saja milik para bidan dan perawat. Dokter juga ada yang sukses dan gagal. Gagal dalam mengemban tugasnya. Gagal karena meninggalkan tugasnya. Gagal karena melaksanakan tugas setengah-setengah. Hasilnya seperti yang dialami Ibu Enik. Dan, Ibu Enik tidak sendiri. Banyak pasien seperti Ibu Enik. Ada yang batal dioperasi, tunda diobati, gara-gara dokter sedang ke kota. Mestinya dokter tahu, tugasnya adalah melayani pasien. Dan, pasien mestinya diberitahu, jika dokter tidak bisa melayani, diberitahu datanya. Diberitahu juga jika tidak bisa dioperasi, entah itu karena kurang saranan atau kurang tenaga kesehatan.

Rakyat juga butuh pelayanan yang baik. Jangan biarkan mereka menderita karena pelayanan yang buruk. Jangan biarkan pasien berikutnya menjadi Ibu Enik yang kedua dan seterusnya. Biarkan pengalaman Ibu Enik menjadi pertama dan terakhir. Jangan biarkan pasien dari seluruh Manggarai keluar kota untuk mengontrol kesehatannya. Kalau bisa diatasi di Manggarai, layanilah di Manggarai. Biarkan penyakit berat saja, yang tidak bisa diatasi di RSUD Ruteng,  dirujuk keluar kota. Tugas pemerintah kabupaten serta rakyat Manggarai untuk mewujudkan RSUD Ruteng sebagai pusat pelayanan kesehatan yang nyaman bagi para pasien.

Gordi Afri
Alumnus SMAK Loyola Labuan Bajo dan STF Driyarkara Jakarta.

*Artikel ini dimuat di website flores.co dengan perubahan sedikit oleh redaksi. 



FOTO kompasiana
Beberapa hari lalu seorang teman menulis status di facebook. Dia menulis tentang pelayanan kesehatan di RS Umum kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Pelayan rumah sakit mau mengoperasi sang pasien. Apa daya, operasi berlangsung hanya setengah jalan. Tidak sampai selesai. Namun, pihak rumah sakit meminta bayaran atas operasi yang berjalan setengah itu. Beritanya bisadisimak di sini. 

Ini menandakan bahwa pelayanan rumah sakit di negeri ini belum memadai. Ini mesti diakui. Alasannya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena tenaga medis kurang. Peralatan kurang memadai. Persediaan rumah sakit tidak merata. Sarana komunikasi dan transportasi kurang memadai. Daftarnya pun bisa panjang. Tidak perlu ditulis di sini.

Status teman di atas beda dengan pernyataan sahabat saya yang bekerja di Jepang. Dia juga menyampaikan hal yang hampir sama—lihat postingan sebelumnya tentang restoran di Jepang—yaitu tentang rumah sakit. Kata sahabat saya, “Di Jepang, rumah sakit lebih banyak dari pasien.” Maksudnya jelas, di sana banyak rumah sakit.

Banyak rumah sakit bisa berarti pelayanannya juga bagus. Logikanya jelas, rumah sakit yang pelayanannya jelek, akan ditinggalkan. Bisa diakui bahwa, Jepang memang sudah maju dalam bidang ini. Belum ada berita dari Jepang tentang buruknya pelayanan kesehatan.  Kalau pun terjadi, berarti perkataan sahabat ini tidak ada artinya. Apalah artinya membangun banyak rumah sakit jika pelayanannya jelek.

Indonesia dan Jepang seperti sepeda dan sepeda motor. Artinya, Jepang lebih maju jalannya pembangunan ketimbang Indonesia. Indonesia masih menggeliat seperti pengayuh sepeda. Sedangkan, Jepang, sudah melaju seperti pengendara sepeda motor Mega-pro. Namun, bukan berarti Indonesia sama sekali kalah. Indonesia punya pelaung besar untuk menyaingi Jepang. Jepang dan Indonesia memang pernah bertengkar selama 3,5 tahun. Namun, kini semuanya hanya dicatat dalam sejarah lampau. Sejarah kini mencatat relasi bisnis dan budaya kedua negara makin baik.

Ini berarti Indonesia masih punya harapan untuk mencapai kemajuan seperti di Jepang. Indonesia juga bisa membangun rumah sakit seperti yang dimiliki orang Jepang. Betatapun Jepang—dengan merek mobil, berbagai model mesin, computer, kamera dan peralatan elektronik lainnya—sudah maju sekali, Indonesia tetap punya peluang untuk mencapai ini semua. Indonesia tidak boleh kalah dari Jepang. Dalam sejarah boleh saja kalah, tapi dalam meraih masa depan yang cerah, tidak boleh kalah.

Jepang dengan budaya kerja kerasnya mampu menjadi pesaing kekuatan ekonomi raksasa dunia. Budaya kerja keras ini kiranya juga mesti menjadi bagian dari Indonesia. Indonesia juga terkenal dengan budaya kerja kerasnya. Lihatlah para petani di pedesaan yang meski minim perhatian pemerintah, mereka tetap berjuang dengan giat. Lihatlah nelayan di laut-laut Indonesia yang tak takut dibawa arus meski kehidupan mereka pas pasan saja. Mereka tidak meminta macam-macam pada pemerintah. Kalau diperhatikan sungguh baik dan patut berte rima kasih. Kalau tidak diperhatikan juga, kehidupan mesti berlanjut. Ini bukti bahwa Indonesia juga punya budaya kerja keras.

Andai pemerintah dengan budaya kerja keras ini memerhatikan sistem kesehatan di negeri ini, niscaya kasus yang menimpa pasien di RSU Ruteng ini tidak terulang kembali. Pasien akan mendapatkan pelayanan yang memadai. Indonesia memang negara berpulau—agak sulit memetakan sistem kesehatan. Dari satu pulau ke pulau berikutnya butuh waktu berjam-jam. Belum lagi, dari satu kota ke kota lainnya dalam satu pulau, butuh berjam jam juga. Semua ini bukan penghambat jika pemerintah dan rakyat berkomitmen kuat membenahi sistem kesehatan.

Selain masalah pemerataan pelayan kesehatan—agar tidak menumpuk di kota dan di kota-kota tertentu saja—masalah transportasi juga mesti dibenahi. Inilah salah satu biang belum optimalnya sistem kesehatan di Indonesia. Di Pulau Flores, sarana transportasi masih minim. Rakyat sudah bisa membeli motor dan mobil tetapi pemerintah belum menyediakan jalan raya. Rakyat sudah belajar computer tetapi pemerintah—PLN—belum mengalirkan listrik secara merata.

Pemerataan ini mesti secepatnya dibenahi. Jangan membuat rakyat terus menderita. Jangan membiarkan rakyat mati gara-gara lamban dan lambatnya pelayanan dari pelayan rumah sakit. Jangan membiarkan rakyat dari NTT dan Bali harus berobat ke Surabaya dan Jakarta. Jangan biarkan rakyat dari Papua harus berobat ke Makasar. Jangan biarkan rakyat dari Kepulauan Mentawai, harus mengarungi lautan berjam-jam hanya untuk berobat di kota Padang atau malah terbang lagi ke Jakarta.

Masih ingat cerita bayi dari Papua yang lahir di pesawat Merpati tujuan Makasar. Bayinya salamat. Ini berarti, Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk membenahi sistem kesehatannya. Tak ada perawat dan dokter, para pramugari pun bisa jadi pelayan kesehatan sementara.

Kelak, jika sistem kesehatan kita sudah dibenahi, rakyat merasa nyaman berobat di negeri ini. Orang berduit di Jakarta dan di kota-kota berduit lainnya di negeri ini tidak perlu lagi berobat ke Singapura, Taiwan, Tailand, dan Malaysia. Atau juga ke Eropa—misalnya ke Jerman. Biarkan rakyat mendapat tempat yang layak dan nyaman untuk berobat di negerinya sendiri. Indonesia dalam hal ini bisa belajar dari Jepang, atau juga Italia yang sistem kesehatannya masuk kategori top di dunia.  

Salam cinta Indonesia.

PRM, 25/2/15
Gordi

FOTO, m.kompas.com
Lain ayah lain anak
Tidak perlu disamakan
Meski ada juga yang berusaha menyamakannya
Keduanya berbeda 

Namun keduanya bisa juga sama
Kalau anak baik mereka cari ayahnya
Pasti baiknya anak dari baiknya ayah
Begitu komentar mereka

Ayah yang baik menurunkan anak yang baik
Maka ayah yang baik pun dinilai menghasilkan anak yang baik
Pikiran ini sudah melekat
Tak diragukan lagi

Padahal kenyatannya bisa meleset
Ayah baik anak jahat
Anak baik ayah jahat
Harapannya memang ayah baik anak juga baik

Puisi ini kutulis iseng-iseng
Karena kompasiana sulit dibuka
Yang ada hanya tulisan eror
Larilah ke kompas.com

Ide pun muncul
Kompas.com itu ayahnya
Kompasiana anaknya
Beri judul lain ayah lain anak

Lain kompas.com lain kompasiana
Memang keduanya lain
Satunya ayah satunya anak
Bukan tanpa alasan memilih kompas.com sebagai ayah

Boleh tanya mengapa buka ibu
Sebab ibu yang melahirkan
Ya tentu saja
Tetapi aku pilih ayah saja

Sebab tentang baik dan buruknya anak
Sering dikaitkan dengan anak
Meski kenyataannya anak yang baik juga
Dipengaruhi oleh ibunya

Santo Agustinus jadi orang baik
Karena Ibunya Monika berusaha menanamkan sifat baik pada anaknya
Tentu Megawati jadi presiden
Karena pengaruh Soekarno ayahnya yang presiden itu

Kembali ke kompas.com dan kompasiana
Ini bukan kritik untuk kompasiana
Ini hanya puisi iseng setelah kompasiana tidak bisa diakses
Buka kompas.com memang lancar

Maka, memang kompas.com itu ayah yang baik
Kompas.com jadi pilihan ketika kompasiana macet
Kompasiana juga belajar dari kompas.com
Lihat saja berita kompasiana itu banyak terinspirasi dari kompas.com

Maka, sambil menunggu kompasiana bisa diakses
Kutulis puisi ini
Biar disimpan saja di komputer
Dari pada ide ini hilang begitu saja

Salam hormat untuk tim kompasiana
Yang sedang giat-giatnya memberi tenaga baru pada kompasiana
Salam semangat untuk kompasianer sekalian

PRM, 2/6/15
Gordi

ILUSTRASI kaskus
Sepak bola sejatinya adalah permainan yang merakyat. Sebab, permainan ini adalah permainan para rakyat kecil. Di mata rakyat kecil, permainan ini tidak pernah menjadi polemik. Sepak bola bagi rakyat kecil adalah sebuah kegembiraan. Itulah sebabnya rakyat di kampung-kampung beramai-ramai menonton pertandingan sepak bola di lapangan kampung mereka. Sore hari orang tua tertawa menyaksikan lucunya permainan anak dan cucu mereka. Kelelahan setelah seharian bekerja terusir dengan menyaksikan pertandingan sepak bola.

Di mata mereka, sepak bola menjadi sebuah hiburan. Karena hiburan, mereka tidak pernah menjadikan sepak bola sebagai sumber konflik. Justru sepak bola menjadi solusi konflik bagi mereka. Lihatlah keluarga yang berseteru, anak-anak mereka sama-sama bermain di lapangan. Mereka tidak pernah mempersoalkan di luar lapangan ada konflik. Tidak. Yang ada hanya perdamaian.

Sepak bola sebagai hiburan rakyat kecil bukan saja milik Indonesia. Penulis pernah membaca kisah hidup beberapa permainan dari salah satu negeri sepak bola, Brasil. Mereka bermain di lapangan kampung. Bola pun bukan bola yang diperebutkan para pemain internasional. Bolanya hanya berupa gulungan kertas dan plastik. Beberapa film juga mengisahkan kehidupan masa kecil beberapa pemain legenda Brasil ini. Penulis juga pernah merasakan asyiknya bermain dengan bola hasil gulungan kertas, daun, bahkan plastik. Meski bola ini sederhana, permainan kami justru mengasyikkan. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada sakit hati setelah kalah. Yang ada hanya puas.

Permainan sepak bola bagi kami saat itu menjadi hiburan harian. Karena hiburan harian, bagi kami, permainan itu bukan milik hari ini saja. Permainan kami seperti bentuk bola itu sendiri, bulat. Hari ini kalah, besok menang. Bola tidak pernah memihak satu posisi. Demikian juga kami waktu itu.

Sepak bola Indonesia saat ini sedang dilanda rasa sedih. Rasa sedih pertama-tama bukan kepada pengelolanya. Rasa sedih itu justru dialami rakyat kecil. Betapa olahraga yang menjadi kebangaan dan kecintaan mereka itu kini menjadi sumber polemik. Berbagai kepentingan muncul dari kelompok pengelola. Bahkan berbagai kelompok ikut campur tangan. Saking ramainya campur tangan ini, pengelola sepak bola internasional pun ikut nimbrung. Alhasil, sepak bola Indonesia disepak keluar lapangan dari pengelola sepak bola internasional. Sepak bola Indonesia ibarat bola yang tak berangin, yang tak layak masuk lapangan sepak bola, yang harus ditendang keluar.

Rakyat tentu tak rugi sebab mereka tidak ikut mengelola sepak bola ini. Rakyat kecil si pelosok sana tetap mencintai sepak bola. Bagi mereka, sepak bola yang bermasalah adalah sepak bola nasional. Sepak bola di kampung mereka tidak bermasalah. Sepak bola di kampung mereka tetap menjadi tontonan yang menyenangkan. Betapa malunya sepak bola nasional melihat sepak bola kampungan ini. Satunya menciptakan suasana gembira, satunya lagi sedih.

Sepak bola kampungan semestinya menjadi contoh bagi sepak bola nasional. Belajar membuat sepak bola menjadi tontonan yang menarik, yang membuat tertawa. Sepak bola memang sejatinya adalah hiburan. Dan karena hiburan sepak bola mestinya membuat orang tertawa. Sepak bola bukan bisnis. Ketika bisnis masuk ranah sepak bola, hancurlah jati dirinya. Bisnis masuk, mafia juga masuk. Italia dengan pengalaman panjangnya mengelola sepak bola menjadi contoh. Beberapa klub sudah tak tahan dengan mafia-bisnis. Bangkrut. Beberapa lagi menunggu waktu. Di mana ada bisnis memang, di situ rawan mafia. Maka, kalau tidak hati-hati bisa-bisa bangkrut.

Rakyat kecil di Indonesia seperti penggemar sepak bola di Italia. Mereka kecewa ketika sepak bola bukan lagi tontonan yang menggembirakan. Banyak yang bergurau, zaman emas sepak bola, sudah berlalu. Kini datang zaman sepak bola mafia. Sepak bola Indonesia juga kiranya demikian. Zaman emas sepak bola Indonesia sudah berlalu. Sepak bola Indonesia kini adalah sepak bola bisnis. Sepak bola mafia.

Maka, kalau mau kembalikan sepak bola pada tontonan yang menggembirakan, kembalikan sepak bola itu pada rakyat. Jangan beri hak mengelola kepada pecinta bisnis. Sebab, kepentingan mereka terselib di dalam nama besarnya dunia sepak bola. Banyak teman saya dari negara sepak bola bertanya, bagaimana mungkin dari lebih dari 250 juta penduduk Indonesia, tidak bisa menghasilkan klub sepak bola yang bermutu?

Saya diam saja mendengarnya. Saya bisa menjawabnya tetapi tidak saya jawab. Saya mengerti maksud pertanyaannya tetapi tidak mau menanggapi. Ah dunia sepak bola Indonesia memang belum bisa memberikan kepuasan kepada pecinta sepak bola Indonesia.

PRM, 2/6/15

ILUSTRASI happyblog
Hidup melarat mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan mereka. Atau kalau bukan melarat, miskin. Melarat mungkin keterlaluan. Baiklah bilang saja miskin. Yang meskipun mungkin tak cukup menggambarkan kehidupan mereka.

Mereka yang datang negeri seberang atau benua seberang. Mengadu nasib di negara kaya. Berharap mengubah hidup. Yang ada malah tidak juga. Keinginan memang tidak akan pernah menjadi 100 persen. Keinginan itu menjadi nyata jika direalisasikan. Meskipun merealisasikannya amat sulit. Butuh kerja keras. Dan, mungkin kerja keras itulah yang mereka butuhkan. Satu-satunya jalan itu saja. Tidak ada yang lain lagi. Negeri kaya ini pun sudah melewatinya.

Ya tentang para imigran itu. Hati tergerak untuk membantu setiap kali melihat kehidupan mereka. Jadi tukang minta-minta. Di pintu gereja, di emperan toko, di piazza tempat berkumpulnya orang banyak, bahkan di gerbang sekolah sampai di kios koran. Muncul pertanyaan sebelum mendekati mereka, mengapa mereka seperti ini? Tidak adakah yang mengubah kehidupan mereka?

Mungkin sulit menjawabnya. Kesulitan ini juga muncul saat mencoba memahami kehidupan mereka. Sudah tahu dan jelas sekali mereka pendatang. Datang dengan harapan mengubah nasib. Apa daya nyatanya tidak ubah juga. Malah jadi aneh. Mereka meminta sepotong roti, koin euro, dan sebagainya. Tapi, kok begitu keluar dari kompleks toko, kompleks gereja, kompleks kios koran, mereka dengan asyiknya menghembuskan asap rokoknya, meneguk bir kesukaannya, bahkan sampai membuang sepotong roti.

Betul-betul tidak mengerti dengan kehidupan mereka. Jika masih seperti ini tak salah jika dinilai sombong. Lebih baik tidak membantu, begitu komentar seorang teman. Dia tahu mereka ini pantas dibantu tetapi kalau kelakuan mereka seperti itu lebih baik tidak membantu. Apalagi jika mereka mencuri. Mulai dari mencuri sepeda di parkiran misalnya. Itu perkara kecil tetapi betul-betul tidak enak dan haram untuk ukuran negara kaya dan nyaman ini. Betapa jadi tidak enaknya jika pengendara sepeda dihantui rasa was-was sepedanya dicuri setiap kali memarkir sepedanya.

Membantu memang baik tetapi jika tidak ada niat untuk menerima bantuan lebih baik jangan membantu. Akhirnya, kalau mereka tidak berubah, mereka tetap saja menjadi miskin dan melarat di negara kaya. Mereka tetap jadi pengemis di tengah kerumunan orang kaya yang lalu lalang di restoran di pinggir jalan. Mereka hanya jadi tukang pengemis di tengah keramaian orang kaya yang menghabiskan malam minggunya di restoran sambil makan, minum, goyang, dan bercerita atau merencanakan bisnisnya. Ah hidup ini tak enak.

PRM, 1/6/15
Gordi

ILUSTRASI dari sini
Bilang bagus padahal kenyataannya tidak bagus. Atau paling tidak kurang bagus. Ya, belum bagus. Tapi, dia tetap bilang bagus sekali.

Itulah kata-kata yang didengar pagi ini. Kata-kata pujian seorang nenek kepada anak muda asing itu. Mungkin karena asing, pujian itu pun sebetulnya asing. Meski asing, kedengarannya bagus. Seperti tidak asing.

Ya asingnya di mana? Dia bilang kamu bicara bagus. Membaca bagus. Padahal kenyataanya tidak juga. Dia membaca sebagai orang asing. Dia berbicara sebagai orang asing. Sehebatnya dia tetaplah orang asing tidak bisa menyamai penutur aslinya.

Ibarat menghitamkan kulit orang Eropa. Andai dia berjemur sepanjang bulan di bawah mentari tropis, kulit hitamnya tidak akan menyamai hitamnya kulit orang tropis. Dia bisa membuatnya hitam. Tetapi, hitamnya tetap beda dengan hitamnya kulit orang tropis asli.

Pujian itu kedengarannya bagus. Apalagi diucapkan oleh penutur asli bahasa asing itu. Dalam hati ada kebanggan, wah sudah bisa. Meski baru saja mulai mempelajarinya. Hati berbunga. Tetapi sebenarnya, hati berbunga itu hanya permainan emosi. Emosi memang bisa dimainkan bahkan dipermainkan juga. Emosi itulah yang membuat manusia bisa sejenak melayang jauh dari kesadarannya.

Pujian itu memang tidak salah. Tidak salah juga menanggapinya dengan hati berbunga. Tetapi, hati itu hendaknya tetap dikontrol. Jangan sampai hati berbunga itu menuntun perjalananmu. Sebab, hati yang berbunga itu tidak beda jauh dengan bunga. Bunga yang mekar di kala fajar dan layu kala senja. Maka, biarkan hati berbunga itu menikmati keindahannya. Setelahnya, tuntunlah dia ke senjanya. Kembali mempelajari bahasa asing itu sampai bisa berbicara dengan baik.

Kelak, entah pujian itu datang lagi. Biarkan saja. Sebab, biar keliru, tetap menerima pujian. Biar keliru, mereka memakluminya. Jangan tergoda dengan pujian. Pujian hanya obral kata sesaat. Hampir 90% dari pujian adalah obral kata. Dan karena obral kata, pujian itu hanyalah bentuk permainan emosi belaka. Biarkan pujian datang. Mari balas pujian itu jadi pujian yang memang layak diterima. Mengubah pujian asal obral jadi pujian yang memang pantas diberikan. Pujian yang seperti hadiah untuk anak SD yang lulus dengan nilai bagus.

PRM, 31/5/15

Gordi

Bilang Bagus padahal Kurang Bagus

FOTO, kompasiana.com
Dapat penghargaan di blog kompasiana adalah sebuah kebangaan. Bangga karena merasa dihargai di blog besar dan ramai ini. Tidak semua orang bisa dapat. Hanya sekian dari sekian banyak orang. Dengan kata lain, untuk dapat penghargaan mesti ada kelebihan atau kehebatan tertentu.

Kehebatan itu adalah kemampuan menulis. Dengan kemampuan itu, kompasianer dapat menciptakan karya yang bagus. Karya yang bagus bisa masuk kategori HL, atau Highlight, atau TA, atau Feature. Istilah ini kiranya sudah terkenal di kalangan kompasianer. Dan, sudah banyak kompasianer yang mampu membuat tulisan berkategori di atas. Yang belum tentu saja tunggu saatnya. Tidak perlu merasa kecewa jika tidak masuk. Karena, dalam kompasiana ini sebenarnya tidak ada kata TIDAK. Yang ada hanya BELUM. Jadi, yang belum dapat tunggu saja saatnya datang. Para pengelola akan memilih karya-karya terbaik dari kompasianer sekalian. Kesempatan untuk dapat penghargaan itu memang terbuka bagi semua kompasianer. Tentu dengan kriteria yang tertera dalam peraturan kompasiana ini. Kalau karya kompasianer memang tidak masuk kategori ya tentu belum bisa masuk kolom khusus di atas.

Sebagai kompasianer, saya sendiri cenderung untuk tidak memperoleh penghargaan di atas. Saya punya alasannya. Sebelumnya, saya sudah dapat penghargaan kecil seperti masuk HL, highlight dan TA. Mungkin kebetulan saja. Tetapi, bisa juga bukan kebetulan. Kebetulan karena saya tidak menyangka misalnya tulisan saya masuk di kolom TA. Bukan kebetulan karena memang saya menulis dengan baik dan hasilnya tulisan itu masuk kolom HL. Atau juga tulisan lain yang masuk kategori INSPIRATIF, BERMANFAAT, AKTUAL, dan MENARIK.

Tentu saja hanya beberapa dari tulisan saya. Tidak banyak kalau dihitung. Tetapi dari yang sedikit itu, saya sendiri merasa bangga. Bangga karena rupanya tulisan saya dihargai. Bangga karena ternyata saya punya kemampuan untuk menulis dengan baik. Bangga karena ada yang menilai tulisan saya berinspiratif. Beberapa puisi saya sering masuk kategori inspiratif ini meski saya sendiri tidak mau menamai diri saya sebagai penyair (penulis puisi). Saya sendiri cenderung menilai diri saya sebagai penikmat puisi, pembaca karya puisi, pembaca CERPEN dan CERMIN di kompasiana. Dari membaca, saya menulis puisi.

Nah, kalau semua kategori khusus di atas sudah saya dapat, mengapa tidak mau menerima penghargaan lagi? Saya tentu bangga jika ada penghargaan lagi. Tetapi, untuk apa? Saya kira tidak ada lagi penghargaan yang lebih bernilai dari yang sudah saya dapatkan. HL sudah, TA sudah, tinggal saja CENTANG BIRU yang katanya, hanya penulis yang bersumbangsih saja yang bisa dapat centang biru. Maksudnya, kompasianer yang tulisannya—katakan saja—bermanfaat untuk kepentingan bersama. Mohon dikoreksi kalau saya salah ingat. Waktu itu ada pemberitahuan dari admin tentang ini tetapi sekarang saya sudah lupa. Dan, memang kompasianer yang ber-CENTANG BIRU menurut saya, tulisannya bagus dan bermanfaat. Tentu saya juga bisa mendapatkannya. Saya yakin sekali untuk dapat CENTANG BIRU ini. Tinggal saja menulis dengan baik, atau lebih baik lagi dari sekarang, dan menulis artikel yang bermanfaat bagi kepentingan bersama, pada akhirnya pasti saya dapat. Tetapi bagi saya CENTANG BIRU itu tidak terlalu saya perlukan. Kalau dikasih centang biru ya silakan. Kalau tidak juga silakan. Toh, saya menulis di kompasiana ini gratis dan tidak bertujuan untuk mencari penghargaan. Kalau dikasih tentu saja diterima.

Saya cenderung untuk mengatakan LEBIH BAGUS JIKA SAYA TIDAK MENDAPAT PENGHARGAAN itu. Alasannya? Saya tahu kompasianer dengan CENTANG BIRU adalah kompasianer yang bisa dinilai ‘berkelas’ketimbang kompasianer lainnya. Maaf, label ini mau tak mau saya pakai. Bukan untuk mengatakan kompasianer yang tidak bercentang biru tidak berkelas. Apa boleh buat dalam pembagian semacam ini, pembedaan mesti ada. Apalagi sudah jelas. Tetapi tidak perlu menarik kesimpulan bahwa yang tidak bercentang biru tidak berkelas. Tidak! Bukan itu maksud saya. Tentu memang mereka belum bercentang biru. Jadi, masih ada kemungkinan untuk bercentang biru. Seperti saya juga ada kemungkinan untuk dapat itu.

Dengan centang itu, pandangan kompasianer lain otomatis juga berubah. Yang bercentang adalah yang tulisannya bagus. Maka, kalau ada tulisannya nanti yang tidak atau kurang bagus, komentar pun muncul. Kompasianer ini kok tulisannya begini-begini saja padahal sudah bercentang biru. Penilaian semacam ini kadang subyektif tetapi apa boleh buat pasti akan muncul.

Saya cenderung untuk tidak menerima centang itu karena alasan ini juga. Saya bukan penulis hebat di kompasiana meski ada kemungkinan untuk jadi penulis hebat. Saya bukan penulis yang rajin menulis di kompasiana meski saya bisa saja menulis setiap hari. Saya bukan penulis artikel yang berguna bagi sesama—yang masuk kategori khusus—meski  sesekali saya dapat.

Saya hanya menulis untuk megisi waktu dan berbagi. Sekali lagi mengisi waktu dan berbagi. Jadi, dengan dua modal ini, saya bisa menulis dengan bebas tanpa iming-iming menulis hebat dan bagus atau menulis supaya dapat HL. Saya menulis BUKAN UNTUK DAPAT PENGHARGAAN dan BUKAN SUPAYA MASUK KATEGORI HL atau TA. Bukan. Saya menulis untuk berbagi dan mengisi waktu luang saja. Jadi, kalau masuk HL, TA, atau berguna bagi sesama, itu hanya konsekuensi. Saya menulis dan ada konsekuensinya. Konsekuensi itu saya dapat baik dari pengelola kompasiana maupun dari pembaca. Menulis untuk berbagi memang asyik. Saya bisa menulis kapan saja dan memilih topik apa saja.

Mungkin RUGI atau saya merasa KASIHAN pada kompasiana jika saya diberi penghargaan CENTANG BIRU tetapi saya tidak rajin menulis. Kasihan kompasiana jika beri saya centang biru tetapi saya tidak mampu menghasilkan tulisan yang bermutu dan bermanfaat. Jika centang itu diberikan, ibaratnya saya seperti menerima gaji ketiga belas. Dan, saya sendiri merasa gaji ini gratis dan tentunya saya harus membalasnya dengan gratis. Balas gratis dalam konteks ini di kompasiana adalah menulis dengan baik, bermutu, dan bermanfaat. SAYA MALU jika sudah dapat CENTANG BIRU tetapi tidak bisa menghasilkan TULISAN YANG BAIK DAN BERGUNA. Jadi, biarkan saya tidak menerima centang itu agar saya tetap menulis di sini dengan baik.

Dengan tidak menerima centang, saya selalu merasa tulisan saya tidak bagus. Dan dengan merasa tulisan saya tidak bagus, saya akan terus menerus BERUSAHA untuk membuat tulisan yang BAGUS dan BERMANFAAT.

Sekadar sharing pengalaman. Terima kasih untuk pembaca.

PRM, 29/5/15
Gordi

FOTO, sinarharapan.co
Memalsukan sesuatu boleh dibilang haram. Karena haramnya, lebih baik jangan melakukannya. Memalsukan berarti mematikan kreativitas. Jika kreativitas mati, tidak ada lagi karya baru yang muncul. Memalsukan juga membuat pencipta barang asli kecewa dan rugi besar. Mungkin harga barang ciptaannya tidak seberapa, tetapi kalau ada yang memalsukannya betapa kecewa dan ruginya dia.

Hari-hari ini beredar isu ijazah palsu. Sebenarnya isu ini sudah lama, tetapi kok muncul lagi. Pertanyaannya mengapa muncul lagi. Isu ijazah palsu memang sering dikaitkan dengan institusi pendidikan. Kadang-kadang pendidikan jadi sorotan gara-gara isu ini. Memang ada benarnya juga, sebab yang berhak mengeluarkan ijazah yang asli adalah institusi pendidikan. Jadi, bisa dengan mudah juga menuduh pembuat ijazah palsu adalah institusi pendidikan. Tetapi, ini sebenarnya tidak benar seratus persen.

Ada juga orang yang mengatasnamakan institusi pendidikan untuk mengedarkan ijazah palsu ini. Misalnya ijazah palsu yang dimiliki anggota politisi. Benarkah ijazah ini dikeluarkan oleh institusi pendidikan? Rasa-rasanya tidak. Ijazah ini boleh jadi diciptakan secara kilat begitu saja untuk menunjang karier politisi. Politisi bisa saja dengan mudah mengintimidasi institusi pendidikan untuk mengeluarkan ijazah palsu untuknya. Kalau benar seperti ini, betapa politisi ini tidak berbobot. Mau jadi wakil rakyat kok pakai ijazah palsu. Saya tidak tahu apakah ini benar-benar ada. Kalau ada, benar-benar memalukan. Dan betapa memalukannya jadi rakyat Indonesia yang wakil rakyatnya menggunakan ijazah palsu.

Isu ijazah palsu ini memang sungguh memalukan institusi pendidikan Indonesia. Betapa nama lembaga mulia ini dengan mudahnya saja dikotori isu ini. Atau memang institusi pendidikan Indonesia benar-benar sekotor ini?

Rasa-rasanya tidak. Saya sendiri selalu bangga dengan kampus saya. Meski saya lulus dengan nilai memuaskan dan bukan amat memuaskan, saya bangga dengan kualitas kampus saya. Kualitas yang tampak dari lembaga secara keseluruhan. Baik kualitas dosen, mahasiswa, pengelola, dan juga relasi dengan karyawan. Dengan ini, saya bangga karena kampus saya berkualitas.

Saya kira banyak kampus elit lain di Indonesia yang kualitasnya jauh lebih elit dari kampus saya yang kecil itu. UI dan UGM adalah beberapa dari nama kampus elit dan berkualitas tinggi di Indonesia. Dan, saya yakin kampus-kampus elit ini tidak pernah mengeluarkan ijazah palsu. Saya juga berharap institusi pendidikan mana pun di Indonesia tidak boleh mengeluarkan ijazah palsu. Kalau ada yang meminta entah dengan imbalan uang, tolong jangan dilayani. Betapa rendahnya martabat institusi pendidikan jika ijazah didapat bukan dengan hasil belajar tetapi cukup dibeli dengan uang. Kalau masih ada institusi pendidikan yang dengan mudah menerima tawaran membuat ijazah palsu, betapa nama harum lembaga pendidikan di Indonesia tercoreng gara-gara ulag institusi buruk seperti ini.

Ijazah itu adalah bentuk penghargaan kepada peserta didik. Ijazah itu seperti hasil berasnya para petani, hasil tangkapannya para nelayan, buah-buahannya para petani buah. Betapa puasnya petani padi melihat usahanya berbuah dalam bentuk beras. Demikian dengan nelayan yang puas karena mendapat banyak tangkapan di pagi hari. Menerima ijazah pada akhir proses belajar seperti menerima segepok uang hasil jualan buah-buahan di pasar.

Ijazah meski bisa dibandingkan dengan hasil buah itu, tetap mempunyai nilai penting di baliknya. Ijazah bukanlah uang yang bisa lenyap seketika. Ijazah lebih dari uang. Di Indonesia ijazah itu berlaku seumur hidup. Bahkan, ketika mati pun, ijazah itu menjadi barang berharga dan akan disimpan baik-baik oleh anak cucu. Betapa berharganya ijazah itu.

Karena berharga, ijazah itu tidak boleh dipalsukan. Dan, kalau sampai saat ini Indonesia masih mengenal isu ijazah palsu, betapa Indonesia belum mau memberantas praktik ini. Isu ijazah palsu justru membuat pendidikan Indonesia menjadi tidak berkualitas atau kurang berkualitas. Padahal, di tingkat internasional saat ini, negara-negara lain sudah berlomba meningkatkan kualitas pendidikannya. Dan, sebenarnya institusi pendidikan Indonesia sudah mampu bersaing di kancah internasional. Jadi, kalau isu ini masih beredar, tolong segera diatasi.

Kelak, institusi pendidikan Indonesia tetap bisa diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional. Lebih dari sekadar bisa diperhitungkan, dengan hilangnya praktik ijazah palsu, institusi pendidikan mampu menciptakan wajah pendidikan Indonesia yang bermutu. Anak-anak Indonesia kelak selalu menciptakan hal-hal baru berkat kreativitas yang ada. Jadi, segeralah berantas isu ijazah palsu ini.

Salam cinta pendidikan.

PRM, 28/5/15
Gordi

FOTO, zujava.com
Buku itu adalah guruku. Dari buku itu kukenal pendidikan. Mungkin agak mustahil. Bagaimana mungkin? Tetapi bagiku itu mungkin dan tidak mustahil. Buku itu mengajarku tentang arti pendidikan.

Tak sengaja kutemukan suatu sore. Kala itu, ibuku bekerja di dapur. Aku sibuk sendiri. Ibuku memberikan begitu saja buku itu padaku. Mungkin, pikirnya, biar aku juga sibuk sendiri. Dia juga mungkin berpikir, dia tak mau sibuk denganku. Dia bekerja sehingga tidak boleh diganggu.

Kubuka buku itu. Belum tahu membacanya. Maklum, belum sekolah. Belum tahu menerjemahkan gambar. Tetapi, aku senang melihat gambar-gambar. Mungkin indra melihatku waktu itu mulai berfungsi dengan baik. Dengan indra itulah aku bisa merasa tertarik dengan gambar itu.

Gambar seorang anak kecil—sepertiku waktu itu—menyusuri jalan setapak ke sekolahnya. Di tangannya ada beberapa buku. Dia sendirian. Entah kakak dan adiknya di mana. Atau mungkin dia seorang diri. Tidak ada yang menemaninya. Ibu tidak. Bapak juga tidak. Kakek juga tidak. Nenek juga tidak. Tidak ada sopir atau tukang ojek yang mengantarnya. Ceritanya lain kalau dia diantar sama bapak atau ibunya atau sopir pribadinya. Tidak. Dia sendiri.

Dia sendiri ke sekolah membawa bukunya. Entaha apa isi buku itu. Tidak dijelaskan. Aku hanya berhenti dan terharu dengan buku yang dibawanya itu. Hanya dia dan buku itu. Bagi dia, dia dan buku sudah cukup menjadi media untuk memperoleh pendidikan. Mungkin perlu juga didikan guru dan orang tua. Itu perkara kemudian. Di gambar itu, hanya dia dan buku itu.

Aku pun menebak, gambar itu adalah seorang siswa. Lengkap dengan bukunya. Sebab, tidak ada anak yang sedang memancing dan membawa buku. Anak yang sedang membawa buku tentu anak sekolah.

Buku itu diberikan begitu saja sama ibuku. Tidak berpikir kalau buku itu menjadi guruku. Guru yang mengajarku melihat sesuatu dengan kacamata pendidikan. Guru yang mengajarku tidak saja dengan membaca dan menulis tetapi juga dengan melihat. Melihat gambar. Gambar anak sekolah. Buku itu guruku. Buku yang aku kenang selalu.

PRM, 28/5/15

Gordi

Powered by Blogger.