Halloween party ideas 2015
Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts


Pernahkah Anda merasa puas dalam membaca? Berapa lama rasa itu ada? Sejenak? Sepekan? Sebulan?

Saya merasa puas setelah membaca sebuah buku. Juga novel, atau kumpulan karangan. Puas karena berhasil membacanya sampai tuntas. Itu sebabnya saya selalu membaca buku sampai tuntas.

Tadi siang, saya tuntas membaca novel Perahu Kertas karangan Dewi Lestari. Saya puas. Buku bertebal 400-an halaman itu selesai dalam 3 hari. Semalam, saya tidur larut gara-gara tak mau lepas buku itu.

Kisah akhirnya bagus. Tidak menggantung. Meski kisahnya masih bisa dilanjutkan. Seorang novelis memang harus memilih di mana titik akhirnya. Dan Dee, nama pena Dewi Lestari, mengakhiri dengan bertemunya dua sosok yang selalu berseberangan.

Rasa puas saya bukan saja setelah baca novel. Buku bacaan lain pun memberi kepuasan setelah tuntas membacanya. Ibarat memenangi sebuah pertandingan, demikianlah perjuangan menuntaskan membaca sebuah buku.

Tak heran jika saya puas. Dari rasa puas ini, timbul semangat untuk mulai membaca buku baru. Kelak rasa puas itu datang lagi jika saya menuntaskan buku itu.

Semoga saya tak cepat puas setelah menikmati satu buku. Sebab, rasa puas berikutnya akan ada dan akan selalu ada jika saya rajin membaca buku.
Meski hanya sesaat, rasa puas itu sungguh terasa. Paling tidak, setelah mengingat perjalanan tokoh dalam novel itu, saya puas setelah akhirnya saya tahu. Saya berhenti di satu titik. Dan di situlah saya tahu perjalanan tokohnya seperti apa.

PA, 5/3/13

Gordi


Siang ini jadi lain dari biasanya. Biasanya saya ngompasiana. Hari ini sedikit menarik diri. Merenung sejenak. Lalu, tanganku meraih buku yang masih terbungkus plastik.

Buku itu belum dibuka. Kebetulan selama ini ada beberapa buku yang dibeli. Yang ini belum sempat dibaca. Satu per satu akan dibaca.

Siang ini sehabis ibadat, saya mengambil dan membuka buku itu. Judulnya tidak asing lagi. Banyak teman sudah membaca. Namun, saya selama ini hanya penasaran saja. Siang ini tadi baru mulai garap membacanya.

Saya istirahat sejenak setelah menghabiskan 200 halaman dari buku Perahu Kertas karangan Dewi Lestari alias Dee. Menarik. Kesan saya seperti itu. Dari alurnya ceritanya. Meski belum selesai. Masih setengah buku lagi.

Novel ini sudah difilmkan. Saya belum tonton filmnya. Bukunya saja baru dibaca. Saya bukan orang yang selalu aktual. Novel lama kadang-kadang lebih menarik daripada yang baru. Demikian juga buku. Jadi, bagi saya lama atau baru gak masalah.

Saya malah bersyukur, bisa membaca novel ini. Konon, beberapa bulan lalu, saya membelinya. Kebetulan ada uang, sekali beli banyak. (kurang dari 10 buku, sesuai kondisi kantong). Sekarang baru buka-buka bungkusannya dan menikmati isinya.

Jadilah siang ini bersama Mbak Dee. Saya akan melanjutkan bacanya nanti sore. Sekarang mau off lagi dan membuka-buka koran hari ini. Koran yang biasanya dibuka pagi malah jadi siang. Biar lambat asal tetap baca. Toh gak ada yang kejar.

Selamat siang untuk kompasianers.

PA, 3/3/13

Gordi

Melahap 400-an Halaman dalam 1 Minggu


Ada apa ini judul tulisan pake jumlah halaman? Sengaja ditulis demikian. Memang isi tulisan ini membicarakan tentang halaman buku. Buku apakah yang dimasudkan itu?

Begini ceritanya. Saya ini kan rajin membaca. Membaca koran, majalah, dan buku. Saya juga sering mendapat cerita motivasi dari orang lain tentang menariknya kegiatan membaca. Memang saya selalu tertarik untuk membaca. Tema apa pun asal diulas dengan menarik saya akan membacanya.

Beberapa hari belakangan saya sedang membaca buku Perang Eropa jilid 2 dan 3. Buku PE jilid 1 sudah saya baca di Jakarta. Di Yogya ini saya melanjutkan membaca PE 2 dan 3 juga Perang Pasifik. Semuanya ditulis oleh PK Ojong, salah satu pendiri Kompas-Gramedia.

Dengan gaya jurnalistiknya, Ojong menulis dengan menarik. Ceritanya menarik untuk dibaca bersambung. Lantas jumlah 400-an halaman pun selesai dalam 1 minggu. Di Jakarta saya pernah membaca 1 hari sebanyak 200 halaman. Tetapi leher saya jadi sakit sedikit. Gara-gara menunduk terlalu lama. Dari situlah bermula saya tertarik membaca buku PE ini. Tetapi kemudian saya membuat ukuran sendiri. Membaca maksimal 100 halaman sehari. Kadang-kadang kurang seidikit. Saya menargetkan minimal kalau sibuk 50-an halaman sehari.

Buku PE jilid 1 dan 2 saya selesaikan masing-masing 1 minggu. Mulai kemarin saya membaca buku Perang Pasifik. Mudah-mudahan selesai dalam 1 minggu. Mengingat bukunya juga harus segera dikembalikan. Beginilah model membaca buku pinjaman dari orang lain atau dari perpustakaan. Jangka waktu peminjamannya terbatas.

Demikian sedikit sharing saya selama membaca buku Perang Eropa beberapa hari belakangan. Semoga ini menjadi isnpirasi bagi pembaca semuanya untuk giat membaca. Selamat membaca.
----------------------
PA, 7/11/12
GA


Perang eropa menjadi sebuah ajang menguji kekuatan senjata antara Sekutu (Amerika-Inggris) dan Jerman. Sekutu masih dilengkapi dnegan beberapa negara sahabat lainnya seperti Polandia. Sedangkan Jerman berharap pada Italia. 

Adu kekuatan senjata tak terhindarkan dalam perang Eropa ini. Yang uniknya adalah bagaimana kinerja para perancang dan ahli senjata memacu penemuan baru. Mereka ini memikirkan bagaimana menciptakan senjata model baru yang mampu menangkis atau menaklukkan senjata lawan.

Perkembangan teknologi senjata saat itu amat pesat. Ada senjata yang khusus menghalau senjata lawan. Ada yang menangkis serangan dari udara. Pokoknya macam-macam.

Boleh jadi tanpa perang teknologi senjata tidak maju. Senjata memang digunakan untuk perang. Tanpa perang senjata hanya menjadi hiasan belaka. Tetapi tahukah kita bahwa senjata yang diciptakan itu membunuh sejumlah besar manusia? Untuk apa menciptakan senjata jika manusia justru bernafsu untuk membunuh sesamanya?

Inilah salah dan kurang bijaksananya manusia modern. Menciptakan barang canggih yang justru memakan nyawa manusia. Di mana moral manusia beraksi? Aksi bobrok dalam peperangan hanya ambisi sesaat yang menanam penderitaan berkepanjangan di muka bumi ini.

Ini obrolan sambil membaca buku PERANG EROPA jilid II dan III­ karangan PK Ojong.

PA, 4/11/12
GA



Buku Perang Eropa. Tiga jilid. Sering diceritakan teman saya. Dia menggebu-gebu menjelaskan tentang perang. Katanya buku ini menarik. Saya tak langsung percaya. Diceritakan terus menerus. Seperti apakah buku itu? Jadi penasaran. 

Dia berkata lagi. Saya dulu berburu buku ini sampai ke rumah seorang guru. Kebetulan baru masuk di perpustakaan sekolah. Dia mencarinya. Gurunya juga mencari. Dua orang hobi membaca saling mencari. Guru lebih dulu meminjam. Teman saya berburu sampai ke rumahnya demi mendapatkan bukunya. Dia berhasil dan akhirnya membaca buku-buku itu.

Liburan semester ganjil tahun 2011 yang lalu, saya memimnjam buku ini diperpustakaan. Saya pun membaca buku jilid pertama. Dalam tempo 1 minggu saya membacanya. Memang menarik karena bahasanya sederhana. Mudah dimengerti. Maklum ditulis oleh seorang wartawan terkemuka di negeri ini.

Saya pun mau membaca buku lanjutannya. Tetapi, tidak ada waktu lagi. Saya pun tamat kuliah dan tidak ada lagi buku itu.

Untung saja saya dipindahkan di kota Yogyakarta. Saya memburu buku itu. Saya bukan mahasiswa lagi tetapi saya punya teman mahasiswa. Saya meminta dia meminjam buku itu.

Beruntunglah dia adalah seorang yang baik hati. Dia mencari buku itu di perpustakaan kampusnya lalu meminjamkan kepada saya.

Makanya saya sudah membaca jilid dua dari buku ini dalam tempo satu minggu juga (16-23 Oktober 2012).

Saya sekarang sedang membaca buku jilid ketiganya. Selanjutnya, saya akan membaca buku Perang Pasifik  yang juga merupakan satu serial  perang dari penulis yang sama.

Terima kasih ya teman atas kebaikanmu. Tanpamu saya tidak bisa melanutkan ipian saya membaca ketiga buku ini.

PA, 27/10/2012
Gordi Afri


Saya baru saja membaca buku Perang Eropa Jilid II Karangan PK Ojong. Ini bacaan lanjutan dari buku pertama, Perang Eropa J I. 

Saya tertarik dengan salah satu kisah prajurit di dalamnya. Di situ diceritakan bahwa para prajurit disuruh menulis surat kepada keluarga, istri dan anak-anak atau orang tua. Surat itu adalah surat wasiat. Ini dibuat menjelang berangkat perang. Jadi, semacam pemberitahuan terakhir untuk keluarga.

Malam sebelum ada penyerangan ke tempat baru, para prajurit disuruh masuk barak tentara dan mulai menulis surat wasiat ini. Jika besok dalam penyerangan terjadi hal yang tidak diinginkan, maka kepala tentara mengantar pulang jenazah beserta surat itu.

Wah...ternyata demikian yah....kisah para prajurit. Memang jadi tentara itu gampang-gampang susah. Ada tentara yang kelihatan tampan, bodinya bagus dan menarik, dan sebagainya. Suatu saat pemandangan lenyap seketika dalam peperangan.

Tak ada yang tahu. Tetapi keluarga cukup terbantu dengan surat wasiat. Paling tidak itu sebagai bukti bahwa dia berkorban demi bangsanya. Dia juga tidak melupakan keluarga yang ditinggalkan.

PA, 27/10/2012
Gordi Afri


Wanita rentan terhadap tindakan diskriminatif. Mereka direndahkan. Mereka menjadi tak berdaya. Boleh jadi akar dari semua ini adalah anggapan bahwa wanita itu lebih rendah ketimbang kaum lelaki. Padahal sejatinya wanita dan lelaki itu mempunyai derajat yang sama. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Penulis novel ini, Abidah El Khalieqy, menyadari tindakan diskriminatif terhadap kaum wanita. Dia adalah salah satu yang menyadari lalu bangkit memberontak (dengan menulis). Kiranya dia dan kita setuju bahwa tindakan diskriminatif terhadap perempuan harus dihentikan.

Novel ini mengisahkan kehidupan Nisa dan pamannya Lek Khudhori. Mereka mula-mula sama-sama memiliki keinginan yang sama yakni belajar. Sang ponakan suka dengan gaya didik pamannya. Ponakan, Nisa, menimba banyak ilmu dari pamannya. Sampai suatu ketika sang paman kuliah di Arab dan sang ponakan tetap mengirim surat. Mereka saling mengirim surat.

Meski mengisahkan kisah cinta sang ponakan dan sang paman, novel ini mempunyai pesan yang menarik yakni perjuangan terhadap kaum perempuan. Penulis dengan berani mengajukan pertanyaan kritis misalnya mengapa perempuan dilarang puasa pada saat haid?

Menurut hemat saya, pertanyaan kritis semacam ini menumbuhkan minat bertanya pada pembaca untuk menggugat diskriminasi terhadap perempuan. Kiranya dengan pertanyaan ini muncul pertanyaan lain yang kritis.

Penulis yang adalah penyair dan novelis ini mengulas kehidupan di pesantren. Kisah seputar pembacaan Alqur’an oleh para santri, pelajaran bahasa Arab, dan pelajaran lain yang terkait. Semuanya diulas dengan bahasa yang mengalir.

Penulis yang banyak mendapat penghargaan bidang tulis menulis antara lain Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY 1998 mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kehidupan perempuan. Semoga dengan membaca novel ini banyak kaum perempuan menyadari kehidupannya dan bangkit berjuang emngkritisi segala yang ada. Perempuan kiranya tidak boleh tinggal diam, menerima begitu saja peraturan yang ada. Bukan untuk memberontak secara fisik tetapi mencari dasar argumen dari peraturan yang ada. Dengan demikian pemahaman mereka diperkaya.

Judul buku: Perempuan Berkalung Sorban(Sebuah Novel)
Pengarang: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tahun terbit: 2001, 2009 (edisi revisi)

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Kaum abal-abal. Siapakah kaum abal-abal? Arswendo, penulis novel ini mengangkat kehidupan kaum abal-abal. Boleh jadi mereka bukan siapa-siapa tetapi di tangan Arswendo, kehidupan mereka menjadi cerita menarik.

Kaum abal-abal menurut Arswendo adalah kaum miskin, tak berdaya, tukang ribut, susah diatur (hlm. 1). Novel ini mengisahkan kehidupan mereka ini. Kalau dibahasakan secara umum mereka ini adalah kaum lemah. Mereka lemah dari segi sosial. Tidak punya modal untuk bertahan dalam kehidupan sosial. Mereka ini tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Tak jarang mereka ditipu atau dipaksa mengaku palsu. Justru karena lemah mereka gampang diperdaya oleh oknum tertentu.

Inilah yang dikisahkan penulis novel ini. Bahasa yang digunakan Arswendo mudah dipahami. Seperti dalam novel lainnya, bahasa Arswendo menarik dan mengalir. Uraiannya detail. Kekuatannya pada segi mendeskripsikan kehidupan kaum abal-abal. Pembaca dibawa masuk dalam seluk-beluk kehidupan mereka. Ada yang jadi tukang preman jalanan, tukang rampok, tukang hajar orang, dan kriminal lainnya. Ulah mereka kadang-kadang meresahkan warga. Petugas keamanan kadang-kadang enggan menghentikan aksi mereka karena kekuatan tak sebanding. Atau juga tidak berefek jera.

Kehidupan yang antah-berantah ini menjadi cerminan keseharian kaum abal-abal. Bagaimana pun kehidupan mesti berujung pada satu titik. Bagi mereka titik itu adalah penjara atau rumah tahanan. Ini tentu bukan pilihan mereka. Tetapi, titik itu mau tidak mau mesti diterima. Kaum abal-abal rentan dijadikan oknum palsu oleh kaum yang kuat. Mereka dipaksa mengaku palsu demi menyelamatkan kaum kuat yang melakukan tindakan kriminal.

Di penjara mereka masih melanjutkan aksi mereka. Memang tidak seterang-terang sewaktu di dunia luar. Di penjara mereka beraksi sesuai situasi dan kondisi. Mereka memeras anggota baru atau juga kaum berduit. Tawuran pun tak terhindarkan.

Selain itu novel yang ditulis oleh penyair, wartawan, novelis, kolumnis ini mengisahkan kehidupan napi (narapidana) beserta istri dan anak-anak mereka di dunia luar. Istri mereka kadang-kadang menjenguk sang suami, ada juga yang tidak dijenguk sama sekali.

Arswendo yang beberapa kali mendapat penghargaan dalam dan luar negeri juga mengulas keseharian petugas penjara. Ada kongkalingkong antara napi, penitera, jaksa, hakim, dan polisi. Tentu semuanya diulas dalam gaya bahasa novel yang menarik.

Novel ini bisa dibaca oleh siapa saja untuk mengetahui seluk beluk kehidupan dalam dunia tahanan/penjara. Kehidupan narapidana sebelum dan sewaktu menjadi tahanan. Juga, relasi antara polisi, hakim, jaksa, petugas penjara, dan narapidana. Semuanya dirangkai dalam ulasan yang menarik, bernas, dan mengalir.


Judul buku: Abal-abal(Sebuah Novel)
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Tahun terbit:1994


CPR, 7/7/2012
Gordi Afri

Gambar dari google

Pekerjaan harian wartawan ternyata bisa dikisahkan dalam bentuk novel. Kesibukan jurnalis mulai dari mencari berita, mencari nara sumber, mengejar deadline (batas waktu masuk berita) berita, berhadapan dengan pemimpin redaksi, dan tantangan lainnya bisa menjadi roh sebuah novel. Inilah yang diangkat oleh penulis novel ini.

Penulis novel ini yang adalah Guru Besar Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja, Bali ini dengan jeli mengisahkan perjalanan jurnalistik Hardiman, sang jurnalis. Dia mau menyelidiki kasus terbunuhnya Siska Ambarwati, sang pengusaha dan perempuan penghibur papan atas. Hardiman menjalankan tugas yang dipercayakan Seno, sang pemimpin redaksi ini dengan baik.

Jurnalis ini pun bekerja tanpa kenal lelah. Inilah salah satu pesan yang didapat dari novel ini. Pekerjaan apa pun asal dilakukan dengan semangat juang akan membuahkan hasil. Pembaca diajak oleh penulis novel untuk menelusuri seluk beluk berita yang muncul di koran harian. Berita itu ternyata diproses dengan panjang. Jurnalis biasanya mencari berita dan redaksi menyiapkan terbitan berita itu.

Penulis yang juga seorang penulis puisi, cerpen, novelet, novel, ratusan esai, dan kolom mengarahkan pembaca dari satu alur ke alur berikutnya. Ulasannya ringan dan mudah dibaca. Novel ini bisa dibaca dalam waktu singkat. Tiap akhir bab selalu muncul pertanyaan, bagaimana kisah selanjutnya? Pertanyaan inilah yang membuat pembaca tak berhenti begitu saja pada akhir tiap bab.

Ulasan novel bergaya jurnalistik ini membuat novel ini mudah dibaca. Bahasa jurnalistik dipadukan dengan bahasa sastra/novel. Kata-kata yang digunakan juga menarik, ringan, mengalir, dan mudah dipahami. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa membaca novel ini. Bagaimana kisah terjadinya pembunuhan terhadap cewek yang adalah pengusaha dan penghibur papan atas ini? Silakan membaca di novel ini.

Judul buku: Siska Ambarwati (Sebuah Novel)
Pengarang: Sunaryono Basuki Ks
Penerbit: Grasindo, Jakarta
Tahun terbit: 2004

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Mendengar kata ‘Cina’ kita langsung terbayang akan wajah bermata sipit, kulit putih, rambut lurus-halus, dan kaya. Memang demikianlah cirri khas orang Cina di mana saja mereka berada. Mereka sudah menyebar ke segala penjuru dunia. Namun, bagaimanakah hidup mereka di Negara tempat mereka hidup? Sudahkah mereka menjadi warga Negara tersebut? Ataukah mereka masih dianggap pendatang?

Kita tidak bisa mengelak dengan kekuatan ekonomi Cina saat ini. Lepas dari masalah HAM yang melanda negeri Cina, negeri ini diisi oleh orang cerdas dalam segala bidang. Mereka sekarang menguasai panggung ekonomi dunia. Bidang lain pun ikut naik seperti kekuatan militer, pendidikan, dan olahraga. Indonesia yang terkenal dengan olahraga bulu tangkisnya, kini, harus tunduk di hadapan Cina. Entahlah Indonesia yang mengalami kemunduran ataukah memang Cina yang mengalamai kemajuan pesat dalam dunia olahraga.

Novel Putri Cina yang ditulis oleh filsuf-sastrawan-wartawan Sindhunata mengisahkan perjalanan hidup orang-orang Cina di Indonesia. Tokoh sentralnya adalah Putri Cina. Putri adalah anak Cina yang menjadi Jawa. Dia belajar budaya Jawa dengan mengikuti berbagai pertunjukkan budaya. Dia menjadi tokoh sentral, padahal dia bukan keturunan Jawa. Karena kepiawaiannya dalam pertunjukkan dia dilirik oleh beberapa pemuda. Dia memang cantik menawan, memikat hati para lelaki. Dari ibunya dia memperoleh petuah, jadilah pemeran yang baik jika engkau menjadi tokoh dalam pertunjukkan budaya Jawa. Tak bisa dipungkiri jika ke-Jawaan-nya dalam pertunjukan itu tidak diragukan lagi. Ada yang menilai Putri Cina lebih Jawa daripada orang Jawa.

Novel ini syarat dengan pesan moral. Orang Cina di mana-mana menjadi orang hebat, sukses, dan kaya. Namun ternyata kekayaannya itu menarik mereka dari perhatian terhadap sesama. Gara-gara harta, mengejar keuntungan, orang Cina lupa akan kehidupan sesamanya. Lantas mereka sering dimusuhi, jadi sasaran amukan massa. Mereka sudah melenceng dari ajaran leluhur orang Cina, yakni memperhatikan sesama.

Meski kelompok Cina menjadi sasaran amukan massa, Putri Cina justru menjadi rebutan beberapa pemuda. Mereka tertarik dengan penampilan Putri Cina dalam setiap pertunjukkan. Beberapa pemuda bahkan rela datang jauh-jauh dari kampungnya untuk melihat pertunjukkan Putri Cina di kampung yang jauh. Banyak yang melamar dan hanya satu yang menjadi pasangannya. Percampuran antara Cina-Jawa menjadi persatuan yang melampaui sekat budaya. Cinta memang melampaui segala sekat. Kekuatan Cinta melampaui sekat yang dibuat oleh manusia. Inilah yang terjadi antara Putri Cina dan Pemuda Jawa.

Sayangnya Pemuda Jawa ini tergila oleh kuasa. Ia mempertahankan kuasanya dan lupa memperhatikan sesama. Lagi-lagi kuasa mengalahkan kehidupan manusia. Pemuda ini tidak mampu menyelamatkan keluarga sang istri. Di sinilah dia gagal. Dia memang hebat namun dia gila kuasa. Kehebatan kuasa tak mampu menjamin kehidupan manusia yang aman. Kuasa adalah puncak sekaligus jalan menuju kejatuhan yang kejam. Maka, hati-hatilah jika Anda berada di puncak kekuasaan. Bagi Anda yang berkuasa bacalah novel ini. Simaklah petuah manusiawi dari novel yang ditulis dengan bahasa yang mengalir ini.

Judul: Putri Cina
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: 2007


CPR, 16/6/2012
Gordi Afri

Gerakan karismatik tersebar di mana-mana di Gereja Katolik. Hampir setiap paroki di Keuskupan Agung Jakarta mempunyai gerakan karismatik. Bahkan di tiap paroki ada gerakan Karismatik dewasan dan remaja. Namun, sampai kini banyak yang mencibir kalau gerakan itu bertentangan dengan ajaran gereja Katolik. Bahkan ada yang menilai gerakan itu bukan asli dari gereja Katolik.

Bagaimana kita mengatasi persoalan ini?
Tidak mudah memang. Tetapi kita jangan berkecil hati. Percayalah bahwa setiap persoalan ada jalan keluarnya. Kita tidak bisa menghindar dari tuduhan bahwa gerakan karismatik itu bukan asli dari gereja Katolik tetapi dari gereja Protestan khususnya lagi pentakosta. Jangan heran jika gaya doanya berbeda dengan gaya doa dalam gereja katolik.

Lalu, mengapa gerakan karismatik masih masih bertahan di kalangan umat gereja Katolik padahal dituduh bukan dari gereja Katolik? Banyak orang Katolik sekarang tertarik dengan gerakan ini. Masih relevankah tuduhan itu? bagaimana gereja menyikapi hal ini?

Untuk menjawab pertanyaan seputar gerakan karismatik ini kita bisa membaca sebuah buku yang mengulas tentang sejarah karismatik. Buku Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik? Sebuah Pencarian  yang ditulis oleh Deshi Ramadhani SJ. Buku terbitan Kanisius tahun 2008 ini berisi sejarah dan perkembangan gerakan karismatik.

Dengan membaca buku ini kita diajak untuk menelusuri gerakan yang dianggap kontroversial ini. Romo Deshi mengajak pembaca untuk tidak mudah menuduh sebuah gerakan sebagai asli Katolik atau berasal dari Protestan. Sebelum kita menilai alangkah baiknya kita mengetahui asal-usulnya. Boleh dibilang para penuduh ini tidak mengenal seluk beluk gerakan karismatik sehingga dengan pembicaraan atau kabar angin yang ada mereka menuduh. Padahal tuduhan itu tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang gerakan karismatik.

Romo Deshi tidak menunjukkan dengan jelas bagian mana yang menjelaskan permasalahan apakah karismatik itu sungguh Katolik atau bukan. Dengan ini pembaca diajak untuk membaca secara keseluruhan isi buku ini. Pembaca akan mendapatkan jawabannya dari uraian yang ada. Dengan membaca secara keseluruhan pembaca akan mampu mengambil sikap terhadap tuduhan yang ada.

Saya yakin setelah membaca buku ini, kita tidak asal menuduh atau sembarang menuduh atau mencibir anggota gerakan karismatik. Jadi, kalau anggota gerakan ini adalah umat Katolik dan bertahan dalam jangka waktu yang lama, apakah gerakan itu tidak diterima dalam gereja Katolik? Bagaimana dengan kesaksian anggota gerakan ini yang justru merasa makin dekat dengan Yesus?

Maka, jangan menilai sebelum membaca buku ini.

CPR, 2/6/2012
Gordi Afri

Gambar: kanisiusmedia.com

Beberapa tahun lalu, kita dihebohkan oleh terkuaknya Injil Yudas yang dianggap sebagai Injil Rahasia. Gereja Katolik yang sudah menentukan hanya ada 4 Injil pun tak luput dari tuduhan merahasiakan Injil Yudas ini. Gereja dituding menyembunyikan sesuatu dan mempunyai maksud tertentu dengan merahasiakan Injil Yudas ini.

Umat Katolik pun sempat bingung dan tergoncang imannya karena tuduhan-tuduhan semacam ini. Boleh jadi Gereja dianggap tidak kredibel, tidak dapat dipercaya lagi karena ternyata menyimpan rahasia besar.

Namun, benarkah Gereja yang menyembunyikan Injil Yudas ini? Kalau Tulisan yang dianggap sebagai Injil Yudas ini disebut juga sebagai Injil, mengapa tidak dimasukkan dalam daftar Injil dalam Kitab Suci agama Katolik dan Kristen? Betulkah tulisan itu dianggap sebagai Injil yang adalah kabar gembira? Apakah tulisan itu memuat kabar yang menggembirakan bagi pembacanya?

Sebelum iman Anda tergoncang bacalah buku ini, Menguak Injil-Injil Rahasia, karya Rm Deshi Ramadhani, SJ. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, tahun 2007 ini memuat sejumlah uraian yang menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Masih ada pertanyaan lain yang diuraikan dalam buku ini. Seperti biasa tulisan penulis ini amat menarik dan mudah dipahami.

Sekadar informasi saja, bahwa Injil Yudas hanyalah salah satu tulisan yang disebut Injil Rahasia. Banyak tulisan lain yang disebut Injil Rahasia seperti Injil Thomas, Injil Filipus, Injil Maria (Magdalena), dan beberapa tulisan lain. Dalam buku ini, Rm Deshi menguraikan latar belakang dan situasi pada waktu penulisan tulisan-tulisan itu. Lalu diuraikan tulisan-tulisan itu satu per satu. Bagian akhir akan diuraikan bagaimana sebaiknya menyikapi tulisan-tulisan itu. Akhirnya sebelum iman Anda tergoncang dan menerima begitu saja tuduhan yang diberikan, Anda mesti membaca buku ini. Jangan tergoda dengan tuduhan sebelum tahu duduk persoalannya dengan jelas.

CPR, 5/5/2012
Gordi Afri



Di mana-mana sekarang ini, orang membela hak perempuan. Banyak tokoh dengan sekuat tenaga memperjuangkan hak wanita: masuk parlemen, hak untuk berkativitas sesuai tenaganya, dan sebagainya. Dari sinilah muncul gerakan emansipasi wanita. Gerakan pejuang wanita. Dan berbagai nama lainnya yang muncul. Bagaimana dengan lelaki?


Buku ADAM HARUS BICARA ini justru membela lelaki. Penulisnya, Rm Deshi Ramadhani, menyadari bahwa lelaki kadang-kadang digambarkans ebagai orang yang lemah-lembut. Bukankah lelaki mempunyai fisik yang kuat dan kekar? Sifat-sifat inilah yang mau dibela. 


Pada intinya, buku yang diterbitkan Kanisius Yogyakarta tahun 2010 ini mau mengajak pembaca untuk kembali ke hakikatnya sebagai lelaki. Dengan sifak khasnya ini, lelaki menunjukkan jati dirinya dan menyumbangkan kemampuannya demi kehidupan bersama, berbangsa, bermayarakat, dan terutama kehidupan menggereja.


Uraiannya menarik, gaya bahasa populer sangat kental. Ini yang membuat buku ini menjadi mudah dibaca. Ide-ide sulit diuraikan dalam bahasa populer sehingga pembaca mudah memahaminya. Kebetulan penulis buku ini menjadi penulis favorit saya, maka saya senang membaca buku ini. Sekarang buku-buku lain dari penulis yang sama sedang saya baca. 


Kalau Anda tertarik dan mau menggeluti ke-lelakian Anda maka simaklah buku ini. Bagaimana dengan kaum hawa? Wanita juga boleh membaca buku ini, agar bisa memahami suaminya dngan baik. Buku ini memang diberi subjudul BUKU LELAKI. Namun bukan berarti yang lelaki saja yang boleh membacanya. Tidak, semua orang boleh membacanya.


CPR, 2/5/2012

Gordi Afri


Sumber gambar di sini
Masih ingat dalam benak kita, sejak masa adven kemarin hingga perayaan Natal, kisah kelahiran Yesus Kristus. Dalam Injil diceritakan bahwa peristiwa itu dimulai ketika malaikat Gabriel bertemu gadis Galilea, Maria. Maria kelak akan menjadi Ibu Yesus. Malaikat itu membawa kabar yang mengejutkan, “Salam hai engkau yang terberkati, engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki….” Demikian kutipan teks ucapan malaikat Gabriel.
Jika kita perhatikan, malaikat Gabriel di sini berperan sebagai perantara Allah dan manusia. Dalam beberapa tradisi dan keyakinan, definisi ini diakui. Perantara di sini erat kaitan dengan pembawa kabar. Lewat malaikatlah Allah menyampaikan pesan kepada manusia.
Tentang malaikat, ada banyak pertanyaan tentang identitasnya. Kalau dia perantara, seperti apakah wujudnya? Dia bukan Allah dan bukan manusia. Lalu? Malaikat memang tidak masuk dalam kategori keduanya. Boleh dibilang malaikat itu unik. Keunikannya tampak dalam perannya. Sebagai pembawa kabar dari Allah, ia tentu berhubungan dengan Allah. Ia berkomunikasi dengan Allah. Kemudian, ketika bertemu manusia, ia berkomunikasi dengan bahasa manusia. Sampai di sini, kita bisa mengerti bahwa malaikat mengerti dua bahasa sekaligus, bahasa manusia dan bahasa Allah.
Lalu seperti apakah malaikat itu? Untuk memahaminya mesti perlu sumber bacaan banyak. Saya sendiri hanya membayangkan malaikat seperti interprestasi atas tulisan dalam Kitab Suci. Selain itu, buku Jostein Gaarder, bisa membantu kita memahami malaikat. Buku itu memang bukan buku ilmiah. Saya kira malaikat di luar kategori ilmu pengetahuan yang menekankan metode ilmiah. Oleh karena itu, seperti Jostein Gaarder, kita hanya membayangkan jasa, tanpa tahu dengan jelas seperti apakah malaikat itu.
Dalam buku ini, dipaparkan dialog manusia, Cecilia, dan malaikat Ariel. Dialog mereka seperti dialog antar-manusia. Bedanya, dialog itu terjadi pada malam hari, saat manusia tertidur. Dikisahkan bahwa, Cecilia sedang sakit. Dia selalu pamit kepada keluarganya untuk tidur. Keluarganya merelakan dia tidur. Saat itulah malaikat datang melalui celah-celah kecil di jendela, dan bertemu lalu berdialog dengan Cecilia.
Setahu saya, dalam buku ini dialog itu tidak pernah terjadi siang hari. Ketika mentari hampir naik, mereka berpisah. Dalam perbincangan itu, malaikat dan Cecilia membicarakan banyak hal termasuk alam raya ini. Juga membicarakan perbedaan manusia dan malaikat. Kalau manusia terdiri atas daging, malaikat tidak. Itulah sebabnya malaikat tidak mengenal tua-muda dalam hal fisik.
Ada perbedaan cara berpikir manusia dan malaikat. Manusia bisa lupa akan sesuatu sehingga membutuhkan waktu dan usaha untuk mengingatnya. Tidak demikian dengan malaikat yang meski lupa akan sesuatu, sesuatu itu akan datang dengan sendirinya. “Tapi, cara kami berpikir memang tak sama dengan manusia. Kami tak perlu ‘menimbang-nimbang’ untuk menemukan jawaban. Semua yang kami tahu dan semua yang bisa kami tahu, tampak di hadapan kesadaran kami secara serentak. Tuhan mengizinkan kami memahami sekeping amat kecil dari rahasia akbar-Nya, tetapi tidak semuanya. Jadi, kami harus diam tentang segala sesuatu yang tidak kami pahami.” (hlm. 137) Pengetahuan manusa bisa bertambah dan berkurang, sedangkan pengetahuan malaikat tetap saja.
  Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophi dan beberapa buku  lainnya,  berhasil membuat dialog yang menarik untuk dibaca.  Dialog yang tidak sekadar dialog tetapi mempunyai pesan agar pembaca bisa memahmi perihal malaikat. Sebagai novel, buku ini bisa mengembangkan imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai buku bacaan lain, buku ini bisa menambah wawasan untuk memahami malaikat. Meskipun pada akhirnya, kita manusia tidak memahami malaikat secara keseluruhan.  Yang jelas, malaikat berjasa untuk manusia yakni menyampaikan pesan Allah.
CPR, 30/12/2011
Gordi Afri
 Penulis: Jostein Gaarder
Judul: Cecilia & Malaikat Ariel, Kisah Indah Dialog Surga dan Bumi,  
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun terbit: 2008.

Powered by Blogger.