Halloween party ideas 2015

foto oleh Zainun Prima Etika
Jiwa dan raga perlu dijaga kesehatannya. Sebab keduanya mesti sejalan. Jika salah satunya tidak berjalan dengan baik, yang lain akan terganggu. Inilah yang terjadi jika badan sakit. Raga sakit maka jiwa pun tidak bisa berfungsi dengan baik. Jiwa di sini mencakup pikiran dan otak.

Sore ini rasanya segar dan sehat. Tadi sore ada pertandingan voli. Pemainnya bukan profesional. Masih banyak yang harus banyak berlatih. Bagaimana membuat servis yang baik, umpan yang baik, menerima bola dengan baik, memberi bola dengan baik, mematikan bola ke arah lawan, menghadang bola lawan, memasukkan bola ke dalam garis gawang, dan sebagainya.

Kami masih dalam tahap latihan. Makanya semuanya ikut ambil bagian. Tak ada yang monopoli. Ada yang sudah hebat ketimbang yang lain. tetapi ini bukan permainan individu. Makanya kami bekerja sama.

Tak ada yang lebih bernilai selain bekerja sama. Ini permainan tim. Kalau bekerja sama, ada kekompakan. Kalau tidak, permainan jadi berat sebelah.

Kerja sama. Sekali lagi bekerja sama. Dalam dunia kerja juga demikian. Kerja sama diperlukan. Makanya sering-seringlah berlatih untuk bekerja dalam tim. Bekerja bersama. Ini tidak mudah. Ada macam-macam karakter yang muncul. Bagaimana menghadapi semua ini. seperti menghadapi teman-teman yang gagal menerima bola. Seperti teman yang gagal melewatkan bola di atas net.

Selamat malam tuk para pembaca. Raga sehat jiwa pun sehat. Sekarang saya bisa menulis karena merasa segar dan sehat. Setelah tadi sore berolahraga. Sehat. Sehat. Sehat. Lebih baik menjaga hidup sehat daripada membeli banyak obat untuk mencapai kesehatan yang prima.

———————–

*obrolan malam

PA, 24/9/2012
Gordi Afri

foto oleh duckoverseasconsultant
Siapa bilang hanya orang kaya yang bisa mengunjungi tempat wisata? Ada orang miskin yang mengunjungi tempat wisata. Ya boleh jadi tidak sesering orang kaya. Tetapi, orang miskin juga bisa. Modalnya adalah kemauan dan usaha keras.

Inilah yang dialami tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sejauh 620 km. Dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Labuan Bajo-Flores hingga Komodo. Mereka bukan hanya berwisata ke komodo tetapi berwisata ke tempat-tempat yang dilewati.

Saya juga penggemar sepeda. Dan memang ke kampus selalu bersepeda. Tetapi tidak sejauh yang mereka tempuh. Tidak mengalami yang mereka alami. Hanya ada persamaan. Mendapat sapaan keramahan dari warga. Bukan hanya mendapat sapaan tetapi juga menyapa. Mereka memiliki kemauan kuat untuk menghadapi tantangan.

Mereka berusaha keras mendayung hingga titik akhir.
Naik sepeda, menyehatkan, menyegarkan.
Naik sepeda mendapat keakraban.
Naik sepeda mendapat sapaan hangat.
Naik sepeda bisa melihat varanus komodo.
Naik sepeda mendapat banyak teman baru.
Naik sepeda menjadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup.
Naik sepeda……….
Naik sepeda…..banyak petualangannya.

——————————-
*Obrolan malam menjelang bobo….

PA, 25/9/2012
Gordi Afri


foto oleh Kriscahaya
Sungguh miris dan miris mendengar berita tawuran anak sekolah di kota Jakarta. Bukan sebatas tawuran saja. Ada korban jiwa. Seperti apakah nantinya masa depan anak didik kita ini?

Kalau mau sekolah jangan buat tawuran. Jika berbakat tawuran jangan sekolah. Begitulah beberapa nasihat yang sering terdengar. Maksudnya jelas. Agar anak-anak bisa memilih satu. Atau menjadi murid di sekolah, atau menjadi pelaku tawuran. Menjadi murid berarti berhadapan dengan guru. Menjadi pelaku tawuran berarti berhadapan dengan polisi di kantornya.

Satu pilihan saja cukup. Menjadi anak sekolah misalnya. Jadilah anak sekolah yang baik. Tegar dalam menghadapi tawaran teman-teman. Manusia memang gampang tergoda tetapi kita berusaha untuk kuat berpegang teguh pada nasihat orang tua. Demikian juga dengan pilihan pelaku tawuran. Lebih baik jangan menghuni salah satu lembaga pendidikan. Bukan kamu sebagai pelaku saja yang rugi. Lembaga itu rugi. Pihak yang terlibat di dalamnya rugi. Masyarakat luas rugi.

Tidak mudah membuat pilihan ini. Orang tua saja tidak mampu. Guru saja juga tidak mampu. Masyarakat saja juga tidak mampu. Sebaiknya ada kerja sama juga. KITA dan bukan KALIAN para guru, KALIAN para orang tua, KALIAN orang-orang yang berada di lingkungan sekolah.

Mereka bilang hentikan tawuran itu. Emang gampang? Berat lho…. Tetapi sebagai teriakan yang menggertakan itu boleh saja terus digemakan. Jangan takut menghukum pelaku. Satu pelaku dihukum yang lain akan ketakutan. Sebaliknya satu ditolerir yang lainnya menunggu waktu menjadi pelaku. Selesaikan dulu satu masalah sampai tuntas, jangan tersisa sedikit pun. Maka, masalah lain ikut dicegah. Lebih baik mencegah daripada mengobati, begitu slogan pakar kesehatan yang kiranya patut didengarkan dalam dunia sosial.

Jika pendidikan menjadi ajang tawuran, jangan bermimpi pendidikan di negeri ini maju. Boleh saja kita dapat juara di tingkat internasional. tetapi, jika anak sekolah tetap menjadi biang kerok tawuran, bukan tidak mungkin masa depan anak didik kita curam dan gelap.
————————-
*Obrolan siang…………

PA, 26/9/2012
Gordi Afri

foto oleh Zakyakbars
Pembunuh itu datang di Yogyakarta
Entah dia tahu atau tidak
Yogya adalah kota pelajar

Dia memang pelajar
Dia boleh berada di kota ini
Di sini ada banyak pelajar

Sayangnya dia tidak seperti pelajar di sini
Ini kota pelajar
Kota di mana pelajar belajar

Di sini bukan kota pelajar sekaligus pembunuh
Jika kau datang di sini sebagai pelajar kami menerimamu
Tetapi jika kau datang sebagai pembunuh kami tidak mau menerima kamu

Kota kami jadi tercemar nama baiknya
Kami hanya bagian dari kota pelajar
Pelajar yang tugasnya adalah belajar

Bukan pelajar yang membunuh
Pergilah kau dari sini jika kau datang sebagai pembunuh
Jangan ajari dan pengaruhi kami dengan tindakanmu

Kami ingin mempertahankan kota ini sebagai kota pelajar
Bukan kota pembunuh
———-
*obrolan malam

PA, 28/9/2012
Gordi Afri

foto oleh Syahrulsyahputra
Siapa yang masih ingat kelima sila Pancasila? Boleh jadi banyak yang lupa. Saya hanya membacakan secara teratur kelima sila tersebut saat SD. Itu terjadi puluhan tahun lalu. Sekarang saya kadang-kadang lupa kelima sila itu. Kadang-kadang hanya ingat sebagian kalimatnya saja. Ini mungkin pengaruh daya ingat. Apalagi sekarang ini jarang disebutkan lagi.

Anak-anak sekolah sekarang juga ternyata ada yang sering lupa. Pernah saya bertanya kepada pelajar SMA tentang kelima sila tersebut. Sebagian besar sudah lupa sila-silanya. Beberapa dari mereka ingat betul. Mereka bisa menghafal. Sebagian lagi malah merasa asing karena sama sekali tidak mengingat satu-dua kalimat pun. Wah..ini bahaya. Penyakit lupa akan pancasila semakin mewabah.

Hari ini, bangsa ini merayakan hari Kesaktian Pancasila. Kata sakti ini penting. Sakti berarti memiliki daya yang luar biasa. Kesaktian berarti kemampuan yang luar biasa. Kadang-kadang kata kesaktian disematkan pada kekuatan gaib. Gaib dalam artian jauh dari jangkauan jelajah berpikir manusia.

Kesaktian pancasila. Jika kata sakti disematkan di depan pancasila, sejauh itukah daya pancasila? Tentu saja founding fathers negeri ini mengharapkan demikian. Pancasila paling tidak mesti dijadikan pengikat yang melampaui sekat budaya, daerah, agama, dan kelompok sosial. Jika dicermati dengan baik, pancasila menyokong kehidupan bersama di negeri ini.

Mereka dulu tahu, bangsa ini majemuk. Bagaimana menyatukannya? Lahirlah pancasila. Maka jangan main-main dengan latar belakang munculnya pancasila. Jangan heran jika para peneliti asing sangat bangga dengan pancasila dari Indonesia. Mereka tahu betul seluk-beluk lahirnya. Mereka juga menemukan kekuatan luar biasa dari pancasila. Tak heran jika kata KESAKTIAN disematkan di depan kata PANCASILA.

Pertanyaannya adalah masihkah pancasila ini sakti? Masihkah pancasila memiliki kekuatan luar biasa, yang melampaui sekat budaya, daerah, agama, dan kelompok sosial?
Gambaraan pelupaan isi pancasila menjadi rambu bahwa negeri ini mulai melupakan sejarahnya. Bagaimana menemukan kekuatan-kesaktian pancasila jika sila-silanya saja lupa. Tetapi tentu saja masih muncul penggiat yang gemar mengembalikan kekuatan pancasila di negeri ini. di tengah mirisnya harapan akan kesaktian pancasila, negeri ini masih mempunyai tokoh kaliber yang berusaha menegakkan pancasila.

Gerakan tokoh-tokoh seperti almarhum Gusdur kadang-kadang memang berhadapan dengan kekuatan kelompok radikal yang anti-perbedaan. Ini juga menjadi bukti bahwa pancasila kini terancam keberadaannya. Siapa lagi yang bisa mempertahankan kesaktian pancasila? Besar harapannya agar kaum muda negeri ini mau dan mampu mengembalikan KESAKTIAN PANCASILA. Selamat hari kesaktian pancasila.
———–
obrolan siang

PA, 1/10/2012
Gordi Afri

Aku hanya seorang tukang kebun
foto oleh Bambang Setiari
Tanpa aku kebun kita jadi berantakan
Tanpa aku kebun kita tidak indah
Tanpa aku kebun kita tidak terawat

Aku hanya tukang kebun
Tiap sore menenteng selang air
Tuk menyiram tanaman
Tiap sore berhadapan dengan debu

Di musim kering aku akrab dengan tanamanku
Di musim hujan juga aku akrab
Tuk mencabut rumput liar
Kini aku sibuk dengan kebunku

Tiap sore ada tugas mulia
Merapikan kebun kami
Kelak pada saatnya nanti
Kami memetik buah dari buah-buahan yang ada di kebun

Ada mangga, jambu, nangka, pepaya, markisa, rambutan, dan sebagainya
Tak sia-sia aku menyiram
Lumayan irit duit tuk beli buah
Buah hasil usaha sendiri emang segar
Lebih segar dari buah di pasar
——————–
Obrolan malam
PA, 2/10/2012
Gordi Afri



foto oleh Saleh Iskak
Aku hanya seorang tukang kebun
Tak patut jika engkau berbicara tentang ekonomi denganku
Aku hanya tahu, kebun, kebun, dan kebun
Tetapi kalau ekonomi yang berkaitan dengan kebun aku bisa
Katakanlah aku jual buah dan engkau membelinya
Laku….

Yang kayak gini aku tahu
Tetapi kalau kamu ngomong soal ekonomi kerakyatan, ekonomi Barat, dan sebagainya
Maaf aku tak paham
Tetapi aku tidak mau ditipu dengan istilah
Aku hanya seorang tukang kebun dan tidak mau dipusingkan dengan istilah-istilah
Aku tetap berusaha memahami istilah dalam dunia perkebunan

Ya… paling tidak berkaitan dengan kesuburan tanah dan pertumbuhan hasil kebunku
Kandungan humus dalam tanah misalnya
Musim berbuah tuk setiap jenis buah
Buah paling laku
Buah paling manis
Suhu yang cocok untuk setiap jenis buah

Aku memang hanya seorang tukang kebun
Tetapi aku mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebun
Ada juga ekonomi, sejarah, biologi, pertanahan, kimia, dan sebagainya
Jadi tukang kebun itu memang megasyikkan
Bukan hanya bergulat dengan kebun saja
Tetapi aku bergulat dengan segala yang berkaitan dengan kebun

Nah kalau berkaitan dengan korupsi?
Aku juga bisa masuk ke sana secara tidak langsung
Kalau orang menipu aku kan arahnya bisa ke korupsi
Tetapi ya itu terlalu jauh

Aku bisa menyentuh bidang korupsi tetapi bukan sebagai pelaku
Boleh jadi sebagai pelapor kasus korupsi
Tetapi sebelum itu terjadi
Lebih baik aku mengurus kebunku
Buah-buahan di kebunku membutuhkan air
Dan air itu harus saya berikan
Kalau tidak mereka tidak berbuah lagi

Baca juga:
————————
Obrolan pagi…..

PA, 3/10/2012
Gordi Afri

*Dimuat di blog kompasiana pada 3/10/2012



foto oleh Buruh Migran Indonesia
Negara tanpa buruh adalah negara tanpa industri
Siapa pun boleh jadi setuju dengan pernyataan ini. dengan itu mau dikatakan bahwa buruh adalah aset negara. Seperti profesi lainnya, buruh juga mempunyai sumbangan luar biasa bagi negara. Perkembangan industri tidak lepas dari peran buruh. Ilmuwan boleh saja menemukan hal baru. Selanjutnya temuan itu dilanjutkan oleh para buruh. Mereka bekerja demi mewujudnyatakan temuan itu. Bayangkan jika negara tanpa buruh. Industri akan macet. Masyarakat terkena imbasnya. Jangan harap ada kemajuan bagi amsyarakat luas.

Seorang kawan pernah berkomentar bahwa buruh di sebagian besar negara di Eropa dihargai dengan gaji tinggi. Mereka juga punya hak atas hari libur dan hari istirahat. Tak boleh mempekerjakan buruh semau kita. Pekerjaan buruh sudah diatur dalam undang-undang yang mengikat.

Jangan bandingkan dengan buruh Indonesia. Dia juga memaklumi, Indonesia belum semaju dengan negara Barat. Kata orang Indonesia memang maju. Ekonominya bagus. Mereka juga berbondong-bondong datang ke Indonesia. Berinvestasi di sini. Buka perusahaan di negeri ini. Ujung-ujungnya mereka mempekerjakan tenaga Indonesia.

Tenaga kerja Indonesia memang banyak. Katanya yang tamat kuliah pun akan jadi tenaga kerja kasar. Dalam negeri saja banyak. Bahkan sebagian lagi ke luar negeri. Dengan jumlah sebesar itu, negara ini sebenarnya sudah maju. Sumbangan para tenaga kerja besar. Tetapi mengapa sampai hari ini buruh kita masih belum sejahtera?

Itu karena kebijakan pemangku jabatan. Begitu komentar orang. Ya…ada benarnya. Buruhkan hanya pelaksana tugas. Apa yang diperintahkan atasan itulah yang mereka lakukan. Tak pernah atau jarang diajak berdialog, duduk bersama, membicarakan seuatu. Ya…buang-buang waktu saja. Jumlah buruh saja banyak. Mau bicara satu-satu?

Tak mungkin. Bisa kok bicaranya ringkas saja. Inti pembicaraan adalah menyejahterakan kehidupan mereka. hidup sejahtera menenteramkan hati. Kalau hati sudah tenteram pekerjaan pun jadi nyaman. Tak ada paksaan. Tak ada persaingan. Tak ada rasa diperas. Tak ada rasa ditipu. Tak ada rasa seperti kelinci percobaan, ditendang sana-sini. Kalau mau sejahtera, tempatkan kami, para buruh, di satu pos, dan bekerja di situ sampai menjadi mahir. Kami merasa diperas jika ditendang ke sana kemari. Hari ini di sini, bulan depan di sana, tahun depan tak tahu ke mana lagi. Kami punya anak-istri-suami yang harus kami hidupi. Kalau kami ditendang, bagaimana dengan kehidupan keluarga kami? Mereka butuh makan. Tak pantas kami diombang-ambingkan, diiming-iming, dibuai janji palsu. Kami juga manusia yang patut dihormati.

Wahai para penguasa dengarlah teriakan kami. Sampai kapan kami hidiup dalam situasi tidak emnentu? Jangan jadikan kami sebagai tenaga kontrakkan. Kontrak berarti tidak punya kebijakan. Sebentar-bentar kami dipuji, sebentar-bentar kami dihina. Biarkan kami bekerja dengan aman tanpa memikirkan akan di kemanakan lagi. Biarkan kami bekerja di tempat ini. jangan melempar kami ke perusahaan-perusahaan yang tidak jelas rimbanya. Nanti hidup kami terombang-ambing. Bagaimana jika kami mengombang-ambingkan hidup kalian, wahai para penguasa? Boleh jadi kalian tidak mau. Nah..ayo donk…hargailah kami.
——————-
Obrolan pagi dari seorang TUKANGKEBUN

PA, 3/10/2012
Gordi Afri



Foto oleh Craig A Rodway
Kali ini (Sabtu-Minggu, 29-30 Maret 2014) untuk kedua kalinya terjadi pergantian waktu. Ini menjadi aturan dasar, katakanlah demikian, di Eropa. Kala musim berganti, waktu juga berganti. Tadi malam, tepatnya jam 11 malam, waktu dimajukan satu jam, sehingga menjadi jam 12 malam. Waktu yang kemarin rupanya hanya berlaku di musim dingin sejak 26 Oktober lalu. Pembaca bisamembaca di sini, pengalaman saya waktu itu. Saat itu, waktu mundur 1 jam.

Semalam waktu berganti lagi. Dimajukan 1 jam. Beberapa bagian ritme hidup akan berganti juga. Saya mengatur kembali jam-jam saya. Jam weker yang ada di bawah bantal saya. Juga jam tangan, dan jam di atas meja, dan jam dinding. Keempat elemen inilah yang saya ganti. Namun persoalannya bukan sampai di sini saja.

Saya mengatur keempatnya. Kecuali 1, jam yang ada di atas meja yang sulit diatur karena alasan teknis. Namun, pagi ini kala bangun, saya bingung karena keempatnya menunjuk waktu yang berbeda. Jam weker hamper sama, hanya beda 1-2 menit saja. Sedangkan jam dinding dan jam di atas meja sama sekali beda. Perbedaan antara keduanya 30 menit. Sedangkan perbedaan keduanya dibandingkan dengan jam weker dan jam tangan 45 menit. Saya hamper tidak mau bangun karena ingin bermalas-malasan di atas ranjang.

Untunglah saya bias mengatasinya. Saya bangun dan memutuskan untuk mengikuti jam weker. Rupanya ini yang benar. Saya keluar kamar dan melihat jam lainnya. Saya kembali ke jalan yang benar. Saya harus mengatur kembali jam-jam yang belum benar ini.

Mengikuti perubahan memang membutuhkan pengorbanan. Kadang-kadang elemennya belum siap. Tetapi bersiap-siaplah untuk menghadapi ketidaksiapan ini lalu mengatasinya sehingga menjadi siap.

Selamat hari Minggu untuk para pembaca.

Parma, 30/3/2014

Aku ingin menulis sesuatu tentang kamu. Sudah dipikirkan matang-matang sebelumnya. Hanya satu langkah lagi untuk menulis. Yakni mengetik dengan jari. Sayang sekali langkah terakhir ini gagal. Yah…seperti anak SD yang belajar 6 tahun tetapi gagal gara-gara satu mata pelajaran yang diuji dalam tempo 1 jam.

Satu langkah terakhir yang amat berharga. Tak lengkap jika langkah itu tidak dibuat. Rasa-rasanya gampang padahal sulit dalam kenyataannya. Itu sudah lebih dari setengah. Toh..akhirnya gagal. Tak peduli lebih dari setengah atau mendekati selesai.

Sebuah proyek memang mesti selesai. Jangan ada yang tertinggal. Ibarat proyek monorel di ibu kota yang mesti selesai. Sayangnya yang ada hanya rancangan tiang. Entah itu sudah berapa puluh persen dari rancangan awal. Di mata kita proyek itu gagal.

Banyak contoh lain yang mana pekerjaan akhirnya belum selesai. Demikianlah kondisi jalan di beberapa desa. Jalan itu dibiayai oleh pajak rakyat. Entah namanya jalan negara, jalan provinsi, jalan bantuan daerah tertinggal. Belum selesai dibuat tiba-tiba berhenti. Katanya dananya kurang. Lha…kalau kurang kenapa tidak diminta lebih banyak? Atau jangan-jangan rancangannya pas tetapi dananya dikorupsi.

Ah…aku tak jadi menulis tentang kamu. Aku buka facebook tadi dan ternyata ada teman yang mau ajak bicara. KAmi pun berbicara dan lupalah ide menulis tentang kamu. Gak apa-apa yah…kapan-kapan baru disambung. Ini peristiwa tiba-tiba. Yang jelas aku bukan perencana di negeri ini yang membuat proyek tetapi tidak selesai. Mereka gampang saja membuat laporan. Padahal rakyat menderita karena menjadi korban pertama.

—————————
Obrolan pagi menjelang siang

PA, 5/10/2012
Gordi Afri

Tulisan hilang. Baru saja dibuat. Siapa yang mencurinya? Bukan siapa-siapa. Dunia maya ini kan bisa saja saling curi. Tetapi ini bukan pencurian yang menghebohkan. Bukan juga kasus saling curi. Bukan plagiat juga. Ini murni tulisan yang hilang.

Tadi saya sedang menulis di blog kompasiana. Biasanya memang saya menulis di komputer lalu masukkan di blog ini. Bukan menulis langsung di blog. Gara-gara beberapa minggu terakhir sering menulis langsung di blog, saya ketagihan. Nah..ketagihan inilah yang membuat saya menyesal bukan main.

Ketika mau menampilkan tulisan (posting), tiba-tiba komputer macet. Internetnya juga macet. Wah…keluar tulisan….LAMAN TIDAK BISA MERESPONS. Gawat. Tulisan saya hilang. Tak ada yang mencuri. Entah di mana rimbanya sekarang tulisan itu. Yang jelas saat proses menyimpan kemudian menampilkan, komputer dan jaringan internet macet. Tidak jadi proses itu. Lagi-lagi proses terakhir gagal.

Tak apa-apalah. Apa boleh buat. Ini jadi pelajaran berharga untuk selanjutnya. Beruntunglah saya masih bisa menulis lagi. Kesalahan dan kekesalan saat ini cukup untuk malam ini. Hari esok menanti dengan kejutan baru. Selamat malam buat pembaca semuanya yang setia.

——————

Obrolan malam

PA, 5/10/2012
Gordi Afri

foto oleh JJ Pacres
Siang-siang begini enaknya apa yah? Mari bermain dengan kata-kata biar otak tetap segar. Konon, ada pepatah klasik, belajar untuk hidup atau hidup untuk belajar? Pepatah ini amat terkenal. Bukan hanya itu, pepatah ini juga menjadi bahan perdebatan kami waktu SMA dulu. Menarik. Lumayan buat latihan berdebat sekaligus berdiskusi, merumuskan argumen yang logis.

Siang ini kita tidak ingin membahasnya lagi. Cukuplah itu pada massanya. Siang ini saya mengajukan pertanyaan yang mirip dengan itu. Hanya beda depannya saja. Belajar diganti dengan menulis. Menulis untuk Hidup atau Hidup untuk Menulis?

Begitulah jadinya kalaimat itu. Saya hanya mengajukan pertanyaan. Entah dianggap sebagai retorika belaka atau juga ada yanbg menjawabnya. Saya hanya melontarkan saja. Toh, kalau berdiskusi masing-masing orang punya jawaban, punya argumen.

Pilihan pertama, menulis untuk hidup, bisa. Menulis untuk menghasilkan uang. Uang ini digunakan untuk membiayai  sekolah atau membeli keperluan makanan, dan sebagainya. Menulislah sebanyak mungkin sehingga bisa memperoleh banyak uang.

Pilihan kedua, hidup untuk menulis, bisa juga. Setiap hari ada tulisan yang dihasilkan. Hidup ini tidak lain tidak bukan,  hanya untuk menulis. Lalau pekerjaan lain? Bekerja juga tetapi porsi terbesar adalah menulis. Menulis menjadi kegiatan dominan. Tiada hari tanpa menulis.

Teman-teman silakan memilih, pilihan pertama atau kedua. Mari berdiskusi juga kalau penjelasan saya tidak lengkap. Untuk itulah kita berbagi. Hidup untuk berbagi, menulis untuk berbagi, ngeblog untuk berbagi.

Selamat siang untuk pembaca semuanya.
———————
Obrolan siang menjelang santap siang

PA, 6/10/2012
Gordi Afri

foto oleh Bronwen Lee
Pernahkah kita memerhatikan kelima jari kita? Bagi yang hobi merawat kuku di tangan pasti sering memerhatikan jari. Yang lain boleh jadi jarang memerhatikan. Tetapi paling tidak kita mencuci tangan kita saat tangan itu kotor. Dengan itu, kita juga memerhatikan kebersihan jari-jari kita. 

Jari telunjuk biasanya kita gunakan untuk menunjuk orang, benda tertentu, arah tertentu, pohon tertentu, dan sebagainya. Intinya dia berfungsi sebagai penunjuk. Lebih dari penunjuk, jari itu juga melambangkan kesaktian kita. Engkau…kau..kamu…diucapkan dengan nada keras sambil menunjuk orang lain.

Ini tanda bahwa kita berkuasa atas orang yang kita tunjuk. Kita lebih benar dari orang yang ditunjuk. Dalam memerintah kadang-kadang jari ini juga berfungsi untuk menunjuk bawahan.

Tetapi satu jari tak bisa sebanding dengan empat jari lain. Ada yang mengatakan satu jari untuk orang lain dan empat jari untuk diri sendiri. Kalimat ini bisa ditafsirkan dengan dua hal.

Pertama, positif. Satu jari mau menunjukkan perhatian kita kepada orang lain. Tetapi empat jari menjadi rambu-rambu bagi kita sebelum menunjuk orang lain. Lihatlah diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain. Perintahlah diri sendiri sebelum memerintah orang lain. Empat jari ini mengingatkan kita sebelum satu jari kita mengingatkan orang lain.

Kedua, negatif. Satu jari menunjukkan kesaktian kita pada orang lain. Menunjuk yang lain berarti kita yang berkuasa atas dia. Tetapi pantaskah kita berkuasa atas dia? Bukankah kita sama-sama dan sederajat? Tidak ada yang berkuasa dan tidak yang dikuasai.

Sementara empat jari yang lain menunjukkan keangkuhan kita. Ini bisa dilihat ketika kita menunjuk dengan satu jari terbuka sedangkan empat jari lain mengepal/ tertutup. Hanya satu yang kita berikan pada yang lain, hanya satu yang membuat kita menerima yang lain, sedangkan empatnya kita tutup dan hanya dinikmati sendiri.

Sungguh malangnya jika tafsiran kedua ini yang diterapkan. Apa jadinya nanti jika satu untuk kamu dan empat untuk aku. Egoisnya hidup ini. apa salahnya satu untuk aku dan satu untuk kamu? Apa ruginya jika empat untuk aku dan empat untuk aku? Apakah tidak lebih baik jika lima untuk aku dan lima untuk kamu?

Andai hujan dibagi-bagi kepada setiap orang siapakah yang mendapat banyak? Sayangnya hujan tidak mengenal manusia. Semuanya akan terkena basahnya. Demikian juga dengan matahari yang tidak memilih manusia sesuai kebaikan dan keburukannya. Yang baik yang buruk ia sinari. Semoga terangnya matahari menerangi hati kita semua dan semoga segarnya air hujan menyegarkan hati kita semua.

———–
Obrolan pagi

PA, 8/10/2012
Gordi Afri

Foto oleh Niccresswell
Hujan kemarin membawa berkah. Tukang kebun tak perlu menyiram tanaman. Kebunnya sudah diguyur hujan. Tanahnya basah, debunya hilang. Pohonnya segar. Tak perlu repot bawa selang, buka keran, dan menyiram dari pohon ke pohon. 

Ternyata hujan itu membuat lelaki yang itu tidak tampak seperti lelaki. Dia lelaki tetapi sepertinya tidak jantan. Kena hujan sekali saja langsung sakit. Boleh jadi dia tidak tahan hujan. Katanya, kehujanan makanya sakit. Padahal teman-temannya tidak ada yang sakit. Dia memang beda.

Katanya kehujanan, betulkah itu? Mereka, termasuk dia, membawa mantel/jas hujan. Kalau hujan di jalan, mengapa tidak memakai mantel itu? Kalau sudah ada mantel mengapa masih menjawab kehujanan?

Jangan-jangan dia berbohong. Beberapa temannya bilang kemarin mereka tidak kehujanan. Hanya ada gerimis sedikit, katanya. Apakah lelaki itu sakit karena gerimis itu? Ah…mana mungkin. Boleh jadi demikian.

Tetapi mungkinkah dia hanya ingin tidur saja? Mungkin juga seperti itu. Kalau begitu, dia sudah berbohong denganku. Katanya kehujanan padahal tidak. Katanya sakit padahal mau tidur.

Oh..engkau lelaki tetapi sungguh malang tipu muslihatmu. Engkau bilang sakit padahal bukan, engkau bilang kehujanan padahal tidak. Engkaulah lelaki yang bukan lelaki. Lelaki itu jantan. Dia seharusnya tidak berbohong. Lelaki itu biasanya jujur. Dia berani mengungkapkan kesalahan dan kebenaran.

Engkau sama sekali menyembunyikan kelelakianmu. Kelelakianmu itu adalah kejantananmu itu. Dengan sebutan lelaki dan dengan tubuh-fisik serta sifat yang kamu miliki, kamu memang pantas menjadi lelaki. Sayangnya kamu bukan lelaki yang digambarkan orang. Kamu lelaki yang lemah. Kamu pantas dijuluki lelaki yang bukan lelaki.

Ah..mendingan tukang kebun itu. Dia tidak menonjolkan diri sebagai lelaki sejati. Tetapi dari perbuatannya, dia tampak seperti lelaki. Dia memang adalah lelaki sejati. Dia merawat tanamannya dengan baik. Tak perlu takut, tak perlu menyembunyikan kebobrokan.

Lelaki, jantan, ya seperti tukang kebun itu. Dia kadang-kadang dianggap tidak berguna tetapi justru dia menggunakan segala yang ada demi kemajuan rumah tangganya. Banyak orang mendapat manfaat dari pekerjaanya. Tanpa dia mana ada buah-buahan berkelimpahan di pasar?

Boleh jadi dia tidak atau jarang ke pasar. Tetapi orang tahu buah ini berasal dari kebunnya. Buah manis itu merupakan hasil usahanya. Engkau lelaki. Tunjukkan bahwa kamu lelaki dan tak lemah dikala kehujanan. Buktikan bahwa kamu lebih besar dari guyuran hujan yang membuatmu sakit-sakittan dan bukan sakit.

PA, 8/10/2012
Gordi Afri

Powered by Blogger.