Halloween party ideas 2015

Bincang-bincang soal asap. Asap yang terkenal beberapa hari belakangan adalah asap di Riau. Asap itu terbang sampai ke Singapura dan Malaysia. Asap itu dibawa angin. Angin itu rupanya bukan saja bertiup begitu saja. Angin yang membawa asap itu justru merugikan Singapura dan Malaysia. Rakyat di sana terkena penyakit gangguan pernapasan. Beberapa tempat bahkan sama sekali tidak layak untuk kehidupan. Masyarakat di sini tidak bisa bernapas dengan baik. Oleh sebab itu, pemimpin di sana melarang warganya keluar rumah.

Asap memang bisa berbahaya. Asap bisa membuatakan mata manusia. Cara kerjanya membabi-buta. Tidak kenal orang. Siapa saja yang terkena asap akan menjadi buta. Entah buta selamanya atau buta sesaat. Yang jelas mata sama sekali tidak berdaya kala asap menyelimutinya. Asap membuat manusia tak berdaya.

Ketakberdayaan itulah yang dialami warga Singapura dan malaysia. Ada analisis dari Riau 24.com bahwa kerugian akibat asap ini diperkirakan US$ 1 miliar. Angka ini besar. Maka, tak heran jika Singapura merasa tak berdaya dengan kerugian ini. Asap memang membuat Singapura dan malaysia menjadi tempat yang tidak aman untuk bekerja. Pekerja tidak nyaman beraktivitas. Bukan saja pekerja, pendatang pun diperkirakan akan menurun. Situasi ini ternyata membuat pendatang juga tak berdaya. Meski mereka sebenarnya bisa berkunjung ke dua negara ini. Tetapi, situasi di sana membuat mereka tak berdaya. Seolah-olah biaya besar yang mereka siapkan tak mampu menghadapi tantangan asap ini. Asap memang membuat segalanya menjadi kabur.

Asap bagi masyarakat tradisional menjadi sebuah berkat. Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada yang dibakar. Di kampung-kampung api menjadi sesuatu yang dirindukan. Api bisa mengusir kedinginan di pagi hari. Anak sekolah sebelum berangkat ke sekolah biasayanya menghangatkan tubuh mereka di dekat tungku api. Sementara itu, ibu-ibu memasak, entah air, nasi, sayur, dan lauk. Api menjadi sumber kehidupan. Dari sana muncul bekal hidup di pagi hari. Api juga menjadi penghangat badan dikala diselimuti suhu dingin. Api beserta asapnya juga menjadi tempat memanggang sate dan jenis daging lainnya. Api di sini menjadi sumber penghidupan.

Asap bagi para petani juga menjadi tanda dimulai pembukaan kebun baru. Kayu-kayu dan rumput yang sudah dipotong dimasukkan dalam api. Dari sini muncul asap. Api ini membakar semua dedaunan dan kayu yang ada. Daun-daun mentah yang berwarna hijau biasanya menjadi sumber asap. Asap ini kadang menjulang tinggi ke awan. Dari jauh tampak asap ini. Dan, semua yang melihatnya tahu, di sana ada pembukaan kebun baru.

Kebun baru biasanya bertanah subur. Itulah sebabnya tanah itu ditanami benih yang bermanfaat bagi petani. Entah sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, jagung, kedelai, dan sebagainya. Menurut cerita para petani, abu hasil bakaran rerumputan akan menjadi sumber kesuburan tanah. Jadi, abu itu membawa pupuk untuk kesburan tanah. Asap bagi petani menjadi tanda dimulainya sebuah perjuangan. Berjuang untuk menanam dan membesarkan tanamannya.
Asap bagi petani emmang beda dengan asap yang ada di Riau. Asap di Riau merupakan hasil bakaran hutan. Semua tahu, asap ini membawa sial. Sial bagi Indonesia karena hutannya berkurang. Lingkungan alamnya rusak. Habitat makhluk hidup rusak. Bahkan boleh jadi beberapa satwa hutan juga ikut menjadi asap. Asap yang sama membawa kerugian bagi Singapura dan Malaysia.

Asap dari Riau-Indonesia ini pun bukan lagi seperti asap para petani. Asap ini membuat nama Indonesia menjadi bahan ejekan. Dan memang ada yang emngejek kalau orang indonesia tidak bisa menjaga alamnya. Hampir setiap tahun indonesia mengirim asap kepada negeri tetangga. Seharusnya Indonesia malu dengan ejekan ini. Tetapi Indonesia malah diam saja. Bahkan hanya bisa meminta maaf. Padahal semua tahu, minta maaf tidak akan menyelesaikan persoalan secara memadai. Minta maaf hanya meredakan kemarahan sesaat. Dan, Indonesia gemar meminta maaf pada negeri tetangga.

Asap ini semestinya membuat Indonesia giat berjuang seperti para petani mengelola alamnya. Tetapi, indonesia rupanya tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Alam tetap dibiarkan merana bahkan bila perlu dihabiskan saja dengan cara membakar. Padahal membakar hutan meruapakan awal kehancuran habitat hutan. Indonesia dituding mendiamkan saja perusahaan asing yang turut menjadi penyebab kebakaran hutan ini. Bukankah seharusnya jika ada kasus itu, perusahaan itu diberi sanksi yang tegas? Lagi-lagi Indonesia suka mengulur waktu, tidak tegas dalam memberi sanksi. Jangan heran jika beberapa tahun belakangan persoalan asap dibiarkan saja. Dari tahun ke tahun muncul bahaya asap tetapi tidak ada penanggulangan berjangka panjang. Menyemprotkan air atau hujan buatan hanyalah solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang mesti ada peraturan yang tegas, jelas, dan ketat sehingga kasus pembakaran hutan tidak akan terulang lagi.

Ah ini hanya obrolan soal asap. Ada asap berarti ada api. Sekarang asapnya sudah jelas, mengarah ke Singapura dan Malaysia. Betapa masyarakat di sana menderita karena asap ini. Tetapi, Indonesia belum juga menemukan sumber apinya. Apinya sudah terlihat tetapi yang membesarkan apinya tidak jelas. Ada yang ditangkap dan diduga sebagai penyebar api tetapi bukankah tahun sebelumnya juga ada yang ditangkap? Menangkap oknum tidak menjamin tidak terulangnya kasus pembakaran hutan. Jadi, masihkah Indonesia mempertahankan tradisi meminta maaf pada negeri tetangga tanpa menanggulangi kasus pembakaran hutan dalam jangka panjang? Jangan-jangan Indonesia suka diejek sehingga berbagai ejekan tentang buruknya penyelesaian kasus asap tidak membuat Indonesia menuntaskan kasus ini.

PA, 26/6/13
Gordi



Bicara soal asap amat menarik. Asap yang muncul di Riau dan terbang ke Malaysia dan Singapura. Asap ini rupanya dikaitkan dengan isu lain yang berkait. Entah di mana keterkaitannya. Yang terkait kadang sulit dibuktikan. Itulah sebabnya di meja pengadilan sulit menemukan keterangan yang sah. Ada keterangan tetapi mudah diputarbalik menjadi bukan keterangan. Maksudnya, keterangan itu dianggap tidak sah.

Rupanya isu asap ini juga bisa dikaitkan dengan isu lain. Ada yang berkomentar, isu asap ini hanya bentuk pengalihan isu. Asap sengaja dikepulkan agar semua orang melihatnya. Bila perlu rakayt negeri ini menyaksikannya. Di televisi, di koran, di majalah, di kedai kopi, di pasar. Semuanya menyinggung topik isu asap. Asap itu memang membuat pembicaraan jadi menarik.

Seperti asap yang sifatnya membutakan mata manusia, asap ini juga bisa membutakan mata hati manusia. Rakyat terpana dengan isu asap sampai lupa bahwa mereka sedang dibuai. Mereka ingin melihat asap dan lupa akan kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan. Mereka tidak peduli. Seolah-olah kenaikan harga BBM itu wajar sehingga tidak perlu jadi bahan pembicaraan di kedai kopi.

Asap memang membuat segalanya jadi kabur. Dan, rakyat negeri ini tidak kuat lagi melawan kebijakan pemerintah. Rakyat seolah-olah menutup mata untuk kritis terhadap pemerintah. Suara hati jadi kabur. Rakyat seolah-olah pro dengan kebijakan pemerintah yang juga bisa menghasilkan kebijakan semu. Rakyat sama sekali tidak diuntungkan dengan kebijakan seperti ini.

Jika ini yang terjadi dengan isu asap ini, betapa asap ini mau mengaburkan perhatian rakyat negeri ini. Tetapi benarkah rakyat akan terbuai dengan pengalihan isu ini? Bukankah rakyat akan bisa melihat setelah matanya diserbu asap?

Pemerintah boleh mengalihkan perhatian rakyat ke isu ini. Jadi, isu asap ini hanyalah bentuk pengalihan isu. Tetapi, seperti asap sulit dipindahkan tanpa ada angin, kiranya cara pemerintah ini agak sulit. Tanpa angin maksud yang jelas, kebijakan pemerintah sulit diterima. Rakyat masih punya perhatian untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Asap sebagai pengalihan isu kiranya tidak terlalu menjadi perhatian rakyat.

PA, 26/6/13
Gordi

Asap. Tak bosan-bosannya aku bicara soal asap. Asap dan aku bagaikan hidup dan mati. Kok aneh ya. Bandingan yang tidak sepadan. Apa sih asap itu sehingga disandingkan dengan aku yang adalah manusia? Bukankah manusia bisa membuat asap sedangkan asap tidak bisa membuat manusia?

Memang aku dan asap tidak bisa disandingkan. Tetapi, bukan berarti aku dan asap tidak boleh disandingkan. Aku dan asap, seperti aku katakan, bagaikan hidup dan mati. Aku besar karena asap. Aku hidup karena asap. Aku bertumbuh dan berjuang karena asap.

Asap bagiku adalh sumber hidup. Sejak kecil aku bergumul dengan asap. Di rumah asap itu menyelimuti rumah-dapur kami. Dari luar tampak membubung asap dari bubungan ijuk dapur kami. Di dalamnya ada api. Ada api berarti ada yang dimasak. Dimasak berarti ada yang akan dimakan, disantap. Dan begitulah ritual kami di pagi hari. Kalau tidak ada asap berarti tidak ada yang dimasak. Dan itu berarti kami tidak makan. Tidak ada bahan makanan untuk sarapan.

Asap adalah napas hidup. Tanpa asap, hidup tak berarti lagi. Dari asap kami memperoleh kehangatan. Kehangatan di awal hari yang memacu daya juang. Kami hidup dari asap. Makanan kami dimasak dengan api dengan balutan asap. Asap itu pertanda kami berjaung di dapur. Memanaskan makanan, menanak nasi, memanaskan air, menggoreng ikan/daging, dan sebagainya. Asap itu juga yang menyertai api yang akan kami gunakan untuk memasak pakan hewan peliharaan kami. Jadi, asap itu tidak saja napas hidup bagi kami tapi juga bagi hewan peliharaan kami.

Asap itu juga pertanda kesuburan. Asap bagi kami adalah sahabat dalam membuka ladang. Ada asap berarti ada sesuatu yang kami kerjakan di ladang. Asap itu ternyata selalu beserta kami baik di rumah maupun di ladang. Itulah sebabnya asap itu menjadi napas yang menghidupkan daya juang kami.

Sebagai napas hidup, asap itu tak jarang membuat kami tambah semangat. Kami sama sekali tak takut asap. Bagi sebagian orang, asap itu membutakan mata. Mata kami, seperti mata mereka, akan buta jika terkena asap. Tapi, kami bisa menghindar dari sengatan asap. Asap itu akan tetap ada dan akan tetap membutakan mata kami. Tetapi kami akan selalu berjuang untuk menyalakan api dan menghindari kepulan asap itu. Itulah sebabnya kami makin kreatif menghindari asap.

Kalau orang modern menghindari dan memusuhi asap, boleh jadi wajar karena mereka tidak pernah bergaul dengan asap. Hidung mereka mungkin mudah sesak karena kepulan asap. Mata mereka juga tidak kuat menahan kepulan asap. Tidak demikian dengan kami. Kami merasa asap itu adalah parfum. Parfum, sebagaimana kita tahu, sifatnya memberi keharuman. Dan, asap itu justru memberi keharuman pada tubuh kami, pakaian kami. Jangan heran jika badan kami berbau asap. Baunya yang mungkin menjijikkan untuk hidung orang modern. Tidak bagi kami. Orang ebrbau asap bagi kami adalah orang yang berjuang. Baik itu di dapur, atau di ladang.

Kami tidak menghindari dari asap karena asap menyertai perjalanan dan perjuangan hidup kami. Asap memang membuat udara jadi kotor. Dan kami sudah tercemar dengan udara kotor berasap. Tetapi kami tetap sehat dan bisa berjuang. Asap kami mungkin beda dengan asap pembakaran hutan zaman modern. Asap kami murni asap alami, hasil pembakaran bahan alam. Asap sekarang mungkin asap berbau politis dan hasil pembakaran zat kimia. Kongkalingkong pejabat yang suka parfum modern. Hasilnya adalah parfum asap yang menyengat hidung dan membuat sesak napas manusia di 3 negara.

PA, 27/6/13
Gordi

Aku melihat asap tebal
Menutup pandangan mata
Menutup keindahan langit
Menghitamkan semua yang biru

Ya itulah asap
Yang warnanya hitam
Yang baunya kurang enak
Yang bisa menguningkan pakaian putih

Asap itulah yang kulihat
Menjulang tinggi di langit
Di bawahnya ada api
Yang membuat asap makin tinggi

Asap menjulang tinggi
Makin lama makin tinggi
Makin tinggi makin condong
Dan akhirnya bubar

Dari bawah tampak lurus
Seolah-olah ada yang membentuknya
Memang asap tampak lurus
Karena ada api yang menambah daya jelajahnya

Asap itu pertanda ada kebakaran
Kalau rumah yang terbakar
Atau sampah rumah yang terbakar
Asapnya tidak banyak

Kalau hutan yang terbakar
Asapnya banyak
Dan bahkan bisa terbang ke mana-mana
Sampai ke negeri tetangga

Aku sedang menulis tentang asap
Aku tidak sedang berpuisi
Meski modelnya puisi
Ini adalah catatan tentang asap

PA, 28/6/13
Gordi

Jari jempol adalah jari yang sering dilihat sebagai simbol. Dan, memang hanya jempol yang sering digunakan untuk mengungkapkan sesuatu. Di sinilah peran jari jempol sebagai simbol.

Di facebook ada lambang jari jempol. Lambang ini seirng digunakan. Boleh jadi karena mudahnya menggunakan lambang ini. Tinggal diklik saja akan keluar lambang jari jempol. Tetapi, lambang jari ini tidak bisa keluar begitu saja. Begitu keluar lambangnya, berbagai perasaan pun muncul. Pada umumnya senang. Siapa yang tidak senang ketika diberi komentar berupa lambang jari jempol di facebook?

Ada yang bangga melihat komentar berupa lambang jari ini. Dan memang jari ini menjadi lambang kebanggann. Kalau saya mengacungkan jari jempol pada teman saya, itu tandanya dia hebat. Demikian juga sebaliknya jika diacungkan ke hadapan saya, saya hebat. Dan, tentunya ada rasa bangga setelah acungan itu ditunjukkan.

Jari jempol juga sering diartikan sebagai lambang manis. Entah mengapa demikian. Padahal jari jempol tidak sering dipakai sebagai ungkapan manis. Begitu ada lambang jari jempol, muncul komenter, terima kasih untuk jari jempolnya yang manis. Atau, terima kasih untuk jempol manisnya. Benarkah jempolnya yang manis?

Tentu di sini jangan ditafsir harfiah. Jempol manis tidak berarti jempol itu berasa manis. Kalau manis, jempol itu bisa dijadikan gula atau pemanis lainnya. Jari jempol tetap akan menjadi jari dan tidak akan menjadi gula. Dan, jari jempol tentunya ada yang manis. Jari jempol yang dipelihara dengan baik akan tetap tampak manis. Kecuali jari jempol saya yang sering bekerja dengan benda kasar. Jari jempol saya menjadi kasar. Tidak amnis lagi. Tetapi siapa yang peduli dengan manis-kasarnya jari jempol saya?

Di dunia nyata boleh saja jempol saya kasar. Tetapi, di dunia maya (facebook) jari jempol saya yang diwakili lambang jari jempol akan disebut jari jempol manis. Jadi, yang kasar dalam kenyataan bisa jadi manis dalam dunia maya. Dan, tidak ada yang akan mempersoalkan ini. Toh, dunia maya tidak sepenuhnya mewakili dunia nyata. Jadi, tak perlu repot melihat kesamaan antara jempol dan lambang jempol. Dalam lambang semua dijadikan satu dalam dugaan atau tafsiran.

Jari jempolku tetap manis dalam dunia maya dan tetap kasar dalam dunia nyata. Jadi, yang nayata tetap nyata dan yang maya tetap maya. Maya dan nyata tetap beda. Seperti jempol dan lambang jempol. Keduanya berbeda dan tidak perlu disamakan. Keduanya tentu bisa dilambangkan. Diberi lambang. Tetapi lambang tidak sepenuhnya mewakili objek yang dilambangakan.

Salam jempol manis

PA, 28/6/13
Gordi

Orang Jogja terkenal dengan kesabarannya. Terutama yang tampak di jalanan. Memang boleh dibilang sifat khas orang Jogja adalah sabar. Sabar di jalanan dan di tempat antrian. Entah sampai kapan sifat ini bertahan. Yang jelas, sampai sekarang sifat sabar masih melekat dalam kepribadian orang Jogja.

Sabar, bagi orang Jogja, menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang membuat mereka terkenal. Di mana-mana semua tahu, orang Jogja itu sabar. Sifat sabar ini memiliki porsi besar dalam kerpibadian orang Jogja. Karena besarnya, sifat lain pun tidak begitu terkenal. Bahkan sifat sabar ini dimiliki oleh sebagian besar orang Jogja. Sehingga, beberapa orang yang tidak sabar pun lenyap dari pandangan orang banyak. Memang tidak banyak yang tidak sabar. Lebih banyak yang sabar.

Hari-hari ini, orang Jogja belajar sabar. Atau tepatnya lebih sabar lagi. Sebab, jalanan Jogja mulai ramai. Mobil dan kendaraan lain dari luar kota Jogja berdatangan. Sudah mulai terlihat di jalanan utama kota ini, penuh, sesak, padat. Akan seperti apakah reaksi orang Jogja melihat pemandangan jalanan ini?

Orang Jogja kiranya dituntut untuk tetap sabar. Sabar ini juga boleh jadi membuat pendatang dari luar kota merasa betah untuk mengunjungi kota istimewa ini. Dengan kata lain, karena sifat sabar, orang dari berbagai kota datang ke Jogja untuk melihat langsung bagaimana orang Jogja tetap sabar di jalanan.

Idelanya seperti itu. Kenyatannya boleh jadi lain. Tetapi, tetap sifat sabar ini menjadi ciri khas. Beberapa orang mulai gerah. Tak tahan dengan situasi jalanan seperti ini. Harap maklum karena orang Jogja tidak terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Tetapi, ada yang mengatasinya dengan cara sederhana. tak perlu terlalu sering keluar rumah. Apalagi jika tidak ada keperluan. Lebih menarik melihat jalanan padat dari dalam rumah daripada ikut terlibat dalam kepadatan dan keramaian jalan itu. Dan memang orang Jogja sudah mengalami bagaimana padatnya jalanan kota beberapa waktu belakangan hingga ke depannya.

Tidak ada resep ampuh selain belajar lebih sabar lagi. Sifat sabar yang sudah dimiliki dijaga dan dikembangkan ke level lebih tinggi lagi. Biarlah kesabaran itu menjadi cerminan mayoritas warga kota istimewa ini. Salam sabar untuk semua.

PA, 29/6/13
Gordi

Aku tak bisa bahagia
Karena aku selalu ingat kamu
Aku bahagia jika selalu ingat kamu
Tetapi karena keterlaluan aku tak bahagia


Aku bahagia jika kamu di sana bahagia
Tapi aku tak bisa bayangkan
Apakah kamu benar-benar bahagia di sana
Aku harap kamu bahagia


Aku di sini bahagia
Jika kamu di sana bahagia
Tetapi aku selalu memikirkan kebahagiaanmu
Benarkah kamu bahagia di sana?


Aku khawatir kamu tidak bahagia di sana
Aku tidak bahagia di sini
Karena memikirkan kebahagiaanmu di sana
Kebahagiaan makin jauh dariku
Karena memikirkan kebahagiannmu di sana


Aku ingin kita bahagia
Aku dan kamu bahagia
Tetapi ini amat sulit
Hanya dalam impian dan harapan saja


Aku di sini membayang
Kamu di sana mengalami
Mungkin juga kamu di sana membayang
Aku di sini tak tahu

Aku ingin kita bahagia
Kamu bahagia di sana
Dan aku bahagia di sini
Dan kita bisa merasakan bersama kebahagiaan itu


Kebahagiaan bersama ini kita bagikan
Entah dalam mimpi atau petunjuk lain
Intinya aku tahu kamu bahagia
Dan kamu tahu aku bahagia


Aku dan kamu memang berjauhan dan berbeda
Aku tak bisa melihatmu
Tapi aku bisa membayangkanmu
Mungkin bayanganku tidak pas dengan kenyataan di sana


Bayangan memang hanya karya imajinasi saja
Hanya itu yang bisa kualami tentang kamu
Meski bayangan itu bukan pengalaman
Tetapi aku merasa seolah-olah mengalami kebersamaan denganmu dalam mimpi


Sungguh kita memang tidak saling mengerti
Dan selamanya tidak bisa saling memahami
Dunia kita beda
Maka, kita satukan saja dalam doa


Semoga kamu bahagia di sana
Aku harapkan hanya bahagia ini saja
Dan aku di sini bahagia melihat kamu bahagia di sana
Salam bahagia dariku di sini

PA, 30/6/13
Gordi

Pergi. Kata yang membuatku sedih. Sedih karena engkau meninggalkanku. Kau pergi dan aku tinggal. Bahkan kau tinggalkan daku. Kau berjumpa teman baru dan aku tak dapat apa-apa. Aku dan kamu sudah akrab. Tapi, lagi-lagi kau pergi tinggalkan daku.

Kau pergi untuk kembali. Kamu memang pergi. Pergi meninggalkan aku. Tetapi aku tetap berharap kau akan kembali. Dan itulah harapanku, kau akan kembali. Kau pergi namun kembali. Bahkan kau pergi untuk kembali.

Kau pergi dan meninggalkan kenangan indah di sini bersamku. Kau tinggalkan semuanya. Bagimu, tiada lagi yang berharga yang sudah kita jalin bersama. Kita sama-sama menilainya itu berharga. Amat berharga. Namun, yang berharga—dalam sekejap mata—menjadi tak berharga. Yang berharga itu kini menjadi yang hampa. Dan itulah yang membuatku sedih dengan kepergianmu.

Kau pergi dan meninggalkan semua yang berharga. Bagimu, pergi dengan melupakan semua kenangan indah selama kita bersama menjadi sebuah harapan. Karena jika kau bawa kenangan kita, kau tak bebas lagi menemukan kebersamaan baru di sana. maka, pesanku, tinggalkan kenangan indah kita bersama. Biarlah kau pergi dengan hampa kenangan. Kelak, kamu akan mendapat pengalaman baru di sana. dan itu akan menjadi kenangan indah kala engkau meninggalkan tempat itu.

Kau pergi untuk kembali. Harapanku, kamu akan kembali lagi. Aku ingin kita bersama. Engkau memang akan pergi. Harus pergi. Tetapi aku berharap kebersamaan kita tidak berakhir. Entahkah kau menemukan teman baru di sana. Berelasilah dengannya sampai kalian bisa akrab. Aku akan mendoakanmu dari sini. Belajarlah dari teman barumu, budaya barumu, bahasa barumu. Siapa tahu itu menjadi bekala, kelak, ketika engkau kembali bersamaku. Aku tak minta apa-apa padamu, selain pergi untuk kembali.

Betapa aku rindu kamu kembali. Kamu belum lama di sana, baru akan mau berangkat. Tapi, pikiranku sudah menjauh, angan-anganku melayang. Dalam hati kecil kubertanya, kapan kau kembali? Akankah kita emngulang kenangan indah bersama? Aku harap kamu kembali. Itu saja pesanku. Yang lain hanya bumbu perjalanan. Intinya, aku harap kau kembali. Aku merindukanmu, mengharapkanmu, bahkan memintamu untuk kembali lagi.

Kau pergi meninggalkan kenangan yang lama. Bawalah dirimu yang hampa. Isilah tenaganya agar siap menerima hal baru. Itulah bekalmu dalam kepergianmu ini. Selamat jalan dan salam sukses.

*Obrolan siang

PA, 2/3/13
Gordi

Jalan darat di negeri ini memprihatinkan. Di KOMPAS beberapa hari belakangan dilaporkan situasi jalan lintas pulau yang memprihatinkan. Di Papua, ada jalan yang berlumpur. Sulit dijangkau mobil. Bahkan harus bersusah payah untuk melewatinya. Di daerah lain, pada laporan lain juga, diberitakan jalan darat yang keadaanya memprihatinkan. Jalanan itu tidak terurus. Entah ke mana perhatian pemerintah dan pemerhati transportasi darat setempat. Tentu saja masyarakat yang dirugikan.

Lain lagi dengan cerita jalan darat di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Di sini jalanannya bagus. Kalah jauh dengan kondisi jalan darat di Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan daerah lainnya. Tetapi kondisi jalan tidak menjamin amanya berlalu lintas. Justru di kota-kota ini jalanan menjadi tidak nyaman karena kendaraannya banyak. Jalan darat memang sejauh ini belum memuaskan pengguna jalan.

Semalam, saya berangkat dari Yogyakarta ke Jakarta. Naik bis. Melintasi jalan darat, jalur utara-selatan Pulau Jawa. Saya menghitung, kira-kira ada 3 tempat kemacetan. Magelang, Brebes, dan daerah Indramayu. Entah ada juga daerah lainnya, saya tidak tahu. Kebetulan saja, saya sadar ketika kendaraan kami melewati daerah tersebut. Saya memang banyak tidurnya. Maklum, jalan malam hari. Pilihan naik bis menjadi pilihan terakhir karena tiket kereta api penuh, tiket pesawat mahal.

Saya prihatin dengan kondisi jalan ini. Bukan kali ini saja saya melewati jalan ini. Lebih dari dua kali. Dan, saya pun bisa mengira, perbaikan jalan ini berlangsung menjelang musim lebaran. Kesempatan bagi sebagian besar negeri ini mudik, kembali ke kampung halaman mereka. Masyarakat tahu tentang ini. Dan, pemerintah juga tahu. Hanya saja, rakyat bertanya-tanya, mengapa perbaikan jalan selalu setiap tahun dan pada waktu yang sama? Terkesan perbaikan ini hanya tambal sulam saja. Polesan yang tidak bertahan lama. Sebab, tahun depan, menjelang lebaran, akan ada perbaikan lagi. Apakah kualitas pekerja jalan di negeri ini hanya menghasilkan jalan darat yang habis terpakai dalam jangka waktu setahun?

Di daerah Flores Barat, NTT, ada seorang tokoh terkenal yang membangun jalan darat tidak asal-asalan. Dia adalah seorang Pastor dari Swis. Masyarakat Flores Barat biasa memanggilnya Pater Waser, SVD. Konon, ada cerita, sebelum mengerjakan jalan, dia mengerahkan para pekerjanya untuk menggali lubang sedalam 80 cm. Lubang ini akan ditanami batu. Batu ini selanjutnya menjadi fondasi yang kuat untuk pijakan jalan. Di atas batu akan diratakan pasir. Kemudian kerikil, dan terakhir aspal. Saya tidak melihat langsung proses pengerjaan jalan ala pastor ini. Tetapi, saya melihat sebagian dari prosesnya yakni membenamkan batu dalam lubang 80 cm. Dan, bahkan saya pernah melewati jalan buatannya yang hanya terbuat dari susunan batu yang rapi dan rata. Tidak perlu ada aspal di atasnya, jalan sudah bisa digunakan dan nyaman.

Meski pastor ini giat dan terkenal dengan pembangunan jalannya, jatah jalan yang dikerjakannya tidak panjang. Konon, ada sindiran, kalau semuanya diserahkan ke pastor ini, tidak ada lagi proyek jalan di Flores Barat. Saya tidak tahu apakah ini benar. Tetapi benar bahwa pastor ini tidak mendapat banyak jatah untuk pembangunan jalan. Padahal kualitas jalan yang dibangunnya bagus.

KIranya, semua rakyat menginginkan agar kondisi jalan darat di negeri ini dibenahi. Biarkan rakyat merasakan nyamannya berkendara di jalan darat. Tentu semua setuju jika kondisi jalan darat saat ini memprihatinkan. Waktu tempuh Yogya-Jakarta menjadi lebih lama beberapa jam dari waktu normal. Jika jalan darat belum dibenahi, kiranya tak berlebihan jika perbaikan jalan menjadi seperti pemilu. Musiman saja dan teratur. Jalan diperbaiki setiap tahun. Dan, akan memperlambat laju transportasi dan distribusi barang kebutuhan pokok. Dari segi ekonomi ada kerugian. Demikain juga dari efisiensi waktu, kesehatan, dan kenyaman berkendara. Semuanya diragnkum dalam satu kata, memprihatinkan. Masihkah pemerhati rakyat di negeri ini membiarkan warganya prihatin? Kita tunggu pembenahannya.

Jakarta, 3/7/13
Gordi


Berkeringat. Ada yang jijik dengan keirngat padahal keringat adalah tanda orang sehat. Orang yang tidak berkeirngat malah pertanda sakit. Sudah bergerak ke sana kemari tetapi belum berkeringat. Tetapi ada juga yang keringat berlebihan. Gerak sedikit saja pasti berkeringat. Apa pun yang terjadi, yang jelas, berkeringat adalah tanda orang sehat.

Tetapi bukan orang sehat saja yang berkeringat. Orang sakit juga berkeringat. Bagi orang sakit, berkeirngat adalah tanda bahwa dia benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan. Jadi, berkeirngat itu bisa menjadi tanda orang sehat dan juga tanda orang sakit.

Untuk mereka yang tinggal di daerah dingin, berkeringat itu perlu. Keirngat menjadi penghangat tubuh. Mereka sudah menjadi dingin karena suhu maka mereka harus kreatif mencari kehangatan tubuh. Berolahraga, jalan cepat, jalan santai, berlari, bermain voli, futsal, sepakbola, bulu tangkis, dan sebagainya. Semua yang memicu keluarnya keirngat. Keringat menjadi tanda tubuh sedang mengeluarkan banyak energi.

Untuk yang tinggal di daerah panas, tidak susah berkeringat. Tanpa bergerak pun sudah berkeringat. Tetapi, ini tidak menjadi alasan untuk tidak berolahraga. Keringat dari hasil gerak tubuh atau olahraga adalah keringat yang sehat. Beda dengan keringat yang keluar dengan sendirinya karena suhu panas. Keringat seperti ini tidak beda dengan keringat orang sakit. Dia tidur pun keringat tetap keluar. Keringat menjadi tanda bahwa tubuh sedang tidak sehat.

Betapa pun keringat itu pertanda orang sehat, ada yang tidak suka berkeringat. Ada yang jijik melihat keirngat. Mungkin karena itu, mereka enggan beraktivitas untuk berkeringat. Tidak mau bekerja keras secara fisik sampai berkeringat. Bahkan tidak mau kena panas. Maunya ber-AC. Dari rumah, mobil, lalu kantor. Kapan berlahraga di alam bebas. Tidak pernah atau bahkan jarang.

Padahal olahraga di alam bebas menyehatkan. Ada pergantian udara yang masuk paru-paru. Dan, jika berolahraga di alam bebas, keringat keluar dengan sendirinya. Keringat yang menjadi tanda jijik itu justru menjadi pertanda bahwa tubuh sedang sehat dan menyatu dengan alam yang juga memberi kesegaran pada manusia. Keringat, betapa pun engkau tidak diinginkan, aku tetap menginginkanmu. Betapa aku merasa segar setelah berkeringat. Dan, ini adalah imbas dari keringat yang mengucur tubuhku sehabis futsal mtadi sore.

Jakarta, 4/7/13
Gordi

Negeri ini selalu dilanda gempa. Memang tidak selalu di daerah yang sama. Daerah yang berbeda-beda dilanda gempa. Dan, kalau dihitung-hitung boleh disimpulkan bahwa negeri ini selalu dilanda gempa. Mungkin karena daerahnya luas. Kalau di Papua ada gempa, orang luar negeri selalu mendengar berita Indonesia dilanda gempa. Demikian juga ketika Yogya dilanda gempa, koran luar negeri juga memberitakan tentang gempa di Indonesia. Tak ketinggalan jika gempa itu terjadi di Mentawai atau Padang atau Aceh. Dan, rasa-rasanya Aceh selalu saja dilanda gempa bumi. Ilmu alam seperti Fisika dan turunannya sudah memberi jawaban ilmiah. Itu terjadi karena Aceh masuk dalam lingkaran patahan. Maksudnya daerah di bawah wilayah Aceh masuk dalam lingkaran yang tanahnya selalu akan bergerak karena patahan itu. Dan Aceh tidak sendiri. Padang juga terindikasi masuk lingkaran ini. Jangan heran jika di sana selalu terjadi gempa entah besar atau kecil.

Saya tidak mempersoalkan mengapa terjadi gempa. Gempa, bagi saya, merupakan gejala alam. Sebagaimana matahari terbit dan terbenam, demikianlah gempa. Gempa terjadi sesuai aturannya sendiri. Manusia dengan ilmu yang digelutinya bisa menerka kekuatan gempa, titik pusat gempa, sedikit perkiraan waktu terjadinya, tetapi tidak bisa memastikan berapa besar kerugian yang ditimbulkannya. Dan, memang itu menjadi kewenangan pihak luar manusia. Manusia kiranya tidak bisa memastikan atau menerka berapa kerugian gempa. Setelah gempa pun manusia tetap tidak bisa menerka dengan pasti berapa kerugian. Paling-paling menjumlahkan atau membuat perhitungan sementara lalu disimpulkan sekian.

Karena gempa menjadi gejala alam, sebaiknya manusia juga belajar dari alam. Alam memang mempunyai peraturannya sendiri yang kadang-kadang tidak bisa dipelajari. Lihat saja sekarang, sedang hujan. Ilmu manusia memperkirakan bulan Juni-Juli di Indonesia akan terjadi kemarau. Tetapi nyatanya sekarang hujan. Ini berarti alam memang sulit ditebak. Gempa juga sulit ditebak karena menjadi gejala alami. Setiap gempa selalu menuntut korban. Baik manusia maupun material lainnya. Itu yang pasti dari gempa bumi. Korban itu bukanlah keinginan manusia tetapi menjadi konsekuensi dari gejala alam itu. Jadi, tidak ada kaitan dengan iman dan keyakinan manusia. Tidak bisa kiranya mengatakan karena kamu masuk keyakinan A atau B, maka kamu menjadi korban gempa, maka gempa ini datang, maka di sini selalu ada gempa hebat, dan maka-maka lainnya. Penyebab gempa bukanlah keyakinan tetapi gejala alam. Itulah sebabnya tidak elok kiranya mengaitkan gempa dengan keyakinan tertentu.

Manusia kiranya bisa berusaha untuk menghindari jatuhnya banyak korban gempa. Dalam hal ini, rakyat Indonesia kiranya perlu belajar dari rakyat Jepang. Jepang juga termasuk negeri yang sering dilanda gempa. Tetapi di sana korban manusianya tidak terlalu banyak seperti ketika terjadi gempa di Indonesia. Bukan untuk membandingkan. Tetapi untuk mengatakan bahwa rakyat Jepang sudah siap menghindari gempa. Gempa tidak bisa ditolak tetapi bisa dihindari. Dengan kata lain, gempa yang menjadi gejala alam tetap terjadi dan tidak ditolak karena memang tidak bisa ditolak, tetapi manusia menghindarinya. Manusia bisa menyelamatkan dirinya dari korban gempa. Itulah yang selalu menjadi pelajaran turunan bagi rakyat Jepang. Alhasil mereka tidak panik ketika terjadi gempa, dan tidak banyak yang menjadi korban gempa.

Saya kira pelajaran tentang bagaimana menghindari gempa amat relevan untuk rakyat Indonesia terutama di daerah yang rawan gempa seperti Aceh dan Padang. Juga Yogyakarta atau Kepulauan Mentawai. Dengan pelajaran itu, rakyat sudah siap dan tidak huru-hara ketika terjadi gempa. Gempa tetap terjadi tetapi rakyat bisa menyiasatinya agar tidak menjadi korban alias selamat. Tentu ini hanya omongan belaka. Tetapi baik kalau omongan ini diteruskan ke telinga rakyat sehingga rakyat kiranya banyak yang penasaran. Dari penasaran, mereka bertanya, dan mereka akan berusaha mencari pengetahuan tentang bagaimana menyiasati gempa ini. Dan, mungkin memang mudah diucapkan. Memang mengucapkan itu mudah. Menerapkannya dalam hidup harian susah. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Kalau rakyat Jepang bisa pasti rakyat Indonesia juga bisa. Bukan sekadar mau meniru rakyat Jepang tetapi demi keselamatan rakyat Indonesia yang juga sering mengalami gempa.

Jadi, pertanyaan mengapa Aceh selalu dilanda gempa, bukan saja dijawab dengan ilmu alam, tetapi mestinya juga disertai dengan pertanyaan, bagaimana menyiasati gempa yang selalu terjadi di Aceh? Itu yang kiranya relevan. Bagaimana menjadi korban yang tidak dikorbankan dalam gempa? Bagaimana menjadi orang yang selamat dalam gempa? Dan pertanyaan lainnya. Ini obrolan pagi setelah menyaksikan berita-berita seputar gempa Aceh beberapa hari belakangan.

Jakarta, 6/7/13
Gordi

Gempa bumi tak terpisahkan dari kehidupan kami. Kami, tidak seperti teman kami di daerah lain, dibesarkan dalam suasana gempa. Saat aku kecil, daerah kami dilanda gempa. Dan saat aku remaja, gempa itu datang lagi. Aku ingat, betapa orang-orang di kampung kami lari berhamburan ke luar rumah saat gempa. Dan keadaan serupa datang lagi, kini.

Aku tak asing dengan gempa. Tetapi setiap kali gempa selalu menyisakan trauma berat bagiku. Aku takut jika membayangkan berulang kali, detik-detik yang mendebarkan itu. Aku pun bisa menilai, jangan-jangan ke depannya, daerah kami akan terus dilanda gempa. Kata orang pintar, daerah kami masuk jalur gempa. Jadi, kapan pun, daerah kami selalu menjadi tempat gempa. Dan, kami akan mengalami keadaan yang selalu mendebarkan karena gempa itu.

Aku sudah tanya pada keluarga kami, kapan akan pindah. Jawabnnya selalu sama, kita tidak mungkin pindah dari daerah ini. Ini kampung kami, daerah kami, rumah kami, tempat kami dibesarkan, tempat kami mencari nafkah. Tak mungkin semuanya ini ditinggalkan. Kami memang sudah melekat dan menyatu dengan tanah leluhur kami. Memindahkan kami sama saja dengan memindahkan gunung. Mustahil kami akan pindah. Pertanyaan terus dilontarkan pada keluarga yang lain. Jawabnnya sama juga. Kami tidak akan pindah.

Kami tidak puas dengan jawaban orang tentang gempa yang melanda daerah kami. Mereka datang sesaat setelah gempa. Sambil memberi bantuan, mereka mengamati kami, membuat penelitian tentang gempa ini. Mereka juga memberi penjelasan panjang lebar tentang seluk beluk gempa itu. Kami terus bertanya. Dan kami mendapat banyak jawaban. Tetapi, dari semua jawaban itu, tidak ada yang memuaskan pikiran kami. Jadi, mengapa kami dilanda gempa? Atau tepatnya mengapa daerah kami selalu menjadi langganan gempa?

Kami bosan dengan penjelasan manusia. Jawabnnya bertele-tele. Apalagi kami orang kampung yang tidak pernah belajar tentang ilmu alam. Ilmu yang menuntut keseriusan cara berpikir. Kami tidak paham istilah yang mereka jelaskan. Kami pun akhirnya berani bertanya pada Tuhan. Tuhan, mengapa kami dilanda gempa? Apa salah kami? Apakah Tuhan ingin kami pindah dari tempat ini? Bukankah ini tanah leluhur kami? Ataukah Tuhan mau supaya kami tercabut dari leluhur kami?

Tuhan, kami tak bosan bertanya padamu. Kami merasa puas ketika bertanya padamu. Kami tahu kami tidak mendapat jawaban langsung darimu. Tetapi kami puas jika kami bertanya. Hanya dengan itu kami terhibur. Kami tahu, jika kami bertanya pada manusia, Kami tidak puas. Malah, kami tambah pusing dengan penjelasan yang rumit tentang kegempaan.

Tuhan, hanya kepadamu kami bertanya. Meski tak ada jawaban, kami tetap ingin bertanya. Mungkin memang kami hanya mampu bertanya dan tak mampu menjawab. Bagi kami, persoalan gempa ini, menjadi jelas ketika kami bertanya pada Tuhan. Tak ada yang lebih dari itu. Itulah sebabnya kami mohon, dengarkan kami yang selalu bertanya ini. Mungkin tidak ada jawabn yang kami dapat. Tetapi kami puas setelah kami bertanya.

PA, 7/7/13
Gordi

Kami dari kelompok korban gempa. Kami ingin ditemani. Kami merasa sepi. Kami butuh bantuan. Kami butuh semangat baru. Kami butuh penenangan. Kami butuh kalian semua.

Kami berharap pemerintah sebagai pemangku jabatan negeri ini tidak melupakan kami. Kami tahu, kami hanya sebagian dari rakyat Indonesia. Dan, kami tidak menuntut lebih dari yang dibuat pemerintah. Kami hanya ingin agar kami dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Kami lihat pemerintah mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Kami memang tahu, pemerintah sibuk. Dan banyak tugas yang harus dikerjakan. Bidang politik dan ekonomi adalah dua hal yang menyita banyak perhatian pemerintah. Juga bidang lain yakni korupsi. Kalau bapak presiden mulai buka akun facebook, kami hanya berharap semoga beliau tidak saja menyapa warga maya tetapi juga kami warga yang menjadi korban gempa.

Kami tahu, media massa tidak terlalu tertarik memberitakan penderitaan kami. Kami memang orang kecil yang tak bermedia. Maksudnya media yang bisa menjadi penyambung suara kami amat terbatas. Kami tidak punya stasiun TV, radio, hp, dan sebagainya. Tetapi kami yakin suara kami didengarkan. Asal saja ada yang mau dan rela mendengar. Kami hanya bisa merintih, menjerit, meminta pertolongan. Kami memang sedang dalam kondisi yang membutuhkan banyak bantuan. Kami hanya ingin agar kami didengarkan. Dari didengarkan sampai pada diperhatikan.

Kami beruntung masih punya teman wartawan yang memberitakan kondisi kami. Tetapi kami sadar, mereka bukan pemegang kuasa dalam industri media. Boleh saja mereka melaporkan tetapi redaksi medialah yang berhak memberitakan.

Jika pemerintah mau mendengar dan memerhatikan kami, kami akan serempak berseru, jangan lupakan kami. Kami butuh perhatian pemerintah.
Gejolak sosial-ekonomi-politik negeri ini bisa menenggelamkan suara kami. Dan, jadinya kami pun minim perhatian. Apalagi perhatian kepada kami menuntut kerja keras pemerintah. Kalau diabandingkan, lebih menarik memperhatikan kasus korupsi, gejolak ekonomi, masalah sosial, ketimbang memerhatikan kami korban gempa. Padahal kami juga termasuk warga negara yang harus diperhatikan.

Bapak presiden, kami hanya berharap, bapak tidak melupakan kami. Kami rakyat kecil, korban gempa, yang butuh banyak bantuan. Bapak bisa membantu, memberi perhatian pada kami, melalui jajaran pembantu bapak, atau juga kepala daerah yang berkuasa dibawah bapak. Kami akan dengan senang hati menerima bantuan dan menerima perhatian bapak. Terima kasih sudah membaca unek-unek kami.


Jakarta, 8/7/13
Gordi

Suara merdu milikmu
Membuatku lama mendengarnya
Kamu betul-betul membuatku terpaku
Seperti tak ada suara lain lagi

Memang hanya suaramu
Hanya suaramu saja
Yang aku dengar tadi
Yang lain tak kudengar

Ada banyak suara yang kutangkap
Tapi hanya suaramu yang nyantol
Suaramu membius suara lainnya
Seperti bintang kejora di langit biru

Kata penyair lagu Ambon
Biar seribu bintang di langit
Cuma satu bintang kejora
Dan, tadi, bintang itu adalah suramu

Kawan, tak kusangka kamu punya itu
Aku pikir hanya suara biasa saja
Tak kalah dengan suara kawan lainnya
Rupanya tidak

Kamu memang mantap
Bernyanyi untuk kami semua
Membuat kami tergoda
Tergoda untuk mendengar suaramu

Nyanyilah lagi nanti
Kapan ada waktu
Jangan cepat bosan
Suaramu adalah bintang kejora bagi kami

*Untukmu yang menghibur kami di konser tadi

PRM, 6/5/15
Gordi

Bolehkah bersukaria dalam penderitaan? Bukan saja, boleh-boleh saja. Tetapi, jika demikian adanya harus bersukaria. Bersukaria di sini tidak berarti tidak melupakan atau tidak menghargai mereka yang menderita. Penderitaan tetap ada dan perlu dihargai tetapi tidak larut dalam penderitaan.

Saya membayangkan anak-anak yang kehilangan orang tua dalam gempa beberapa waktu di beberapa wilayah. Aceh, Mentawai, dan Malang. Meski di Mentawai dan Malang, belum diketahui berapa korban manusia. Di Aceh sudah jelas ada korban manusia. Semoga di dua tempat lainnya tidak ada korban.

Kehilangan orang tua atau sanak saudara memang merupakan penderitaan berat. Salah satu di antara sekian penderitaan hidup yang dialami manusia. Mereka ini akan kehilangan orientasi hidup. Tidak jelas dan tidak tentu ke mana mereka akan melangkah. Tidak ada kasih sayang dan pelukan sang Ibu, sang Bapa, Kakak, Adik, atau bahkan Kakek-Nenek. Singkatnya keluarga tercinta.

Kasih sayang amat diperlukan oleh seorang anak manusia. Dengan itu, ia akan berkembang dengan baik. Masa kecilnya akan bahagia. Itu sebabnya anak-anak korban gempa yang menjadi yatim piatu misalnya bisa dibawa ke panti asuhan. Atau, kalau ada keluarga yang berbaik hati, dibawa ke rumah untuk selanjutnya dibesarkan. Di situ mereka akan mendapat kasih sayang pengganti yang meskipun tentu tidak sebanding dengan kasih sayang dari keluarga kandungnya. Tetapi apa pun situasinya mereka mesti mendapat kasih sayang itu.

Anak-anak jangan dibiarkan larut dalam penderitaan. Memang kehilangan orang tua dan sanak saudara sulit dilupakan. Tetapi, sedapat mungkin anak-anak korban gempa itu dihibur untuk melupakan sejenak peristiwa kehilangan. Dan juga untuk menghilangkan trauma. Dengan ini anak-anak boleh bergembira, bersukaria dalam penderitaa. Tujuannya untuk menghilangkan trauma akan penderitaan.


CPR, 9/7/13
Gordi 

Sudah lama aku mengimpikan
Oase intelektual
Yang dulu aku alami
Bersama teman-teman

Waktu itu darah muda ini mendidih
Melambung bak awan putih
Impian dan idealisme bergelora
Seolah-olah semuanya bisa diubah

Kini aku tahu
Itu semua hanya idealisme
Konkretisasinya tidak mudah
Kadang-kadang bertekuk terhadap situasi

Karut marut negeri ini gampang dipikirkan
Tetapi sulit diperbaiki
Jaringan penghalangnya panjang
Pemimpin demi pemimpin tak mampu menembus jaringan ini

Aku kembali ke ruangan ini
Menemukan oase intelektual itu
Aku akan pergi dari ruangan ini
Namun aku ingin sekali lagi menikmati aura intelektual ini

Ruang ini dingin
Sedingin kebijaksanaanku
Tetapi aku ingin menemukan kesegaran baru
Di tempat baru

Kedinginan ini menjadi pertanda
Akan ada kesegaran di tempat baru
Akan ada oase baru di tempat lain
Namun semuanya bermula dari oase intelektual di ruangan ini

Perpustakaan STF Driyarkara, 22/8/13
Gordi
Powered by Blogger.