Halloween party ideas 2015
Showing posts sorted by date for query FILSAFAT. Sort by relevance Show all posts

Kue Unik di Hari Ulang Tahun Kota Parma
 
model lain dari kue berbentuk sepatu 'scarpette di sant'illario'
FOTO: comeunfiorellinodirosmarino.blogspot.com
Kota Parma termasuk kota kreatif. Kreatif bisa dalam bidang apa saja. Beberapa di antaranya sudah terkenal di seluruh dunia. Sebut saja keju parmigiano yang sudah akrab di lidah pecinta kuliner. Satu lagi rupanya yang membuat warga Parma makin kreatif yakni kue kas dalam pesta HUT kota Parma.

Setiap tanggal 13 Januari, warga Parma beramai-ramai memeriahkan ulang tahun kota yang mereka cintai. Hari itu pun menjadi hari libur untuk seluruh warga kota. Universitas dan sekolah-sekolah libur, kantor pemerintah dan pabrik juga demikian. Pada hari itu—atau juga sehari sebelumnya—di rumah-rumah warga dan di tempat belanja atau di restoran, disediakan makanan kas warga Parma. Makanan ringan yang manis itu disebut Scarpette di Sant’Ilario atau sepatu dari Santo Hilarius.

Kue ini memang berbentuk sepatu. Kisahnya mengingatkan mereka akan sosok Santo Hilarius atau Sant’Ilario sebagai Pelindung kota Parma. Dalam legenda yang beredar, Ilario melewati kota Parma pada musim dingin. Ia sedang melakukan perjalanan panjang dari Poiters-Prancis ke Roma-Italia. Tukang sepatu di kota Parma yang melihatnya tanpa sepatu memberinya sepasang sepatu. Illario berterima kasih kepada tukang sepatu itu. Keesokan harinya, tukang sepatu itu melihat sepasang sepatu dari emas di tempat ia bertemu dengan Sant’Illario sehari sebelumnya. Ia kaget dan mengira tidak benar. Tetapi, sepatu itu memang benar-benar dari emas.
 
Sant'Illario atau Santo Hilarius FOTO: morethanfood.wordpress.com
Illario (315-367) sendiri adalah seorang Uskup dalam Gereja Katolik. Ia lahir dan meninggal di kota Poiters, Prancis. Dalam sejarah literatur Gereja Katolik, Illario dikenal sebagai Filsuf, Teolog, Penulis, dan Doktor Gereja atau Pujangga Gereja. Tentu saja dia juga adalah seorang Uskup dan akhirnya juga diberi gelar Santo pada pertengahan abad XIII (1851) oleh Paus Pius IX. Tidak banyak Filsuf dan Teolog dalam Gereja Katolik yang diberi gelar Pujangga Gereja atau Doktor Gereja. Sant’Illario menerimanya karena kepiawaiannya dalam bidang Filsafat dan Teologi.

Dalam sejarahnya, kepiawaian Illario sebagai Filsuf dan Teolog diakui bukan saja oleh Gereja Katolik. Gereja Anglikan di Inggris dan Gereja Ortodoks di Rusia pun mengakuinya. Illario sendiri berasal dari keluarga kaya yang tidak mengenal agama (pagano). Dengan kepiawaiannya dalam bidang FIlsafat, ia mencari dan terus mencari ilmu pengetahuan termasuk membaca Kitab Suci agama Kristen Katolik dan akhirnya bergabung dan menerima baptisan dalam Gereja Katolik.

Boleh jadi tidak semua warga Parma tahu sejarah sosok Pelindung kota mereka ini. Tetapi, yang jelas bagi mereka, sosok ini adalah Pelindung kota mereka yang memberi mereka anugerah dan rejeki termasuk untuk menghadiahkan Kue Kas Scarpette di Sant’Ilario pada hari ulang tahun kota mereka.

Pada Jumat pagi itu, kami juga mendapat Kue Kas ini dari Tukang Roti yang datang setiap pagi. Dia memberikan secara gratis. Ini hadiah terindah. Tidak masuk dalam daftar roti yang akan dibayar setiap akhir bulan. Di sekolah, anak-anak yang kami jumpai pada hari sebelum dan sesudah pesta juga menyinggung soal kue ini. Rupanya sudah populer seperti makanan khas lainnya dari kota Parma.
 
SIndaco atau Walikota Parma Federico Pizzarotti memberi sambutan
sebelum penyerahan hadiah medali, tampak pejabat kota madya Parma
bersama Uskup Parma Mgr Enrico Solmi (kedua dari kiri)
di Auditorium Paganini, FOTO: parmadaily.it
Pada perayaan HUT yang ke-2200 ini, Pemerintah kota Parma memberikan hadiah (premio di Sant’Illario) Medali Emas dan Setifikat Prestasi Sipil (Attestati civica benemerenza) kepada 7 orang dan lembaga yang berjasa untuk kota Parma. Penghargaan ini diberikan setiap tahun pada perayaan HUT. Tahun 2017 ini, medali emas diberikan kepada Arturo Carlo Quintavelle (Profesor emeritus Sejarah Seni di Universitas Parma), dan Sertifikat Prestasi Sipil kepada Giulia Ghiretti (Perenang Putri nasional dan internasional, lahir tahun 1994 di Parma), Cus Parma (Lembaga Olahraga yang lahir dari inisiatif mahasiswa di Universitas Parma), Lanzi Trasporti (Perusahaan penghubung antar beberapa bandara dan dermaga di sekitar kota Parma), Emporio di Parma (Organisasi Pasukan Sukarela yang dibentuk selama krisis moneter tahun 2008), Comitato Orti (Lembaga non profit yang membantu di rumah-rumah para jompo), Giovanni Ballarini (Profesor dari Persatuan Akademi Masak Italia), Unione Veterani dello Sport (Lembaga Olahraga yang menekankan semangat Kekeluargaan dalam berolahraga).

Mereka ini dipilih dari sekitar 30 orang yang diusulkan pada tahun 2017 ini. Hadiah pada HUT ini diberikan sejak tahun 1986. Saat itu, pemerintah kota Parma berinisiatif untuk memberi penghargaan kepada orang dan lembaga yang berjasa membangun kota dan warga Parma dengan berbagai caranya. Warga dan pemerintah kota Parma berhak memberi usulan setiap tahun untuk menerima penghargaan bergengsi ini. Bidang yang bisa diusulkan adalah ilmu pengetahuan, seni, industri, lapangan pekerjaan, olahraga, bantuan amal, inisiatif dermawan, dan sebagainya.

Penghargaan ini datangnya baru-baru ini saja kalau dibanding dengan usia kota Parma. Kota Parma dalam sejarahnya mulai dibentuk pada tahun 183 Sebelum Masehi. Kota ini adalah satu dari sekian kota jajahan Pasukan Romawi. Dan, sejak saat itu, Parma terus berkembang menjadi kota yang betul-betul berguna. Boleh dibilang, kota Parma melalui banyak pengalaman berharga yang menjadi pijakan dalam perkembangannya.
 
Satu dari banyak model kue berbentuk sepatu pada HUT Kota Parma
FOTO:madeinparma.com
Berbagai torehan prestasi pernah diraih oleh kota berpenduduk sekitar 194.464 orang pada Agustus 2016 ini. Penghargaan internasional pernah diraihnya pada tahun 2014 yang lalu. Saat itu, koran The Telegraph dari Inggris memberi peringkat ke-4 kepada kota Parma dari semua kota di seluruh dunia sebagai kota paling layak dihuni. Sementara majalah Panorama dari Italia—pada tahun yang sama—memberi peringkat sebagai kota terfavorit yang layak dikunjungi oleh seluruh warga Italia.

Setahun setelahnya (2015), Parma mendapat penghargaan internasional dari UNESCO sebagai satu dari beberapa kota kreatif (UNESCO Creative Cities Network). Kota Parma dipilih sebagai “Città creativa” dalam bidang perkembangan ekonomi. Di Italia pada saat itu, hanya terpilih 5 kota saja dari 69 jumlah kota yang dipilih oleh UNESCO.

Saat ini, sudah terpilih sekitar 116 kota dari 54 negara yang tergabung dari jaringan Kota Kreatif ini. Sekitar 7 bidang yang dinilai untuk masuk kategori kota kreatif—lihat situsnya di sini—yakni Crafts & Folk Art, Design, Film, Gastronomy, Literature, Music and Media Arts.

Sampai saat ini, 5 kota di Italia mendapat penghargaan di 5 kategori. Kota Roma dipilih untuk bidang Film, Bologna untuk bidang Musik, Fabriano untuk bidang Seni Kerajinan Tangan, Torino untuk bidang Desain, dan Parma untuk bidang Gastronomia.
 
Medali Emas pada premio Sant'Illario 2017, FOTO: parmaquotidiana.info
Satu lagi penghargaan yang sedang diusahakan oleh kota Parma adalah penghargaan dalam bidang kemanusiaan. Walikota (sindaco) Parma Federico Pizzarotti pada Desember 2016 yang lalu ikut dalam pertemuan tentang Imigrasi di Vatikan. Dia bersama beberapa walikota di Eropa ikut dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Negara Vatikan itu ikut mempresentasikan cara menghadapi masalah keimigrasian di Eropa saat ini. Dia mempresentasikan situasi aktual di kota Parma.

Parma memang tergolong cukup terbuka untuk menerima kaum imigran. Banyak organiasi yang bergerak dalam bidang ini. Termasuk beberapa yang masuk kategori ‘daftar hitam’ karena secara gelap bekerja hanya demi keuntungan saja.

Pemimpin Gereja Katolik di Parma Monsinyur Enrico Solmi juga—dalam pesannya kepada warga Parma—mengharapkan kinerja yang lebih dalam bidang kemanusiaan. Dalam pesannya yang dibacakan saat misa HUT di Gereja Katedral Parma, Monsinyur Enrico mengatakan bahwa kebaikan dan kebajikan (volto) manusia-lah yang membangun kota Parma. Ini berarti, kemanusiaan yang menjadi titik pusat dari kota Parma. Lebih lanjut, Enrico mengajak warga Parma untuk memerhatikan bidang ini. Dia juga menghimbau warga Parma untuk memerhatikan wajah kemanusiaan daripada wajah agama atau kelompok ras dari kaum imigran yang hadir di kota Parma. Pesan dari Uskup Parma ini kiranya menjadi tugas bersama baik Pemerintah Kota maupun warga Parma.
 
Tampak sebagian dari Gereja Katedral Parma dalam Misa HUT Kota Parma,
ada pasukan keamanan dari Kantor Walikota Parma, FOTO: agoramagazine.it
Inilah keunikan Parma dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya. Andai kota-kota di Indonesia mengembangkan kekhasannya, boleh jadi tidak ada warga kota yang ngangur karena semuanya sibuk bekerja demi kebaikan warga dan kotanya.

Wajah kota yang seperti inilah yang diimpikan untuk Indonesia. Jika ini mulai diterapkan, tidak ada lagi kelompok tertentu—entah yang berbasis agama atau suku bangsa—yang bertindak semau gue. Tetapi, jika Indonesia masih sibuk dengan pencarian, siapa yang benar atau malah memutlakkan hanya agama kami kami yang benar, niscaya pencapaian seperti ini tidak akan tercapai.

Ingat, bukan kelompok berlabel atau suku berlabel yang memajukan sebuah kota tetapi kebajikan dan wajah manusia. Maka, siapa pun Anda, agama apa pun asal Anda, tidak penting. Tidak perlu mengadili agama orang lai. Buktikan dengan perbuatanmu bahwa agamamu benar dan bukan dengan orasi dan demo atau adu otot.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

SELAMAT HUT Kota Parma.

PRM, 15/1/2017
Gordi

*Dari postingan pertama di blog kompasiana



Gak sangka
Puisi saya jadi HL
Padahal itu hanya berisi pertanyaan saja
Tetapi memang cukup unik

Unik karena mempetanyakan tentang hakikat bertanya
Saya mulai dengan memberi pernyataan
Dilahirkan untuk bertanya
Sehingga menjadi penanya

Kemudian menguraikan
Mengapa hanya bertanya terus
Kapan menjawabnya
Kembali lagi jawaban semula

Dilahirkan untuk bertanya
Bukan untuk menjawab
Kalau pun sampai menjawab
Jawabannya berupa pertanyaan

Lalu untuk menarik pembaca
Saya memberi judul
Orang ini aneh
Judul hanya untuk menarik perhatian pembaca

Inti tulisannya tentang bertanya
Tetapi ada juga komentar yang mempertanyakan di mana dan apanya yang aneh
Bagi saya orang yang bertanya terus termasuk aneh

Tetapi aneh dalam hal ini
Bukanlah keanehan yang bodoh
Saya berpikir
Dari keanehan muncul pertanyaan lagi

Seperti dalam filsafat
Orang bertanya dari keheranan
Demikian juga dengan
Keanehan yang melahirkan pertanyaan

Terima kasih untuk tim admin
Yang melihat inti daripada sekadar mempertanyakan yang aneh dari tulisan saya
Selamat sore

Dari Makasar, 11/4/13
Gordi


Gimana Sich Cara Nulis Puisi Keren?

Pertanyaan yang berbobot dan bermanfaat. Dua predikat yang penting untuk warga kompasiana.

Pertanyaan di atas dilontarkan oleh seorang kompasianaer, AS (maz gordi slalu bisa buat puisi yang keren ,, bagi tipsnya dong). Entah dia bertanya serius atau hanya iseng saja. Yang jelas pertanyaan itu disematkan pada kolom komentar tulisan saya. 
Arizona San24 April 2013 03:38:55
.. amin
maz gordi slalu bisa buat puisi yang keren ,, bagi tipsnya dong :)
]

Saya sebagai penulis pun bangga bisa ditanya demikian. Saya tidak menjawab langsung. Saya hanya merasa tulisan saya berbobot juga. Saya bangga jika tulisan saya menjadi sumber pertanyaan bagi pembaca. Bertanya bagi saya menjadi langkah awal untuk belajar hal baru. Demikianlah yang didengung-dengungkan dosen Filsafat di kampus saya dulu. “Kalau kalian tidak rajin bertanya, kalian belum memasuki dunia Filsafat.”

Saya jadi ingat salah satu defenisi filsafat, ilmu yang berawal dari pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan juga. Saya pun sebenarnya ehndaknya ebrtanya pada kompasianer yang bertanya itu, Mengapa kamu bertanya demikian?

Tentu ada dasarnya. Paling tidak dia sudah membaca tulisan saya yang berbentuk puisi itu. Saya pun bingung menjawabnya. Gimana yah? Dari bingung ini, saya mencoba mencari jawabannya.

Pertanyaan ini berbobot karena menanyakan akar dari tulisan saya. Jika tulisan saya bagus, akarnya apa yahhh. Mengapa sampai saya bisa menulis demikian. Inilah bobotnya pertanyaan ini.

Pertanyaan seperti ini bermanfaat. Sebagai bahan pelajaran. Bertanya mengapa itu baik, menurut saya, merupakan pertanyaan bermanfaat. Manfaatnya ya orang bisa belajar mengapresiasi sekaligus terlibat dalam karya tulis orang lain.

Saya dulunya tidak suka puisi. Alasannya puisi itu mengawang-awang. Abstrak. Saya tidak betah membaca puisi. Saya pernah mengikuti puisi mingguan di koran KOMPAS. Tetapi, saya tidak menikmati sama sekali.

Saya tertarik dengan puisi setelah pernah mencoba membuatnya. Meski puisi saya itu juga abstrak. Entah mengapa dari situ, saya terus mencoba menulis puisi.

Puisi yang saya sukai adalah puisi yang ditulis oleh, Sindhunata, budayawan, filsuf, novelis, dan sastrawan, yang memimpin majalah BASIS. Saya suka membaca puisinya meski tidak banyak buku puisinya. Atau mungkin banyak tetapi saya belum menemukannya. Saya membaca banyak bukunya tetapi bukan tentang puisi. Saya membaca puisinya di majalah seperti UTUSAN dan kadang-kadang di BASIS.

Dari situ, saya mencoba menulis puisi sederhana. kata-katanya tidak abstrak. Mungkin karena saya ini orang sederhana sehingga puisi saya juga sederhana, tidak mengawang, hehee. Saya kira demikian saja tanggapan saya. Tidak lebih dari sini. Saya tidak pernah belajar formal atau mengikuti kursus menulis puisi. Untuk AS saya mengucapkan terima kasih sudah bertanya.

Salam puisi


PA, 24/4/13

Gordi

FOTO, iodonna.it 
Seorang perempuan mungkin melupakan bayinya tetapi aku tidak akan meluapakanmu (Isaia, abad VIII SM).

Saya kira tidak ada seorang perempuan yang melupakan bayinya. Jika ia yakin itu bayi dari kandungannya, ia pasti menyanyanginya. Jika tidak, ia mungkin enggan menyanyanginya dan mudah melupakannya. Tetapi, pada dasarnya seorang ibu menyanyangi anaknya dan juga anak-anak lainnya. Di sinilah seorang ibu menampilkan naluri mengasuhnya.

Beberapa waktu lalu, kami makan malam bersama teman-teman. Bersama kami, anak muda, orang tua, juga anak-anak, dan beberapa yang masuk kategori tua (60-70 an). Tetapi yang tua ini datang dengan jiwa muda. Saat itu, setelah membereskan semua perlengkapan kamar makan, menata meja-kursi, dan menata jenis makanan yang ada, saya bermain-main dengan beberapa anak kecil usia 8-12 tahun. Satu di antara mereka suka main sulap dan tebak-tebakan. Saking sukanya, dia mengajak saya menyaksikan sulapnya. Saya tidak berhasil menjawab semua pertanyaannya dari tebakan itu. Kadang-kadang saya sengaja tidak menjawabnya supaya dia juga tetap semangat menunjukkan tebakan berikutnya. Saya juga mengajak seorang teman saya yang suka menyulap dan suka main tebak. Jadilah mereka dua ramai sekali dalam permainan ini. Saya malah jadi penonton saja sejak keikutsertaan teman saya. Tidak apa-apa. Saya hanya mengawasi saja biar ada pekerjaan juga.

Di dalam ruangan suasananya ramai sekali. Makin banyak orang yang datang. Kami menyingkir ke luar. Kami bermain sulap di dekat salah satu pintu masuk. Saya menjadi jembatan antara mereka yang di dalam dan kami yang di luar. Anak kecil ini makin asyik bermain sulap sampai-sampai dia tidak mau meninggalkan begitu saja para penontonnya. Lama-lama, kami keasyikkan bermain sulap ini.

Sesekali ibunya melihat kami. Ibunya yakin anaknya tidak terjadi apa-apa karena dia sedang bermain dengan kami. Ibunya pun tidak mengkhawatirkan anaknya. Dia asyik bercerita dengan teman-temannya di meja makan. Kami juga lanjut bermain. Meski ibu ini yakin sekali, dia tetap memerhatikan anaknya. Sesekali dia bangkit dari kursinya dan memastikan bahwa anaknya sedang dalam pengawasannya. Dia rupanya kurang yakin jika kami memberitahukan bahwa anaknya sedang bermain dengan kami. Dia datang langsung dan menyaksikan permainan kami. Kemudian, dia kembali ke tempat duduknya.

Anaknya lalu pergi ke toilet yang jaraknya kira-kira 80 meter dari tempat kami bermain. Entah apa yang dirasakan ibu ini, dia datang kembali. Dengan senyum manisnya dia seperti yakin sekali akan melihat anaknya. Padahal, anaknya sedang tidak bersama kami. Lalu, dia bertanya pada saya, “Di mana Daniela (nama samaran) ?”
Karena dengan senyum dia bertanya, maka saya juga menjawabnya dengan senyum dan dengan nada meyakinkan.
“Daniela sedang ke toilet bu. Jangan khawatir dia sedang bermain bersama kami.”

Ibu ini menganggukkan kepala sambil tersenyum, “Okelah, saya percaya dia baik-baik saja bersama kalian di sini,”katanya sebelum kembali ke tempat duduknya. Kami pun senang mendengarnya dan juga lega.

Tindakan ibu ini kiranya didasarkan pada naluri mengasuh. Ya, seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya sekalipun anaknya berbuat jahat. Seorang Ibu dari dalam hatinya sudah memancarkan naluri mengasuh ini. Isaia dalam kutipan awal tulisan ini melukiskan naluri mengasuh seorang ibu. Isaia dalam hal ini sedang menggambarkan betapa naluri mengasih seorang ibu begitu kuat. Isaia mengatakan mungkin seorang ibu melupakan bayinya. Ini tentu hanya sebuah perbandingan. Kenyataannya, tidak ada seorang ibu pun yang melupakan anaknya. Kalau pun kita pernah mendengar seorang ibu membunuh dan melupakan anaknya, ibu itu bertindak melawan naluri mengasuhnya. Dalam bahasa filsafat moral, ibu itu bertindak melawan hati nuraninya. Hati nuraninya tetap mempunyai naluri mengasuh dan menyanyangi anaknya. Maka, jika ia melupakan, ia sebenarnya bertindak melawan nuraninya. Dan, boleh jadi, dia bertindak demikian karena desakan dari pihak luar apa pun bentuknya. Sebagai konsekuensi lanjutnya, ibu ini pasti akan selalu diganggu oleh bayang-bayang gelap tindakan melawan hati nuraninya ini.

Maka, saya paham mengapa ibu ini tidak puas melihat anaknya dari tempat duduknya. Dia mesti melihat langsung. Dia mesti meyakinkan dirinya dan memastikan bahwa, anaknya sedang dalam pengawasannya dan bukan pengawasan orang lain. Dia yakin, tak cukup jika kami saja yang mengawasi anaknya.

Ah betapa ibu ini menyangangi anaknya. Terima kasih bu untuk tindakan konkretmu ini. Semoga banyak ibu yang konsisten mengasuh anaknya dan tidak tergoda untuk memberikan tugas ini pada pengasuh. Ibu ini kiranya mengkritik para ibu modern yang lebih asyik kelihatan tak beranak daripada mengasuh anaknya secara langsung. Ibu ini juga mengkritik para wanita modern yang enggan mengasuh anak karena merepotkan. Ibu ini sudah menunjukkan senyumnya saat mengasuh anak. Ia seolah-olah mengatakan, mengasuh anak itu mengasyikkan lhoo. Buktinya dia mengasuh sambil tersenyum.

Ah ibu senyummu memang menawan. Dan, sambil mengingat senyummu ini, saya selalu mengingat tindakanmu, mengasuh dengan senyum.

PRM, 26/5/15
Gordi


Dari Penuh jadi Hampir Kosong

foto, AFP Getty Images, dari thepromota.co.uk
Kemarin penuh, hari ini hampir kosong. Warna-warni situasi di Gereja Santa Cristina, kota Parma, Italia. Dalam suasana Paskah, hari ini sebenarnya masih ada misa meriah. Di Indonesia memang kebiasaan ini masih kuat. Paling tidak di Nusa Tenggara, Ambon, dan Papua, juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Jakarta, kurang begitu kuat. Semua seolah-olah berakhir pada Minggu Paskah. Di NTT umumnya ada istilah Paskah kedua. Maksudnya, hari Senin setelah Minggu Paskah. 

Di kota Parma, tidak ada istilah paskah kedua. Ada istilah pas’quaetta. Maksudnya sama seperti Paskah kedua. Kata ini berasal dari kata pasqua (easter) dan pas’quaetta diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Easter Monday. Dan, orang Italia masih merayakan paslkah kedua ini. Di bagian Selatan—kata teman saya—paskah kedua ini masih ramai. Banyak umat datang misa. Daerah Selatan memang boleh dibilang lebih hidup kekatolikannya ketimbang di Utara. Penyebabnya tentu banyak. Kita bisa menggunakan kacamata dengan berbagai merek untuk melihatnya. Ada kacamata ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat.

Di Santa Cristina hari ini, hadir setidaknya 30-an orang. Jumlah ini kecil sekali dan tidak sebanding dengan kemarin. Meski, sedikit, kami tetap merayakan misa dalam semangat kekeluargaan. Keluarga yang kecil—komentar beberapa teman—punya semangat kekeluargaan yang tinggi. Tentu keluarga yang besar juga. Tergantung kepala keluarga menciptakan suasana kekeluargaan dalam rumah keluarganya. Ada juga keluarga besar yang tampak sekali kekeluargaannya. Keluarga seperti inilah yang patut ditiru dan patut diambil semangat kekeluargaanya. Semangat kekeluargaan yang menciptakan suasana kebahagiaan.

Dan, kami merayakan misa hari ini dalam suasana bahagia paskah. Dalam homili, pastor paroki meminta saya untuk membacakan beberapa kutipan dari bahan kuliah yang dibuatnya, juga dari buku yang ditulisnya. Jadi, homili hari ini tidak seperti homili kemarin dan homili hari Minggu lainnya. Homili hari ini lebih bercorak kuliah. Tidak apa-apa. Ini juga bagian dari kreativitas. Setiap pastor yang memimpin misa mempunyai gaya tersendiri dalam membawakan homilinya. Seperti kita lihat juga gaya Paus Yohanes Paulus II yang sudah jadi santo itu beda dengan Paus Benediktus XVI yang profesor Filsafat dan Teologi itu. Homili Paus Benediktus XVI juga beda dengan Paus Fransiskus, Jesuit dan profesor itu. Apa pun coraknya homili, misa hari ini tetaplah misa Paskah kedua. Misa yang kami ikut dalam suasana kekeluargaan dan kebahagiaan Paskah.

Setelah misa, saya langsung mengambil sepeda saya dan kembali ke rumah. Di rumah, kami membuat pesta paskah. Makan siang bersama di halaman rumah. Makan yang kami siapkan sendiri. Tidak ada spagetti, pizza, pastasciutta. Hanya ada daging bakar, nasi, sedikit roti, cabe sebagai pendorong nasi, dan buah-buahan yang tak akan kami tinggalkan. Kebahagiaan Paskah ini kami ciptakan juga di halaman ini. bangku dan meja kami ambil di kamar makan. Radila halaman ini seperti kamar makan alam. Di kamar makan ada kebahagiaan. Di sini juga ada. Kami merayakan pesta ulang tahun seorang teman yang hari ulang tahunnya jatuh 3 hari yang lalu. Ada sepatah dua kata darinya sebagai ungkapan terima kasih. Ada juga lagu indah yang kami nyanyikan bersama dalam bahasa Prancis dan Spanyol. Ah indahnya kebersamaan dalam suasana kebahagiaan Paskah ini.

Selamat Paskah 2015 dan selamat ulang tahun temanku.

Parma, 6 April 2015
Gordi

Padre Corda SX
Setiap hari saya mendengar berita. Dalam negeri dan luar negeri. Ketika pagi hari mengecek email, saya sudah bisa menengok berita, dalam negeri, Italia dan luar negeri Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Italia. Kadang-kadang dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Portugis versi Brasil. Namun, untuk menyimak lebih dalam, saya lebih cenderung menengok dalam tiga bahasa pertama. Tiga bahasa lainnya hanya sepintas lalu. Toh, saya tidak memahami bahasa-bahasa tersebut. Tetapi, maklum tinggal bersama-sama, jadilah saya juga ikut melihat berita tersebut.

Email gmail, ymail, dan yahoo saya sudah cukup untuk membawa informasi. Dari ketiganya juga, saya bisa berhubungan dengan dunia lainnya, sebab ketiganya saya hubungkan dengan koran dan majalah internasional seperti Vatican.va, BBC, the Guardian, UCANews, kompas.com, dan sebagainya. Sudah banyak berita yang saya terima dari media-media ini. Berita-berita itu datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Berita yang menyenangkan, menyedihkan, membakar semangat, memunculkan rasa haru, dan sebagainya. Berita-berita itu meninggalkan kesan dan pesan tersendiri buat saya.

Berita hari ini, Jumat, 30 Januari 2015 justru berita yang mengejutkan. Saya terkejut membacanya. Langsung seketika juga ikut berduka, sedih sekali. Padahal, sebelumnya, saya senang sekali. Saya baru saja menyelesaikan ujian lisan di kampus dan hasilnya bagus. Pulang ke rumah dengan perasaan senang dan bangga. Saya lalu mengecek facebook. Dari situlah saya mendapatkan berita mengejutkan ini. Padre Corda, SX meninggal dunia.

Berita meninggalnya padre ini ditulis dengan beragam status teman-teman di facebook. Saya menyimak beberapa di antaranya. Banyak kesan, ingatan, kenangan, perasaan terharu, ada di sana. Ada juga yang mengupload foto-foto tentangnya, tentang kebersamaan dengannya, tentang bekerja dengannya, tentang perjalanan dengannya. Begitu panjang jika didaftarkan. Intinya berita-berita tersebut muncul sebagai tanggapan atas berita yang mengejutkan tadi.

Berita meninggalnya padre Italia ini seperti berita meninggalnya kakak kandung saya pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu. Rasa sedih saya bertambah besar waktu itu. Dan, saat ini juga rasa itu muncul lagi. Sekali lagi, saya sedih sekali mendengar berita itu. Berita yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Saya membagikan rasa sedih saya ini dengan teman-teman mantan murid-murid Padre Corda di kota Parma ini. Kami sama-sama sedih mendengar berita ini.

Berita sedih ini menjadi bertambah karena di Parma ini, tadi malam, meninggal seorang padre lainnya, Padre Battista Mondin, SX. Filsuf dan Teolog ternama di Italia. Dia menjadi satu di antara sekian ahli filsafat Santo Thomas Aquinas di Italia. Penelitian dan karya-karyanya menjadi rujukan banyak pakar filsafat dan teologi di seluruh dunia. Tentangya juga saya mempunyai kenangan. Memang, beberapa kali saya bersapa dengannya setelah dia pindah ke kota Parma pada 2013 yang lalu. Selain, itu saya mengenalnya sejak di Jakarta, melalui bukunya tentang Filsafat Abad Pertengahan dan Filsafat Manusia. Salamat jalan untuk kedua padre saveriani ini.

Mereka meninggalkan banyak kenangan untuk kami.
Hanya kenangan itulah yang kami ingat.
Kenangan itu ditulis dalam ingatan kami.
Kami mengingatkan kembali kebersamaan dengan mereka.
Itulah mereka yang mendahului kami.
Selamat jalan ya padre.


Prm, 7/2/15
Gordi


ilustrasi dari kompas.com, postingan kompasiana
Kemajuan suatu bangsa tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan Asia menitikberatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan. Dari sini mereka berkembang ke bidang lainnya. Dari pengetahuanlah, Amerika belajar membuat teknologi canggih. Bangsa-bangsa besar di Eropa seperti Jerman, Italia, Prancis, dan sebagainya, maju karena ilmu pengetahuan. Di Asia ada Jepang, Cina, Korea, Taiwan, Tailand sudah masuk kategori maju. Ilmu pengetahuan-tentu dengan ditopang bidang lain seperti ekonomi, budaya, dan sosial-politik-menjadi tonggak utama dan pertama kemajuan sebuah bangsa.

Tak bisa tidak, bangsa maju manapun harus melewati tahap ini. Jepang sudah melewati tahap ini. Itulah sebabnya Jepang menjadi salah satu bangsa maju di Asia bahkan di dunia, bersaing dengan bangsa maju lainnya di Eropa dan Amerika. Jepang memang tidak main-main dengan pengetahuan. Dalam bidang Filsafat, Jepang sudah menunjukkan buktinya. Filsuf-filsuf Jepang sudah membuktikan bahwa mereka bisa membangun dan mengembangkan ilmu Filsafat khas Jepang. Itulah sebabnya, sahabat saya yang bekerja di Jepang mengatakan, “Jepang belajar filsafat di Eropa, lalu membangun sistem filsafatnya sendiri khas Jepang.”

Kemajuan Jepang rupanya tidak lepas dari kemajuan bangsa lain seperti Eropa. Jepang-dalam hal ini-pandai belajar dari negara lain. Jepang tahu bangsa Eropa sudah maju karena ilmu pengetahuannya, dia pun ingin belajar dari Eropa. Bagi Jepang, ilmu pengetahuan tidak jatuh begitu saja dari langit. Ilmu pengetahuan mesti dicari, dipelajari, dikembangkan. Tidak ada hal baru di atas bumi ini. Semuanya sudah dipelajari, ditelusuri. Maka, kalau mau mendapatkan yang baru, selidikilah seluk-beluk yang sudah ada. Demikian juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Jepang menyelidiki perkembangan ilmu pengetahuan ini di Eropa. Jepang tahu betul, Eropa adalah gudang ilmu pengetahuan. Maka, Jepang mengirim para mahasiswanya ke Eropa. Di Eropa mereka belajar apa saja. Ilmu pengetahuan umum, budaya, sosial, politik, filsafat, teknologi dan cabang lainnya. Para mahasiswa ini belajar dan bertemu para ilmuwan Eropa. Dari para ilmuwan ini, mereka belajar banyak hal. Mereka ingin menjadikan ilmu pengetahuan ini kelak menjadi milik orang Jepang. Mereka rupanya punya keyakinan kuat bahwa Jepang juga bisa seperti Eropa. Jepang memang terbelakang dibanding Eropa tetapi mereka yakin bisa mengejar Eropa. Mereka mencari cara agar mimpi ini tercapai.

Sambil belajar, mereka menemukan caranya. Mereka belajar di Eropa tapi mereka kembali ke Jepang. Di Jepanglah mereka mengembangkan ilmu pengetahuannya. Dalam bidang Filsafat misalnya, mereka belajar dari filsuf-filsuf Eropa seperti Kierkegaard (1813-1855), Heideger (1889-1976), Buber (1878-1975). Mereka belajar karya-karya filsuf Yunani Kuno seperti Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), dan sebagainya.

Untuk mencapai perkembangan ilmu-ilmu modern, rupanya harus belajar dari ilmu-ilmu yang sudah ada sebelumnya. Jepang menerapkan hal ini dalam bidang kesehatan. Mereka mengirim tenaga kesehatan untuk belajar di Eropa lalu kembali ke Jepang dan mengembangkan pengetahuannya. Belajar kesehatan bagi orang Jepang tidak berhenti pada gelar dokter atau perawat. Belajar bagi mereka adalah pekerjaan seumur hidup.

Kata sahabat saya lagi, “Ilmuwan Jepang belajar kedokteran di Jerman, lalu kembali ke Jepang. Di sana mereka mengembangkan ilmu kedokteran dan menemukan jenis-jenis obat khas Jepang.” Ini menarik untuk ditiru. Demikian juga dengan ilmu lain seperti Filsaafat. “Orang Jepang belajar Filsafat di Eropa lalu kembali Jepang dan menemukan Filsafat khas Jepang.” Maka lahirlah nama besar seperti Nishida Kirarò (1870-1945), Tanabe Hajime (1885-1962), dan Nishitani Keiji (1900-1990). Ini hanya beberapa saja. Masih banyak ilmuwan lainnya. Mereka inilah yang berjasa membangun sistem Filsafat khas Jepang.
Mereka belajar dari Eropa, menerjemahkan karya-karya penting dari Eropa lalu mereka membangun sistem filsafatnya sendiri. Begini rupanya Jepang membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia kiranya perlu menengok sejarah. Soekarno sudah mengirim putra-putra terbaiknya untuk belajar di Eropa dan Amerika. Soekarno rupanya tidak kalah pandai dengan Jepang. Boleh jadi sebelum Jepang, dia sudah menemukan cara ini. Atau juga mungkin sama-sama pandai. Maklum, Soekarno belajar Filsafat dan ilmu pengetahuan lain di Eropa. Sayang, kecerdasan Soekarno tidak didukung oleh anak-anak bangsa. Ilmu pengetahuan dalam hal ini lagi-lagi dikhianati politik. Politiklah yang membuat putra-putra terbaik Indonesia tidak bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya di negara ini. Mereka berjaya di luar negeri sementara Indonesia sendiri terus terbelenggu dengan kemajuannya yang tinggal di tempat.

Terkenang sebuah seminar di STF Driyarkara beberapa tahun lalu. Pembicaranya adalah putra Indonesia sendiri yang bekerja di kota Manchester, Inggris. Dia lebih nyaman bekerja di universitas terkemuka di Inggris ketimbang di Indonesia karena karya-karyanya tidak bisa dikembangkan di Indonesia. Bahasa kasarnya, bangsanya sendiri tidak mendukung karya-karyanya. Kiranya dia tidak sendiri. Banyak ilmuwan Indonesia yang bekerja dan mengajar sampai namanya terkenal di luar negeri termasuk di Jepang dan Eropa. Indonesia rupanya tidak kalah dari Jepang. Indonesia tinggal selangkah lagi. Namun, langkah itu masih sulit jika situasi politik, sosial, ekonomi tidak kunjung kondusif. Kapan Indonesia bisa membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuannya? Saat Indonesia sudah bebas dari belenggu politik, sosial, dan ekonomi yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Waktunya belum ditentukan. Jepang sudah menemukan saat-saat terindahnya di abad XIX dan XX. Ayo..Indonesia juga bisa. Majulah anak bangsa, rebut kemajuan dari tangan-tangan pembelenggu.

Salam cinta Indonesia.

PRM, 6/3/2015
Gordi

Hari Bersejarah (2)

foto oleh kaupffup2013
Saya tak jemu-jemunya mengatakan sejarah itu penting. Bukan karena tanpa sejarah sebuah bangsa akan mati. Sejarah bisa menjadi sebuah ranting kehidupan sebuah bangsa. Jika ranting itu patah tak ada lagi pohonnya. Saya tahu banyak anak-anak SD dan SMP bahkan SMA yang tidak suka sejarah. Saya tetap akan mengatakan cintailah sejarah bangsa.
Seperti postingan saya sebelumnya di blogspot menyinggung soal sejarah. Kali ini juga akan saya singgung hari bersejarah lainnya. Konteksnya masih sama yakni menjelang akhir masa kuliah di STF Driyarkara. Saya langsung saja menyebut tanggalnya yakni 25 Mei 2012 (hari Jumat).

Pada hari ini saya kembali diuji oleh 3 dosen dalam ujian penentu. Ujian itu setara dengan skripsi yang juga diuji oleh lebih dari satu dosen. Memang ada perbedaan bobotnya. Ujian skripsi berbobot 6 SKS (Satuan Kredit Semester) sedangkan ujian yang ini hanya 3 SKS.
Ujian ini dikenal dengan sebutan Ujian Komprehensif. Komprehensif berarti secara keseluruhan. Ujian ini mencakup bahan kuliah dari semester 1 sampai 8. Bukan berarti semua mata kuliah. Lebih kurang ada 9 mata kuliah. Bahan-bahannya diringkas dalam 36 tesis.

Tesis di sini jangan dicampuradukkan dengan tesis sebagai tugas akhir mahasiswa S2 atau master. Tesis merupakan sebuah pernyataan yang mesti dijelaskan penjabarannya. Dalam ilmu filsafat dikenal istilah tesis-antitesis-sintesis. Nah, sintesis itulah yang merupakan pernyataan yang sudah dijelaskan penjabarannya secara detail. Tesis merupakan sebuah pernyataan yang masih perlu dijelaskan isinya.

Tesis-tesis inilah yang akan diuji saat ujian komprehensif. Mahasiswa akan menjawab 3 tesis yang dipilih secara acak oleh 3 dosen penguji. Seorang dosen akan bertanya setelah mahasiswa menjelaskan tesis yang dipilih. Dalam kesempatan inilah dosen akan menguji kemampuan berpikir mahasiswa. Biasanya mahasiswa berpikir logis setelah mengikuti kuliah 4 tahun. Untuk mengujinya, salah satunya, dengan ujian ini. Tiap dosen menggunakan metode ini. Jadi, seorang mahasiswa itu betul-betul diuji kemampuannya dalam menjelaskan sesuatu.

Ujian ini biasanya menuntut keseriusan dalam mempersiapkan bahan. Juga kesiapan mental. Ada beberapa teman yang karena rasa gugup menguasainya, dia tidak bisa menjawab satu kata pun dalam ujian. Sadis bukan? Maka, persiapkanlah mental dengan baik. Beberapa teman lagi gagal karena belum mampu menjelaskan dengan baik dan detail tesis yang diuji.

Peristiwa ini menjadi sejarah dalam hidup saya. Dengan persiapan yang belum terlalu matang, saya memberanikan diri menghadap ketiga dosen penguji. Saya baru saja keluar dari rumah sakit sehingga persiapannya juga agak kurang. Tiap hari hanya ada waktu sekitar 1-2 jam untuk persiapan tesis. Selebihnya saya istirahat karena masih lemas.

Tetapi saya berterima kasih kepada pihak sekretariat kampus karena memberi saya waktu belajar secukupnya. Jadwal ujian saya ditunda dari jadwal semula yakni Senin, 21/5/2012. Penundaan ini karena kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan untuk ujian hari itu. Hari Kamis minggu sebelumnya saya baru keluar dari rumah sakit.

Saya tetap berusaha mempersiapkan diri dengan baik juga disesuaikan dengan trik-trik menghadapi dosen penguji. Tesis-tesis diuraikan dengan bahasa sendiri. Trik menghadapi dosen penguji juga sudah disiapkan. Betapa kagetnya saya ketika semua ini sia-sia. Dosen penguji diganti pada hari ujian. Untungnya pagi hari saya ke kampus melihat ulang jadwal. Terkejut sekaligus kecewa karena dua dosen diganti. Mulai saat itu saya meyakinkan diri saya bahwa ujian ini tidak tergantung pada dosen penguji tetapi tergantung pada persiapan diri. Usaha meyakinkan diri ini berhasil. Saya tidak gugup berhadapan dengan dua dosen yang diganti. Saya bersyukur karena saya bisa menjelaskan tesis yang diuji dengan baik.

Inilah bagian dari sejarah hidup saya. Sejarah ini menjadi tonggak bagi saya untuk melangkah ke dunia selanjutnya yang sama sekali lain. Dunia yang tidak lagi antara menjelaskan dan mendengar. Tetapi, dunia yang kadang-kadang membutuhkan pertanggungjawaban yang rasional dan logis. Dunia yang hanya bekerja saja tanpa berdiskusi. Terima kasih untuk Sang Empunya yang membolehkan saya mengalami masa sejarah ini.

CPR 3/6/2012
Gordi Afri



Santo Yustinus Martir lahir tahun 103 M dan mati tahun 165 M. Ia adalah seorang santo yang bertobat karena membaca Injil. Baginya, Injil menjadi filsafat. Dia memang suka belajar filsafat. Karena sukanya, ia mengajar filsafat. Dia menemukan kebenaran sejati dalam Injil. Kebenaran yang sama pernah ia temukan dalam pelajaran filsafat. Tetapi, dalam Injil, ia menemukan kebenaran yang sejati.

Banyak kesaksian bahwa orang pintar akan menjauh dari agama. Tak jarang orang pintar malah mencoba mengobrak-abrik ajaran agama. Dari beriman menjadi tidak beriman. Dari ber-Tuhan menjadi berateis. Tentu perlu juga mencoba mengkritisi ajaran agama yang kadang terkesan kaku. Dengan itu, ajaran agama tidak diterima begitu saja tetapi diuji keilmiahannya sehingga bisa diterima akal.

Tetapi, meneliti ajaran agama tidak sama dengan melepaskan status keberimanan, keber-Tuhanan. Percaya pada Kehendak Tuhan adalah bagian dari iman. Sedangkan meneliti ajaran tentang Tuhan adalah bagian dari kerja ilmiah, olah pikir manusiawi. Keduanya mesti dibedakan dan tentu salaing mendukung.

Santo Yustinus yang kita peringati hari ini, 1 Juni kiranya menjadi teladan bagi kita. Ia tekun membaca Taurat dan Injil. Seharusnya kita pun meneladan dia, jatuh cinta pada Injil. Injil menjadi kekasih yang selalu dikenang, diingat, dan juga dihayati dalam hidup. Yustinus cerdik dari sisi otak, dan cerdik pula dalam hal beriman. Dengan mencintai ilmu yang kita pelajari, kita juga mencintai Injil yang kita hayati.


PA, 1/6/13
Gordi

Powered by Blogger.