Halloween party ideas 2015


Gara-gara Tulisan Ini saya jadi bangga. Bangga lewat tulisan memang sudah biasa. Para penulis hebat sudah sering mengalami ini. Memang mereka menulis bukan untuk membanggakan. Tetapi kalau tulisan itu membuat mereka bangga, tidak ada salahnya.

Lebih bangga lagi karena saya yang menulis. Tulisan itu membuat saya bangga karena satu hal yakni berkenalan dengan banyak orang. Inilah yang terjadi dalam tulisan saya semalam, Perawat Lebih Mulia daripada Dokter (lihat postingan saya sebelumnya).

Sampai siang ini, ada 68 komentar. Saya dan pembaca lainnya ikut menyumbang komentar. Saya berkomentar untuk menanggapi komentar pembaca. Makanya, komentar jadi lebih banyak. Kalau saya tidak tanggap mungkin komentarnya tidak mencapai itu. Dengan saya berkomentar, pembaca pun membuat komentar balasan juga. Jadilah banyak komentar.

Saya tidak menyinggung terlalu banyak soal komentar ini. Yang menarik perhatian saya adalah tulisan saya itu, termasuk komentarnya, dikomentari oleh pakar-pakar handal dalam bidangnya. Saya menyebut dokter dan perawat dalam tulisan itu. Dalam komentar, muncullah perawat, Titin Rahmawati, dan juga dokter atau mungkin petugas medis lainnya seperti, Dokter Posma Siahaan, Mbak VennyVirdastryn, Indah Lestari.

Mereka ini saya anggap sebagai orang yang pakar dalam bidangnya. Komentar mereka pun membuat saya sebagai penulis artikel dan pembaca lainnya tercerahkan. Mereka berbicara dari fakta yang mereka alami. Ada juga beberapa komentator lain yang mencoba membeberkan fakta yang mereka alami di lapangan. Pengalaman bersinggungan, bertemu, berkonsultasi dengan tenaga perawat dan dokter pun terkuak. Inilah indahnya profesi yang membuat manusia merasa dekat, pasien dekat dengan dokter atau perawat yang membantu proses penyembuhan.

Saya bangga karena orang-orang pakar ini membaca tulisan saya. Saya ini orang biasa dan awam dalam bidang medis. Saya bangga orang pakar dalam bidang medis ikut memberi perhatian dan berbagi ilmu dengan saya dan pembaca lainnya lewat tulisan itu.

Terima kasih untuk teman-teman kompasioners yang sudah emmberi komentar pada tulisan saya semalam. Salam hangat untuk semuanya.

-------------------------------------
*dari postingan saya di kompasiana

PA, 9/9/2012

Gordi Afri

foto oleh Firdaus Usman
Tulisan ini terinspirasi oleh tulisan kompasioner (sebutan untuk anggota blog kompasiana), Titin Rahmawati, Persamaan Polisi dan Perawat. Di situ dia menyinggung juga soal profesi perawat yang ujung-ujungnya cuma jadi babu profesi tetangga. tetangga perawat adalah dokter. Jadi apakah perawat menjadi babu dokter?

Saya tidak mau ribut soal dokter dan perawat. Di mata masyarakat publik, dan kenyataannya, pendidikan dokter lebih lama daripada perawat. Lantas muncul prasangka, dokter lebih tinggi, lebih hebat dari perawat. Lalu, kenyataannya perawat memang hanya sebagai pembantu dokter saja.

Perawat biasanya menemani dokter ketika berkunjung ke pasien. Perawat juga biasanya menyediakan peralatan medis yang mungkin akan dipakai oleh dokter. Perawat juga menyediakan obat yang ditunjuk dokter. Bahkan sebelum operasi besar, peran perawat biasanya didahulukan. Mereka yang melakukan persiapan seperti menyiapkan kondisi pasien secara psikologis, mencukur rambut-rambut yang perlu dicukur, dan sebagainya.

Lantas, apakh dengan demikian, dokter lebih tinggi dari perawat?

Saya setuju, dari segi pendidikan, boleh jadi dokterlebih tinggi. Pandangan umum juga menempatkan posisi perawat lebih rendah daripada dokter.

Tetapi dari pengalaman saya, saya cenderung menilai bahwa perawat lebih mulia pelayananya ketimbang dokter. Mengapa demikian?

Sewaktu di rumah sakit dan menjadi pasien, saya sering berinteraksi dengan para perawat. Setiap saat apa yang saya perlukan selalu dibantu oleh perawat. Dengan perawat pula saya berdialog, menyampaikan keluhan sakit, mengantar ke kamar kecil jika penjaga tidak ada, meminta makanan dan obat, dan sebagainya. Karena sering berinteraksi, saya merasa dekat dengan perawat.

Dengan dokter, saya hanya berjumpa satu sampai dua kali saja. Beberapa pasien di ruang saya juga hampir sama. Hanya satu atau dua kali dikunjungi dokter.

Okelah saya tidak menyangkal kalau dokter itu sibuk. Bekerja di beberapa rumah sakit dan memiliki kesibukan lain. Saya tidak menyangkal ini. Orang hebat memang selalu dicari orang. Dokter memiliki pasien dalam jumlah besar dan tersebar di beberapa rumah sakit, misalnya.

Saya tetap menganggap para perawatlah yang paling berjasa dalam proses kesembuhan saya di rumah sakit. Dengan merekalah saya berinteraksi setiap hari. Memang dokterlah yang menentukan kapan saya sehat betul, kapan saya pulang, kapan saya minum obat A, dan sebagainya. Tetapi menurut saya, pelayanan seorang perawat lebih mulia ketimbang pelayanan seorang dokter.

Penilaian ini murni dari pengalaman sendiri ketika menjadi pasien di rumah sakit lebih dari sekali. Boleh jadi pengabdian dan pelayanan seorang dokter lebih mulia bagi masyarakat pedalaman nan terpencil ketimbang pelayanan seorang perawat. Tetapi saya tetap menganggap perawatlah yang lebih dulu emnangani pasien.

Semestinya penilaian tinggi-rendah profesi perawat dan dokter segera dihilangkan. Keduanya mesti sama dalam peran yang berbeda dan saling melengkapi. Terima kasih untuk para dokter dan perawat yang berjasa dalam hidup saya.

*dari postingan saya di kompasiana

PA, 8/9/2012
Gordi Afri

FOTO

Buatlah daftar orang-orang yang berjasa dalam hidup. Begitu bunyi sebuah suruhan dalam sebuah pelatihan menemukan potensi diri. Bingung? Begitu reaksi beberapa peserta. Siapa-siapa saja mereka yang berjasa itu?

Bingung itu wajar. reaksi spontan. Coba baca ulang suruhannya lalu diam sejenak. Layangkan pikiran ke masa-masa awal hidup hingga hari ini. Akan muncul jawabannya nanti.

Diam sejenak. Lima menit sudah cukup. Lalu muncullah jawaban. Ditulis, dibuat daftar, lalu ceritakan ke teman-teman.

Siapa yang mau, suka rela, maju, dan ceritakan. Hampir semua peserta menjawab, orang yang berjasa dalam hidup adalah seorang ibu. Di antara sekian yang berjasa, ibu adalah yang pertama disebut. Mengapa demikian?

Karena ibulah yang melahirkan. Begitu argumen mereka. Ya. Itu benar. Tidak ada yang menyangkal. Tidak ada laki-laki yang melahirkan. Tetapi bukan berarti bapak tidak berjasa? Bapak dan ibu adalah orang berjasa. Lalu, mengapa mesti ibu disebut duluan? Bukankah ibu melahirkan lalu yang membesarkannya adalah bapak dan ibu?

Ya tentu saja. Tetapi jawaban itulah yang muncul dalam pikiran ketika melayangkan pandangan ke masa kecil. Yang mudah diingat adalah peristiwa kelahiran. Di situlah ibu menjadi pemeran utama. Selain ibu, ada banyak orang berjasa seperti bapak, kakak, adik, guru, pendidik non formal, masyarakat, pemimpin agama, dan lain-lain.

Menemukan atau membuat daftar orang-orang berjasa akan mengubah cara pandang seseorang. Dengan orang berjasa ini, kehidupan berubah. Tentunya dari yang kurang baik ke yang lebih baik. Merekalah yang terlibat dalam proses itu. Jadi, sikap saya yang dulu beda dengan sikap saya sekarang. Saya berubah karena orang berjasa. Kita tidak tinggal di tempat tetapi bergerak, berubah.

Jangan khawatir dengan kehidupan Anda. Setiap hari pasti ada perubahan. Sadarilah semua itu dan cobalah untuk hidup lebih baik lagi.

----------------------------------------
*dari postingan saya di kompasiana

PA, 7/9/2012

Gordi Afri


“Apa pengalaman paling berkesan ketika Anda datang ke Yogya?”
Begitu bunyi pertanyaan sang dosen kepada mahasiswa baru.

Lantas ada beragam jawaban dari mahasiswa/i baru ini.

Sang dosen pun membuka-buka secara acak lembaran jawaban yang terkumpul. Dia terkesima dengan jawaban seorang mahasiswa.

“Yang paling berkesan adalah pengalaman nyasar di Malioboro.”
Sang dosen pun membaca jawaban itu tanpa menyebut penulisnya. Teman-teman mahasiswa tertawa termasuk pak dosen.

Menurut pak dosen, pengalaman seperti ini memang selalu terjadi. Terutama bagi teman-teman dari luar Jawa juga luar Yogya. Menurut pengalamannya, pernah ada seorang mahasiswa dari satu daerah yang nyasar dari Malioboro. Mahasiswa itu berjalan menuju kosnya. Tak diduga ternyata dia ‘nyasar’ sampai arah Kaliurang.

Woao…ini pengalaman luar biasa lagi. Beruntung dia tidak sampai Kaliurang. Kalau tidak betapa malngnya nasib mahasiswa itu.

Jalanan di Yogya memang menarik. Tak heran jika kota ini menjadi tempat wisata. Hanya saja perlu ketelitian sebelum berkunjung ke objek wisata di sini. Bukan karena menakutkan tetapi mengantisipasi terjadinya pengalaman ‘nyasar’.

dari postingan di kompasiana

PA, 5/9/2012
Gordi Afri


foto oleh EdYourdon
Menulis setiap hari. Bisakah? Bisa. Tentu saja. banyak kompasioner melakukan itu. Bahkan sehari bisa menulis lebih dari satu. Inspirasi menulis muncul di mana saja. ada yang alngsung menuliskannya ada pula yang menunggu saat istirahat.

Saya juga ingin emnulis setiap hari. Membayangkannya sulit. BAgaimana itu terjadi? Jika membayangkannya terus menerus impian itu tidak terwujud. Tetapi kalau mulai melakukannya pasti bisa. Bisa menulis setiap hari. Usahanya panjang dan pasti akan membawa hasil.

Sekarang sedang dicoba. Membuat satu tulisan setiap hari. Kalau bisa nanti bahkan lebih dari satu. Ini impian. Kata orang impian itu abstrak. memang tetapi impian itu bisa jadi nyata. Jangan tinggal dalam dunia impian tetapi bermimpi itu indah.

Asal ada impian. Impian menjadi awal dari usaha. Meskipun impian juga muncul saat berusaha. belum selesai satu usaha muncul impian macam-macam. Tak apa-apa bermimpi itu tidak salah. Kelak suatu saat saya bisa menulis setiap hari.

PA, 13/9/2012
Gordi Afri

indonetwork.co.id

Beberapa hari terakhir ini saya cukup kesal dengan kondisi komputer di ruang kerja saya. Bukan ruang kerja seperti orang kantoran. Ruang kerja yang berisi komputer dan perangkat modem internet. Sesekali saja saya pakai ruang ini. Meski demikian ruang ini sangat penting sebab semua koneksi internet di rumah kami dikendalikan dari ruang ini.

Di ruang ini sebenarnya sudah ada komputer yang terkoneksi internet. Saya beberapa kali menggunakannya. Teman saya, Fonsi, yang sebelumnya bertugas di ruang ini juga memakai komputer ini. Selama dia pakai, tidak terjadi apa-apa, semuanya berjalan lancar. Namun, beberapa hari belakangan, komputer ini mulai macet.

Saya membersihkan bagian dalamnya. Debu menempel di sejumlah titik. Mungkin debu ini yang membuat kinerja komputer lambat. Ibarat mobil tua yang tidak terawat. Begitu gambaran kondisi komputer bagian dalamnya. Setelah membersihkan semuanya, saya memasang semua komponennya dan menghubungkan dengan internet. komputer berjalan dengan baik. Koneksi internet juga lancer. Tetapi beberapa hari kemudian komputer itu kembali seperti semula. Macet, macet, dan macet.

Saya memutuskan untuk mengganti dengan komputer lain dengan harapan koneksinya lancar dan kinerja komputernya juga lancer. Untuk hari pertama sesuai yang diharapkan. Kinerja komputer dan koneksi internetnya lancar. Saya pun bangga sekaligus berharap inilah komputer yang akan menunjang kinerja saya di ruang ini. Bagai disambar petir, tiba-tiba, komputer itu macet lagi. Wah kali ini saya benar-benar kesal. Saya tidak mau membongkar dan melihat isi bagian dalamnya lagi.

Saya memutuskan untuk mengganti dengan komputer ketiga. Kebetulan computer ini jarang dipakai. Debu-debu di bagian luarnya sudah banyak pertanda jarang disentuh. Tampilan luarnnya memang tidak meyakinkan kalau komputer itu bagus. Tetapi saya yakin saja bagian dalamnya bagus. Bagian dalamnya tidak seperti bagian luarnya yang kotor. Saya menghubungkan komputer itu dengan modem internet dan tersambung. Jadilah tulisan ini.

Ini tulisan pertama dengan komputer itu. Lumayan lancar. Komputernya tidak canggih tetapi cukup bagus untuk mengetik tulisan. Programnya pun masih windows 2003. Semoga komputer ketiga ini berjalan lancar sesuai yang saya harapkan. Kalau tidak mungkin untuk sementara saya tidak bisa membuat dan menampilkan tulisan baru diblog ini.

PA, 23/8/2012
Gordi Afri

*Dimuat juga di blog kompasiana pada 23 Agustus 2012



foto oleh no-body-cares
Minggu, 19 Agustus 2012. Saya bersama Bapak dan Ibu serta Pastor Memo, SX berkunjung ke rumah sahabat kami, Bapak Mul, di daerah Imogiri, Bantul, DIY. Perjalanan dengan menggunakan mobil Toyota Kijang LGX ini cukup ramai.

Bapak yang menjadi sopir mengarahkan mobil melalui ‘jalur dalam’. Maksudnya tidak melalui jalur ramai. Kami melewati beberapa lorong mulai dari Jalan Affandi-Gejayan, masuk satu gang lagi hingga tiba di Jalan Solo. Kemudian dilanjutkan dengan jalan-jalan kecil hingga tiba di daerah Giwangan-Umbulhardjo. Selanjutnya melalui jalan Imogiri.

Kami sengaja melewati jalan-jalan kecil alias ‘jalur dalam’ agar terhindar dari macet. Hari-hari besar atau musim liburan seperti lebaran ini biasanya ramai. Jalanan di kota Yogyakarta biasanya macet karena banyak pengunjung dari luar kota. Dugaan kami ternyata salah. Bapak yang asli Yogya ini menyadari hal ini. Dia pun berujar, “Wah, kita sudah berusaha mencari jalan-jalan kecil, tetapi nyatanya kita masih terlambat dari biasanya.”

Perjalanan ke rumah Pak Mul biasanya bisa ditempuh selama 3o-45 menit. Kali ini agak lama, 50 menit. Maklum hari libur. Meski agak telat, saya justru bersyukur karena bisa mengenal jalur-jalur baru di kota pendidikan ini. tiap perempatan jalan, saya bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya, “Ini daerah apa namanya, bu?” Ibu yang sudah lama tinggal di kota budaya ini pun menjawab dengan lancar.

Diterima dengan senang hati
Setibanya di rumah Bapak Mul, kami disambut dengan senang hati. Ketika mobil kami hampir tiba di rumah, Bapak Mul sudah menunggu di depan rumah, mengenakan baju resmi dan agak rapi. Baju resmi bernuansa Islami. Kami melihat dia tersenyum ketika mobil kami tiba. Lalu, dia menunjukkan tempat parkir yang tidak jauh dari pintu rumahnya. Sekitar 5 meter.

Kami masuk rumah dan bersalaman dengan keluarga Bapak Mul sambil mengucapkan Selamat Hari Raya Lebaran. Pak Mul merasa senang dengan kehadiran kami. Dia mengungkapkan kesenangannya itu di hadapan kami. “Saya senang karena pastor dan kalian semua bisa mengunjungi kami di sini,” katanya.

Pak Mul adalah seorang Muslim. Dia bekerja di rumah kami sudah hampir 20-an tahun. Kami yang berkunjung yang adalah semuanya Katolik bangga dengan kata-katanya. Perbedaan keyakinan dan agama tidak membuat kami canggung. Kami tahu dia Muslim dan dia tahu kami Katolik. Sudah lama kami bekerja sama, saling menghargai, saling menghormati.

Pak Mul bekerja di rumah kami dengan menempuh jarak 25 kilometer setiap harinya. Pergi dan pulang 5o km. Setiap hari dia datang ke rumah kami, kecuali hari Jumat. Dulu, sekitar 7 tahun lalu, dia datang dengan sepeda. Bayangkan orang setua dia masih kuat menggenjot sepeda sepanjang lebih kurang 50 km setiap hari. Setelah gempa yang melanda Yogya, Mei 2006, dia beralih ke sepeda motor. Dia pun berangkat dari rumah sekitar jam 05.30 pagi dan pulang sekitar jam 04.oo sore. Dulu, waktu menggunakan sepeda, katanya, dia berangkat sekitar jam 04.00 pagi.

Jalanannya mendaki waktu datang. Dari sudut Selatan kota Yogyakarta sampai Utara kota Yogyakarta. Dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Sungguh luar biasa perjuangannya. Menurut cerita bapak dan ibu, yang bekerja di dapur, setelah lebaran, Pak Mul berencana datang dengan sepeda lagi. Dengan sepeda memang badan jadi lebih segar dan sehat, olahraga pagi, juga menikmati udara pagi. Tetapi agak aneh, di usianya yang makin tua, dia malah menggenjot sepeda. Bukannya semakin tua tenaga berkurang sehingga lebih bagus kalau pakai motor. Tetapi alhamdulilah jika rencana itu menjadi nyata nanti, mungkin Pak Mul merasa lebih nyaman dengan sepeda.

Ajang dialog antar-agama
Kunjungan silaturahmi kali ini menjadi ajang dialog antar-agama bagi saya. Selain dengan Bapak Mul sekeluarga, kami juga berbincang dengan keluarga adiknya Bapak Mul yang rumahnya bersebelahan. Adiknya datang dan bersalaman dengan kami ketika kami mau pulang. Dia juga membantu mengarahkan mobil untuk berbalik arah. Dia sempat bercerita tentang nyamannya rumah dia dan kakaknya, Pak Mul, yang terletak di atas bukit dan didasari bebatuan yang kuat.

“Waktu gempa, rumah-rumah ini tetap kuat, berdiri kokoh, padahal rumah-rumah lain sudah runtuh,” katanya dengan nada bersemangat. Rumah Pak Mul terletak di atas bukit dan dasarnya terdiri atas bebatuan. Kalau fondasinya kuat, rumah pun akan tahan ketika terjadi gempa.

Setelah perbincangan itu, kami masuk ke mobil lalu pulang. Tak lupa kami melambaikan tangan ketika mobil bergerak melambat dan akhirnya kami meninggalkan mereka. Terima kasih untuk perjumpaan hari ini. terima kasih untuk Bapak Mul sekeluarga yang sudah menerima kami.

PA, 21/8/2012
Gordi Afri


ilustrasi dari google
Hari ini, 20 Agustus 2012. Dua puluh hari dalam bulan Agustus. Seharusnya saya sudah menulis banyak di blog ini. Itu memang keinginan saya yakni menambah jumlah tulisan di blog setiap bulannya. Selama ini hanya berkisar 4 atau 6 tulisan. Sekarang saya mau meningkatkan menjadi lebih dari 6. Ini rencana yang mudah-mudahan bisa terpenuhi. 

Ternyata tulisan saya belum banyak. Di minggu ketiga dalam bulan ini, tulisan di blog hanya ada 2. Jangan-jangan target saya tidak tercapai. Tetapi masih ada 10 hari ke depan untuk berubah. Kata orang tidak ada kata terlambat untuk berubah. Saya mencoba untuk menerapkan prinsip ini. Tidak mudah tetapi bisa dilakukan.

Saya mulai dengan tulisan ini. Semoga besok lusa bisa bertambah. Persoalannya bukan pada ide untuk menulis. Meskipun dalam jangka waktu tertentu saya menemukan jalan buntu untuk membuat tulisan. Di tengah kesibukan saya ide untuk menulis hampir tidak ada. Persoalan sekarang adalah komputer saya yang sering macet. Dalam beberapa hari ini, komputer itu macet total. Saya mencoba menggantinya dengan komputer lain tetapi hasilnya sama saja. Apakah ini komputernya atau jaringan internetnya yang rusak. Bisa saja keduanya atau salah satu dari keduanya.

Dalam benak saya ada banyak tulisan yang dihasilkan tetapi nyatanya masih sedikit dan bahkan terancam gagal target. Saya mencoba untuk menggunakan kesempatan yang ada. Selagi komputer lancar segera saya menulis. Sebab, tidak tahu kapan datangnya kemacetan komputer itu. Kalau macet waktu mudik itu otomatis. Tetapi waktu macet untuk komputer itu dadakan alias tak ada yang tahu. Semoga saya dan Anda, pembaca, sekalian bisa meraih target yang ada. Semoga sarana penunjang mendukung untuk pencapaian target itu.

Salam merdeka, selamat idul fitri, selamat libur lebaran,

PA, 20/8/2012
Gordi Afri



Menemani mungkin menjadi suasana yang membosankan bagi sebagian orang. Menemani teman/sahabat untuk rekreasi ke pantai misalnya. Bisa saja jadi bosan jika kita sudah melihat tempat itu untuk ke sekian kalinya. Ini wajar sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang baru.

Saya pun mengalami kebosanan ketika menemani teman berkunjung ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Saya sudah 3 kali ke sana. Tahun 2005, juli 2012, dan agustus 2012. Begitu juga dengan Candi Prambanan di dekat Klaten, yang sudah 2 kali saya kunjungi, 2006 dan agustus 2012. Saya pun menjumpai beberapa orang yang sama, melihat pemandangan yang sama. Bosan. Tetapi saya harus menjalaninya.

Dalam pergumulan itulah saya menemukan hal baru. Menemani bukan sekadar melihat obyek yang sama, mengalami suasana yang sama. Saya mencoba mencari hal baru ketika melihat hal yang sama. Di Prambanan, saya menemukan seni berfoto dari sang fotografer. Dia mengajarkan teknik mengambil gambar untuk orang yang sedang melompat.

Dengan iming-iming menggunakan jasanya, dia beberapa kali mengajari teknik mengambil gambar. Saya dan teman saya pun mengubah gaya. Semuanya gaya melompat. Hasilnya bagus. Ini pelajaran baru bagi saya.

Di Prambanan, saya belajar gaya berfoto dari sahabat saya ini. Dia mengajarkan seni berfoto di mana kita seolah-olah yang paling besar di hadapan obyek yang kenyataannya lebih besar dari kita. Candi Prambanan misalnya bisa dipegang, ditunjuk dari atas, didudukan di atas telapak tangan. Semuanya ini adalah gaya berfoto.

Pada kesempatan lain saya juga menemani sahabat saya mengunjungi candi Hati Kudus Yesus dan gereja Katolik Ganjuran. Saya sudah 2 kali ke sana. Tahun 2006 dan agustus 2012. Bagi saya kunjungan kedua dan ketiga sudah membosankan. Kunjungan pertama adalah yang terindah dari semua kunjungan. Begitu prinsip saya.

Gereja yang baru saja direnovasi tahun 2009 ini ternyata tampak indah dibanding 7 tahun lalu sebelum gempa Yogya Mei tahun 2006 meluluhlantahkannya. Candi Hati Kudus juga menjadi tempat istimewa dalam kunhjungan kali ini. Saya bisa berdoa di dalam candi. Giliran dengan beberapa pengunjung lainnya.

Inilah indahnya seni menemani. Pekerjaan ini adalah pekerjaan pemandu wisata. Saya bukan pemandu wisata tetapi dengan kegiatan ini saya belajar hal baru, menjadi pemandu wisata.

Tak ada yang sia-sia ketika kita mencari hal baru dari obyek yang berkali-kali kita perhatikan.

PA, 16/8/2012
Gordi Afri


Apa jadinya jika cinta yang pernah mendebarkan bersemi lagi? Bukan tidak mungkin pasangan remaja yang mengalaminya akan bergembira. Mereka akan mengalami masa-masa romantis dalam hidup mereka. Masa yang pernah mereka alami, lalu berpisah, kemudian bersama lagi. Inilah salah satu keindahan dari cinta.

Cinta saya pun bersemi lagi. Bukan cinta dengan seorang cewek, seorang manusia. Meski cinta itu sering dipasangkan dengan lawan jenis. Cinta saya pada kota Yogyakarta. Inilah cinta pertama saya dengan kota di Pulau Jawa. Kota Pendidikan dan Budaya, begitu kata kakak-kakak kelas saya waktu itu.

Tujuh tahun lalu, 2005, saya jatuh cinta dengan kota ini. Bukan karena ada pertemuan sebelumnya tetapi karena saya mengenyam pendidikan tinggi (setelah tamat SMA) di kota ini. Saya pun mulai akrab dan lama-lama jatuh cinta dengan kota ini. Yogyakarta kala itu ibarat seorang gadis manis yang siap dipinang.

Kini, 10 Juli 2012, cinta saya bersemi lagi. Lima tahun berpisah tidak membuat kami lupa satu sama lain. 10 Agustus yang akan datang, 4 hari lagi, saya sudah memasuki 1 bulan tinggal kedua kalinya di kota ini. Saya mencintai kota ini. 

Dulu, saya belajar naik sepeda, mengendarai sepeda di jalan besar dan kecil serta lorong di kota ini. Saya belajar dan duduk di ruang kelas kuliah di kota ini. Saya belajar menjadi mahasiswa di kota ini. Belajar mengajar dan mendampingi anak-anak bina iman di kota ini. Belajar budaya Jawa, belajar budaya lain dari berbagai daerah di Indonesia ini. Di sinilah hati saya jatuh cinta dengan kota ini. Kota ini memberi saya kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang, lebih banyak budaya, baik lokal Indonesia maupun manca negara, lebih banyak bahasa, lebih banyak karakter orang, lebih banyak jenis makanan.

Kini saya berada di kota ini bukan untuk belajar sepeda lagi tetapi belajar yang lain. Saya sudah bisa bersepeda, bersepeda motor bahkan menyetir mobil, bahkan mendapat pendidikan tinggi yang cukup. Kini di kota ini saya belajar menjadi manusia yang rendah hati, menerapkan semua ilmu yang didapat, belajar menjadi diri sendiri, menerima diri apa adanya di tengah berbagai situasi. Kata orang CINTA itu membutuhkan KERENDAHAN HATI. Maka, saya belajar untuk rendah hati di kota ini.

Hampir sebulan cinta lama bersemi kembali. Saya masih aman-aman saja, belum menghadapi situasi baru yang mirip saya alami dulu. Sebentar lagi, akhir Agustus saya mengalami situasi baru. Anggap saja keberadaan saya selama ini, Juli sampai Agustus sebagai persiapan juga adaptasi. Semoga semua indah pada waktunya. Dia yang di atas selalu menyertai saya kapan dan di mana saja. Maka, jangan takut.

Cinta lama bersemi kembali, kenangan lama diingat kembali, rencana baru terpampang di depan mata. Mari melangkah ke hari berikutnya.

PA, 6/8/2012
Gordi Afri

Jadikan pendeta sebagai panggilan dan jangan jadikan pendeta sebagai profesi atau pekerjaanmu
FOTO: Family Vacation


Demikian pesan Pendeta Markus F. Manuhutu dalam kata sambutan acara Ibadah Peneguhan untuk Adventino Ekaristi Priyonggo sebagai pendeta pada Minggu, 10/6/2012. Pendeta Markus adalah Ketua Majelis Sinode GPIB. Kata-kata ini bertuah. Wajar jika ini dijadikan bahan sambutan untuk pendeta muda dari pendeta tua yang banyak makan garam.

Pendeta sebagai panggilan berarti pendeta seumur hidup. Suka dan duka dijalani sebagai tugas pendeta. Di daerah terpencil banyak kekurangan jika dibandingkan fasilitas di kota. Di situlah pendeta ditantang untuk menjadikan aktivitas hariannya sebagai pendeta.

Sebaliknya pendeta sebagai pekerjaan/profesi berarti menghitung jam kerja. Layaknya seorang direktur perusahaan yang bekerja mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore. Pekerjaannya dihitung dalam satuan waktu. Di luar jam itu ia bukan direktur lagi. Jika hitungan seperti ini diterapkan dalam kehidupan harian seorang pendeta, boleh jadi pekerjaannya akan gampang-gampang saja. Dia mencari yang mudah dilakukan, yang fasilitasnya lengkap. Di luar itu bukan pekerjaan pendeta.

Saya teringat kata-kata Romo Dr. Al Andang Binawan di STF Driyarkara saat kuliah Moral Keluarga. Dia mulai dengan bertanya, apa bedanya panggilan dan profesi? Apakah menjadi seorang ibu merupakan sebuah profesi? Kalau ya, maka, ibu itu tidak bisa melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati. Lebih buruk lagi jika ia menghitung jumlah jam memasaknya atau jam mencucinya.

Menjadi seorang ibu berarti merasa diri dipanggil menjadi seorang ibu. Ibu bekerja tanpa kenal waktu. Bangun pagi tiap hari, menyusui anaknya, memasak, dan aktivitas lainnya, dilaksanakan tanpa menghitung. Inilah panggilan menjadi seorang ibu.

Betapa celakanya jika ibu menghitung pekerjaannya dari pagi sampai jam 12 siang. Setelahnya bukan pekerjaannya lagi. Dia tidak beda dengan pekerjaan seorang PNS yang masuk jam 7 dan pulang jam 1. Apa jadinya jika setelah masak malam, ibu bilang selesailah pekerjaanku. Ibu tidk seperti itu. Ibu-ibu di kampung seperti mama saya dulu, selesai makan malam, kami mencuci piring lalau setelah itu dia masih menyempatkan diri melatih kami membaca dan mengerjakan tugas. Terima kasih mama sayang jasamu besar buat kami anak-anakmu.

Jadi, hargailah setiap pekerjaan Anda, lihatlah itu sebagai panggilan dan bukan profesi belaka.

CPR, 9/7/2012
Gordi Afri

foto: di sini

Menjadi penjaga gerbang. Ini tugas baru saya di kota Yogyakarta. Menjadi penjaga berarti bertanggung jawab untuk menutup dan membuka gerbang.

Tampaknya ringan. Dan memang ringan. Menutup dan Membuka. Hanya saja menuntut tanggung jawab yang tinggi. Bayangkan jika saya lupa menutupnya. Pencuri masuk. Berapa banyak kerugian jika pencuri beraksi. Di rumah ada banyak yang bisa diambil pencuri. Ya...namanya pencuri mengambil sesuka hati, semau dia, semampu dia.

Bayangkan pula jika saya telat membukanya di pagi hari. Saya membukanya pada pagi dan menutupnya pada malam hari. Tukang kebun yang biasanya masuk pagi juga tukang koran yang masuk pagi tidak bisa masuk. Mereka kecewa dan saya dirugikan. Lebih dari sekadar rugi, mereka menilai saya lalai menjadi penjaga gerbang.

Tidak ada yang lebih istimewa selain membuka dan menutup gerbang di pagi dan malam hari. Saat buka, ada suasana segar, udara pagi yang bersih, kesunyian yang indah. Saat tutup ada suasana ramai, bukan hanya karena deru kendaraan di jalan ring road utara tetapi juga bunyi jangkrik dan binatang malam lainnya. Ada pemandangan romantis di sela-sela rerimbunan pohon nangka, mangga, cemara, dan beberapa pohon rimbun lainnya.

Sungguh ini pengalaman unik. Tiap pagi dan malam saya berolahraga. Berjalan dari pintu kamar, turun, melewati belasan anak tangga, lalu dari pintu rumah ke pintu gerbang. Lumayan, sekali jalan 100 meter. Kalau dihitung, pergi-pulang pagi dan sore, sudah 400 meter. Ini olahraga jalan kaki yang didapat dari tugas jaga gerbang. Belum bolak-balik naik turun tangga.

Wah ini hikmat luar biasa. Belum lagi sapaan ke pemilik rumah sebelah, bapak-bapak dan ibu-ibu serta mbak-mbak yang ke pasar pada pagi hari atau yang sedang lari pagi dan lewat di depan gerbang. Menyapa orang-orang yang sama. Jadi akrab dan saling kenal.

Inilah hikmat dari tugas menjaga pintu gerbang. ringan tetapi menuntut tanggung jawab. Berkorban untuk bangun pagi tetapi memiliki banyak kenalan.

PA, 27/7/2012
Gordi Afri


Wanita rentan terhadap tindakan diskriminatif. Mereka direndahkan. Mereka menjadi tak berdaya. Boleh jadi akar dari semua ini adalah anggapan bahwa wanita itu lebih rendah ketimbang kaum lelaki. Padahal sejatinya wanita dan lelaki itu mempunyai derajat yang sama. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Penulis novel ini, Abidah El Khalieqy, menyadari tindakan diskriminatif terhadap kaum wanita. Dia adalah salah satu yang menyadari lalu bangkit memberontak (dengan menulis). Kiranya dia dan kita setuju bahwa tindakan diskriminatif terhadap perempuan harus dihentikan.

Novel ini mengisahkan kehidupan Nisa dan pamannya Lek Khudhori. Mereka mula-mula sama-sama memiliki keinginan yang sama yakni belajar. Sang ponakan suka dengan gaya didik pamannya. Ponakan, Nisa, menimba banyak ilmu dari pamannya. Sampai suatu ketika sang paman kuliah di Arab dan sang ponakan tetap mengirim surat. Mereka saling mengirim surat.

Meski mengisahkan kisah cinta sang ponakan dan sang paman, novel ini mempunyai pesan yang menarik yakni perjuangan terhadap kaum perempuan. Penulis dengan berani mengajukan pertanyaan kritis misalnya mengapa perempuan dilarang puasa pada saat haid?

Menurut hemat saya, pertanyaan kritis semacam ini menumbuhkan minat bertanya pada pembaca untuk menggugat diskriminasi terhadap perempuan. Kiranya dengan pertanyaan ini muncul pertanyaan lain yang kritis.

Penulis yang adalah penyair dan novelis ini mengulas kehidupan di pesantren. Kisah seputar pembacaan Alqur’an oleh para santri, pelajaran bahasa Arab, dan pelajaran lain yang terkait. Semuanya diulas dengan bahasa yang mengalir.

Penulis yang banyak mendapat penghargaan bidang tulis menulis antara lain Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY 1998 mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kehidupan perempuan. Semoga dengan membaca novel ini banyak kaum perempuan menyadari kehidupannya dan bangkit berjuang emngkritisi segala yang ada. Perempuan kiranya tidak boleh tinggal diam, menerima begitu saja peraturan yang ada. Bukan untuk memberontak secara fisik tetapi mencari dasar argumen dari peraturan yang ada. Dengan demikian pemahaman mereka diperkaya.

Judul buku: Perempuan Berkalung Sorban(Sebuah Novel)
Pengarang: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tahun terbit: 2001, 2009 (edisi revisi)

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri

Rabu, 18 Juli 2012. Malam ini turun hujan pertama di kota Yogyakarta. Saya baru beberapa hari di kota ini dan baru merasakan hujan pertama. Entah sebelumnya kapan hujan terakhir. Yang jelas tanah-tanah di kota ini masih kering. Debu di lapangan basket depan rumah makin banyak. Tanah kering karena kekurangan air hujan.

Hujan ini membawa berkat bagi kami di Yogyakarta. Berkat apakah itu? Paling tidak kami tidak perlu menyiram tanaman dan bunga-bunga kami. Air hujan sudah mencurahkan kesegaran kepada tanaman itu. Kami hanya berterima kasih kepada Tuhan sang pemberi hujan.

Kota Yogya sebentar lagi tampak hijau. Bunga-bunga mekar setelah menyerap air hujan. Debu-debu jalanan makin hilang. Jalan-jalan tampak bersih tanpa ditaburi debu yang mengotori lubang hidung.

Inilah berkat dari hujan pertama di kota ini. Tuhan sudah merencanakan semuanya.

PA, 19/7/2012
Gordi Afri


Kaum abal-abal. Siapakah kaum abal-abal? Arswendo, penulis novel ini mengangkat kehidupan kaum abal-abal. Boleh jadi mereka bukan siapa-siapa tetapi di tangan Arswendo, kehidupan mereka menjadi cerita menarik.

Kaum abal-abal menurut Arswendo adalah kaum miskin, tak berdaya, tukang ribut, susah diatur (hlm. 1). Novel ini mengisahkan kehidupan mereka ini. Kalau dibahasakan secara umum mereka ini adalah kaum lemah. Mereka lemah dari segi sosial. Tidak punya modal untuk bertahan dalam kehidupan sosial. Mereka ini tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Tak jarang mereka ditipu atau dipaksa mengaku palsu. Justru karena lemah mereka gampang diperdaya oleh oknum tertentu.

Inilah yang dikisahkan penulis novel ini. Bahasa yang digunakan Arswendo mudah dipahami. Seperti dalam novel lainnya, bahasa Arswendo menarik dan mengalir. Uraiannya detail. Kekuatannya pada segi mendeskripsikan kehidupan kaum abal-abal. Pembaca dibawa masuk dalam seluk-beluk kehidupan mereka. Ada yang jadi tukang preman jalanan, tukang rampok, tukang hajar orang, dan kriminal lainnya. Ulah mereka kadang-kadang meresahkan warga. Petugas keamanan kadang-kadang enggan menghentikan aksi mereka karena kekuatan tak sebanding. Atau juga tidak berefek jera.

Kehidupan yang antah-berantah ini menjadi cerminan keseharian kaum abal-abal. Bagaimana pun kehidupan mesti berujung pada satu titik. Bagi mereka titik itu adalah penjara atau rumah tahanan. Ini tentu bukan pilihan mereka. Tetapi, titik itu mau tidak mau mesti diterima. Kaum abal-abal rentan dijadikan oknum palsu oleh kaum yang kuat. Mereka dipaksa mengaku palsu demi menyelamatkan kaum kuat yang melakukan tindakan kriminal.

Di penjara mereka masih melanjutkan aksi mereka. Memang tidak seterang-terang sewaktu di dunia luar. Di penjara mereka beraksi sesuai situasi dan kondisi. Mereka memeras anggota baru atau juga kaum berduit. Tawuran pun tak terhindarkan.

Selain itu novel yang ditulis oleh penyair, wartawan, novelis, kolumnis ini mengisahkan kehidupan napi (narapidana) beserta istri dan anak-anak mereka di dunia luar. Istri mereka kadang-kadang menjenguk sang suami, ada juga yang tidak dijenguk sama sekali.

Arswendo yang beberapa kali mendapat penghargaan dalam dan luar negeri juga mengulas keseharian petugas penjara. Ada kongkalingkong antara napi, penitera, jaksa, hakim, dan polisi. Tentu semuanya diulas dalam gaya bahasa novel yang menarik.

Novel ini bisa dibaca oleh siapa saja untuk mengetahui seluk beluk kehidupan dalam dunia tahanan/penjara. Kehidupan narapidana sebelum dan sewaktu menjadi tahanan. Juga, relasi antara polisi, hakim, jaksa, petugas penjara, dan narapidana. Semuanya dirangkai dalam ulasan yang menarik, bernas, dan mengalir.


Judul buku: Abal-abal(Sebuah Novel)
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Tahun terbit:1994


CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Selasa, 10 Juli 2012. Ada sejarah baru dalam perjalanan hidup saya. Hari ini, saya meninggalkan kota Jakarta. Saya akan melanjutkan kehidupan di kota Yogyakarta. Saya pun meninggalkan konfraters di Jakarta.
Dua sepeda motor melaju menuju terminal Rawamangun. Kornel dan saya lalu Asis dan Pandri. Kami berempat berangkat ke tempat ini. Ya...mereka datang demi saya. Kami akan berpisah pada sore ini. Kami memang telah menghabiskan 6 tahun bersama sejak masa pranovisiat. Fonsi yang juga teman seangkatan tidak bisa hadir untuk mengantar saya ke terminal.





 
Saya salut dengan mereka. Asis baru saja bangun tidur saat Kornel memanggilnya untuk berangkat ke Rawamangun. Pandri dan Kornel sedang berada di depan komputer. Mereka meninggalkan kesibukan atau hobi mereka dan mengantar saya. Kami memang sudah hidup bersama dan akan selalu bersama meski dalam bentuk yang berbeda.

Saya menumpang bis Safari Dharma Raya ke Jogja. Kornel, Asis, dan Pandri ikut mengantar sampai di dalam bis. Tas besar disimpan di bagasi bawah sedangkan tas kecil saya simpan di bawah kursi. Kami berfoto-foto di dalam bis. Lalu, foto-foto di luar bis. Setelahnya kami berpelukan dan berpisah. Perpisahan yang amat sederhana. Hanya ada kata...sampai bertemu lagi di lain kesempatan.



Setelahnya, mereka menuju tempat parkir dan mengambil motor. Saya duduk di kursi nomor 17 sambil menunggu bis berangkat. Tiba-tiba mereka lewat di luar bis dan melambaikan tangan. Sempat-sempatnya mereka melemparkan senyum manis ke arah saya.

Kami kini berpisah oleh tempat. Saya melanjutkan karya di Yogyakarta. Kornel dan Asis akan melanjutkan karya di salah satu komunitas Xaverian di Indonesia. Pandri melanjutkan studi ke Parma-Italia. Fonsi akan melanjutkan studi di STF Driyarkara. Kami tinggal di tempat yang berbeda namun kami tetap bersatu. Kami yakin Tuhan ada bersama kami dan kami akan bersatu dalam doa. saling mendoakan...itulah pesan yang selalu bergema ketika kami merasa lemah dan tidak ada semangat. Pesan itu kini menggema kuat ketika kami ada di tempat yang berbeda.

Mereka mengantar sampai di terminal. Terminal adalah tempat akhir dan tempat awal sebuah perjalanan. Saya mengawali karya saya di Yogyakarta sejak keberangkatan dari terminal ini. Semoga “terminal” yang sama melekat di hati kami seangkatan yang sebentar lagi mengalami kehidupan baru. Tuhan kami bersyukur atas kebersamaa kami di Jakarta kami mohon sertailah perjalanan hidup kami selanjutnya.

Yogyakarta, 11/7/2012
Gordi Afri
Powered by Blogger.