Halloween party ideas 2015


ilustrasi dari google
Hari ini, 20 Agustus 2012. Dua puluh hari dalam bulan Agustus. Seharusnya saya sudah menulis banyak di blog ini. Itu memang keinginan saya yakni menambah jumlah tulisan di blog setiap bulannya. Selama ini hanya berkisar 4 atau 6 tulisan. Sekarang saya mau meningkatkan menjadi lebih dari 6. Ini rencana yang mudah-mudahan bisa terpenuhi. 

Ternyata tulisan saya belum banyak. Di minggu ketiga dalam bulan ini, tulisan di blog hanya ada 2. Jangan-jangan target saya tidak tercapai. Tetapi masih ada 10 hari ke depan untuk berubah. Kata orang tidak ada kata terlambat untuk berubah. Saya mencoba untuk menerapkan prinsip ini. Tidak mudah tetapi bisa dilakukan.

Saya mulai dengan tulisan ini. Semoga besok lusa bisa bertambah. Persoalannya bukan pada ide untuk menulis. Meskipun dalam jangka waktu tertentu saya menemukan jalan buntu untuk membuat tulisan. Di tengah kesibukan saya ide untuk menulis hampir tidak ada. Persoalan sekarang adalah komputer saya yang sering macet. Dalam beberapa hari ini, komputer itu macet total. Saya mencoba menggantinya dengan komputer lain tetapi hasilnya sama saja. Apakah ini komputernya atau jaringan internetnya yang rusak. Bisa saja keduanya atau salah satu dari keduanya.

Dalam benak saya ada banyak tulisan yang dihasilkan tetapi nyatanya masih sedikit dan bahkan terancam gagal target. Saya mencoba untuk menggunakan kesempatan yang ada. Selagi komputer lancar segera saya menulis. Sebab, tidak tahu kapan datangnya kemacetan komputer itu. Kalau macet waktu mudik itu otomatis. Tetapi waktu macet untuk komputer itu dadakan alias tak ada yang tahu. Semoga saya dan Anda, pembaca, sekalian bisa meraih target yang ada. Semoga sarana penunjang mendukung untuk pencapaian target itu.

Salam merdeka, selamat idul fitri, selamat libur lebaran,

PA, 20/8/2012
Gordi Afri



Menemani mungkin menjadi suasana yang membosankan bagi sebagian orang. Menemani teman/sahabat untuk rekreasi ke pantai misalnya. Bisa saja jadi bosan jika kita sudah melihat tempat itu untuk ke sekian kalinya. Ini wajar sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang baru.

Saya pun mengalami kebosanan ketika menemani teman berkunjung ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Saya sudah 3 kali ke sana. Tahun 2005, juli 2012, dan agustus 2012. Begitu juga dengan Candi Prambanan di dekat Klaten, yang sudah 2 kali saya kunjungi, 2006 dan agustus 2012. Saya pun menjumpai beberapa orang yang sama, melihat pemandangan yang sama. Bosan. Tetapi saya harus menjalaninya.

Dalam pergumulan itulah saya menemukan hal baru. Menemani bukan sekadar melihat obyek yang sama, mengalami suasana yang sama. Saya mencoba mencari hal baru ketika melihat hal yang sama. Di Prambanan, saya menemukan seni berfoto dari sang fotografer. Dia mengajarkan teknik mengambil gambar untuk orang yang sedang melompat.

Dengan iming-iming menggunakan jasanya, dia beberapa kali mengajari teknik mengambil gambar. Saya dan teman saya pun mengubah gaya. Semuanya gaya melompat. Hasilnya bagus. Ini pelajaran baru bagi saya.

Di Prambanan, saya belajar gaya berfoto dari sahabat saya ini. Dia mengajarkan seni berfoto di mana kita seolah-olah yang paling besar di hadapan obyek yang kenyataannya lebih besar dari kita. Candi Prambanan misalnya bisa dipegang, ditunjuk dari atas, didudukan di atas telapak tangan. Semuanya ini adalah gaya berfoto.

Pada kesempatan lain saya juga menemani sahabat saya mengunjungi candi Hati Kudus Yesus dan gereja Katolik Ganjuran. Saya sudah 2 kali ke sana. Tahun 2006 dan agustus 2012. Bagi saya kunjungan kedua dan ketiga sudah membosankan. Kunjungan pertama adalah yang terindah dari semua kunjungan. Begitu prinsip saya.

Gereja yang baru saja direnovasi tahun 2009 ini ternyata tampak indah dibanding 7 tahun lalu sebelum gempa Yogya Mei tahun 2006 meluluhlantahkannya. Candi Hati Kudus juga menjadi tempat istimewa dalam kunhjungan kali ini. Saya bisa berdoa di dalam candi. Giliran dengan beberapa pengunjung lainnya.

Inilah indahnya seni menemani. Pekerjaan ini adalah pekerjaan pemandu wisata. Saya bukan pemandu wisata tetapi dengan kegiatan ini saya belajar hal baru, menjadi pemandu wisata.

Tak ada yang sia-sia ketika kita mencari hal baru dari obyek yang berkali-kali kita perhatikan.

PA, 16/8/2012
Gordi Afri


Apa jadinya jika cinta yang pernah mendebarkan bersemi lagi? Bukan tidak mungkin pasangan remaja yang mengalaminya akan bergembira. Mereka akan mengalami masa-masa romantis dalam hidup mereka. Masa yang pernah mereka alami, lalu berpisah, kemudian bersama lagi. Inilah salah satu keindahan dari cinta.

Cinta saya pun bersemi lagi. Bukan cinta dengan seorang cewek, seorang manusia. Meski cinta itu sering dipasangkan dengan lawan jenis. Cinta saya pada kota Yogyakarta. Inilah cinta pertama saya dengan kota di Pulau Jawa. Kota Pendidikan dan Budaya, begitu kata kakak-kakak kelas saya waktu itu.

Tujuh tahun lalu, 2005, saya jatuh cinta dengan kota ini. Bukan karena ada pertemuan sebelumnya tetapi karena saya mengenyam pendidikan tinggi (setelah tamat SMA) di kota ini. Saya pun mulai akrab dan lama-lama jatuh cinta dengan kota ini. Yogyakarta kala itu ibarat seorang gadis manis yang siap dipinang.

Kini, 10 Juli 2012, cinta saya bersemi lagi. Lima tahun berpisah tidak membuat kami lupa satu sama lain. 10 Agustus yang akan datang, 4 hari lagi, saya sudah memasuki 1 bulan tinggal kedua kalinya di kota ini. Saya mencintai kota ini. 

Dulu, saya belajar naik sepeda, mengendarai sepeda di jalan besar dan kecil serta lorong di kota ini. Saya belajar dan duduk di ruang kelas kuliah di kota ini. Saya belajar menjadi mahasiswa di kota ini. Belajar mengajar dan mendampingi anak-anak bina iman di kota ini. Belajar budaya Jawa, belajar budaya lain dari berbagai daerah di Indonesia ini. Di sinilah hati saya jatuh cinta dengan kota ini. Kota ini memberi saya kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang, lebih banyak budaya, baik lokal Indonesia maupun manca negara, lebih banyak bahasa, lebih banyak karakter orang, lebih banyak jenis makanan.

Kini saya berada di kota ini bukan untuk belajar sepeda lagi tetapi belajar yang lain. Saya sudah bisa bersepeda, bersepeda motor bahkan menyetir mobil, bahkan mendapat pendidikan tinggi yang cukup. Kini di kota ini saya belajar menjadi manusia yang rendah hati, menerapkan semua ilmu yang didapat, belajar menjadi diri sendiri, menerima diri apa adanya di tengah berbagai situasi. Kata orang CINTA itu membutuhkan KERENDAHAN HATI. Maka, saya belajar untuk rendah hati di kota ini.

Hampir sebulan cinta lama bersemi kembali. Saya masih aman-aman saja, belum menghadapi situasi baru yang mirip saya alami dulu. Sebentar lagi, akhir Agustus saya mengalami situasi baru. Anggap saja keberadaan saya selama ini, Juli sampai Agustus sebagai persiapan juga adaptasi. Semoga semua indah pada waktunya. Dia yang di atas selalu menyertai saya kapan dan di mana saja. Maka, jangan takut.

Cinta lama bersemi kembali, kenangan lama diingat kembali, rencana baru terpampang di depan mata. Mari melangkah ke hari berikutnya.

PA, 6/8/2012
Gordi Afri

Jadikan pendeta sebagai panggilan dan jangan jadikan pendeta sebagai profesi atau pekerjaanmu
FOTO: Family Vacation


Demikian pesan Pendeta Markus F. Manuhutu dalam kata sambutan acara Ibadah Peneguhan untuk Adventino Ekaristi Priyonggo sebagai pendeta pada Minggu, 10/6/2012. Pendeta Markus adalah Ketua Majelis Sinode GPIB. Kata-kata ini bertuah. Wajar jika ini dijadikan bahan sambutan untuk pendeta muda dari pendeta tua yang banyak makan garam.

Pendeta sebagai panggilan berarti pendeta seumur hidup. Suka dan duka dijalani sebagai tugas pendeta. Di daerah terpencil banyak kekurangan jika dibandingkan fasilitas di kota. Di situlah pendeta ditantang untuk menjadikan aktivitas hariannya sebagai pendeta.

Sebaliknya pendeta sebagai pekerjaan/profesi berarti menghitung jam kerja. Layaknya seorang direktur perusahaan yang bekerja mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore. Pekerjaannya dihitung dalam satuan waktu. Di luar jam itu ia bukan direktur lagi. Jika hitungan seperti ini diterapkan dalam kehidupan harian seorang pendeta, boleh jadi pekerjaannya akan gampang-gampang saja. Dia mencari yang mudah dilakukan, yang fasilitasnya lengkap. Di luar itu bukan pekerjaan pendeta.

Saya teringat kata-kata Romo Dr. Al Andang Binawan di STF Driyarkara saat kuliah Moral Keluarga. Dia mulai dengan bertanya, apa bedanya panggilan dan profesi? Apakah menjadi seorang ibu merupakan sebuah profesi? Kalau ya, maka, ibu itu tidak bisa melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati. Lebih buruk lagi jika ia menghitung jumlah jam memasaknya atau jam mencucinya.

Menjadi seorang ibu berarti merasa diri dipanggil menjadi seorang ibu. Ibu bekerja tanpa kenal waktu. Bangun pagi tiap hari, menyusui anaknya, memasak, dan aktivitas lainnya, dilaksanakan tanpa menghitung. Inilah panggilan menjadi seorang ibu.

Betapa celakanya jika ibu menghitung pekerjaannya dari pagi sampai jam 12 siang. Setelahnya bukan pekerjaannya lagi. Dia tidak beda dengan pekerjaan seorang PNS yang masuk jam 7 dan pulang jam 1. Apa jadinya jika setelah masak malam, ibu bilang selesailah pekerjaanku. Ibu tidk seperti itu. Ibu-ibu di kampung seperti mama saya dulu, selesai makan malam, kami mencuci piring lalau setelah itu dia masih menyempatkan diri melatih kami membaca dan mengerjakan tugas. Terima kasih mama sayang jasamu besar buat kami anak-anakmu.

Jadi, hargailah setiap pekerjaan Anda, lihatlah itu sebagai panggilan dan bukan profesi belaka.

CPR, 9/7/2012
Gordi Afri

foto: di sini

Menjadi penjaga gerbang. Ini tugas baru saya di kota Yogyakarta. Menjadi penjaga berarti bertanggung jawab untuk menutup dan membuka gerbang.

Tampaknya ringan. Dan memang ringan. Menutup dan Membuka. Hanya saja menuntut tanggung jawab yang tinggi. Bayangkan jika saya lupa menutupnya. Pencuri masuk. Berapa banyak kerugian jika pencuri beraksi. Di rumah ada banyak yang bisa diambil pencuri. Ya...namanya pencuri mengambil sesuka hati, semau dia, semampu dia.

Bayangkan pula jika saya telat membukanya di pagi hari. Saya membukanya pada pagi dan menutupnya pada malam hari. Tukang kebun yang biasanya masuk pagi juga tukang koran yang masuk pagi tidak bisa masuk. Mereka kecewa dan saya dirugikan. Lebih dari sekadar rugi, mereka menilai saya lalai menjadi penjaga gerbang.

Tidak ada yang lebih istimewa selain membuka dan menutup gerbang di pagi dan malam hari. Saat buka, ada suasana segar, udara pagi yang bersih, kesunyian yang indah. Saat tutup ada suasana ramai, bukan hanya karena deru kendaraan di jalan ring road utara tetapi juga bunyi jangkrik dan binatang malam lainnya. Ada pemandangan romantis di sela-sela rerimbunan pohon nangka, mangga, cemara, dan beberapa pohon rimbun lainnya.

Sungguh ini pengalaman unik. Tiap pagi dan malam saya berolahraga. Berjalan dari pintu kamar, turun, melewati belasan anak tangga, lalu dari pintu rumah ke pintu gerbang. Lumayan, sekali jalan 100 meter. Kalau dihitung, pergi-pulang pagi dan sore, sudah 400 meter. Ini olahraga jalan kaki yang didapat dari tugas jaga gerbang. Belum bolak-balik naik turun tangga.

Wah ini hikmat luar biasa. Belum lagi sapaan ke pemilik rumah sebelah, bapak-bapak dan ibu-ibu serta mbak-mbak yang ke pasar pada pagi hari atau yang sedang lari pagi dan lewat di depan gerbang. Menyapa orang-orang yang sama. Jadi akrab dan saling kenal.

Inilah hikmat dari tugas menjaga pintu gerbang. ringan tetapi menuntut tanggung jawab. Berkorban untuk bangun pagi tetapi memiliki banyak kenalan.

PA, 27/7/2012
Gordi Afri


Wanita rentan terhadap tindakan diskriminatif. Mereka direndahkan. Mereka menjadi tak berdaya. Boleh jadi akar dari semua ini adalah anggapan bahwa wanita itu lebih rendah ketimbang kaum lelaki. Padahal sejatinya wanita dan lelaki itu mempunyai derajat yang sama. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Penulis novel ini, Abidah El Khalieqy, menyadari tindakan diskriminatif terhadap kaum wanita. Dia adalah salah satu yang menyadari lalu bangkit memberontak (dengan menulis). Kiranya dia dan kita setuju bahwa tindakan diskriminatif terhadap perempuan harus dihentikan.

Novel ini mengisahkan kehidupan Nisa dan pamannya Lek Khudhori. Mereka mula-mula sama-sama memiliki keinginan yang sama yakni belajar. Sang ponakan suka dengan gaya didik pamannya. Ponakan, Nisa, menimba banyak ilmu dari pamannya. Sampai suatu ketika sang paman kuliah di Arab dan sang ponakan tetap mengirim surat. Mereka saling mengirim surat.

Meski mengisahkan kisah cinta sang ponakan dan sang paman, novel ini mempunyai pesan yang menarik yakni perjuangan terhadap kaum perempuan. Penulis dengan berani mengajukan pertanyaan kritis misalnya mengapa perempuan dilarang puasa pada saat haid?

Menurut hemat saya, pertanyaan kritis semacam ini menumbuhkan minat bertanya pada pembaca untuk menggugat diskriminasi terhadap perempuan. Kiranya dengan pertanyaan ini muncul pertanyaan lain yang kritis.

Penulis yang adalah penyair dan novelis ini mengulas kehidupan di pesantren. Kisah seputar pembacaan Alqur’an oleh para santri, pelajaran bahasa Arab, dan pelajaran lain yang terkait. Semuanya diulas dengan bahasa yang mengalir.

Penulis yang banyak mendapat penghargaan bidang tulis menulis antara lain Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY 1998 mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kehidupan perempuan. Semoga dengan membaca novel ini banyak kaum perempuan menyadari kehidupannya dan bangkit berjuang emngkritisi segala yang ada. Perempuan kiranya tidak boleh tinggal diam, menerima begitu saja peraturan yang ada. Bukan untuk memberontak secara fisik tetapi mencari dasar argumen dari peraturan yang ada. Dengan demikian pemahaman mereka diperkaya.

Judul buku: Perempuan Berkalung Sorban(Sebuah Novel)
Pengarang: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tahun terbit: 2001, 2009 (edisi revisi)

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri

Rabu, 18 Juli 2012. Malam ini turun hujan pertama di kota Yogyakarta. Saya baru beberapa hari di kota ini dan baru merasakan hujan pertama. Entah sebelumnya kapan hujan terakhir. Yang jelas tanah-tanah di kota ini masih kering. Debu di lapangan basket depan rumah makin banyak. Tanah kering karena kekurangan air hujan.

Hujan ini membawa berkat bagi kami di Yogyakarta. Berkat apakah itu? Paling tidak kami tidak perlu menyiram tanaman dan bunga-bunga kami. Air hujan sudah mencurahkan kesegaran kepada tanaman itu. Kami hanya berterima kasih kepada Tuhan sang pemberi hujan.

Kota Yogya sebentar lagi tampak hijau. Bunga-bunga mekar setelah menyerap air hujan. Debu-debu jalanan makin hilang. Jalan-jalan tampak bersih tanpa ditaburi debu yang mengotori lubang hidung.

Inilah berkat dari hujan pertama di kota ini. Tuhan sudah merencanakan semuanya.

PA, 19/7/2012
Gordi Afri


Kaum abal-abal. Siapakah kaum abal-abal? Arswendo, penulis novel ini mengangkat kehidupan kaum abal-abal. Boleh jadi mereka bukan siapa-siapa tetapi di tangan Arswendo, kehidupan mereka menjadi cerita menarik.

Kaum abal-abal menurut Arswendo adalah kaum miskin, tak berdaya, tukang ribut, susah diatur (hlm. 1). Novel ini mengisahkan kehidupan mereka ini. Kalau dibahasakan secara umum mereka ini adalah kaum lemah. Mereka lemah dari segi sosial. Tidak punya modal untuk bertahan dalam kehidupan sosial. Mereka ini tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Tak jarang mereka ditipu atau dipaksa mengaku palsu. Justru karena lemah mereka gampang diperdaya oleh oknum tertentu.

Inilah yang dikisahkan penulis novel ini. Bahasa yang digunakan Arswendo mudah dipahami. Seperti dalam novel lainnya, bahasa Arswendo menarik dan mengalir. Uraiannya detail. Kekuatannya pada segi mendeskripsikan kehidupan kaum abal-abal. Pembaca dibawa masuk dalam seluk-beluk kehidupan mereka. Ada yang jadi tukang preman jalanan, tukang rampok, tukang hajar orang, dan kriminal lainnya. Ulah mereka kadang-kadang meresahkan warga. Petugas keamanan kadang-kadang enggan menghentikan aksi mereka karena kekuatan tak sebanding. Atau juga tidak berefek jera.

Kehidupan yang antah-berantah ini menjadi cerminan keseharian kaum abal-abal. Bagaimana pun kehidupan mesti berujung pada satu titik. Bagi mereka titik itu adalah penjara atau rumah tahanan. Ini tentu bukan pilihan mereka. Tetapi, titik itu mau tidak mau mesti diterima. Kaum abal-abal rentan dijadikan oknum palsu oleh kaum yang kuat. Mereka dipaksa mengaku palsu demi menyelamatkan kaum kuat yang melakukan tindakan kriminal.

Di penjara mereka masih melanjutkan aksi mereka. Memang tidak seterang-terang sewaktu di dunia luar. Di penjara mereka beraksi sesuai situasi dan kondisi. Mereka memeras anggota baru atau juga kaum berduit. Tawuran pun tak terhindarkan.

Selain itu novel yang ditulis oleh penyair, wartawan, novelis, kolumnis ini mengisahkan kehidupan napi (narapidana) beserta istri dan anak-anak mereka di dunia luar. Istri mereka kadang-kadang menjenguk sang suami, ada juga yang tidak dijenguk sama sekali.

Arswendo yang beberapa kali mendapat penghargaan dalam dan luar negeri juga mengulas keseharian petugas penjara. Ada kongkalingkong antara napi, penitera, jaksa, hakim, dan polisi. Tentu semuanya diulas dalam gaya bahasa novel yang menarik.

Novel ini bisa dibaca oleh siapa saja untuk mengetahui seluk beluk kehidupan dalam dunia tahanan/penjara. Kehidupan narapidana sebelum dan sewaktu menjadi tahanan. Juga, relasi antara polisi, hakim, jaksa, petugas penjara, dan narapidana. Semuanya dirangkai dalam ulasan yang menarik, bernas, dan mengalir.


Judul buku: Abal-abal(Sebuah Novel)
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Tahun terbit:1994


CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Selasa, 10 Juli 2012. Ada sejarah baru dalam perjalanan hidup saya. Hari ini, saya meninggalkan kota Jakarta. Saya akan melanjutkan kehidupan di kota Yogyakarta. Saya pun meninggalkan konfraters di Jakarta.
Dua sepeda motor melaju menuju terminal Rawamangun. Kornel dan saya lalu Asis dan Pandri. Kami berempat berangkat ke tempat ini. Ya...mereka datang demi saya. Kami akan berpisah pada sore ini. Kami memang telah menghabiskan 6 tahun bersama sejak masa pranovisiat. Fonsi yang juga teman seangkatan tidak bisa hadir untuk mengantar saya ke terminal.





 
Saya salut dengan mereka. Asis baru saja bangun tidur saat Kornel memanggilnya untuk berangkat ke Rawamangun. Pandri dan Kornel sedang berada di depan komputer. Mereka meninggalkan kesibukan atau hobi mereka dan mengantar saya. Kami memang sudah hidup bersama dan akan selalu bersama meski dalam bentuk yang berbeda.

Saya menumpang bis Safari Dharma Raya ke Jogja. Kornel, Asis, dan Pandri ikut mengantar sampai di dalam bis. Tas besar disimpan di bagasi bawah sedangkan tas kecil saya simpan di bawah kursi. Kami berfoto-foto di dalam bis. Lalu, foto-foto di luar bis. Setelahnya kami berpelukan dan berpisah. Perpisahan yang amat sederhana. Hanya ada kata...sampai bertemu lagi di lain kesempatan.



Setelahnya, mereka menuju tempat parkir dan mengambil motor. Saya duduk di kursi nomor 17 sambil menunggu bis berangkat. Tiba-tiba mereka lewat di luar bis dan melambaikan tangan. Sempat-sempatnya mereka melemparkan senyum manis ke arah saya.

Kami kini berpisah oleh tempat. Saya melanjutkan karya di Yogyakarta. Kornel dan Asis akan melanjutkan karya di salah satu komunitas Xaverian di Indonesia. Pandri melanjutkan studi ke Parma-Italia. Fonsi akan melanjutkan studi di STF Driyarkara. Kami tinggal di tempat yang berbeda namun kami tetap bersatu. Kami yakin Tuhan ada bersama kami dan kami akan bersatu dalam doa. saling mendoakan...itulah pesan yang selalu bergema ketika kami merasa lemah dan tidak ada semangat. Pesan itu kini menggema kuat ketika kami ada di tempat yang berbeda.

Mereka mengantar sampai di terminal. Terminal adalah tempat akhir dan tempat awal sebuah perjalanan. Saya mengawali karya saya di Yogyakarta sejak keberangkatan dari terminal ini. Semoga “terminal” yang sama melekat di hati kami seangkatan yang sebentar lagi mengalami kehidupan baru. Tuhan kami bersyukur atas kebersamaa kami di Jakarta kami mohon sertailah perjalanan hidup kami selanjutnya.

Yogyakarta, 11/7/2012
Gordi Afri

Gambar dari google

Pekerjaan harian wartawan ternyata bisa dikisahkan dalam bentuk novel. Kesibukan jurnalis mulai dari mencari berita, mencari nara sumber, mengejar deadline (batas waktu masuk berita) berita, berhadapan dengan pemimpin redaksi, dan tantangan lainnya bisa menjadi roh sebuah novel. Inilah yang diangkat oleh penulis novel ini.

Penulis novel ini yang adalah Guru Besar Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja, Bali ini dengan jeli mengisahkan perjalanan jurnalistik Hardiman, sang jurnalis. Dia mau menyelidiki kasus terbunuhnya Siska Ambarwati, sang pengusaha dan perempuan penghibur papan atas. Hardiman menjalankan tugas yang dipercayakan Seno, sang pemimpin redaksi ini dengan baik.

Jurnalis ini pun bekerja tanpa kenal lelah. Inilah salah satu pesan yang didapat dari novel ini. Pekerjaan apa pun asal dilakukan dengan semangat juang akan membuahkan hasil. Pembaca diajak oleh penulis novel untuk menelusuri seluk beluk berita yang muncul di koran harian. Berita itu ternyata diproses dengan panjang. Jurnalis biasanya mencari berita dan redaksi menyiapkan terbitan berita itu.

Penulis yang juga seorang penulis puisi, cerpen, novelet, novel, ratusan esai, dan kolom mengarahkan pembaca dari satu alur ke alur berikutnya. Ulasannya ringan dan mudah dibaca. Novel ini bisa dibaca dalam waktu singkat. Tiap akhir bab selalu muncul pertanyaan, bagaimana kisah selanjutnya? Pertanyaan inilah yang membuat pembaca tak berhenti begitu saja pada akhir tiap bab.

Ulasan novel bergaya jurnalistik ini membuat novel ini mudah dibaca. Bahasa jurnalistik dipadukan dengan bahasa sastra/novel. Kata-kata yang digunakan juga menarik, ringan, mengalir, dan mudah dipahami. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa membaca novel ini. Bagaimana kisah terjadinya pembunuhan terhadap cewek yang adalah pengusaha dan penghibur papan atas ini? Silakan membaca di novel ini.

Judul buku: Siska Ambarwati (Sebuah Novel)
Pengarang: Sunaryono Basuki Ks
Penerbit: Grasindo, Jakarta
Tahun terbit: 2004

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Mendengar kata ‘Cina’ kita langsung terbayang akan wajah bermata sipit, kulit putih, rambut lurus-halus, dan kaya. Memang demikianlah cirri khas orang Cina di mana saja mereka berada. Mereka sudah menyebar ke segala penjuru dunia. Namun, bagaimanakah hidup mereka di Negara tempat mereka hidup? Sudahkah mereka menjadi warga Negara tersebut? Ataukah mereka masih dianggap pendatang?

Kita tidak bisa mengelak dengan kekuatan ekonomi Cina saat ini. Lepas dari masalah HAM yang melanda negeri Cina, negeri ini diisi oleh orang cerdas dalam segala bidang. Mereka sekarang menguasai panggung ekonomi dunia. Bidang lain pun ikut naik seperti kekuatan militer, pendidikan, dan olahraga. Indonesia yang terkenal dengan olahraga bulu tangkisnya, kini, harus tunduk di hadapan Cina. Entahlah Indonesia yang mengalami kemunduran ataukah memang Cina yang mengalamai kemajuan pesat dalam dunia olahraga.

Novel Putri Cina yang ditulis oleh filsuf-sastrawan-wartawan Sindhunata mengisahkan perjalanan hidup orang-orang Cina di Indonesia. Tokoh sentralnya adalah Putri Cina. Putri adalah anak Cina yang menjadi Jawa. Dia belajar budaya Jawa dengan mengikuti berbagai pertunjukkan budaya. Dia menjadi tokoh sentral, padahal dia bukan keturunan Jawa. Karena kepiawaiannya dalam pertunjukkan dia dilirik oleh beberapa pemuda. Dia memang cantik menawan, memikat hati para lelaki. Dari ibunya dia memperoleh petuah, jadilah pemeran yang baik jika engkau menjadi tokoh dalam pertunjukkan budaya Jawa. Tak bisa dipungkiri jika ke-Jawaan-nya dalam pertunjukan itu tidak diragukan lagi. Ada yang menilai Putri Cina lebih Jawa daripada orang Jawa.

Novel ini syarat dengan pesan moral. Orang Cina di mana-mana menjadi orang hebat, sukses, dan kaya. Namun ternyata kekayaannya itu menarik mereka dari perhatian terhadap sesama. Gara-gara harta, mengejar keuntungan, orang Cina lupa akan kehidupan sesamanya. Lantas mereka sering dimusuhi, jadi sasaran amukan massa. Mereka sudah melenceng dari ajaran leluhur orang Cina, yakni memperhatikan sesama.

Meski kelompok Cina menjadi sasaran amukan massa, Putri Cina justru menjadi rebutan beberapa pemuda. Mereka tertarik dengan penampilan Putri Cina dalam setiap pertunjukkan. Beberapa pemuda bahkan rela datang jauh-jauh dari kampungnya untuk melihat pertunjukkan Putri Cina di kampung yang jauh. Banyak yang melamar dan hanya satu yang menjadi pasangannya. Percampuran antara Cina-Jawa menjadi persatuan yang melampaui sekat budaya. Cinta memang melampaui segala sekat. Kekuatan Cinta melampaui sekat yang dibuat oleh manusia. Inilah yang terjadi antara Putri Cina dan Pemuda Jawa.

Sayangnya Pemuda Jawa ini tergila oleh kuasa. Ia mempertahankan kuasanya dan lupa memperhatikan sesama. Lagi-lagi kuasa mengalahkan kehidupan manusia. Pemuda ini tidak mampu menyelamatkan keluarga sang istri. Di sinilah dia gagal. Dia memang hebat namun dia gila kuasa. Kehebatan kuasa tak mampu menjamin kehidupan manusia yang aman. Kuasa adalah puncak sekaligus jalan menuju kejatuhan yang kejam. Maka, hati-hatilah jika Anda berada di puncak kekuasaan. Bagi Anda yang berkuasa bacalah novel ini. Simaklah petuah manusiawi dari novel yang ditulis dengan bahasa yang mengalir ini.

Judul: Putri Cina
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: 2007


CPR, 16/6/2012
Gordi Afri

Gerakan karismatik tersebar di mana-mana di Gereja Katolik. Hampir setiap paroki di Keuskupan Agung Jakarta mempunyai gerakan karismatik. Bahkan di tiap paroki ada gerakan Karismatik dewasan dan remaja. Namun, sampai kini banyak yang mencibir kalau gerakan itu bertentangan dengan ajaran gereja Katolik. Bahkan ada yang menilai gerakan itu bukan asli dari gereja Katolik.

Bagaimana kita mengatasi persoalan ini?
Tidak mudah memang. Tetapi kita jangan berkecil hati. Percayalah bahwa setiap persoalan ada jalan keluarnya. Kita tidak bisa menghindar dari tuduhan bahwa gerakan karismatik itu bukan asli dari gereja Katolik tetapi dari gereja Protestan khususnya lagi pentakosta. Jangan heran jika gaya doanya berbeda dengan gaya doa dalam gereja katolik.

Lalu, mengapa gerakan karismatik masih masih bertahan di kalangan umat gereja Katolik padahal dituduh bukan dari gereja Katolik? Banyak orang Katolik sekarang tertarik dengan gerakan ini. Masih relevankah tuduhan itu? bagaimana gereja menyikapi hal ini?

Untuk menjawab pertanyaan seputar gerakan karismatik ini kita bisa membaca sebuah buku yang mengulas tentang sejarah karismatik. Buku Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik? Sebuah Pencarian  yang ditulis oleh Deshi Ramadhani SJ. Buku terbitan Kanisius tahun 2008 ini berisi sejarah dan perkembangan gerakan karismatik.

Dengan membaca buku ini kita diajak untuk menelusuri gerakan yang dianggap kontroversial ini. Romo Deshi mengajak pembaca untuk tidak mudah menuduh sebuah gerakan sebagai asli Katolik atau berasal dari Protestan. Sebelum kita menilai alangkah baiknya kita mengetahui asal-usulnya. Boleh dibilang para penuduh ini tidak mengenal seluk beluk gerakan karismatik sehingga dengan pembicaraan atau kabar angin yang ada mereka menuduh. Padahal tuduhan itu tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang gerakan karismatik.

Romo Deshi tidak menunjukkan dengan jelas bagian mana yang menjelaskan permasalahan apakah karismatik itu sungguh Katolik atau bukan. Dengan ini pembaca diajak untuk membaca secara keseluruhan isi buku ini. Pembaca akan mendapatkan jawabannya dari uraian yang ada. Dengan membaca secara keseluruhan pembaca akan mampu mengambil sikap terhadap tuduhan yang ada.

Saya yakin setelah membaca buku ini, kita tidak asal menuduh atau sembarang menuduh atau mencibir anggota gerakan karismatik. Jadi, kalau anggota gerakan ini adalah umat Katolik dan bertahan dalam jangka waktu yang lama, apakah gerakan itu tidak diterima dalam gereja Katolik? Bagaimana dengan kesaksian anggota gerakan ini yang justru merasa makin dekat dengan Yesus?

Maka, jangan menilai sebelum membaca buku ini.

CPR, 2/6/2012
Gordi Afri


foto ilustrasi dari internet
Saya tak jemu-jemunya mengatakan sejarah itu penting. Bukan karena tanpa sejarah sebuah bangsa akan mati. Sejarah bisa menjadi sebuah ranting kehidupan sebuah bangsa. Jika ranting itu patah tak ada lagi pohonnya. Saya tahu banyak anak-anak SD dan SMP bahkan SMA yang tidak suka sejarah. Saya tetap akan mengatakan cintailah sejarah bangsa.

Seperti postingan saya sebelumnya di blogspot menyinggung soal sejarah. Kali ini juga akan saya singgung hari bersejarah lainnya. Konteksnya masih sama yakni menjelang akhir masa kuliah di STF Driyarkara. Saya langsung saja menyebut tanggalnya yakni 25 Mei 2012 (hari Jumat).

Pada hari ini saya kembali diuji oleh 3 dosen dalam ujian penentu. Ujian itu setara dengan skripsi yang juga diuji oleh lebih dari satu dosen. Memang ada perbedaan bobotnya. Ujian skripsi berbobot 6 SKS (Satuan Kredit Semester) sedangkan ujian yang ini hanya 3 SKS.

Ujian ini dikenal dengan sebutan Ujian Komprehensif. Komprehensif berarti secara keseluruhan. Ujian ini mencakup bahan kuliah dari semester 1 sampai 8. Bukan berarti semua mata kuliah. Lebih kurang ada 9 mata kuliah. Bahan-bahannya diringkas dalam 36 tesis.

Tesis di sini jangan dicampuradukkan dengan tesis sebagai tugas akhir mahasiswa S2 atau master. Tesis merupakan sebuah pernyataan yang mesti dijelaskan penjabarannya. Dalam ilmu filsafat dikenal istilah tesis-antitesis-sintesis. Nah, sintesis itulah yang merupakan pernyataan yang sudah dijelaskan penjabarannya secara detail. Tesis merupakan sebuah pernyataan yang masih perlu dijelaskan isinya.

Tesis-tesis inilah yang akan diuji saat ujian komprehensif. Mahasiswa akan menjawab 3 tesis yang dipilih secara acak oleh 3 dosen penguji. Seorang dosen akan bertanya setelah mahasiswa menjelaskan tesis yang dipilih. Dalam kesempatan inilah dosen akan menguji kemampuan berpikir mahasiswa. Biasanya mahasiswa berpikir logis setelah mengikuti kuliah 4 tahun. Untuk mengujinya, salah satunya, dengan ujian ini. Tiap dosen menggunakan metode ini. Jadi, seorang mahasiswa itu betul-betul diuji kemampuannya dalam menjelaskan sesuatu.

Ujian ini biasanya menuntut keseriusan dalam mempersiapkan bahan. Juga kesiapan mental. Ada beberapa teman yang karena rasa gugup menguasainya, dia tidak bisa menjawab satu kata pun dalam ujian. Sadis bukan? Maka, persiapkanlah mental dengan baik. Beberapa teman lagi gagal karena belum mampu menjelaskan dengan baik dan detail tesis yang diuji.

Peristiwa ini menjadi sejarah dalam hidup saya. Dengan persiapan yang belum terlalu matang, saya memberanikan diri menghadap ketiga dosen penguji. Saya baru saja keluar dari rumah sakit sehingga persiapannya juga agak kurang. Tiap hari hanya ada waktu sekitar 1-2 jam untuk persiapan tesis. Selebihnya saya istirahat karena masih lemas.

Tetapi saya berterima kasih kepada pihak sekretariat kampus karena memberi saya waktu belajar secukupnya. Jadwal ujian saya ditunda dari jadwal semula yakni Senin, 21/5/2012. Penundaan ini karena kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan untuk ujian hari itu. Hari Kamis minggu sebelumnya saya baru keluar dari rumah sakit.

Saya tetap berusaha  mempersiapkan diri dengan baik juga disesuaikan dengan trik-trik menghadapi dosen penguji. Tesis-tesis diuraikan dengan bahasa sendiri. Trik menghadapi dosen penguji juga sudah disiapkan. Betapa kagetnya saya ketika semua ini sia-sia. Dosen penguji diganti pada hari ujian. Untungnya pagi hari saya ke kampus melihat ulang jadwal. Terkejut sekaligus kecewa karena dua dosen diganti. Mulai saat itu saya meyakinkan diri saya bahwa ujian ini tidak tergantung pada dosen penguji tetapi tergantung pada persiapan diri. Usaha meyakinkan diri ini berhasil. Saya tidak gugup berhadapan dengan dua dosen yang diganti. Saya bersyukur karena saya bisa menjelaskan tesis yang diuji dengan baik.

Inilah bagian dari sejarah hidup saya. Sejarah ini menjadi tonggak bagi saya untuk melangkah ke dunia selanjutnya yang sama sekali lain. Dunia yang tidak lagi antara menjelaskan dan mendengar. Tetapi, dunia yang kadang-kadang membutuhkan pertanggungjawaban yang rasional dan logis. Dunia yang hanya bekerja saja tanpa berdiskusi. Terima kasih untuk Sang Empunya yang membolehkan saya mengalami masa sejarah ini.

*Dimuat juga di kompasiana.com dengan judul SATU LAWAN TIGA DI MEJA PENTU
CPR 3/6/2012
Gordi Afri
Powered by Blogger.