Halloween party ideas 2015
Showing posts with label FILSAFAT. Show all posts

foto, shutterstock
Jangan buang remah nasi. Demikian kata seorang sahabat dari Jepang semalam. Entah nasi di sana sama dengan di Indonesia atau bukan. Tidak ditanyakan. Maklum, dia berbicara dalam sebuah seminar tentang keluarga. Saya tertarik dengan kata-katanya ini. Tentu dia tidak hanya mengatakan ini. Ada banyak hal lain yang disampaikan. Tetapi, kali ini biar cukup disimak satu saja.

Nasi sebagai bahan makanan pokok memang mesti dihargai. Kalau diuangkan tentu harganya tidak seberapa. Banyak orang mampu membeli nasi meski ada juga yang sama sekali sulit mendapatkannya karena tidak ada uang. Nasi di sini bukan saja dikaitkan dengan harga material. Nasi di sini dikaitkan dengan harga spiritual. Nilai spiritual.

Kok bisa ya, nasi juga ada harga spiritualnya? Ya, tentu saja. Ajaran Budha-dia adalah putri seorang pemimpin keagamaan dalam Budha di Jepang-melihat segala sesuatu sebagai objek yang berjiwa. Segala sesuatu di dunia ini mempunyai jiwa. Jadi, jangan heran jika mikrofon atau kertas juga punya jiwa. Benda-benda mati seperti itu saja ada jiwanya. Apalagi, benda hidup seperti daun. Makanya, dalam ajaran Budha tidak diperkenankan memetik daun. Biarkan daun itu jatuh atau gugur sendiri.

Kembali ke nasi. Nasi yang adalah makanan pokok itu adalah sumber hidup. Karena itu, nasi adalah pemberi hidup. Dia memberi kehidupan pada manusia. Buang nasi berarti buang kehidupan. Demikian kalau boleh ditafsirkan kata-kata teman Budha-Jepang ini.

Jangan buang remah nasi itu. Karena, buang nasi berarti buang kehidupan. Kehidupan yang didapatkan dari jerih payah manusia juga. Meski hanya sebutir, nasi itu mempunyai jiwa. Jangan buat jiwanya menderita karena jiwa manusia juga ada di situ.

Terima kasih sahabat.

PRM, 11/2/15
Gordi

foto, shutterstock
Masih melanjutkan perbincangan dengan sabahat Budha-Jepang. Dia tinggal di kota Milan, Italia. Datang di kota Parma dan menjadi pembicara dalam seminar tentang keluarga dalam sudut pandang agama. Dia berbicara dari situasi keluarganya di Jepang. Anak seorang pemuka agama Budha. Punya tempat ibadat (temple-ing atau tempio-ita). Ajaran agama Budha, katanya, menekankan penghormatan kepada segala sesuatu termasuk kepada agama lain selain Budha. Sejak kecil, orang tuanya mengajarkan untuk tidak membenci agama lain. Jangan menjelekkan agama lain. Anggaplah agama lain-sambungnya-seperti sehelai daun bunga yang tidak boleh kamu petik.

Menghormati agama lain kiranya bukan saja ajaran Budha. Di setiap agama, ajaran ini menjadi salah satu penekanan utama. Menjadi miris ketika melihat aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ajaran jangan membenci agama lain lenyap seketika, ketika kelompok tertentu menuding penganut agama lain sebagai musuh, kafir, biang kekacuan, dan sebagainya. Agama di sini menjadi dusta oleh penganutnya. Agama sebagai lembaga sosial menjadi alat untuk merusak tatanan sosial. Agama sebagai lembaga sakral menjadi pedang untuk membunuh kesakralan agama lain.

Saya iba dengan sahabat saya ini. Bertemu teman Katolik, masuk gereja, dia tetap berpegang pada nasihat orang tuanya sejak kecil. Bertemu teman ateis pun, dia tetap menghormatinya. "Saya tidak mempersoalkan dia ateis atau percaya pada Tuhan", katanya. Dia tidak mempersoalkan mengapa tidak percaya. Sekadar bertanya dan memberi hormat pada temannya.

Sahabat ini memberi pelajaran berharga bagi kita semua. Hormat kepada orang lain termasuk agamanya kiranya digemakan sejak kecil. Kelak saat besar, ajaran itu tetap menggema. Tentu ada yang bisa saja beruba saat masa remaja dan dewasa. Dipengaruhi kelompok lain, jadilah pembelot. Masuk kelompok pembenci agama lain.

Ajaran sahabat saya ini kiranya perlu dan terus digemakan. Kelihatan sederhana tetapi nilainya tidak sederhana. Kadang-kadang mudah berbicara tentang menghormati agama lain tetapi praktiknya tidak sesuai. Terima kasih sahabat. Engkau memberi pelajaran berharga bagiku. Kiranya bagi sahabat-sahabatku juga. Dari Budha kiranya menjalar ke agama lain.

Sahabat memang bisa jadi musuh Tapi musuh kiranya jangan jadi musuh alami Musuh mesti dirangkul agar jadi sahabat Salam saling bersahabat dan jangan saling memusuhi

PRM, 13/2/15
Gordi

ILUSTRASI dari sini
Bilang bagus padahal kenyataannya tidak bagus. Atau paling tidak kurang bagus. Ya, belum bagus. Tapi, dia tetap bilang bagus sekali.

Itulah kata-kata yang didengar pagi ini. Kata-kata pujian seorang nenek kepada anak muda asing itu. Mungkin karena asing, pujian itu pun sebetulnya asing. Meski asing, kedengarannya bagus. Seperti tidak asing.

Ya asingnya di mana? Dia bilang kamu bicara bagus. Membaca bagus. Padahal kenyataanya tidak juga. Dia membaca sebagai orang asing. Dia berbicara sebagai orang asing. Sehebatnya dia tetaplah orang asing tidak bisa menyamai penutur aslinya.

Ibarat menghitamkan kulit orang Eropa. Andai dia berjemur sepanjang bulan di bawah mentari tropis, kulit hitamnya tidak akan menyamai hitamnya kulit orang tropis. Dia bisa membuatnya hitam. Tetapi, hitamnya tetap beda dengan hitamnya kulit orang tropis asli.

Pujian itu kedengarannya bagus. Apalagi diucapkan oleh penutur asli bahasa asing itu. Dalam hati ada kebanggan, wah sudah bisa. Meski baru saja mulai mempelajarinya. Hati berbunga. Tetapi sebenarnya, hati berbunga itu hanya permainan emosi. Emosi memang bisa dimainkan bahkan dipermainkan juga. Emosi itulah yang membuat manusia bisa sejenak melayang jauh dari kesadarannya.

Pujian itu memang tidak salah. Tidak salah juga menanggapinya dengan hati berbunga. Tetapi, hati itu hendaknya tetap dikontrol. Jangan sampai hati berbunga itu menuntun perjalananmu. Sebab, hati yang berbunga itu tidak beda jauh dengan bunga. Bunga yang mekar di kala fajar dan layu kala senja. Maka, biarkan hati berbunga itu menikmati keindahannya. Setelahnya, tuntunlah dia ke senjanya. Kembali mempelajari bahasa asing itu sampai bisa berbicara dengan baik.

Kelak, entah pujian itu datang lagi. Biarkan saja. Sebab, biar keliru, tetap menerima pujian. Biar keliru, mereka memakluminya. Jangan tergoda dengan pujian. Pujian hanya obral kata sesaat. Hampir 90% dari pujian adalah obral kata. Dan karena obral kata, pujian itu hanyalah bentuk permainan emosi belaka. Biarkan pujian datang. Mari balas pujian itu jadi pujian yang memang layak diterima. Mengubah pujian asal obral jadi pujian yang memang pantas diberikan. Pujian yang seperti hadiah untuk anak SD yang lulus dengan nilai bagus.

PRM, 31/5/15

Gordi

Bilang Bagus padahal Kurang Bagus

FOTO, terangker.com
Untuk kedua kalinya kudengar burung itu bernyanyi. Malam ini baru kudengar dengan jelas. Entah karena suasananya sepi. Tidak ada bunyi lain yang kudengar. Di luar jendela kamarku ada beberapa pohon rimbun. Musim semi membuat pohon-pohon itu berimbun. Daun-daunnya lebat. Daun itu rupanya jadi rumah idaman bagi burung-burung. Entah karena dekat dengan jendela kamarku, nyanyian burung itu kudengar dengan jelas. Dua kali lagi. Padahal, selama ini, jarang kudengar nyanyiannya. Entah karena aku terlalu sibuk mendengar yang lain. 

Burung itu mungkin menegurku untuk mendengarnya. Betapa tidak, dua kali kudengar nyanyiannya. Bunyi mobil yang lewat di jalanan samping kamar malah tak kuhiraukan. Entahkah karena aku patuh dengan teguran burung ini?

Atau, mungkin burung itu memang mengajakku untuk mendengarnya? Sungguh jika demikian, dia berhasil mengajakku. Dia ibarat guru yang mendidik didikannya sampai berhasil. Guru yang mendidik anak didiknya seperti yang ia inginkan. Padahal, mendengarkan itu amat sulit. Anak sekolah tidak tahan tinggal tanpa bersuara selama 45 menit dalam kelas. Kalau pun bisa, itu karena dipaksa. Atau karena takut dimarahi guru. Di ruang sidang anggota DPR sulit mendengar satu sama lainnya.

Memang anggota DPR lebih cenderung untuk ribut, mempersoalkan korupsi, dana proyek, PSK dan mengabaikan suara rakyat yang memilih mereka. Anggota DPR memang kadang-kadang membohongi pemilihnya. Mereka menawarkan janji manis. Parahnya lagi rakyat kecil dengan mudahnya saja tergoda manisnya janji itu. Rakyat memang adalah pendegar ulung. Mungkin pendengar seperti burung beo juga. Mendengar begitu saja apa yang dikatakan pembicara. Tetapi, anggota DPR mestinya belajar mendengarkan dari rakyat kecil yang memilih mereka. Anggota DPR sebenarnya lebih parah lagi karena setelah berjanji, mereka abaikan suara rakyat. Mereka memang betul-betul tidak tahu mendengarkan suara rakyat.

Nyanyian burung itu kudengar kedua kalinya. Aku dengar dengan jelas. Suaranya nyaring memecah kesunyian malam. Malam adalah simbol ketakutan. Tapi, mengapa burung itu bernyanyi. Dan, burung itu bernyanyi seperti penyanyi di tengah konser. Burung itu mungkin tidak takut. Memang burung itu tidak takut. Burung itu mengajakku untuk tidak takut sekalipun dalam kegelapan. Burung itu seperti telah merayakan kemerdekaan. Dia bebas tanpa beban bernyanyi.

Nyanyiannya mungkin mengajakku untuk hidup bebas. Hidup merdeka tanpa tekanan, tanpa beban, tanpa ketergantungan dengan yang lain. Mungkin terlalu sulit untuk melepas ketergantungan itu. Tapi, burung itu kiranya sudah membuka jalan. Dia memberiku contoh. Bernyanyi di malam hari. Tanpa rasa takut. Seolah-olah ada terang dalam kegelapan. Hidup memang mestinya tanpa rasa takut, tanpa suasana gelap. Hidup mesti bersinar untuk sesama. Hidup mesti bebas tanpa ketergantungan.

Ah burung itu tak kudengar lagi. Mungkin dia hanya datang untuk memberiku isyarat bahwa hidup ini mesti dihidupi dengan bebas. Rasa bebas dari semua yang mengunkung kehidupan. Dengan hidup bebas, beban berat pun bisa dipikul. Malam pun bisa jadi siang. Ah betapa indahnya hidup dalam kebebasan. Betapa nyanyian burung itu adalah nyanyian kemerdekaan.

Terima kasih untuk nyanyianmu

PRM, 19/5/15
Gordi

FOTO, communitiyrountable.com
Ungkapan terima kasih adalah rasa cinta. Mungkin tidak banyak yang bisa sampai pada pemikiran ini. Boleh saja bertanya, apa hubungan keduanya. Nyatanya, dua hal ini berbeda. Terima kasih adalah satu hal, dan cinta adalah satu hal. Keduanya berbeda. Meski berbeda, keduanya bisa disatukan. Terima kasih bisa jadi ungkapan cinta. 

Seorang teman bule pernah mengatakan, jika kamu mau dihargai oleh orang lain, berilah dia sapaan terima kasih”. Jika Anda bertemu siapa saja, berilah dia ucapan ini. Oleh sebab itu, kamu mesti tahu mengungkapkannya dengan baik dan dalam bahasa yang bisa dimengerti. Salah satu bahasa yang bisa digunakan di mana saja adalah bahasa Inggris. Oleh sebab itu, kalau bisa ucapkan thanks, itu sudah cukup. Saya setuju dengan ini. Dia melanjutkan, jika mau lebih lagi, belajarlah mengungkapkannya dalam berbagai bahasa. Paling tidak, bahasa di mana kamu berada.

Bule ini pernah ke Indonesia dan dia bisa mengucapkan TERIMA KASIH kepada setiap orang Indonesia yang dia jumpai. Bukan saja di Indonesia, ketika dia berkunjung ke negara lain, dia selalu mengucapkan kata ini dalam bahasa setempat. Dia tentu belajar banyak bahasa khususnya untuk mengungkapkan kata ini. Katanya, dia sudah bisa mengungkapkan kata ini dalam lebih dari puluhan bahasa. Dia memang sudah berkunjung ke banyak negara.

Ungkapan TERIMA KASIH memang amat penting. Selain bentuk pernghargaan, ungkapan ini sebenarnya adalah bentuk cinta. Aku berterima kasih padamu karena aku mencintaimu. Aku mencintaimu dan karena itu aku berterima kasih padamu.

Saya sendiri merasa bangga, senang, dan terharu, ketika teman-teman asing bilang TERIMA KASIH pada saya. Ini sebuah sapaan yang menyentuh hati. Saya merasa, saya dihargai, bahasa saya dihargai, oleh teman yang mengucapkan itu. Jangankan oleh teman-teman asing, teman-teman Indonesia yang mengucapkan kata ini saya hargai betul. Saya akan memberikan penghargaan yang tinggi pada mereka. Di Indonesia, saya banyak menjumpai orang-orang kecil yang mengucapkan kata-kata ini. Tampak sekali mereka mengucapkannya dari dalam hati. Bukan sekadar ucap.

Memang kata ini bisa diucapkan sekadar ucap. Lihat saja tukang iklan atau tukang promosi yang pura-pura mengumbar kata-kata ini. Saya sudah tahu sebenarnya, di antara mereka, ada yang mengumbar kata ini untuk menarik perhatian. Ada yang memang benar-benar mengucapkannya dari hati.

Saya senang jika Anda mengucapkan kata ini dari hati. Sebab, kata ini adalah bentuk cinta. Aku mencintaimu karena itu aku berterima kasih padamu. Dan saya yakin, dengan ungkapan TERIMA KASIH yang sederhana ini, Anda akan dihargai. Orang lain juga akan senang jika Anda mampu mengucapkan kata ini dari hati. Di Italia, saya sering sekali mendapat ucapan TERIMA KASIH. Hanya beri bantuan sedikit saja, bagi mereka, itu sudah berharga. Mereka tidak segan-segan membalasnya dengan ungkapan TERIMA KASIH.

Kata TERIMA KASIH sangat sederhana namun kadang enggan sekali untuk diucapkan. Saya selalu berusaha untuk mengucapkan kata ini dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara saya. Teringat ketika tinggal bersama anak-anak Panti Asuhan Santo Yusuf, Boro, Jawa Tengah. Di sana, saya berjumpa dengan banyak orang Jawa yang bicara bahasa Jawa. Saya juga belajar bahasa Jawa meski tidak sampai selesai. Salah satu dari sekian kata awal yang saya pelajari adalah TERIMA KASIH. Saya selalu mengucapkan MATUR NUWUN ketika bertemu kakek, nenek, saudari/a yang sedang lewat di jalan. Mereka membalas dengan MATUR NUWUN juga sambil tersenyum. Saya senang jika sapaan saya diterima dengan baik.

Bukan saja orang Jawa. Di Italia juga, saya selalu berusaha mengucapkan kata ini pada saat dan tempat yang tepat. Biarkan kata ini menyentuh hati lawan bicara kita. Dan, setiap kali mendengar ucapan terima kasih ini, saya merasa seperti DIA MENYENTUH HATIKU DENGAN CINTANYA. Itulah sebabnya saya katakan TERIMA KASIH adalah bentuk cinta.

Terima kasih

PRM, 14/5/2015
Gordi

foto ilustrasi oleh Kurniawan Biantoro
Hari ibu sudah lewat. Ternyata masih ada yang bertanya-tanya. Kok ibu ada harinya mana hari bapak? Kapan hari bapak dirayakan?

Tampaknya tidak terkenal hari bapak. Hari ibu masuk dalam kalender nasional. Lalu, mengapa hari bapak tidak ada?

Ya tampaknya tidak ada. Kalau pun ada boleh jadi tidak begitu terkenal. Apakah hari bapak juga mesti dimasukan dalam kalender? Apakah bapak-bapak protes karena tidak ada perayaan hari bapak?

Selama ini tidak ada protes. Ya…mungkin bapak-bapak tidak mau menuntut. Bapak-bapak juga sering tampil di muka sehingga tidak mungkin tidak terkenal. Sedangkan, ibu jarang tampil. Kalau pun sering tampil, tidak sesering bapak.

Tetapi jangan berkecil hati. Jangan sesekali menilai IBU lebih besar dari BAPAK karena Ibu mempunyai perayaan khusus dan Bapak tidak.

Perayaan ini bukan mau membedakan atau memilih mana yang berharga dan tidak. Tidak. Bapak dan ibu berharga untuk anak-anak. Mereka berdua sudah bekerja sama membesar dan mendidikkan anak-anak.

PA, 23/12/12
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 23/12/12

gambar dari google
Banyak orang menyanjung ibu hari ini. Ini karena hari Ibu. Kalau tidak kaum ibu hanya di belakang layar saja. 

Saaya terharu pada hari ini. Banyak ucapan melalui sms dan telepon menyinggung soal hari Ibu. Tadi pagi saya dapat kiriman beberapa pesan singkat di hp. Saya juga tak lupa mengucap selamat untuk ibu yang melayani kami di rumah.

Hari ini sosok ibu betul-betul dibanggakan, dibicarakan, disanjung, dan sebagainya. Memang ini kesempatan emas untuk meninggikan ibu. Tak ada salahnya. Toh ibu punya jasa besar. Tak ada bandingan dengan jasa mana pun.

Tetapi perayaan hari ini justru seremonial belaka. Sebab, setelah hari ini, ibu tidak ditinggikan lagi. Peran ibu memang banyak di belakang layar. Yang kerap tampil adalah kaum bapak dan anak lelaki.

Meski beberapa ibu sudah menjabat posisi tinggi di negeri ini, tetap saja, kesejahteraan kaum ibu kurang diperhatikan. Lihatlah di desa. Ibu melahirkan tanpa pertolongan bidan dan pihak medis lainnya. Di kota banyak ibu jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Masih banyak kasus lain di mana ibu diinjak martabatnya.

Bolehlah menyanjung dan meninggikan sosok ibu. Hanya saja jangan hanya pada hari ibu. Sanjunglah dan hormatilah sosok ibu kapan dan di mana saja.

Selamat hari ibu…..

PA, 22/12/12
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 22/12/12

foto oleh Bambang Subaktyo
Membantu sesama tak harus dengan modal uang. Memiliki uang banyak tidak otomatis bisa membantu sesama. Banyak orang mencari uang. Namun, banyak orang memiliki uang banyak yang hatinya haus akan ketenangan. Modal utama membantu sesama adalah kemauan yang kuat.

Di sekitar jalan ke kampus kami, ada banyak gang kecil. Tak ada angkutan kota yang melewati jalanan ini. Yang bisa masuk hanya bajai dan mobil pribadi. Kami yang sering menggunakan sepeda, bisa dengan leluasa melewati daerah ini. Hanya saja ada dua hal yang membuat kami ekstra hati-hati. Pertama, banyaknya polisi tidur. Kedua, banyak anak kecil berkeliaran.

Di setiap gang pasti ada sekelompok tukang ojek. Ada yang tiga orang, dua orang, dan empat orang. Yang paling ramai ketika pagi hari. Mereka berjasa mengantar anak sekolah atau juga orang dewasa yang berangkat pagi ke tempat kerja. Mereka biasanya mengantar ke halte trans-jakarta terdekat atau ke jalan utama di mana angkot lewat.

Menjadi tukang ojek itu tidak selalu dipandang rendah. Beberapa teman tukang ojek pernah bercerita, kalau sebagian dari mereka itu adalah penganggur. Ada yang baru saja dipecat dari kantor karena perusahaannya bangkrut. Ada juga yang memang tidak punya pekerjaan tetap. Ada yang memang ‘panggilan’ hidupnya di situ. Ada yang sudah belasan tahun menjadi tukang ojek. Mau tidak mau untuk menghidupi keluarga, mereka jadi tukang ojek. Apa pun pekerjaannya asal menghasilkan duit. Begitu filosofi mereka setelah tidak punya pekerjaan tetap.

Beberapa kali saya bersama tukang ojek membantu korban tabrak-lari di jalanan. Kebanyakan korban kecelakaan di jalanan mendapat pertolongan pertama dari tukang ojek. Sebelum warga sekitar datang, tukang ojek menjadi kelompok pertama yang memberi pertolongan. Mereka membantu tanpa mengharap imbalan. Mengantar ke rumah sakit, menyelamatkan dompet dan handphone korban, membantu menghubungi keluarga korban, dan sebagainya.

Menjadi tukang ojek memang tak melulu mencari uang. Mereka turut membantu memperlancar perekonomian bangsa dengan mengantar pekerja ke kantornya. Mereka juga membantu dalam bidang pendidikan dengan membantu para orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah. Mereka juga membantu dalm bidang sosial dengan memelopori solidaritas warga untuk korban kecelakaan di jalanan.

Sudah saatnya bangsa ini kembali ke filosofi tukang ojek. Jangan melulu mencari keuntungan yang malah menyengsarakan sesama. Kalau orientasinya uang melulu, banyak rakyat yang tidak mendapat bagian. Uang negara disedot ke kantong sekelompok orang tertentu. Jurang antara kaum berada dan kaum tak berada semakin lebar. Dari sini muncul kecemburuan sosial.

Tukang ojek pun tidak ada yang ego. Kalau seorang baru saja selesai mengantar penumpang, dia tidak mengantar lagi jika masih ada teman yang belum mendapat giliran. Dalam hal ini tukang ojek beda dengan sekelompok kaum berpunya yang merebut diskon 100 pembeli ipone terkemuka di negeri ini. Tak heran jika tukang ojek itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

CPR,16/2/2012

foto oleh hukum97
Pernahkah para sahabat sekalian melihat anak kecil mencium tangan orang tuanya sebelum bepergian? Jika tidak dengarlah cerita saya berikut ini. 

Setiap hari Sabtu, saya mendampingi anak-anak di daerah Warakas, Jakarta Utara. Mereka biasanya berkumpul di satu rumah dan belajar bersama. Saya dan beberapa teman di sana membimbing mereka. Berbagai mata pelajaran di sekolah kami pelajari bersama. Sebelum mulai pelajaran-yang biasanya berlangsung jam 8-9-anak-anak dilatih untuk membaca buku bacaan yang ada di rak buku. Tidak semua anak mengikuti kegiatan membaca ini. Tetapi, untuk mereka yang datang lebih awal, diwajibkan untuk membaca.

Sebelum anak-anak meninggalkan ruang belajar, mereka dibiasakan mengucapkan terima kasih kepada para pengajar. Selain ucapan, mereka biasanya mencium tangan para pengajar. Kami berjabatan tangan lalu anak-anak mengangkat tangan kami ke kepala atau ke pipi mereka. Tentu saja mencium tangan di sini jangan diartikan sebagai ungkapan kesombongan. Mosok kami menyuruh anak-anak mencium tangan kami supaya dilihat sebagai orang yang berkuasa. Tidak!

Saya tidak tahu, siapa yang melatih mereka seperti itu. Pertama kali membantu di sana, saya kaget ketika anak-anak mencium tangan saya. Untung saja, setelah selesai mengajar, saya selalu mencuci tangan, membersihkan bekas kapur atau spidol di jari. Kebiasaan ini pun sudah menjadi tradisi di sana. Anak-anak juga sudah tahu, beginilah mereka mengungkapkan tanda terima kasih mereka kepada orang yang dituakan, termasuk orang tua sendiri.

Ungkapan semacam ini pernah saya lihat sebelumnya di sebuah panti asuhan di daerah Jakarta Selatan. Lagi-lagi tangan saya dicium atau diletakkan di atas kepala mereka sebelum bepergian, misalnya ke sekolah. Saya geli tetapi lama-kelamaan jadi biasa.

Ada yang mengartikan ungkapan seperti ini sebagai tanda minta restu (berkat) dari orang tua. Ketika anak mencium tangan bapak dan ibu di pagi hari, di situlah anak meminta restu orang tuanya sekaligus minta berkat atas kegiatannya pada hari itu. Kalau begitu saya pun jadi bangga karena saya ini menjadi sumber berkat bagi anak-anak itu.

Tampaknya anak-anak yang terbiasa dengan hal ini patuh pada orang tua. Saya melihat anak-anak di Warakas berbeda dengan anak-anak lainnya yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini. Saya tidak sedang mengadili mereka yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini. Masing-masing orang tua mempunyai cara mendidik yang berbeda terhadap anak-anaknya. Tentu saja masih ada anak-anak yang baik yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini.
Yang mau saya katakan adalah anak yang terbiasa dengan hal ini mempunyai sikap patuh kepada orang tuanya. Sebelum bepergian dia meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan sikap bertanggung jawab, lebih tepatnya patuh kepada orang tua. Beberapa orang tua di Warakas mengakui hal ini. Mereka jarang cemas dengan anak-anak mereka yang sedang berada di sekolah karena mereka yakin anaknya selalu minta restu sebelum bepergian. Anak-anak tidak mau pulang kalau orang tuanya belum menjemput. Anak-anak juga jarang keluar rumah tanpa sepengetahuan orang tua.

Gordi Afri
17/2/2012


foto oleh Alit Apriyana
Jarum jam menunjukkan pukul 5.30 sore. Suasana di kompleks kami masih gerimis. Baru saja turun hujan lebat. Sungai di sebelah rumah kami meluap. Beberapa ruas jalan tergenang air. Pengguna jalan berebut bagian jalan yang tidak tergenang air. Pengguna sepeda motor menyingkir dari jalan raya, mencari jalan tikus yang tidak tergenang air. Mobil angkutan dan mobil pribadi merelakan bagian bawahnya tersiram air berwarna kuning pekat. 

Aku berjalan kembali ke rumah. Jalanan masih basah. Telapak kakiku basah hingga terasa amat dingin. Ujung bawah sandal tertempel tanah cokelat. Langkah kaki terasa berat gara-gara sandal itu melengket kuat di jalan. Di pinggir jalan berdiri seorang gadis. Tampaknya dia baru saja pulang dari kantornya. Dia berdiri tepat di pinggir jalan tak bertrotoar. Di tangannya ada ponsel yang digenggamnya amat erat. Tas kecil berwarna hijau kusam dijinjingnya. Entah dia sedang menunggu teman cowoknya yang menjemputnya dengan sepeda motor suzuki ninja. Atau juga sedang menunggu bis metromini nomor 47.

Di seberang jalan berdiri juga seorang cewek ber-rok mini dan sepatu hak tinggi. Dia menyeberang jalan sambil melambaikan tangannya pertanda isyarat untuk berjalan pelan kepada pengemudi mobil dan sepeda motor. Di telinganya melekat earphone besar berwarna hitam. Hampir saja tidak terlihat daun telinganya. Dia juga berdiri entah sedang menunggu taksi atau mobil jemputan khusus. Sesekali tangannya memencet tombol di layar ponsel-nya. Entah mengatur volume musik atau mencari lagu favorit atau juga membalas pesan singkat dari pacarnya.

Aku melangkah pelan melewati dua cewek cantik ini. Senja makin mendekat. Jalanan mulai padat dengan kendaraan roda 2, 3, dan 4. Selokan di depan rumah hampir penuh. Kubuka pintu gerbang dan sekali lagi melihat kedua gadis itu. Mereka masih berdiri di pinggir jalan itu. Kapankah mereka akan pergi?

*****

Aku pamit hendak mandi kepada dua sahabatku. Mereka membaca pesan singkat itu lalu memberi komentar sebagai jawaban.

“Mandi……”, demikian bunyi pesan yang dibuat dalam waktu kurang dari satu menit itu. Entah mereka mengertinya seperti apa. Aku hanya bermaksud untuk pamit. Mungkin mereka akan mengabaikannya atau malah menanggapinya. Mungkin mereka sudah mandi atau belum, aku tak tahu. Aku hanya ingin mandi sekarang. Sebentar lagi senja berakhir.

“Gak, aku mau keluar sebentar, membeli makanan cemilan. Lagian, aku gak seperti kamu, mandi gak mandi tetap wangi…..” demikian balasan seorang temanku.

Aku tertawa membacanya. Aku dan dia sama-sama manusia. Aku dan dia sama-sama berkeringat. Aku dan dia sama-sama bekerja, mengeluarkan energi. Aku dan dia sama-sama wangi sekaligus bau setelah keringat mengucur. Mengapa dia tetap wangi? Bukankah dia juga bisa berkeringat? Ataukah dia menyiram tubuhnya dengan parfum wangi, cairan deodorant di ketiaknya, dan polesan bodylotion di kulitnya???? Kalau pun demikian, dia tetaplah akan bau setelah semuanya ini dikalahkan oleh kucuran keringat yang mengguyur seluruh tubuhnya, dari ujung rambut sampai ujung kakinya.

Ahh… dia hanya mengejekku. Aku tak yakin dia tetap wangi. Memang dia cantik dan memesona. Namun itu hanya tampilan luar yang kadang menipu. Hatinya bisa saja ceroboh, bobrok, kotor, dan penuh daya tipu muslihat. Aku ingin membalas pesan pendek itu.

“Kamu memang wangi tetapi tetap harus mandi supaya tubuhmu tetap wangi dan penampilanmu tetap memesona banyak cowok termasuk bapak-bapak. Ataukah kamu mau mandi malam-malam supaya menghabiskan waktu senja ini dengan bermain-main di dunia maya????” Kalimat itu kubuat dengan penuh hati-hati. Aku tak ingin melukai perasaannya.

Entah dia membalasnya bagaimana, aku tak peduli. Kalau dia bisa membuat kalimat seindah kalimat pesan pendek itu aku pun bisa. Aku dan dia sama-sama makhluk rasional yang kadang-kadang menerima sesuatu setelah ditelisik dengan rasio. Kami bukan orang yang menurut begitu saja atau mengiyakan saja kalimat yang terbaca. Kami mencernanya dengan otak kami.

“Gak kok, aku gak mandi malam-malam. Aku mau mandi juga. Kamu jangan intip ya…..???? Kalimat itu datang begitu saja.

Pikiranku melayang ke langit-langit. Andai aku ada di langit-langit kamar mandinya, apa yang akan aku lakukan?? Bagian mana yang ingin aku lihat? Apakah aku berdosa kalau melihatnya? Akankah aku ‘menginginkannya’ setelah bagian itu berhasil aku lihat? Apakah dia sadar kalau aku mengintipnya? Bagaimana reaksinya ketika tahu bahwa aku telah mengintipny? Akankah dia berteriak?

“Kalau pun aku mengintipmu, aku tak bisa melihat bagian yang aku inginkan darimu sahabat……” Aku membalasnya demikian. Jangan-jangan dia juga membayangkan hal-hal yang bukan-bukan di seberang sana.

“Aku tahu, jempol kakiku….” Katanya dalam pesan singkat yang datang belum satu menit itu.

“Bukan….,” jawabku sambil memikirkan kata-kata yang bisa melukiskan perasaanku saat ini.

“Ahh….itu jempol kakiku karena kamu gak bisa melihatnya. Jempolku tertutup kaus dan sepatu setiap hari sewaktu kuliah….”, balasnya. Kalimat ini amat panjang. Dia membawaku ke bagian yang hampir mirip dengan pikiranku.

“Bukan….sudah kubilang, aku gak akan bisa melihat bagian (tubuh) yang tersenbunyi darimu….,”

“Apakah itu? Itu hakikatnya tersembunyi mas. Kamu tidak boleh melihatnya. Kamu akan tahu nanti ketika kamu sudah saatnya mengetahui dan pantas melihatnya.”

Kaget. Aku tidak ingin melihat bagian yang dia maksudkan itu. Aku juga masih bingung dengan bagian yang dia tunjukkan itu. Aku sudah dewasa dan berkepala tiga. Apalagi yang belum pantas aku lihat???

“Kawan….aku ingin melihat telapak kakimu dan bukan jempolmu,” Surga ada di telapak kaki ibu. Kata orang seperti itu.

Bagiku telapak kaki adalah perasa paling sensitif. Namun, menjadi tidak sensitif lagi karena setiap saat dia tidak lagi bersentuhan langsung dengan tanah. Dia tidak bisa merasakan lagi runcingnya batu-batu di jalanan, dia tidak bisa lagi merasakan dinginnya lantai rumah, dia tidak lagi merasakan penderitaan yang dialami pemulung jalanan yang setiap saat menginjak lumpur dan sampah. Telapak itu tidak bisa lagi menjadi perasa untuk penderitaan manusia zaman ini. Setiap saat telapak itu menjadi tempat tersembunyi karena selalu dibalut kaus kaki pendek dan sok (kaus kaki panjang). Telapak kaki juga bisa menyembunyikan kesombongan, keserakahan, kedegilan hati manusia. Telapak kaki menjadi tempat akrab bagi penyelundupan narkoba……..Aku ingin melihat telapak kaki yang bersih dan murni, tidak tercemar antek-antek tipuan manusia zaman ini.

CPR, 17/4/2012
Gordi Afri

foto oleh sks_sts
Ada hal yang menarik tiap kali saya bertemu dengan penganut agama lain. Yang paling menonjol adalah ketika bertemu teman-teman Muslim. Sempat ada rasa malu ketika pertama kali berjabatan tangan dengan teman cewek Muslim. Dia hanya membalas dengan menganggukkan kepala sambil mendekatkan tangannya ke dada.

Saya tidak tahu, apa maksudnya dia berbuat demikian. Mungkin dia melihat saya seperti orang asing. Tetapi justru setelahnya kami bisa bercerita dengan akrab. Lama sekali saya tinggal dalam keadaan bingung dengan kebiasaan seperti ini. Beberapa teman cewek Muslim melakukan hal yang sama. Saya merasa tidak enak bila keadaan semacam ini berlangsung lama. Sampai suatu waktu saya meminta izin kepada seorang teman untuk menjelaskan hal ini. Dia mengatakan bahwa memang seperti itulah keadaan biasanya. Maksudnya, teman cewek Muslim tidak boleh atau mungkin tidak diperkenankan untuk berjabatan tangan dengan teman cowok yang bukan muhrimnya.

Dari penjelasan ini, saya bisa memahami perilaku teman-teman saya ini. Tetapi ternyata ini tidak berlaku umum. Ada juga teman cewek Muslim yang menerima jabatan tangan saya ketika bertemu. Semula, saya hanya menganggukkan kepala tetapi ternyata mereka mengizinkan untuk berjabatan tangan. Makin bingung lagi saya. Menurut seorang teman, peraturan ini tidak berlaku mutlak. Sehingga, dia sendiri bisa dan boleh menerima jabatan tangan pria yang dikenalnya baik.

Ini hanya kejutan awal bagi saya dalam menjalin relasi dengan teman-teman berbeda agama. Ada lagi peristiwa yang membuat saya hanya mampu mendengar saja sambil mencoba memahami apa yang ada dalam pikirannya. Seorang teman mengunjungi blog saya dan membaca tulisan di sana. Dia tertarik dengan pengalaman saya. Lalu dia menghubungi saya melalui email yang tertera di sana. Dari situ komunikasi kami lancar. Dia pun bertanya banyak hal. Saya menjelaskan semua yang ia tanyakan. Sebagian tentu saya tidak bisa jawab. Jika saya tidak tahu saya akan mengatakan dengan terus terang, tidak tahu. Daripada saya membuat jawaban baru yang saya karang sendiri alias berbohong, lebih baik mengatakan dengan jujur.

Pada saat yang sama, saya juga bertanya banyak hal tentang agama Islam. Lumayan dapat pengetahuan baru, gratis lagi. Saya memang gemar bertanya kepada teman-teman Muslim yang bisa diajak berdiskusi. Ada banyak yang sampai sekarang masih bertukar informasi dengan saya. Kami menghargai perbedaan yang ada sehingga kami tidak mudah jatuh dalam godaan menuduh tanpa tahu masalah nyatanya seperti apa.

Suatu ketika, saya kaget ketika teman Muslim (2 orang) mengatakan dengan terus terang, Aku Mau Kamu Jadi Muslim. Saya mendengar saja waktu itu karena kebetulan dia sedang bercerita. Lalu, saya bertanya kepadanya, mengapa kamu berkata demikian. Ia menjawab, saya cocok menjadi Muslim. Jawaban singkat ini membuat saya terus mencari kesempatan untuk bertanya lebih lanjut padanya. Apa benar saya cocok jadi Muslim? Saya ini Katolik sejak kecil, kok tiba-tiba cocok jadi Muslim.

Rupanya dia menganggap Muslim sebagai agama yang menawarkan nilai-nilai kebaikan sehingga dia ingin agar saya mengetahui nilai-nilai seperti itu. Saya menyanggah dengan kata-kata yang sopan bahwa saya tidak mesti menjadi Muslim untuk mengetahui nilai-nilai itu. Dia tetap berpegang pada kata-katanya bahwa dia mau agar saya jadi Muslim. Saya hanya mengucapkan terima kasih sambil menjelaskan bahwa, kalau Tuhan menghendaki, suatu saat saya akan menjadi Muslim.

Mungkin dia masih menunggu, kapan kata-kata saya itu menjadi nyata. Buktinya sampai sekarang saya belum menjadi Muslim. Saya hanya merefleksikan bahwa, masih ada umat beragama yang memandang ajaran agamanya sebagai nilai-nilai yang baik, yang pantas ditawarkan kepada orang lain. Agama masih menjadi sumber nilai yang baik bagi hidup manusia.

Tidak salah dia menawarkan nilai itu kepada saya sampai-sampai dia mau supaya saya jadi Muslim. Saya menyambutnya dengan senang hati. Tetapi saya mengharapkan agar dia menghormati keputusan saya jika saya memutuskan untuk tidak menjadi Muslim. Hormat terhadap umat beragama lain menjadi semakin besar jika ada banyak orang yang berpikiran seperti ini. Kami pun sampai sekarang masih menghormati nilai-nilai agama lain.

Saya mengimpikan juga bahwa nilai-nilai Katolik yang baik juga bisa ditawarkan kepada setiap orang. Tawaran ini dilandaskan pada keyakinan bahwa nilai ini baik pada dirinya sendiri. Maka, pantas dibagikan. Persoalan muncul ketika nilai itu ditawarkan dengan cara kekerasan. Di sinilah citra agama menjadi buruk. Agama pada dirinya sendiri baik, yang keliru adalah orang yang menafsirkan nilai agama itu sesuka hatinya. Fundamentalisme boleh jadi berakar dalam cara pandang seperti ini.

Terima kasih untuk teman-teman diskusi saya yang memberikan pemahaman baru tentang relasi antara umat beragama di Indonesia. Semoga dengan tulisan ini semakin banyak orang terbuka pikirannya. Bahwa menawarkan nilai sebuah agama itu baik. Yang tidak baik adalah menawarkan dengan kekerasan atau juga memaksa orang untuk masuk dalam agama kita sendiri.

CPR, 4/5/2012
Gordi Afri

foto oleh Kevin Wasilin
Burung pipit selalu bergembira. Kicauannya menjadi tanda dia bergembira. Tiap pagi dan sore saya mendengar kicauannya. Kebetulan rumah kami dikelilingi banyak pohon nangka, mangga, jambu, dan sebagainya. Mereka bertengger di dahan, berkelompok, lalu berkicau saambil mencuri bunga yang manis di pucuk pohon-pohon itu.

Manusia sebenarnya bisa bergembira setiap saat seperti burung pipit. Burung pipit tak mempunyai pohon khusus yang menjadi miliknya, tak mempunyai bunga khusus yang menjadi miliknya. Dengan sayapnya dia terbang-bebas ke mana dia mau, mencari makanan. Sayap menjadi senjata ampuh untuk merebut makanan ke segala tempat.

Sang Pencipta memberinya makanan berlimpah. Sambil makan mereka bergembira. Luar biasa. Mengambil makanan dari alam. Dia juga tidak angkuh, tidak rakus. Mereka selalu mencari makan bersama. Ini simbol salodaritas, saling memberi saya juang untuk mencari makanan. Usaha butuh bantuan sesama.

Manusia dengan segala kemampuannya yang konon katanya menjadi super intelek dari segala ciptaan justru mati karena merebut makanan. Manusia berusaha dengan bantuan sesama namun kadang-kadang dengan menjatuhkan sesama. Manusia bergembira tetapi kadang-kadang banyak mengeluh. MAnusia bisa mendapat makanan berlimpah dari usahanya namun ada juga yang kekurangan makanan. Manusia berlimpah hartanya tetapi ada juga yang merasa tidak bahagia.

Manusia…belajarlah dari burung pipit. Selalu berkicau. Ini pertanda bahagia. Tidak ada persaingan sengit yang merisaukan sesama.
————————-
*Ocehan malam
Yogyakarta, 14/7/2012
Gordi Afri

Powered by Blogger.