Halloween party ideas 2015
Showing posts with label OASE. Show all posts

FOTO, kompasiana.com
Dapat penghargaan di blog kompasiana adalah sebuah kebangaan. Bangga karena merasa dihargai di blog besar dan ramai ini. Tidak semua orang bisa dapat. Hanya sekian dari sekian banyak orang. Dengan kata lain, untuk dapat penghargaan mesti ada kelebihan atau kehebatan tertentu.

Kehebatan itu adalah kemampuan menulis. Dengan kemampuan itu, kompasianer dapat menciptakan karya yang bagus. Karya yang bagus bisa masuk kategori HL, atau Highlight, atau TA, atau Feature. Istilah ini kiranya sudah terkenal di kalangan kompasianer. Dan, sudah banyak kompasianer yang mampu membuat tulisan berkategori di atas. Yang belum tentu saja tunggu saatnya. Tidak perlu merasa kecewa jika tidak masuk. Karena, dalam kompasiana ini sebenarnya tidak ada kata TIDAK. Yang ada hanya BELUM. Jadi, yang belum dapat tunggu saja saatnya datang. Para pengelola akan memilih karya-karya terbaik dari kompasianer sekalian. Kesempatan untuk dapat penghargaan itu memang terbuka bagi semua kompasianer. Tentu dengan kriteria yang tertera dalam peraturan kompasiana ini. Kalau karya kompasianer memang tidak masuk kategori ya tentu belum bisa masuk kolom khusus di atas.

Sebagai kompasianer, saya sendiri cenderung untuk tidak memperoleh penghargaan di atas. Saya punya alasannya. Sebelumnya, saya sudah dapat penghargaan kecil seperti masuk HL, highlight dan TA. Mungkin kebetulan saja. Tetapi, bisa juga bukan kebetulan. Kebetulan karena saya tidak menyangka misalnya tulisan saya masuk di kolom TA. Bukan kebetulan karena memang saya menulis dengan baik dan hasilnya tulisan itu masuk kolom HL. Atau juga tulisan lain yang masuk kategori INSPIRATIF, BERMANFAAT, AKTUAL, dan MENARIK.

Tentu saja hanya beberapa dari tulisan saya. Tidak banyak kalau dihitung. Tetapi dari yang sedikit itu, saya sendiri merasa bangga. Bangga karena rupanya tulisan saya dihargai. Bangga karena ternyata saya punya kemampuan untuk menulis dengan baik. Bangga karena ada yang menilai tulisan saya berinspiratif. Beberapa puisi saya sering masuk kategori inspiratif ini meski saya sendiri tidak mau menamai diri saya sebagai penyair (penulis puisi). Saya sendiri cenderung menilai diri saya sebagai penikmat puisi, pembaca karya puisi, pembaca CERPEN dan CERMIN di kompasiana. Dari membaca, saya menulis puisi.

Nah, kalau semua kategori khusus di atas sudah saya dapat, mengapa tidak mau menerima penghargaan lagi? Saya tentu bangga jika ada penghargaan lagi. Tetapi, untuk apa? Saya kira tidak ada lagi penghargaan yang lebih bernilai dari yang sudah saya dapatkan. HL sudah, TA sudah, tinggal saja CENTANG BIRU yang katanya, hanya penulis yang bersumbangsih saja yang bisa dapat centang biru. Maksudnya, kompasianer yang tulisannya—katakan saja—bermanfaat untuk kepentingan bersama. Mohon dikoreksi kalau saya salah ingat. Waktu itu ada pemberitahuan dari admin tentang ini tetapi sekarang saya sudah lupa. Dan, memang kompasianer yang ber-CENTANG BIRU menurut saya, tulisannya bagus dan bermanfaat. Tentu saya juga bisa mendapatkannya. Saya yakin sekali untuk dapat CENTANG BIRU ini. Tinggal saja menulis dengan baik, atau lebih baik lagi dari sekarang, dan menulis artikel yang bermanfaat bagi kepentingan bersama, pada akhirnya pasti saya dapat. Tetapi bagi saya CENTANG BIRU itu tidak terlalu saya perlukan. Kalau dikasih centang biru ya silakan. Kalau tidak juga silakan. Toh, saya menulis di kompasiana ini gratis dan tidak bertujuan untuk mencari penghargaan. Kalau dikasih tentu saja diterima.

Saya cenderung untuk mengatakan LEBIH BAGUS JIKA SAYA TIDAK MENDAPAT PENGHARGAAN itu. Alasannya? Saya tahu kompasianer dengan CENTANG BIRU adalah kompasianer yang bisa dinilai ‘berkelas’ketimbang kompasianer lainnya. Maaf, label ini mau tak mau saya pakai. Bukan untuk mengatakan kompasianer yang tidak bercentang biru tidak berkelas. Apa boleh buat dalam pembagian semacam ini, pembedaan mesti ada. Apalagi sudah jelas. Tetapi tidak perlu menarik kesimpulan bahwa yang tidak bercentang biru tidak berkelas. Tidak! Bukan itu maksud saya. Tentu memang mereka belum bercentang biru. Jadi, masih ada kemungkinan untuk bercentang biru. Seperti saya juga ada kemungkinan untuk dapat itu.

Dengan centang itu, pandangan kompasianer lain otomatis juga berubah. Yang bercentang adalah yang tulisannya bagus. Maka, kalau ada tulisannya nanti yang tidak atau kurang bagus, komentar pun muncul. Kompasianer ini kok tulisannya begini-begini saja padahal sudah bercentang biru. Penilaian semacam ini kadang subyektif tetapi apa boleh buat pasti akan muncul.

Saya cenderung untuk tidak menerima centang itu karena alasan ini juga. Saya bukan penulis hebat di kompasiana meski ada kemungkinan untuk jadi penulis hebat. Saya bukan penulis yang rajin menulis di kompasiana meski saya bisa saja menulis setiap hari. Saya bukan penulis artikel yang berguna bagi sesama—yang masuk kategori khusus—meski  sesekali saya dapat.

Saya hanya menulis untuk megisi waktu dan berbagi. Sekali lagi mengisi waktu dan berbagi. Jadi, dengan dua modal ini, saya bisa menulis dengan bebas tanpa iming-iming menulis hebat dan bagus atau menulis supaya dapat HL. Saya menulis BUKAN UNTUK DAPAT PENGHARGAAN dan BUKAN SUPAYA MASUK KATEGORI HL atau TA. Bukan. Saya menulis untuk berbagi dan mengisi waktu luang saja. Jadi, kalau masuk HL, TA, atau berguna bagi sesama, itu hanya konsekuensi. Saya menulis dan ada konsekuensinya. Konsekuensi itu saya dapat baik dari pengelola kompasiana maupun dari pembaca. Menulis untuk berbagi memang asyik. Saya bisa menulis kapan saja dan memilih topik apa saja.

Mungkin RUGI atau saya merasa KASIHAN pada kompasiana jika saya diberi penghargaan CENTANG BIRU tetapi saya tidak rajin menulis. Kasihan kompasiana jika beri saya centang biru tetapi saya tidak mampu menghasilkan tulisan yang bermutu dan bermanfaat. Jika centang itu diberikan, ibaratnya saya seperti menerima gaji ketiga belas. Dan, saya sendiri merasa gaji ini gratis dan tentunya saya harus membalasnya dengan gratis. Balas gratis dalam konteks ini di kompasiana adalah menulis dengan baik, bermutu, dan bermanfaat. SAYA MALU jika sudah dapat CENTANG BIRU tetapi tidak bisa menghasilkan TULISAN YANG BAIK DAN BERGUNA. Jadi, biarkan saya tidak menerima centang itu agar saya tetap menulis di sini dengan baik.

Dengan tidak menerima centang, saya selalu merasa tulisan saya tidak bagus. Dan dengan merasa tulisan saya tidak bagus, saya akan terus menerus BERUSAHA untuk membuat tulisan yang BAGUS dan BERMANFAAT.

Sekadar sharing pengalaman. Terima kasih untuk pembaca.

PRM, 29/5/15
Gordi

FOTO, iodonna.it 
Seorang perempuan mungkin melupakan bayinya tetapi aku tidak akan meluapakanmu (Isaia, abad VIII SM).

Saya kira tidak ada seorang perempuan yang melupakan bayinya. Jika ia yakin itu bayi dari kandungannya, ia pasti menyanyanginya. Jika tidak, ia mungkin enggan menyanyanginya dan mudah melupakannya. Tetapi, pada dasarnya seorang ibu menyanyangi anaknya dan juga anak-anak lainnya. Di sinilah seorang ibu menampilkan naluri mengasuhnya.

Beberapa waktu lalu, kami makan malam bersama teman-teman. Bersama kami, anak muda, orang tua, juga anak-anak, dan beberapa yang masuk kategori tua (60-70 an). Tetapi yang tua ini datang dengan jiwa muda. Saat itu, setelah membereskan semua perlengkapan kamar makan, menata meja-kursi, dan menata jenis makanan yang ada, saya bermain-main dengan beberapa anak kecil usia 8-12 tahun. Satu di antara mereka suka main sulap dan tebak-tebakan. Saking sukanya, dia mengajak saya menyaksikan sulapnya. Saya tidak berhasil menjawab semua pertanyaannya dari tebakan itu. Kadang-kadang saya sengaja tidak menjawabnya supaya dia juga tetap semangat menunjukkan tebakan berikutnya. Saya juga mengajak seorang teman saya yang suka menyulap dan suka main tebak. Jadilah mereka dua ramai sekali dalam permainan ini. Saya malah jadi penonton saja sejak keikutsertaan teman saya. Tidak apa-apa. Saya hanya mengawasi saja biar ada pekerjaan juga.

Di dalam ruangan suasananya ramai sekali. Makin banyak orang yang datang. Kami menyingkir ke luar. Kami bermain sulap di dekat salah satu pintu masuk. Saya menjadi jembatan antara mereka yang di dalam dan kami yang di luar. Anak kecil ini makin asyik bermain sulap sampai-sampai dia tidak mau meninggalkan begitu saja para penontonnya. Lama-lama, kami keasyikkan bermain sulap ini.

Sesekali ibunya melihat kami. Ibunya yakin anaknya tidak terjadi apa-apa karena dia sedang bermain dengan kami. Ibunya pun tidak mengkhawatirkan anaknya. Dia asyik bercerita dengan teman-temannya di meja makan. Kami juga lanjut bermain. Meski ibu ini yakin sekali, dia tetap memerhatikan anaknya. Sesekali dia bangkit dari kursinya dan memastikan bahwa anaknya sedang dalam pengawasannya. Dia rupanya kurang yakin jika kami memberitahukan bahwa anaknya sedang bermain dengan kami. Dia datang langsung dan menyaksikan permainan kami. Kemudian, dia kembali ke tempat duduknya.

Anaknya lalu pergi ke toilet yang jaraknya kira-kira 80 meter dari tempat kami bermain. Entah apa yang dirasakan ibu ini, dia datang kembali. Dengan senyum manisnya dia seperti yakin sekali akan melihat anaknya. Padahal, anaknya sedang tidak bersama kami. Lalu, dia bertanya pada saya, “Di mana Daniela (nama samaran) ?”
Karena dengan senyum dia bertanya, maka saya juga menjawabnya dengan senyum dan dengan nada meyakinkan.
“Daniela sedang ke toilet bu. Jangan khawatir dia sedang bermain bersama kami.”

Ibu ini menganggukkan kepala sambil tersenyum, “Okelah, saya percaya dia baik-baik saja bersama kalian di sini,”katanya sebelum kembali ke tempat duduknya. Kami pun senang mendengarnya dan juga lega.

Tindakan ibu ini kiranya didasarkan pada naluri mengasuh. Ya, seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya sekalipun anaknya berbuat jahat. Seorang Ibu dari dalam hatinya sudah memancarkan naluri mengasuh ini. Isaia dalam kutipan awal tulisan ini melukiskan naluri mengasuh seorang ibu. Isaia dalam hal ini sedang menggambarkan betapa naluri mengasih seorang ibu begitu kuat. Isaia mengatakan mungkin seorang ibu melupakan bayinya. Ini tentu hanya sebuah perbandingan. Kenyataannya, tidak ada seorang ibu pun yang melupakan anaknya. Kalau pun kita pernah mendengar seorang ibu membunuh dan melupakan anaknya, ibu itu bertindak melawan naluri mengasuhnya. Dalam bahasa filsafat moral, ibu itu bertindak melawan hati nuraninya. Hati nuraninya tetap mempunyai naluri mengasuh dan menyanyangi anaknya. Maka, jika ia melupakan, ia sebenarnya bertindak melawan nuraninya. Dan, boleh jadi, dia bertindak demikian karena desakan dari pihak luar apa pun bentuknya. Sebagai konsekuensi lanjutnya, ibu ini pasti akan selalu diganggu oleh bayang-bayang gelap tindakan melawan hati nuraninya ini.

Maka, saya paham mengapa ibu ini tidak puas melihat anaknya dari tempat duduknya. Dia mesti melihat langsung. Dia mesti meyakinkan dirinya dan memastikan bahwa, anaknya sedang dalam pengawasannya dan bukan pengawasan orang lain. Dia yakin, tak cukup jika kami saja yang mengawasi anaknya.

Ah betapa ibu ini menyangangi anaknya. Terima kasih bu untuk tindakan konkretmu ini. Semoga banyak ibu yang konsisten mengasuh anaknya dan tidak tergoda untuk memberikan tugas ini pada pengasuh. Ibu ini kiranya mengkritik para ibu modern yang lebih asyik kelihatan tak beranak daripada mengasuh anaknya secara langsung. Ibu ini juga mengkritik para wanita modern yang enggan mengasuh anak karena merepotkan. Ibu ini sudah menunjukkan senyumnya saat mengasuh anak. Ia seolah-olah mengatakan, mengasuh anak itu mengasyikkan lhoo. Buktinya dia mengasuh sambil tersenyum.

Ah ibu senyummu memang menawan. Dan, sambil mengingat senyummu ini, saya selalu mengingat tindakanmu, mengasuh dengan senyum.

PRM, 26/5/15
Gordi


FOTO, www.jokowinomics.com
Pembangunan kiranya menjadi kebutuhan rakyat Papua. Dengan pembangunan, jaringan antara daerah terjangkau. Pembangunan ini konkretnya dalam transportasi dan komunikasi. Pembangunan dalam dua bidang itulah yang membuat rakyat Papua bisa terus terhubung satu sama lain. Dan, pembangunan seperti ini sebenarnya bukan hanya berlaku di Papua. Warga di seluruh tanah air juga merindukan kedua hal ini. Warga Papua—termasuk warga daerah lainnya—selalu mengimpikan pembangunan ini.

Pembangunan seperti ini memang dibutuhkan dan dirindukan, namun, realisasinya tidak mudah. Pembangunan dalam kenyataannya selalu dihadang berbagai pihak. Masyarakat pun akhirnya mau tak mau menerima kenyataan pahit yakni tidak menikmati pembangunan yang diimpikan. Pembangunan bisa jadi nyata jika mampu menembus halangan sosial dalam masyarakat. Sebab, tentu saja selalu ada pihak yang menghalangi jalannya pembangunan di negeri ini. Salah satu bentuk halangan itu adalah konflik di mana-mana. Di Papua, konflik berkepanjangan itu juga yang nyata-nyata membatalkan niat masyarakat menikmati pembangunan yang diimpikan. Ada pihak yang bertanya-tanya, dari mana datangnya konflik itu? Jawaban yang sering muncul adalah dari ketidakpuasan masyarakat atas pembangunan. Ini tentu saja jawaban logis. Tapi, bisa ditanya lagi, siapa yang menciptakan konflik itu? Boleh jadi ada pihak lain di luar masyarakat sendiri.

Di Papua, dari dulu dikenal istilah OPM, Organisasi Papua Merdeka. Nama OPM ini selalu dilawankan dengan nama TNI atau militer. Maklum, hubungan militer dan OPM inbarat tikus dan kucing. Maksudnya jelas, saling berlawanan. Yang satu menginginkan Papua Merdeka dari bangsa Indonesia. Yang satu menginginkan tetap bersama Indonesia dan menciptakan kedamaian. Keberadaan OPM pun kadang-kadang sulit dilacak. Ini berarti OPM bisa saja beroperasi di tengah masyarakat. Atau bisa juga beroperasi dari pihak lain di luar masyarakat. Namun, apakah OPM sekarang masih berjaya dan terus menerus memperjuangkan misinya? Tidak jelas. Boleh YA boleh TIDAK. Hanya masyarakat yang tahu. Atau hanya TNI dan OPM yang tahu.

Menteri Tedjo Edhi hari ini membawa berita gembira tentang OPM ini. Katanya, OPM bukan lagi Organisasi Papua Merdeka tetapi Orang Papua Membangun. Jika ini benar, OPM dengan misi lama akan lenyap dengan sendirinya. OPM ini kiranya ibarat mobil bekas bermesin baru. Mesin baru inilah yang dirindukan rakyat Papua. Dan, kiranya ini betul-betul terwujud nanti. Jika tidak, kata-kata menteri Tedjo ini hanya pemanis lidah untuk rakyat Papua. Kata-kata yang menarik simpati dengan demikian menjadi kata-kata yang dibenci. Semoga ini tidak terjadi. Semoga rakyat Papua dan pemerintah memang betul-betul bersama berusaha mencapai PEMBANGUNAN yang diimpikan ini.

Kerinduan rakyat Papua ini adalah gambaran rakyat Indonesia pada umumnya. Setiap hari kiranya rakyat Indonesia—khususnya yang berada di pelosok—merindukan pembangunan ini. Mereka bosan mendengar dan menonton drama politik di pusat yang sama sekali tidak menyentuh kebutuhan mereka. Inilah ironisnya Indonesia yang besar dan luas ini. Di Jakarta politikus sibuk mengurus misi pribadi mereka, di daerah rakyat merindukan pembangunan. Satu negara, dua realitas. Yang satu merindukan, yang satu sibuk dengan urusannya. Ini namanya rindu di atas ketidakpedulian. Dan, hidup cuek di atas pengharapan orang lain.

Obrolan hari ini.

PRM, 9/5/15

Keluarga korban terpidana mati dari Brasil
gambar dari kabar24.bisnis.com
Eksekusi hukuman mati sudah dibuat di Indonesia, namun gemanya masih ramai dibicarakan. Terutama di luar negeri. Maklum, korbannya memang sebagian besar dari luar negeri. Jangan heran jika warga Brasil, Australia, Nigeria, Filipina, dan sebagainya masih membicarakannya. Boleh jadi di Indonesia sudah jadi berita basi sebab sudah datang berita baru yang menyedot perhatian masyarakat. Indonesia dalam hal ini memang seperti anak remaja yang sedang mengalami cinta monyet. Cinta yang seperti monyet, bertengger dari satu dahan ke dahan yang lainnya. Indonesia menciptakan beragam cerita dan fakta dari hari ke hari. Cerita yang satu belum tuntas digali akarnya, sudah muncul cerita baru.

Di meja makan, hari ini, saya duduk dengan teman dari Brasil. Sambil makan siang, kami ngobrol tentang Brasil dan Indonesia. Di tengah kami, ada juga orang lain yang pernah bekerja bertahun-tahun di Brasil. Dia tentu bisa menambah informasi bagi kami yang duduk dan ingin bertukar informasi saja. Di media, mungkin relasi Indonesia-Brasil, hangat dibicarakan. Bahkan, sedang panas-panasnya. Sampai menarik duta besar segala. Kami, tidak seperti dibicarakan di media, bisa berelasi akrab. Bahkan, sampai makan siang bersama. Kami pun memilih mengobrol topik hukuman mati. Diawali dengan guyonan, Indonesia membunuh manusia. Saya pun membalasnya, yang jahat dan merugikan masyarakat akan kami bunuh. Orang-orang seperti ini menurut saya seperti cabang pohon yang berpenyakit, yang tidak menghasilkan buah. Layak dipotong. Tetapi, tentu saja, ini bukan batang dan ranting sebuah pohon. Ini adalah manusia yang tidak bisa disamakan dengan batang dan ranting pohon.

Saya pun memprovokasi teman yang pernah bekerja di Brasil. Mulai dengan mengagungkan Brasil, negara yang kerap disebut benua atau dunia itu. Yang, mesipun dalam kenyataannya, Indonesia masih lebih banyak penduduknya dari Brasil. Tetapi, ini hanya pemicu saja. Teman saya ini pun mulai memperbincangkan Brasil yang diagungkan kebesarannya itu. Saya mendengar saja. Lalu, saya berujar, Indonesia masih lebih besar dari Brasil. Penduduk Indonesia lebih banyak ketimbang Brasil. Dia kaget. Dia memang bekerja lama di Brasil dan mungkin hanya tahu sekitar Brasil saja. Dia lihat Brasil begitu besar sampai menyebutnya benua atau dunia. Padahal, dia tidak tahu kalau Indonesia lebih besar dari negara yang dia banggakan itu.

Saya tanya dia tentang kehidupan masyarakat di Brasil. Salah satu yang dia singgung adalah tentang minuman terlarang dan narkoba. Ya, rupanya di Brasil banyak orang jadi korban dari perdagangan dua benda haram ini. Dia menambahkan, dulu Brasil dikenal sebagai paru-paru dunia, sekarang sudah berubah. Dia menceritakan kehidupan di kota kecil, Belem, tempat dia bekerja. Katanya, dulu kota ini aman dan hijau, bisa bersepeda. Sekarang, banyak orang mabuk, dan banyak pengendara sepeda motor. Saya bertanya lebih dalam lagi tentang mabuk ini. Dia mengakui, di Brasil memang banyak orang mabuk karena minum dan tentu saja karena obat terlarang itu. Bahkan, lanjutnya, hampir setiap hari, ada pembunuhan atau ada orang yang dibunuh, gara-gara obat terlarang dan kemabukan ini.

Teman saya yang Brasil ini ikut mendengarkan paparan teman kami ini. Dia pun tidak berkutik ketika saya memancingnya, tidak salah kami membunuh pembawa narkoba di Indonesia yang nota bene orang Brasil. Dia tertawa saja. Teman kami yang satu mengatakan, di Brasil juga banyak orang terbunuh gara-gara kasus seperti ini.

Obrolan ini membuka mata saya tentang latar belakang Brasil. Bisa dipahami dari informasi kecil ini, jika pengedar narkoba di Indonesia juga ada kaitan dengan Brasil. Di Brasil saja narkoba meraja lela apalagi kalau sampai dibawa ke luar negeri bahkan sampai di Indonesia. Namun, saya puji pembelaan pemimpin Brasil yang ingin mempertahankan warga negaranya dari ancaman hukuman mati. Pembelaan yang sayang tidak digubris oleh Indonesia. Indonesia sekali lagi tidak main-main dan mau memberantas pengedar narkoba seperti ini.

Kasus ini kiranya bisa membantu  pemerintah Brasil dan pemerintah Indonesia untuk bekerja memberantas pengedaran narkoba ini. Daripada ribut-ribut menarik duta besar, lebih baik bekerja sama demi kebaikan bersama.

Selamatkan kehidupan dari bahaya narkoba.

PRM, 3/5/15
Gordi

Dari kecil, saya sering menulis surat untuk bapak dan ibu, untuk kakak dan adik, untuk sahabat dan kenalan. Saya memang gemar menulis surat. Surat-surat yang saya tulis rupanya mendapat respons dari bapak dan ibu, adik dan kakak, serta sahabatku. Surat itu rupanya bukan sekadar kata-kata dan kertas serta tinta tetapi benda berharga yang tentunya dibalas dengan surat juga. Saya menerima surat balasan dari bapak-ibu, kakak, dan adik saya.

Bukan saya saja yang menulis surat. Surat memang bisa ditulis oleh siapa saja dan bisa dikirim untuk siapa saja. Minimal untuk orang yang kita kenal. Kepala sekolah biasanya menulis surat atau menyampaikan langsung pesannya kepada siswa. Pastor paroki atau bapak uskup bahkan Paus Fransiskus juga sering menyampaikan pesan entah langsung atau tulisan kepada umatnya. Bapak presiden juga demikian. Mentri, gubernur, bupati, camat, dan kepala desa serta bapak dusun juga demikian.

Surat yang paling berkesan juga adalah surat dari orang tua untuk anak-anak. Saya mendengar sharing dari sepasang suami-istri semalam, Jumat, 17 April 2015. Mereka membagikan perjalanan hidup mereka. Dari pacaran sampai berkeluarga dan mempunyai 5 anak sekarang ini. Mereka jatuh cinta sejak SMA. Menikah di usia 24 tahun pada 21 tahun yang lalu. Cinta mereka memang muda dan pernikahan mereka juga di usia muda.

Surat mereka sungguh menarik. Mereka menyimak berita di TV dan koran. Ada berita tentang masa depan anak-anak. Dari berita itulah mereka mendapat inspirasi untuk menulis surat kepada 5 anak mereka. Mereka katakan dengan bahagia bahwa masa depan kalian anak-anak ada di tangan masing-masing. Jangan takut menghadapi berbagai tantangan.
Jangan gentar menerima celaan dan tantangan yang menghadang.
Jangan takut berhadapan dengan orang yang mempunyai kepercayaan dan tidak.
Jangan gentar bergaul dengan teman seagama dan tidak seagama.
Dengan teman dan orang asing.

Surat ini menarik. Pesannya sungguh berharga bagi masa depan anak-anak. Lebih dari sekadar menyampaikan pesan berharga, surat ini adalah bukti cinta orang tua pada anak-anak mereka. Dengan demikian, surat ini adalah surat cinta bapak dan ibu untuk anak-anak mereka. Surat ini berisi cinta yang dalam dari bapak dan ibu. Surat cinta ini beda dengan surat cinta dua kekasih kala berpacaran. Surat cinta jenis ini memang berisi ungkapan cinta. Hanya saja kadar cintanya beda. Ibarat kopi kental dan kopi asal hitam. Surat cinta bapak ibu seperti kopi kental. Hitam kelihatannya, pahit rasanya. Dalam kepahitan itulah letak kedalaman cinta yang mereka berikan. Beda dengan surat cinta dua kekasih yang memang memberi cinta. Hanya saja cinta yang kabur, seperti kopi asal hitam di dalam gelas. Cinta yang meloncat-loncat. Cinta monyet.

Teringat surat yang juga pernah saya tulis untuk orang tua saya. Surat ini beda dengan banyak surat lain yang saya tulis untuk mereka. Surat ini pun saya beri nama SURAT CINTA untuk bapak dan ibu. Memang, saat itu, dalam sebuah kesempatan retret, kami menulis surat cinta untuk orang tua. Inilah salah satu momen indah dalam hidup. Momen indah seperti saat-saat awal jatuh cinta. Rasanya ingin memiliki padahal hanya cinta sesaat. Seperti cinta itu, surat cinta yang saya tulis berisi ungkapan terima kasih atas cinta bapak dan ibu. Rasanya seperti saya bisa membalas cinta mereka. Yakin sekali saya bisa. Padahal, cinta mereka jauh lebih besar dari tenaga saya. Cinta mereka tak saya jangkau. Cinta mereka begitu besar. Rasa-rasanya saya hanya mampu membalasnya dalam mimpi. Dalam surat pun tidak. Betapa besar cinta itu. Betapa saya hanya berangan-angan saja menggapai cinta itu. Cinta itu memang besar dan hanya dalam angan-anganlah saya sanggup menggapainya.

Begitu besar cinta itu sampai-sampai meski saya mencintai orang tua saya, cinta itu pun belum dan tidak akan sebanding dengan cinta orang tua terhadap saya. Ah, betapa bahagianya keluarga ini. Bapak dan Ibu tidak pernah merasa cinta mereka sebatas bertemu, pacaran, nikah, berkeluarga, melahirkan. Cinta mereka berlanjut. Cinta yang nyata dalam mendidik, membesarkan, menyekolahkan, bahkan sampai membuat surat cinta untuk anak-anak mereka.

Beruntung saya pernah membuat surat cinta untuk bapak dan ibu. Betapa saya merasa beruntung. Meski demikian, tentu cinta bapak dan ibu tetap tak sebanding dengan cinta yang saya berikan pada mereka. Mereka sudah berbuat banyak pada saya. Seperti bapak dan ibu yang bercerita malam ini, cinta bapak dan ibu saya juga demikian. Terima kasih bapak dan ibu. Terima kasih kakak dan adik-adik saya.

Terima kasih untuk surat kalian.

Parma, 18/4/2015
Gordi

foto ilustrasi oleh Red Frame OmaQ.org
Hari ini diperingati sebagai hari ibu. Hari di mana setiap orang mengingat jasa ibu.

Semalam keponakan saya mengirim pesan. Dia menghargai dan menghormati jasa ibunya. Kalaimat terakhirnya adalah…Ibu jasamu besar, tak bisa dibalas dengan apa pun. Ini berarti jasa ibu besar sekali. Memang setiap orang merasa jasa ibu paling besar dari semua jasa yang ia terima.

Saya teringat akan teman-teman di panti asuhan. Tahun 2005-06 yang lalu, saya tinggal di panti asuhan di daerah Boro, Kulon Progo, Yogyakarta. Di sana ada panti asuhan yang dikelola oleh bruder FIC. Anak-anaknya beragam, datang dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Papua, Timor Leste, Timor Barat, NTT, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Mereka tinggal di panti karena orang tua mereka tidak mampu mendidik dan membesarkan mereka. Tetapi pada umumnya mereka ini anak yang kehilangan orang tua. Orang tuanya bercerai atau juga meninggal. Beberapa di antaranya adalah korban perang di Timor Leste.

Saya mengingat mereka pada perayaan hari Ibu ini. Mereka tanpa ibu kandung. Mereka tidak merasakan kasih sayang ibu kandung. Di panti mereka diasuh oleh ibu asrama. Dengan ibu ini mereka sering bercengkerama layaknya ibu sendiri.

Tampak sekali bahwa mereka mendambakan bahkan memerlukan atau haus perhatian seorang ibu. Meski ibu asrama sudah memberi perhatian pada mereka, tetap saja, mereka kehausan perhatian. Sebab, tak mungkin ibu asrama memberikan sebagian besar perhatiannya untuk semua anak asuh. Paling-paling mereka dapat perhatian yang setara dengan sebagian dari yang mereka perlukan.

Meski demikian, kehadiran ibu asuh di panti membantu anak asuh. Dari ibu ini mereka mencicipi perhatian dan kasih sayang seorang ibu. Perhatian dan kasih sayang seorang ibu penting bagi seorang anak. Dengan kasih dan perhatian itu, seorang anak bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik.

Salam hormatku untuk teman-teman di panti asuhan. Semoga ibu dan bapak asuh bisa memberikan perhatian dan kasih sayang untuk kalian semua. Terima kasih untuk ibu dan bapak yang menggantikan posisi ibu kandung di asrama. Jasa kalian besar untuk anak didik di panti asuhan. Semoga teman-teman panti merasa cukup atas perhatian dan kasih sayang diberikan oelh ibu-bapak-pendamping serta pengelola panti asuhan.

Dan, salamku untuk semua ibu terutama ibu saya di rumah yang telah membesarkan kami anak-anakmu. Jasa kalian besar. Perhatian pertama dan utama sewaktu kami menjadi bayi datang dari kalian. Pelukan hangat, dan air susu yang kalian berikan sungguh menanamkan perhatian besar pada kami.

Selamat hari ibu.

PA, 22/12/12
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana apda 22/12/12

TENTANG MANUSIA YANG SUPER SIBUK
gambar dari paling-seru.blogspot.com
Saya bukan orang sibuk tetapi kadang-kadang saya sibuk.

Kesibukan menjadi rutinitas warga modern. Gara-gara sibuk, tak ada lagi waktu untuk bersama yang lain. Anak bukan lagi teman permainan. Suami dan istri bukan lagi teman curhat. Bayangkan jika hanya sekali seminggu berkumpul bersama. Hari-harinya dilalui dengan kesibukan.

Manusia modern dikepung irama sibuk. Apakah dengan kesibukan kita menjadi manusia yang sebnarnya? Belum tentu. Menjadi orang sibuk belum tentu menyejahterakan kehidupan keluarga.

Kesibukan yang berlebihan justru memiskinkan aktualisasi diri. Kita bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Kita bekerja bukan untuk menyengsarakan diri, membuat diri kita begitu menderita. Bekerja menuntut penderitaan itu wajar. Tetapi jangan bekerja sampai menderita selamanya.

Cukuplah bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Di luar itu kita dibudak oleh pekerjaan. Untuk apa cari lebih kalau kita sebanrnya sudah dapat menghidupi diri dan keluarga?

Kesibukan kadang-kadang menjadi bentuk pelarian dari sebuah persoalan. Padahal persoalan tetap ada meski kita sibuk sana-sini. Wah…ini jadi pengamat kessibukan. Bukan. Saya hanya mengobrol tentang kesibukan saja.

Kasihan dengan orang sibuk yang sampai-sampai bertemu kelaurga besarnya saja susahnya minta ampun. Saya yakin membatalkan kesibukan untuk bertemu keluarga besar tidak mengurangi aktualisasi kita sebagai manusia.

Manusia bukanlah kesibukan. Kesibukan hanyalah sebagian dari kepribadian manusia. Manusia juga butuh rekreasi, olahraga, olahpikir, olahbatin, perlu sosialisasi, dan sebagainya. Jadi, untuk apa kita menghabiskan sebagian besar dari waktu kita untuk sibuk?

Pangkas kesibukan yang tidak perlu. Sibuklah hanya untuk keperluan yang relevan dan berguna.

———————
Obrolan pagi

PA, 12/10/2012
Gordi Afri

ilustrasi dari duniakaomao.blogspot.com
Indonesia. Nama yang indah kalau dilihat dari bentuk alamnya. Indonesia negeri yang kaya kalau dilihat dari budaya dan bahasanya. Indonesia negeri yang ramah kalau dilihat dari rakyatnya. (kecuali rakyat ibu kota yang tidak punya waktu untuk bertingkah ramah alami).
Apa daya orang Indonesia tidak seperti yang dibayangkan orang luar. Apa benar orang Indonesia ramah? Tentu sebagian besar akan menjawab ya. Tetapi orang luar kini mulai melihat sisi lain dari orang Indonesia.

Orang Indonesia menyimpan jaringan teroris. Meski hanya segelintir orang yang berrgabung dengan jaringan ini, aksi mereka justru memperburuk cintra bangsa ini. Malahan, aksi mereka ini justru merusak keakraban dan kedamaian warga. Dampaknya yang pertama justru bagi masyarakat Indonesia. Dampak lainnya adalah citra buruk tentang orang Indonesia. Tidak tanggung-tanggung orang menilai, di Indonesia masih berkeliaran para teroris.

Kalau demikian, apakah orang Indonesia tidak mampu membasminya? Tentang ini kelompok yang kuat dan merasa bertanggung jawab atas keamanan negeri ini akan mengatakan BISA. Tetapi masyarakat justru melihat kondisi lapangan. Kalau ditemukan bahwa aksi teroris masih meresahkan, masyarakat akan menilai tidak ada kelompok yang mampu membasmi ajringan teroris. Sampai sekarang bolehlah menyimpulkan bahwa orang Indonesia belum mampu menyingkirkan benih-benih teroris dalam negeri ini.

Jangan heran jika banyak negara enggan berkunjung ke Indonesia. Berbagai peristiwa besar bahkan batal mendadak lantaran Indonesia kurang aman. Lebih beruntung dan lebih aman membuat kegiatan di negeri tetangga Indonesia, komentar mereka.
Dengan adanya teroris di negeri ini, negara tetanggalah yang beruntung. Turis-turis datang ke Asia dan singgah di negeri tetangga. Indonesia tidak.

Belum selesai masalah teroris, kini Indonesia juga tertampar dengan adanya iklan TKI di Malaysia. Tenaga kerja kok dilelang begitu saja.

Lantas….apa gebrakan dari orang Indonesia? Muncul protes sana-sini. Tetapi itu hanya suara sumbang saja. Belum ada langkah tegas yang membuat negara tetangga takut dan tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Lihatlah kasus TKI yang dibunuh tanpa diketahui sahabat, kenalan, dan keluarganya di tanah air. Pergi dengan semangat bekerja-dengan iming-iming gaji tinggi-pulang membawa mayat.

Jadi orang Indonesia serba dilecehkan. Indonesia bukan lagi negeri yang dikagumi sebagai negeri besar dan tegas. Indonesia hanya nama. Nama di mana negara lain boleh masuk dan mengeruk kekayaan termasuk manusianya. Kapan Indonesia sadar akan semua ini?
Harapan besar ada pada pundak kaum muda. Saya juga masuk kaum muda. Apa yang bisa kaum muda buat? Apa yang bisa saya buat? Jalan keluar seolah-olah tertutup semua. Cap kamu muda egois dan asosial muncul di mana-mana. Ini ada benarnya juga. Lantas di mana semngat kaum muda?????

Tentu ada kaum muda yang bersemangat. Sayangnya aksi mereka kadang-kadang tidak didukung oleh kelompok yang memang mesti mendukung. Kadang-kadang orang muda tidak ditempatkan di depan sebagai pemimpin pembaru. Kaum muda hanya bisa duduk di belakang. Dari sini juga muncul kaum muda yang duduk manis saja karena merasa pesimis akan aksinya.

Menjadi pemimpin muda memang susah. Mesti mulai dari diri sendiri, kelompok kecil, lalu ke kelompok besar yang melayani masyarakat luas. Sayang itu belum menjadi pegangan kaum muda.

Ada orang muda yang hebat. Lari keluar negeri dan mengembangkan kreasi di sana. Mereka berkembang dan menjadi orang hebat di sana. Mereka tak peduli lagi dengan nasib negeri sendiri. Karena, mereka tahu dan sadar, mereka kurang diperhatikan di dalam negeri.

Ya…kembali lagi jadi orang Indonesia serba dilecehkan. Pelecehan apa lagi berikutnya jika pelecehan di Malaysia tidak ditanggapai dengan langkah tegas.
Salam semangat muda…

————–
Obrolan siang

PA, 31/10/12
GA

*Tulisan ini pernah dimuat di blog kompasiana kolom SOSBUD pada 31 October 2012 

ilustrasi dari caksandi.com
Satu langkah menuju keberhasilan adalah berani berbicara benar. Berbicara benar maksudnya berbicara dengan benar dan berdasarkan kebenaran. Kalau bicaranya benar (cara penyampaian) tetapi isinya tidak benar, itu bukan berbicara benar yang dimaksud. Jadi, baik cara penyampaian maupun isinya benar.

Siapakah tokoh yang berbicara benar yang diidealkan di atas? Apakah politikus kita berbicara benar? Boleh jadi ada politikus yang berbicara tidak benar. Dan, sebaliknya. Janji-janji saat kampanye pemilihan pejabat bukan termasuk berbicara benar. Karena, yang disampaikan di situ adalah janji. Janji meskipun berdasarkan pada bukti lapangan tetaplah janji. Janji adalah masa depan. Bukan masa sekarang.

Dahlan Iskan beberapa waktu lalu menyampaikan berita bahwa beberapa BUMN menjadi sapi perah sejumlah anggota DPR. Apakah dia berbicara benar? Belum tentu. Tetapi sebagai langkah awal, keberanian berbicara benar patut diapresiasi. Tidak banyak pejabat yang berani mengatakan apa yang sebenarnya. Dalam artian, kalau memang ada yang tidak beres mesti diungkapkan bukan didiamkan saja karena tidak mau repot.

Meskipun kebenaran isu yang dilontarkan Dahlan belum sepenuhnya benar (karena masih diselidiki lebih lanjut), keberaniannya berbicara menjadi rambu bahwa masih ada pejabat publik tidak tinggal diam dengan kasus yang merugikan negara. Maka, marilah kita berlatih berbicara benar dan dengan berani. Jangan takut karena apa yang akan disampaikan itu adalah benar menurut keyakinan kita. Semoga keyakinan kita juga tidak merugikan kepentingan rakyat banyak.
Obrolan malam

—————–
PA, 6/11/12
GA

ilustrasi dari yogyakarta.panduanwisata.id
Hari ini saya sempat ke toko buku Toga Mas. Kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya jika dibandingkan dengan toko buku Gramedia. Saya tidak punya tujuan lain selain melihat-lihat saja. Mau beli buku belum pas waktunya. Masih banyak buku di lemari buku yang harus dibaca. Maka, saya ke toko buku bukan untuk membeli buku.

Dengan melihat-lihat mata saya serasa dibersihkan. Daripada diam di rumah menyelesaikan pekerjaan lebih baik sesekali keluar dan cuci mata. Mata tidak akan bosa melihat pemandangan yang berbeda. Maka, kunjungan saya hari ini tetap berguna.

Dengan melihat-lihat juga saya berjumpa banyak orang. Ada anak muda ada juga orang tua. Anak-anak tidak ada. Memang anak-anak sedang di sekolah. Wah ternyata banyak juga yah pengunjung toko buku ini. Ada yang datang dan mengambil banyak buku. Lalu, memasukan ke keranjang belanja. Ada pula yang seperti saya sekadar melihat-lihat saja.

Dengan melihat tanpa membeli saya mendapat banyak informasi. Paling tidak beragam jenis buku beserta informasi di dalamnya. Bisa dipandang sekilas. Untuk buku yang menarik, saya sempatkan mengambil salah satu yang sudah dibuka. Saya membaca sambil duduk-duduk di bangku. Suasananya nyaman dan sejuk untuk membaca. Banyak juga teman lain yang datang dan duduk bersama.

Ternyata tak perlu membawa uang banyak ke toko buku. Kecuali kalau memang mau membeli buku. Ini kunjungan kedua saya ke toko ini. Pada awalnya tempo hari saya datang untuk membeli beberapa buku. Tetapi kali ini saya datang hanya untuk melihat-lihat saja. Lumayan dapat informasi baru dan mata saya juga melihat pemandangan baru. Tidak bosan. Jadi berkunjunglah ke toko buku dan dapatkan informasi baru. Tanpa harus membawa uang banyak untuk membeli buku.
——————–
PA, 7/12/2012
GA

*Tulisan ini pernah dimuat di blog kompasiana kolom EDUKASI pada 07November 2012 

ilustrasi di sini
Semua orang ingin hidup enak. Makanan terjamin, pakaian tersedia, pekerjaan tetap terjamin. Keenakan ini pun menjadi tujuan hidup setiap orang. Semua ingin mencapai itu. Sayangnya tidak semua berusaha mencapainya dengan jalan yang baik.

Ada yang dengan jalan pintas. Hidup enak di atas penderitaan orang lain. Hidup enak di atas usaha orang lain. Hidup enak itu tampak tidak enak lagi karena cara mencapainya. Tetapi yang merasakannya seolah-olah buta dengan usaha orang lain.

Kecenderungan untuk hidup enak dengan jalan pintas bermunculan. Korupsi, adalah satu di antara sekian jalan pintas itu. Korupsi membuat seseorang menikmati hidup enak. Dia bisa menikmati hidup enak dalam berbagai bentuk. Hiburan yang berlebihan, pakaian mewah semerbak, makanan enak, bahkan layanan seksual untuk melampiaskan nafsu seksnya, dan bentuk lainnya. Di balik itu, ada sekian orang yang menderita.
Mereka menderita karena jatahnya diambil untuk foya-foya si pengambil jalan pintas ini.

Sudah banyak yang mengecam hidup serba enak seperti ini. Bukan karena iri hati. Hidup enak itu tidak solider dengan orang lain yang tidak bisa menikmati hidup serupa. Jadi, masih nyamankah kamu hidup di atas rumah mewah sementara yang lain hidup di atas gubuk derita? Demikian jeritan sebagian orang. Tetapi, namanya menjerit, hanya bisa didengar. Sebagian membiarkan jeritan itu menjerit, tak peduli. Siapa peduli dengan hidup menderita? Semua ingin hidup mewah.

Ironisnya manusia di sini. Hidup enak seolah-olah menjadi capaian yang harus diraih. Padahal hidup pas-pasan juga tidak apa-apa. Asal tidak menderita sampai merasa sakit. Kalau cukup untuk makanan, pakaian, dan rumah, itu sudah cukup. Kalau bisa lebih dengan berusaha, itu lebih bagus lagi. Hidup seperti ini lebih pas dibanding hidup mewah yang diperoleh dengan jalan pintas. Jalan pintas yang penuh trik-tipu daya.

Kiranya semua setuju, hidup enak tidak menjamin hidup bahagia. Kebahagaiaan hidup tampak juga dalam hidup sederhana. Hidup sederhana tidak menghalangi manusia untuk merasakan kebahagaian hidup. Justru dalam kesederhanaan ada kebahagiaan.

PA, 1/6/13
Gordi






ilustrasi di sini
Wah judul tulisan ini panjang. Padahal maunya pendek. Biar bisa ditangkap intinya.

Bukan asal panjang. Saya buat ini sebagai inti dari tulisan saya. Saya setuju dengan pernyataan yang menjadi judul itu. Saya yakin setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Hanya saja jalan keluar ini tidak mudah ditemukan. Mesti ada kerja keras. Kadang-kadang mandeg sehingga harus berhenti sejenak dan mencari inspirasi.

Saya baru saja membersihkan flashdisk saya yang kena virus. Kebetulan ada antivirus baru sehingga saya gunakan untuk membersihkan flash disk ini. Woao...ternyata ada virusnya. Saya sempat khawatir, jangan-jangan dokumennya terhapus juga. Ternyata tidak.

Antivirus itu hanya membuat virus tidak berfungsi. Dia dikarantina layaknya hewan berpenyakit menular. Kekhawatiran saya sirna setelah saya cek dokumen itu masih ada.

Ini satu contoh bagaimana persoalan dan jalan keluarnya. Setiap orang pasti pernah mengalami persoalan, dan juga jalan keluarnya. Persoalan dari kecil sampai besar ada jalan keluarnya.

Persoalan berikut adalah mencari jalan keluar. Ini yang kadang-kadang bikin orang stres. Jalan keluarnya buntu, stres. Seperti saya yang mengisi Sudoku di Kompas, kadang-kadang stres.

Tetapi, saya tetap senang. Mengapa? Karena saya berpegang pada keyakinan bahwa, persoalan ini ada jalan keluarnya. Keyakinan inilah yang menguatkan saya setiap kali ada persoalan.

Maka, bagi saya keyakinan ini adalah harga mati. Saya boleh menamakan keyakinan akan jalan keluar ini sebagai cara jitu menghadapi persoalan hidup.

Keyakinan memang menjadi harga mati. Keyakinan ini kadang-kadang kuat, melebihi pikiran manusia. Jangan heran jika ada yang tak percaya dengan keyakinan itu dan akhirnya putus asa. Tidak gampang memang. Tetapi kalau berusaha pasti bisa. Yakinlah bahwa setiap persoalan ada jalan keluarnya.

PA, 4/3/13
Gordi




Powered by Blogger.