Halloween party ideas 2015
Showing posts with label POLITIK. Show all posts

Bincang-bincang soal asap. Asap yang terkenal beberapa hari belakangan adalah asap di Riau. Asap itu terbang sampai ke Singapura dan Malaysia. Asap itu dibawa angin. Angin itu rupanya bukan saja bertiup begitu saja. Angin yang membawa asap itu justru merugikan Singapura dan Malaysia. Rakyat di sana terkena penyakit gangguan pernapasan. Beberapa tempat bahkan sama sekali tidak layak untuk kehidupan. Masyarakat di sini tidak bisa bernapas dengan baik. Oleh sebab itu, pemimpin di sana melarang warganya keluar rumah.

Asap memang bisa berbahaya. Asap bisa membuatakan mata manusia. Cara kerjanya membabi-buta. Tidak kenal orang. Siapa saja yang terkena asap akan menjadi buta. Entah buta selamanya atau buta sesaat. Yang jelas mata sama sekali tidak berdaya kala asap menyelimutinya. Asap membuat manusia tak berdaya.

Ketakberdayaan itulah yang dialami warga Singapura dan malaysia. Ada analisis dari Riau 24.com bahwa kerugian akibat asap ini diperkirakan US$ 1 miliar. Angka ini besar. Maka, tak heran jika Singapura merasa tak berdaya dengan kerugian ini. Asap memang membuat Singapura dan malaysia menjadi tempat yang tidak aman untuk bekerja. Pekerja tidak nyaman beraktivitas. Bukan saja pekerja, pendatang pun diperkirakan akan menurun. Situasi ini ternyata membuat pendatang juga tak berdaya. Meski mereka sebenarnya bisa berkunjung ke dua negara ini. Tetapi, situasi di sana membuat mereka tak berdaya. Seolah-olah biaya besar yang mereka siapkan tak mampu menghadapi tantangan asap ini. Asap memang membuat segalanya menjadi kabur.

Asap bagi masyarakat tradisional menjadi sebuah berkat. Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada yang dibakar. Di kampung-kampung api menjadi sesuatu yang dirindukan. Api bisa mengusir kedinginan di pagi hari. Anak sekolah sebelum berangkat ke sekolah biasayanya menghangatkan tubuh mereka di dekat tungku api. Sementara itu, ibu-ibu memasak, entah air, nasi, sayur, dan lauk. Api menjadi sumber kehidupan. Dari sana muncul bekal hidup di pagi hari. Api juga menjadi penghangat badan dikala diselimuti suhu dingin. Api beserta asapnya juga menjadi tempat memanggang sate dan jenis daging lainnya. Api di sini menjadi sumber penghidupan.

Asap bagi para petani juga menjadi tanda dimulai pembukaan kebun baru. Kayu-kayu dan rumput yang sudah dipotong dimasukkan dalam api. Dari sini muncul asap. Api ini membakar semua dedaunan dan kayu yang ada. Daun-daun mentah yang berwarna hijau biasanya menjadi sumber asap. Asap ini kadang menjulang tinggi ke awan. Dari jauh tampak asap ini. Dan, semua yang melihatnya tahu, di sana ada pembukaan kebun baru.

Kebun baru biasanya bertanah subur. Itulah sebabnya tanah itu ditanami benih yang bermanfaat bagi petani. Entah sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, jagung, kedelai, dan sebagainya. Menurut cerita para petani, abu hasil bakaran rerumputan akan menjadi sumber kesuburan tanah. Jadi, abu itu membawa pupuk untuk kesburan tanah. Asap bagi petani menjadi tanda dimulainya sebuah perjuangan. Berjuang untuk menanam dan membesarkan tanamannya.
Asap bagi petani emmang beda dengan asap yang ada di Riau. Asap di Riau merupakan hasil bakaran hutan. Semua tahu, asap ini membawa sial. Sial bagi Indonesia karena hutannya berkurang. Lingkungan alamnya rusak. Habitat makhluk hidup rusak. Bahkan boleh jadi beberapa satwa hutan juga ikut menjadi asap. Asap yang sama membawa kerugian bagi Singapura dan Malaysia.

Asap dari Riau-Indonesia ini pun bukan lagi seperti asap para petani. Asap ini membuat nama Indonesia menjadi bahan ejekan. Dan memang ada yang emngejek kalau orang indonesia tidak bisa menjaga alamnya. Hampir setiap tahun indonesia mengirim asap kepada negeri tetangga. Seharusnya Indonesia malu dengan ejekan ini. Tetapi Indonesia malah diam saja. Bahkan hanya bisa meminta maaf. Padahal semua tahu, minta maaf tidak akan menyelesaikan persoalan secara memadai. Minta maaf hanya meredakan kemarahan sesaat. Dan, Indonesia gemar meminta maaf pada negeri tetangga.

Asap ini semestinya membuat Indonesia giat berjuang seperti para petani mengelola alamnya. Tetapi, indonesia rupanya tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Alam tetap dibiarkan merana bahkan bila perlu dihabiskan saja dengan cara membakar. Padahal membakar hutan meruapakan awal kehancuran habitat hutan. Indonesia dituding mendiamkan saja perusahaan asing yang turut menjadi penyebab kebakaran hutan ini. Bukankah seharusnya jika ada kasus itu, perusahaan itu diberi sanksi yang tegas? Lagi-lagi Indonesia suka mengulur waktu, tidak tegas dalam memberi sanksi. Jangan heran jika beberapa tahun belakangan persoalan asap dibiarkan saja. Dari tahun ke tahun muncul bahaya asap tetapi tidak ada penanggulangan berjangka panjang. Menyemprotkan air atau hujan buatan hanyalah solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang mesti ada peraturan yang tegas, jelas, dan ketat sehingga kasus pembakaran hutan tidak akan terulang lagi.

Ah ini hanya obrolan soal asap. Ada asap berarti ada api. Sekarang asapnya sudah jelas, mengarah ke Singapura dan Malaysia. Betapa masyarakat di sana menderita karena asap ini. Tetapi, Indonesia belum juga menemukan sumber apinya. Apinya sudah terlihat tetapi yang membesarkan apinya tidak jelas. Ada yang ditangkap dan diduga sebagai penyebar api tetapi bukankah tahun sebelumnya juga ada yang ditangkap? Menangkap oknum tidak menjamin tidak terulangnya kasus pembakaran hutan. Jadi, masihkah Indonesia mempertahankan tradisi meminta maaf pada negeri tetangga tanpa menanggulangi kasus pembakaran hutan dalam jangka panjang? Jangan-jangan Indonesia suka diejek sehingga berbagai ejekan tentang buruknya penyelesaian kasus asap tidak membuat Indonesia menuntaskan kasus ini.

PA, 26/6/13
Gordi



Gambar dari google, www.tempo.co
Kalian dipercayakan menjadi wakil kami
Kami rakyat kecil
Semula kami bingung
Untuk apa? Mengapa?
Kalian datang membawa janji pengharapan

Kalian akan sejahtera
Kalian akan menikmati biaya pendidikan
Kalian akan mendapat sumbangan
Jalan-jalan desa diaspal
Kelak kalian akan menjual hasil tanam ke kota

Demikian sebagian janji kalian
Kami ingat janji itu
Kami mengharapkan janji itu
Kami berpikir memang itu akan jadi nyata

Sekian lama kami menunggu
Janji itu tidak ada hasilnya
Kalian ternyata mengajari kami mengobral janji
Kalian bilang kami akan bekerja untuk kalian
Nyatanya kalian selalu bepergian ke luar kota dan keluar negeri

Kami kadang-kadang kesal dengan perilaku kalian
Mentang-mentang sudah ada jaminan gajinya
Seenaknya saja bepergian ke mana-mana
Kami terpaksa melabeli kalian pengisap uang rakyat
Menghabiskan uang rakyat

Kami rakyat bekerja sampai berkeringat
Lalu kami diberi formulir pengisian pajak
Kami membayar pajak
Kami taat pada peraturan negara
Kami tidak mengisap uang negara
Tetapi mengapa kalian menghabiskan uang untuk bepergian ke mana-mana?

Kami tetap bekerja di kebun sewaktu liburan
Kalian entah mengerjakan apa
Jangan-jangan bepergian ke mana-mana
Membawa mobil dan menabrak orang

Yang jelas kami tahu
Kalian bisa menambah jadwal liburan
Hari pertama seuasai libur kalian tidak ada

Jangan mengajari kami untuk mengorupsi waktu

PA, 4/1/13
Gordi

foto oleh afdhal fauzy
Konflik antar-warga masih melanda masyarakat Indonesia. Ada-ada saja penyebabnya. Mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi, perbatasan, intoleransi, dan sebagainya. 

Daerah yang sering terjadi konflik adalah Poso, Lampung, dan Papua. Di ketiga daerah ini, masyarakatnya merasa tidak aman. Bukan berarti di daerah lain aman. Konflik juga melanda daerah lain. Hanya saja frekuensinya tidak sebesar ketiga daerah ini.

Poso kembali bergejolak. Padahal belum lama ini terjadi konflik. Akar konflik di sini agak rumit. Ada yang bilang di sinilah sarang teroris. Ada juga yang mengatakan di sini rawan provokasi. Ada yang tidak suka keragaman budaya dan agama.

Demikian juga dengan Lampung. Di sini ada keragaman suku dan agama. Ada yang iri dengan keberhasilan pendatang. Gara-gara masalah kecil, emosional massa tersulut. Letuslah konflik besar.

Di Papua masalahnya sering dikaitkan dengan kehadiran Freeport. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah mengapa rakyat Papua masih miskin sementara daerah mereka kaya tambang dan busaya serta pariwisata?

Jangan-jangan kekayaan tambang itu dikeruk sebesarnya oelh pihak asing dan pemerintah pusat. Rakyat tidak puas dengan semua ini akhirnya meletuslah konflik berkepanjangan. Tiada akhir.

Kapankah rakyat kita merasa aman???

PA, 21/12/12
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana apda 21/12/12

Foto ilustrasi oleh SanjiOne
PSSI dan KPSI. Dua lembaga yang tampak sama tinggi. Lembaga bergengsi. Satu bentukan sah. Satu lagi antara sah dan tidak sah. Sulit menentukan mana yang sah dan mana yang tidak. Untuk memudahkan pemahaman, kita tinjau saja umur mereka. PSSI lebih lama.

Kalau mengenai sah dan tidak untuk saat ini relatif. Sebab, keduanya menganggap diri sah. Keduanya tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk menilai. Keduanya mengklaim sah. Program mereka dianggap resmi. Masyarakat hanya menonton saja. Kalau pun protes tak ada gunanya.

Tetapi lebih baik ‘menggonggong’ daripada diam saja.

Saya teringat akan anjing kesayangan yang tak henti menggonggong ketika menjaga tupai di atas pohon. Dia menggongong dengan setia di bawah pohon. Tujuan gonggongan ini adalah menunggu sang majikan. Juga untuk menjaga tupai itu agar tidak lari. Jadi, tidak ada salahnya jika kita menggonggong.

Kalau mau selesaikan masalah antara PSSI dan KPSI, salah satu jalannya adalah berdamai. Tetapi mulai dari mana? Jika kedua lembaga ini tidak membuka ruang bagi yang lain, damai itu akan sulit.

Ketika dua orang tidak mau kalah maka selama keduanya masih kuat tidak ada yang kalah. Tentu KPSI dan PSSI bukan lembaga yang adu kuat. Keduanya adalah lembaga yang mengelola sepak bola. Tetapi, melihat sepak terjang keduanya, rasa-rasanya tidak salah jika kita menilai mereka sedang membuat adu kekuatan. Keduanya tidak mau kalah.

Salah satu kunci untuk berdamai adalah mau rendah hati menerima yang lain. Selama kita mengunci diri, yang lain sulit masuk. Demikian jika PSSI atau KPSI mengunci diri, yang lain sulit masuk. Dengan demikian tidak ada perdamaian antara keduanya.

Dampak selanjutnya besar. Sepak bola Indonesia tidak diakui di mata internasional. Masyarakat tidak bisa menikmati permainan Indonesia. Mungkinkah ini jalan terbaik? Belum tentu. Tetapi, melihat kengototan kedua lembaga pengurus sepak bola, rasa-rasanya jalan terakhir menjadi pilihan.

Indonesia memang tidak mengehndaki itu. Tetapi pilihan itu jatuh dari atas. Pengurus sepak bola dunia-lah (FIFA) yang akan menjatuhkan. Jalan ke sana semakin dekat.
Sikap mau menang sendiri tidak bisa lagi dipertahankan jika pihak ketiga masuk. Jika FIFA masuk, Indonesia tidak bisa berbuat banyak lagi. FIFA masuk bukan tanpa alasan. Ini wewenang mereka sebagai induk. Jika mereka memberi waktu untuk berbenah tetapi tidak ada hasil, lebih baik kita berbenah diri dulu. Kita mau tidak mau menerima keputusan dari atasan.

PA, 19/12/12
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 19/12/12

foto ilustrasi oleh PKS Beji
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) kini menjadi ajang rebutan. Rebut gelar, rebut posisi, rebut popularitas, rebut kekuasaan, dan rebut yang lainnya. Ya pilkada menjadi ajang untuk rebut.

Mengapa rebut? Lihat saja di Jawa Barat, ada 5 pasangan yang memperebutkan kursi kepala daerah. Tentu amat mulia perjuangan mereka. Iming-iming menyejahterakan rakyat pun menjadi jargon utama. Satu pasangan datang dengan programnya. Demikian pula empat lainnya. Tak salah. Tak keliru pula. Semuanya membeberkan program yang “menjual”.

Mengapa mesti direbut? Tak tanggung-tanggung 5 pasangan. Kalau hanya 2 saja tentu rakyat gampang menentukan pilihannya. Kalau 5 malah mengaburkan pemilih. Tak gampang memilih yang terbaik dari 5. Suara yang masuk pun akan pecah. Boleh jadi lama baru mendapatkan suara mutlak.

Di Jakarta kemarin hanya ada 2 kandidat. Rakyat DKI pun gampang memilih. Tak sulit membedakannya. Beda dengan Jawa Barat yang 5 kandidat.

Sungguh ini sebuah pemborosan. Meski kelimanya berkaliber sesuai visi-misi, sebaiknya tak usah merebutkan 1 kursi. Yang lain mestinya mengarah ke bidang lain. Jangan hanya ke kandidat kepala daerah saja.

Masalahnya tidak ada yang mau mundur. Tidak ada yang mau merelakan jabatan kandidat ini diserahkan kepada yang lain. Semuanya ingin maju. Padahal kalau mau mengabdi rakyat ada banyak pilihannya. Tak harus jadi kepala daerah.

Sikap semacam ini tentu masih mahal di negeri kita ini. Tak banyak sosok yang mau bekerja di belakang layar. Maunya tampil sebagai pejabat. Padahal menjadi tukang sapu juga masuk kategori mengabdi sesama. Kita tunggu saja siapa yang akan maju dan menjadi kepala daerah. Semoga ia betul-betul menjadi pelayan rakyat yang total tanpa iming-iming.

PA, 18/12/12
Gordi


*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 18/12/12

foto oleh inikabarku
Kalau ada pertanyaan, siapa yang lebih besar di antara Anas dan Ruhut? Jawabannya pasti Anas.

Mengapa demikian? Lihat saja di lapangan. Anas mengusir Ruhut. Ruhut seperti tak berdaya. Keduanya sama-sama anggota partai demokrat. Punya posisi masing-masing. Anas sang ketua dan Ruhut kepala departemen komunikasi.

Tetapi kalau di media, Ruhut lebih besar. Ruhut sering tampil di media massa untuk mengomunikasikan perhal partainya. Dia memang bertugas untuk itu.

Anas juga tampil di media massa. Hanya saja bukan untuk membicarakan partai. Paling tidak Anas sering diincar wartawan untuk bertanya tentang partainya.

Ternyata di partai, Anas lebih besar dari Ruhut. karena besar, Anas bisa mengusir Ruhut. usir mengusir jadinya. Meski Ruhut datang atas restu Pak SBY, dia tetap diusir. Memang Ruhut kecil dibandingkan Anas.

Di partai politik orang besarlah yang berkuasa. Dia yang berhak mengatur posisi anggotanya. Ruhut berkaliber dalam bidangnya, komunikasi, tetapi toh dia diusir oleh orang besar. Orang besar memang punya kekuasaan. Kekuasaan utama adalah mengamankan partainya termasuk dirinya.

Pertanyaannya, kalau Ruhut diusir apakah posisi Anas aman? Ataukah Anas juga akan berjanji untuk gantung di Monas jika dia salah mengusir Ruhut? kita tunggu kejutan berikutnya.

PA, 15/12/2012
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 15/12/2012

bendera bintang kejora, foto Jhon M Yogi
Belakang ini, nama Bintang Kejora agak tenar di media massa. Sebetulnya sudah lama nama ini didengar. Hanya saja beberapa waktu belakangan nama ini tenar beserta dengan persoalannya. Bintang Kejora, nama bendera yang dikibarkan di beberapa daerah di Papua. 

Saya tidak tahu banyak tentang Bintang Kejora dan segala permasalahannya. Mungkin media massa banyak mengulasnya namun saya kurang mencermatinya. Yang saya tangkap hayalah satu yakni pengibaran bendera itu membuat pejabat Indonesia geram. Tak jarang terjadi aksi berdarah antara aparat dan masyarakat sipil yang mengibarkan bendera ini. Data pastinya bisa dicari di internet.

Sebenarnya apa yang salah dengan pengibaran Bintang Kejora ini? Ada isu-isu bahwa pengibaran itu terkait dengan separatisme. Maksudnya, masyarakat yang mengibarkan bendera itu mau memerdekakan diri. Ini berarti mereka mau berpisah dengan NKRI. Namun, benarkah demikian? Apakah rakyat Papua mau memisahkan diri dari NKRI? Isu semacam ini bisa menjadi heboh di tengah kondisi masyarakat Papua yang jauh dari sejahtera.

Lagi-lagi kondisi ini digambarakn media. Saya belum pernah ke sana. Hanya bisa baca di koran dan media elektronik tentang masyarakat Papua yang kondisi sosial-ekonominya tidak memuaskan. Harga bahan pokok tinggi, sarana transportasi belum memadai. Ini juga terkait kondisi topografi Papua yang kebanyakan rawa-rawa sehingga sulit dijangkau angkutan darat. Perusahaan Amerika, Freeport yang mengelola tambang di Papua sama sekali belum bisa menyejahterakan rakyat Papua.

Kembali ke masalah Bintang Kejora. Bintang Kejora adalah identitas budaya. Pada zaman Presiden Gusdur (1999 - 2001), bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan. Asal, tingginya tidak melebihi kibaran bendera negara, Merah Putih. Tepatnya bendera ini dinaikkan hingga 10 sentimeter di bawah tinggi kibaran Merah Putih. Demikian benang merah bincang-bincang bersama mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolumbia, Michael Menufandudalam acara Kaum Muda Gusdurian di The Wahid Instute, Jumat, 6/1/2012. Menurut Mikael, kibaran bendera Bintang Kejora sama sekali tidak ada kaitan dengan isu-siu separatisme, pemisahan dari NKRI. Boleh jadi istilah itu diciptakan oleh ‘Jakarta’. Maksudnya, istilah itu diciptakan oleh aparat.

Masyarakat Papua tidak menjadikan kibaran Bintang Kejora sebagai langkah awal untuk berpisah. Bendera itu adalah identitas budaya. Jika demikian, kibaran bendera itu tidak perlu diprotes. Kalau dihentikan malah melanggar hak masyarakat untuk menekspresikan identitas budayanya.

Saya kurang tahu, bagaimana peraturan pengibaran bendera dalam sebuah negara. Apakah kibaran itu hanya boleh untuk bendera negara yang berlaku secara nasional? Di mana-mana, saya lihat ada juga bendera partai politik. Di jalannan di ibu kota, bendera partai berkibar sepanjang jalan. Apakah bendera-bendera partai itu lebih layak dikibarkan ketimbang bendera Bintang Kejora? Toh, keduanya ada persamaan yakni mau mengekspresikan identitas masing-masing. Satunya identitas budaya, lainnya identitas politik.

Persoalan kibaran bendera Bintang Kejora tidak terlalu menarik ketimbang membicarakan kondisi sosial-ekonomi rakyat Papua. Lebih baik memperbaiki situasi ini daripada sibuk dengan masalah kibaran bendera. Negara boleh menuntut penurunan Bintang Kejora namun apakah yang dibuat negara ketika rakyat Paua dijajah oleh bangsa asing melalui kehadiran perusahaan tambang di sana? Apakah negara hanya mampu mengirimkan sejumlah aparat keamanan? Di manakah keberpihakan negara atas kondisi rakyatnya? Pertanyaan ini tidak untuk dijawab serentak namun perlu menjadi bahan pertimbangan bersama. Saudari/a kita di Papua menunggu partisipasi dan kerja sama seluruh rakyat negeri ini untuk mengubah situasi sosial-ekonomi mereka. Mari bersatu kitorang basudara….

CPR, 10/1/2012
Gordi Afri


foto dari google
DPR kini sedang menyosialisasikan tata cara berpakaian khususnya bagi staf perempuan, untuk berbusana lebih sopan, tanpa menggunakan rok mini di kompleks parlemen ini.

Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung hal ini merupakan bagian dari pembenahan dalam rangka perbaikan citra DPR. Aturan yang merupakan arahan badan urusan rumah tangga (BURT) kepada sekjen DPR ini ditujukan juga kepada semua staf dan anggota DPR. Jadi, bukan hanya sekretaris dan staf yang diperbaiaki cara berpkaiannya, cara berpakaian anggota DPR juga turut diperbaiki.

Pertanyaannya adalah apakah citra DPR bisa diperbaiki dengan tata cara berpakaian ini?
Bisa diduga bahwa citra DPR kini sedang buruk di mata masyarakat bukan karena stafnya berpakaian seksi tetapi karena masalah korupsi. Jadi, sebenarnya yang perlu dibenah adalah perubahan perilaku korup ini. Meskipun ini tidak dilakukan secara kolektif namun perilaku seorang anggota DPR yang korup bisa merusak citra anggota DPR secara keseluruhan. Citra buruk karena perilaku korupsi memang bukan hanya milik DPR, kaum eksekutif dan yudikatif juga hampir kena.

Daripada sibuk mengurus rok mini di DPR, lebih baik mereka mengubah perilaku korup yang melekat dalam diri beberapa anggotanya. Bukan tidak mungkin giliran berikutnya ada yang tertangkap korup. Pakaian seksi sama sekali tidak akan mengubah perilaku korup. Pakaian seksi juga sbenarnya merupakan bagian dari seni. Memang perludikritisi karena seni juga mengenal tempat. DPR bukan tempat yang baik untuk pameran seni berpakaian seksi.
Sayang sekali bahwa kebiasaan untuk menilai seni dari berpakaian rok mini belum dimiliki oleh sebagian orang sehingga ada interpretasi macam-macam terhadap perempuan berpakaian mini.

Berpakaian sopan memang merupakan bagian dari budaya timur dan budaya bangsa. Salut dengan anggota DPR yang menjunjung tinggi nilai budaya ini. Lebih bagus lagi kalau menjunjung tinggi nilai budaya lain seperti tidak korupsi. Budaya tidak korup inilah yang bisa mengembalikan citra DPR dan membangun kesejahteraan bangsa. Akhirnya, marilah kita semua berubah bukan hanya soal luar (berpakaian seksi) tetapi juga soal dalam (perilaku sehari-hari).

Semoga, dengan pakain yang tidak seksi di DPR, penghuni rumah ini juga tidak mempunyai ‘dompet rancangan UU ’ yang seksi. Jika bisa diselesaikan dengan cepat mengapa harus ditampung di ‘dompet’?


CPR, 6/3/2012
Gordi Afri

foto oleh wahyou_jp
Gubernur sebagai pemimpin masyarakat hendaknya tidak tinggal diam di kantor tetapi turun ke lapangan merasakan kehidupan rakyat kecil.

Terkait dengan pilkada Jakarta, ada beberapa hal yang mesti dirasakan juga oleh gubernur nanti. Masyarakat mengharapkan agar gubernur dan rakyat sama-sama merasakan hal itu. Bukan sekadar merasakan tetapi bagaimana mencari solusinya.

Masalah banjir misalnya. Semua warga sudah tahu kapan banjir itu menghantui mereka. Dan pada saat itu rakyat menjadi korban. Kantor-kantor pemerintah sampai istana juga terkena imbasnya. Tetapi masyarakat seolah-olah tinggal sendiri. Solusi yang diajukan pemerintah bersifat reaksif. Bantuan sementara untuk masyarakat biasanya hanya dengan memberi sembako dan peralatan transportasi lainnya. Nah, sampai kapan hal ini menjadi sandaran? Bukankah kalau ada solusi permanen, masyarakat Jakarta tidak sibuk lagi dengan masalah klasik ini?

Karena banjir merupakan masalah besar di Jakarta maka penanganannya mesti melibatkan semua warga Jakarta. Beberapa ahli tata kota baik dari dalam maupun luar negeri pernah mengatakan penanganan banjir mesti ada keterlibatan warga. Hanya dengan itu masalah banjir bisa diatasi.

Sebagai langkah awal, warga sebaiknya dilibatkan untuk menjaga pemukiman mereka agar tetap bersih. Pemandangan yang tidak asing kiranya ketika di mana-mana ada sampah berserakan. Lebih parah lagi ketika sampah itu menghambat perputaran air di setiap selokan. Kunci utama masalah banjir adalah masalah kelancaran saluran air.

Oleh karena itu, mesti ada gerakan dari atas yang didukung oleh gerakan dari bawah untuk menuntaskan masalah sampah yang menjadi biang keladi masalah banjir. Gerakan ini bukanlah gerakan sekali jadi tetapi membutuhkan proses. Tidak gampang menggerakkan warga Jakarta yang sudah sedemikian kehilangan kepekaan akan masalah sampah untuk berubah sikap. Tetapi seperti kata pepatah, tak ada yang sulit selain memulai mengerjakannya.

Tulisan ini terkesan ideal belaka namun saya yakin kalau masalah sampah diatasi, kehidupan warga Jakarta akan berubah. Oleh karena itu, kepada para calon gubernur dan wakil gubernur, harapan kami ini disampaikan. Kami akan mendukung dengan banyak bekerja (bukan banyak berkata-kata) jika bapak-bapak sekalian memulainya. Kami orang kecil kadang-kadang membutuhkan dukungan dari bapak-bapak yang mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan bersama.

CPR, 25/3/2012
Gordi Afri

foto oleh Melda Sitompul
Sebentar lagi pilkada DKI akan berlangsung. Ada berjuta janji dan berlaksa kata-kata yang akan didengarkan menjelang pilkada.

Saya mencoba melihat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan oleh calon gubernur ketika menjabat nanti. Hal yang akan diutarakan di sini muncul dari kondisi ril masyarakat Jakarta saat ini.

Jakarta sebagai kota khusus yang menjadi ikon negara Indonesia semestinya setara dengan ibu kota negara lainnya. Orang bilang melihat Indonesia itu seperti melihat Jakarta. Kalau Jakarta nyaman dan indah maka orang menilai Indonesia itu indah dan nyaman. Kalau orang Jakarta ramah maka orang akan menilai Indonesia itu ramah. Sebaliknya kalau Jakarta itu kotor, polusi, macet maka seperti itulah gambaran orang tentang Jakarta.

Maka, tidak salah kalau beberapa hal berikut menjadi perhatian untuk calon gubernur Jakarta.

Pertama, perbaikilah jalan-jalan di Jakarta. Banyak warga Jakarta mengeluh dengan kondisi jalan yang berlobang, rusak, sempit, macet, dan sebagainya. Jalan di Jakarta menjadi salah satu faktor penentu lancarnya perputaran perekonomian. Kalau ke pasar macet maka orang akan malas ke pasar. Kalau ke tempat kerja harus melalui kemacetan maka orang akan berdesak-desak merebut peluang untuk tiba di tempat tujuan. Banyak akibat yang ditimbulkan hanya dengan merebut jalan.

Kedua, ciptakan Jakarta yang nyaman. Akhir-akhir ini masyarakat Jakarta diresahkan dengan aksi premanisme, perampokan, pencurian, dan kejahatan lainnya di Jakarta. Masyarakat tahu hanya pemerintah yang memiliki kekuatan personel keamanan yang bisa menghadapi premanisme semacam ini. Entah bagaimana caranya masyarakat hanya mengharapkan satu hal yakni rasa aman. Masyarakat tak bisa memahami jika polisi diam saja atau lambat menangani kasus pencurian. Pertanyaan masyarakat adalah ke mana saja aparat keamanan ini? Apakah berpangku tangan saja atau membiarkan??

Ketiga, buatlah urusan administrasi yang tidak berbelit panjang. Urusan KTP elektronik yang baru saja dilaksanakan membuat sebagian masyarakat bosan. Pelayanan di kantor-kantor administrasi mulai dari kelurahan dan jajarannya kadang-kadang lambat. Bayangkan betapa bosannya masyarakat ketika tidak dilayani dengan baik oleh aparat. Semua orang tahu warga Jakarta mau cepat-cepat sehingga baiklah kalau urusan administrasi dipercepat. Kalau bisa cepat mengapa mesti dibuat lambat?

Keempat, layanilah masyarakat miskin di kota Jakarta. Banyak orang miskin dari daerah mencari rezeki di Jakarta. Mereka mendengar cerita kalau banyak uang negara beredar di Jakarta. Mereka juga ingin mendapat uang untuk melanjutkan hidup ini. Meski sampai di Jakarta mereka hanya mendorong gerobak, meminta-minta, dan sebagainya, mereka mau bertahan hidup di Jakarta. Oleh karena itu, aparat pemerintah sebaiknya memperlakukan mereka seperti manusia lainnya. Kiranya tak etis kalau mereka ditolak dengan kasar atau diusir dengan paksa tanpa memberi pekerjaan. Tak etis juga kalau menggunakan kekuatan pol pp untuk menjebloskan mereka ke panti sosial.

Kelima, berilah fasilitas kepada pedagang kaki lima atau rakyat lainnya yang mendirikan rumah di atas tanah sengketa. Rasanya tidak adil kalau lapak pedagang kaki lima digusur lalu mereka dibiarkan mencari tempat berlindung. Mereka tentu butuh naungan sementara untuk bertahan hidup. Baik kalau masalah pemindahan disiapkan jauh-jauh hari sehingga tidak menimbulkan aksi penolakan dari masyarakat.

Ini hanya beberapa masalah yang dialami masyarakat DKI. Masalah lain tentu saja ada. Kiranya calon gubernur yang terhormat mendengar keluh-kesah kami warga Jakarta.

CPR, 25/3/2012
Gordi Afri

foto oleh Didi Sadli
Spanduk-spanduk kampanye. Spanduk bertebaran di kawasan ibu kota. Isinya berupa ajakan untuk memilih calon gubernur dan wakilnya. Di situ ada gambar/foto keduanya. Meski hanya ada 2 kandidat, spanduknya banyak dan bermacam-macam.

Memang demikianlah caranya supaya bisa terkenal. Media publik seperti spanduk bisa dilihat oleh banyak orang. Siapa yang memajang fotonya di spanduk seperti spanduk kampanye ini, siap menjadi orang terkenal. Demikianlah yang dibuat oleh tim sukses pemilihan kepala daerah ibu kota.

KAndidatnya ingin menjadi orang yang terkenal. Minimal dikenal oleh lapisan masyarakat. Kalau sudah kenal boleh jadi memilih dia menjadi kepala daerah. Inilah harapan dari calon kandidat.

Hari ini spanduk-spanduk itu dibersihkan, diturunkan dari pajangan. Luar biasa banyaknya. Padahal bukan masa kampanye. Beginilah manusia ingin mencari lebih. Lebih banyak waktu dari masa kampanye yang diberikan. Tujuannya tidak lain yakni agar lebih dikenal. Kalau dikenal karena prestasinya baiknya pasti akan dipilih. KAlau terkenal karena kurang prestasinya pasti akan diabaikan.

Tetapi siapa yang tahu prestasi sebenarnya kalau masyarakat hanya melihat spanduknya saja. DI spanduk tampak yang baik-baik, ganteng, menjanjikan, juga janji-janji kampanye. tetapi ini tidak mewakili keselruhan kepribadian sang kandidat. itu hanya yang terlihat. Yang tidak terlihatnya tidak ada yang tahu.

Manusia kadang terpesona dengan apa yang dilihat, yang tampak. Padahal yang tidak terlihat, boleh jadi, jauh lebih baik dari yang dilihat. Sayangnya manusia hanya ingin melihat yang tampak saja. Memang yang tidak kelihatan hanya bisa dilihat oleh mata hati, bukan mata indra.

Spanduk-spanduk itu memang bisa diturunkan. Biarkan masyarakat mencari yang tidak kelihatan dari sang kandidat. Biarkan pemandangan publik tidak diramaikan oleh spanduk-spanduk itu.

PA, 29/8/2012
Gordi Afri

foto oleh BobWeber
Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, setiap orang seolah-olah berhak menghujat sesamanya. Saling hujat inilah yang muncul dalam kampanye calon Gubernur/Wakil Jakarta. Hujat menghujat pada prinspinya kurang bagus. Dalam artian tidak membangun. Malah merendahkan. Melihat sisi lemah. Atau boleh jadi mencari-cari alasan untuk menghujat lawan.

Ahok, calon wakil gubernur tak luput dari hujatan. Figur publik memang kadang-kadang dihujat begitu saja oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Entah apa motifnya, hujatan semacam ini ternyata mengundang perhatian publik. Banyak orang yang kritis menilai hujatan semacam ini.

Orang pun akan melihat benarkah hujatannya itu? Apa motif hujatannya itu? Apa yang terjadi jika ada hujatan balik?

Ahok dihujat tetapi kini dialah yang akan menjadi pemimpin. Pendamping atau rekan kerja Jokowi. Hujatan ternyata tidak melumpuhkan si terhujat. Hujatan memang hanya retorika saja. Kenyataannya boleh jadi jauh dari hujatan. Dan inilah yang terjadid engan Pak Ahok.

Boleh jadi penghujat Ahok kini kebakaran jenggot. Hujatan mereka tidak menyurutkan niat publik untuk memilih pasangan Jokowi dan Ahok. Menghujat ternyata bukanlah model kampanye yang sehat. Boleh jadi saling hujat atau menghujat hanyalah cari sensasi saja. Sensasi yang ternyata membuka pikiran publik untuk menilai kecerdasan penghujat.

PA, 20/9/2012
Gordi Afri

Politik sering didekatkan dengan korupsi. Inilah yang kadang-kadang terekam dalam benak masyarakat.

Rekaman itu muncul dari drama politikus yang tersandung korupsi. Padahal koruptor bukan hanya dari kalangan politikus. Kadang-kadang pengusaha juga tak luput dari penyakit korupsi. Kadang-kadang juga penguasa terlalu dekat dengan penguasa yang boleh jadi sekaligus politikus.

Menjadi anggota partai politik saat ini mengemban tugas berat. Memulihkan citra politikus yang telanjur didekatkan dengan koruptor. Dan, memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dalam perjuangan ini tak jarang yang terjadi adalah sebaliknya. Perjuangan demi keluarganya dan perjuangan demi partainya.

Setiap partai politik punya cita-cita sebagai ideal yakni memperjuangkan kebaikan bersama. Termasuk di dalamnya kesejahteraan masyarakat. Ini cita-cita mulia. Dan, inilah yang ditunggu masyarakat luas. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Semakin banyak parpol, semakin banyak amsyarakat yang belum sejahtera.

Kita boleh menduga, anggota partai bekerja keras untuk partainya saja, untuk keluarganya saja. Sedangkan untuk rakyat luas tidak diperhatikan. Beginilah nasib jadi rakyat biasa. Menunggu perhatian dari yang kuasa. Boleh saja mengusulkan untuk ini itu tetapi kalau anggota partai cuek mau bilang apa. Menunggu dengan harapan kosong. Harapan biasanya dikabulkan tetapi dalam politik, harapan bisa jadi kosong. Janji memang mudah diucapkan dan sulit diwujudkan.

Partai politik semakin jauh dari kehidupan rakyat. Padahal partai itu dibentuk untuk memperjuangkan kehidupan rakyat. Ini hanya obrolan tentang tema politik. Boleh jadi tak berisi tetapi patut ditulis. Biar tak jadi orang yang tak tahu politik.

PA, 3/12/12
Gordi

Powered by Blogger.