Halloween party ideas 2015
Showing posts with label SOSBUD. Show all posts

foto ilustrasi oleh  Paromita Deb Areng
Judul ini mungkin bombastis, keterlaluan. Tetapi baik jika disimak. Masa depan bangsa tak lain adalah anak-anak bangsa sendiri. Hari-hari ini di media muncul berita terkait anak-anak bangsa. Kekerasan seksual dengan berbagai bentuk dan waktu terjadinya. Mencuat satu kasus lalu muncul ekor yang lainnya. 

Masa depan bangsa memang terkait dengan anak-anak bangsa. Anak-anak bangsa adalah aset bangsa. Apa jadinya jika aset ini dirusak? Tentu masa depan bangsa terancam. Sebagaimana para pengusaha memelihara asset usahanya demikianlah bangsa harus memelihara asetnya sendiri.

Aset yang rusak menunjukkan bangsa ini rapuh dalam menjaga asetnya. Anak-anak telanjur dirusak. Apa jadinya masa depan bangsa ini?

Kasus kekerasan seperti diberitakan media hanyalah salah satu model perusakkan aset bangsa. Banyak model lain yang dialami anak bangsa sendiri. Dan ini hanya aset berupa anak-anak bangsa. Jika dihitung lagi dengan aset lainnya tambah banyak.

Menjaga aset inilah tugas bangsa ini. Namun tugas ini kadang tidak dikerjakan dengan baik. Kasus di atas menunjukkan buktinya. Bangsa ini kurang serius menjaga asetnya. Ini pertanda ada kemunduran dalam menjaga masa depan bangsa.

Namanya masa depan tetapi persiapannya sejak masa sekarang. Maka, jangan mengulur waktu jika mau menyelamatkan masa depan bangsa. Mulai sekarang. Jangan menunggu dan menunda. Sebutan masa depan mungkin juga membuat kita selalu berpikir itu kan masih jauh ke depan. Tidak! Masa depan itu adalah hasil dari masa sekarang. Dan bukan masa yang kita tunggu dengan berpangku tangan.

Maka, marilah pemangku dan masyarakat bangsa bersama-sama menyelamatkan aset bangsa ini. Jika tidak, keselamatan kita sebagai bangsa juga akan terancam.

Iseng-iseng setelah menengok perkembangan situasi negeri tercinta, Indonesia

Prm, 9/5/14
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana

foto ilustrasi oleh  hornedkid
Dunia politik selalu menarik untuk diperbincangkan. Memang politik itu menarik. Bukan saja bagi pengamat politik, para politikus, pengajar politik, tapi juga bagi masyarakat biasa, tukang parkir, kaum awam politik, pemasak, dan profesi lainnya. Politik terus dibicarakan dan selalu hangat untuk diperbincangkan. Kala duduk menunggu bus kota, kadang-kadang sulit membuka perbincangan dengan sesama calon penumpang. Coba saja sesekali menyinggung soal politik bukan tidak mungkin perbincangan akan terjadi. 

Bicara soal politik berarti bicara soal banyak hal. Tidak seperti bicara tentang topik tertentu, cakupan politik amat luas. Itulah sebabnya siapa pun bisa bicara soal politik. Waktu masih kecil saya sering mendengar perbincangan tetua masyarakat tentang politik. Mereka juga rupanya bicara soal politik. Saya heran kok bisa yah mereka bicara tentang politik?

Politik bukanlah bidang asing bagi masyarakat. Media sosial seperti TV dan koran selalu menjual isu politik sebagai menu hariannya. Juga perbincangan di ruang tunggu rumah sakit, terminal bus, stasiun kereta, ruang tunggu bandara, lobi hotel, dan tempat umum lainnya.

Di negara maju atau di kota yang nyaman politik diperbincangkan juga di taman kota atau meja bar. Mereka menikmati minuman dan makanan ringan sambil bicara soal politik. Mereka sengaja bertemu di sini hanya untuk menelusuri dunia politik.

Dunia politik adalah dunia yang luas. Itulah sebabnya juga menelusuri dunia politik bukanlah hal yang mudah. Pengamat politik mengaitkan dunia politik dengan teori politik. Politikus mengaitkan politik dengan kinerja praktis. Demikian juga dengan komentar politik lainnya. Setiap orang menafsirkan dunia politik sesuai minatnya. Maka, politik bukan lagi bidang yang khusus tetapi bidang yang luas.

Saking luasnya politik menjadi bidang yang sulit ditelusuri. Bahkan kalau pun ditelusuri hanya sebagiannya saja. Politik juga selalu berubah. Hari ini begini besok menjadi begitu. Dunia politik menjadi dunia yang labil. Itulah sebabnya dunia politik kadang dengan mudahnya membongkar sistem ekonomi, sosial, dan keamanan suatu negara. Dari bidang ini bisa juga menghambat ke bidang lainnya seperti pendidikan dan olahraga.

Kala dunia pendidikan dijiwai atau dirasuki dunia politik, saat itulah dunia pendidikan menjadi hancur. Mungkin dunia pendidikan Indonesia juga dirasuki dunia politik sehingga tidak maju-maju. Pengamat luar negeri kadang melihat dunia pendidikan Indonesia sebagai dunia yang maju-mundur dan tidak pernah akan maju. Dunia pendidikan Indonesia selalu labil, mudah diubah-ubah. Oleh karena itu dunia pendidikan Indonesia tidak maju-maju. Boleh saja siswanya pintar tetapi pada akhirnya kalau mau terus maju lanjutkan ke luar negeri dan bahkan kerja di luar negeri.

Politik juga bisa membelah masyarakat-membuat dua kekuatan yang berbalikan. Dunia olahraga seperti sepak bola misalnya selalu berada di antara maju dan mundur. Bahkan dalam sejarahnya ada dua kompetisi yang berbeda.

Meski bisa membelah, politik sebenarnya bisa menyatukan. Di negara tertentu politik menjadi senjata untuk menyatukan. Dalam politik bisa saja ada perbedaan pandangan dan opini. Ini lumrah dan perlu. Namun dalam pandangan ke luar (negeri) mereka selalu menyuarakan suara bulat. Suara mereka hanya satu. Politik luar negeri mereka jelas. Tidak mendua.

Pada akhirnya, politik selalu menjadi bidang yang sulit ditelusuri sekaligus menjadi dunia yang mudah diperbincangkan.

Prm, 10/5/14
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana

foto illustrasi dari internet
Akhir-akhir ini agama sering menjadi alasan—bagi orang tertentu—untuk membenarkan tindakannya. Kalau tindakan itu baik dan tidak merugikan yang lain, tidak masalah. Namun, jika tindakan itu justru mengkhianati yang lain bahkan sampai menghilangkan nyawa, itu menjadi masalah. Lantas, timbul kesan dan persepsi orang tentang sebuah agama dari tindakan seorang yang membenarkan tindakan brutalnya. 

Di kampus kami, ada satu mata kuliah yang membahas tentang toleransi agama. Tepatnya, membahas masalah yang berkaitan dengan relasi antar-agama. Lepas dari agama yang diakui pemerintah atau tidak. Pokoknya, relasi antar-agama. Dalam salah satu sesi kuliah, kami ditugaskan untuk mewawancarai penganut agama lain. Dari situ, kami diharapkan mampu memahami agama lain dari penganutnya. Bukan dari buku yang kami pelajari atau dari cerita, persepsi, dan tanggapan orang tentang sebuah agama. 

Saya tertarik dengan sesi ini. Ketika hendak mewawancarai, hati ini berdebar. Ada pertanyaan bergejolak, benar nggak ya, kalau saya memintanya mengajarkan agamanya kepada saya. Jangan-jangan salah. Saya buang jauh-jauh, pikiran itu dan melangkah menghadap orang yang akan saya wawancarai. Memang ada penolakan dari orang yang akan saya wawancarai. Dia menolak karena dia bukan ahli agama(nya). Latar belakangnya bukan pendidikan agama. Namun, dia mau diwawancarai ketika saya mengatakan, kami mau memahami agama bapak dari penjelasan bapak. Dan, bukan dari buku yang bias kami baca. Bapak itu lalu bersedia diwawancarai.

Penjelasan bapak tentang agamanya sungguh mengesankan. Dia menjelaskan sesuai dengan praktik hidup keagamaannya selama ini. Dia pun mengakui kalau itu kadang-kadang belum lengkap sebab dia tidak menguasai semuanya. “Mohon maaf ya dik, penjelasan saya ini boleh dibilang hanya sebagian saja dari ajaran agama saya,” katanya. Saya kira ini pengakuan jujur seorang bapak terhadap orang lain. Kata-katanya menggambarkan sikap kerendahatiannya. Selain itu, saya menjadi tahu bahwa, pandangan orang tentang agama tertentu kadang-kadang tidak sesuai kenyataan. Kalau orang ngotot pada pandagan itu, bisa jadi itu akan menjadi prasangka.

Sebagian dari kita masih ingat kasus pembakaran buku pada zaman orde baru. Seorang wartawan mewawancarai seorang bapak yang ikut dalam aksi mendukung pembakaran buku. Dia ternganga ketika wartawan menanyakan alasan membakar buku itu. Ternyata dia belum membaca buku itu. Tetapi aneh bin ajaib, dia mendukung acara pembakaran buku. Boleh jadi dia hanya ikut-ikutan saja dan mungkin hanya bermodalkan prasangka kalau buku itu tidak baik isinya sehingga perlu dibakar.

Pandangan sebagian orang tentang agama kadang-kadang hanya berupa prasangka. Dan bermodalkan prasangka, orang menuduh penganut agama lain begini-begitu. Padahal dia tidak tahu situasi sebenarnya. Alangkah baik kalau prasangka itu disimpan saja dan tidak perlu dikeluarkan sebelum mengetahui situasi sebenarnya. Bisa jadi prasangka itu muncul setelah melihat kulit luar saja dari sebuah komunitas agama. Maka, alangkah baik dan menyenangkan, jika para penganut agama, berkumpul, berdialog, membicarakan hal-hal penting yang terjadi dengan agamanya.

Memahami agama lain tidak cukup dengan membaca buku tentang agama tersebut. Yang lebih berarti adalah belajar langsung dari penganutnya. Dengan itu, pandangan yang tersimpan dalam pikiran kita merupakan hasil interaksi dengan penganut agama tersebut dan bukan dari persepsi orang tentang agama tersebut. Inilah dialog kehidupan beragama. Dialog yang hidup ini menjauhkan prasangka buruk tentang agama tertentu. Mari berdialog, kita ini hidup di bawah selimut Bhineka Tunggal Ika. Majulah bangsaku Indonesia.

Cempaka Putih, 16 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL SEBELUMNYA BACA DI SINI 

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI

foto ilustrasi oleh uplinkindonesia
Seorang nenek berbaring di tempat tidurnya. Siang itu ia sedang tertidur. Tempat tidurnya berupa sebuah spon bekas yang cukup tebal. Spon itu diletakkan di atas tenda setinggi lutut orang dewasa. Di samping tempat tidur, ada anaknya, sedang berbincang dengan suaminya. Mereka tersenyum menyambut kedatangan saya dan seorang teman. 

Boleh jadi, senyum itu pertanda mereka gembira. Kegembiraan bagi mereka muncul ketika ada yang berkunjungi ke situ. Lebih dari situ, mereka gembira karena kami membawa sekotak nasi untuk sang nenek. Ini kali pertama bagi saya mengantarkan makanan ke situ. Namun, mereka tahu, kami datang dari rumah yang menyumbang sedikit rezeki untuk sang nenek.

Mereka tentu mengalami kesulitan ekonomi. Perbincangan siang itu terjadi di bawah kolong tol, tepatnya di bilangan Jakarta Utara. Mereka tak memiliki rumah. Mereka hanya berlindung di bawah kolong tol. Inilah tempat yang nyaman bagi mereka. Gubuk-gubuk berdiri berderetan. Ada yang berdinding tripleks, ada pula yang sama sekali tak berdinding. Bagi mereka, merupakan sebuah keberuntungan mendapat hunian di bawah tol. Tak perlu repot mendirikan rumah. Tak perlu sulit mencari lahan.

Tampaknya, kehidupan di situ memang nyaman. Mereka bisa berlindung ketika hujan. Inilah salah satu kenyamanan menurut mereka. Kenyamanan yang tentu berbeda dengan bayangan banyak orang kota Jakarta. Meski nyaman, sesekali mereka juga bisa terancam banjir. Permukaan tanah di situ tidak lebih tinggi dari tanah di sekitar. Kalau hujan, boleh jadi air mengalir ke situ.

Pemandangan yang tak kalah kurang nyaman adalah tumpukan sampah di samping gubuk mereka. Kolong tol ini rupanya menjadi tempat serba guna. Tempat ini menjadi hunian manusia dan hunian sampah. Di samping gubuk nenek tadi, ada gundukan sampah. Kalau diangkut sampah itu bisa memenuhi 2-3 mobil. Bahkan, sebelum sampai ke gubuk itu, kami harus melewati jalanan bergelombang. Jalan itu terbentuk di atas tumpahan sampah.

Pemandangan ini berlawanan dengan pemandangan di atas tol. Di atas tol ada manusia yang lalu-lalang dengan mobilnya. Mereka ini menggunakan jalan bebas-hambatan ini untuk memperlancar aktivitas. Mereka membayar sejumlah uang agar mereka bisa menggunakan jaln ini. Singkatnya, jalan ini hanya dilalui oleh orang yang mempunyai sejumlah uang.

Sementara di bawahnya, ada manusia yang tinggal di gubuk sederhana di antara gundukan sampah. Mereka ini tidak mempunyai sejumlah uang untuk mendirikan rumah. Lantas, gubuklah yang mereka dirikan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bertahan di tempat itu. Mereka rela menikmati pemandangan dan suasana yang ada dengan segala konsekuensinya.

Saya teringat kata-kata seorang dosen. “Kalau mau melihat Jakarta secara umum, naiklah jalan tol dalam kota. Anda akan mendapat gambaran kota Jakarta dengan pemandangannya. Namun, kalau mau melihat Jakarta dengan situasi sosialnya, naiklah angkutan umum dan kereta api. Anda akan tahu, seperti apa kehidupan warga Jakarta.” Dan, saya menganjurkan, kalau pembaca mau melihat salah satu model penderitaan warga Jakarta, kunjungilah gubuk-gubuk di bawah tol ibu kota. Anda akan melihat kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang dialami warga perumahan mewah di Jakarta.

Cempaka Putih, 27 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL TERKAIT DI SINI

foto ilustrasi oleh Fajrin Rahardjo
Bangsa Indonesia menempatkan 10 November sebagai hari pahlawan. Setiap tahun ada perayaan pada tanggal tersebut. Ada yang berupa perayaan sederhana, ada juga yang meriah. Di balik perayaan itu muncul banyak pembicaraan. Di harian KOMPAS 10/11/2011 dikisahkan tentang rumah tempat lahir Soedirman (ejaan asli). Soedirman adalah pahlawan kemerdekaan. Ia lahir di Purbalingga pada 24/1/1916 dan meninggal diMagelang pada 29/1/1950

Dalam kisah itu, diceritakan bahwa rumah Soedirman yang kini menjadi museum sepi pengunjung. Seorang penjaganya mengatakan, yang rutin datang ke tempat ini adalah para prawira TNI dan sekelompok mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman, Purbalinga. Karena itu, perawatan terhadap museum ini pun minim.

Saya menduga di balik alasan ini, ada pengurangan dana perawatan. Kalau dana itu bergantung pada pemasukan museum maka alasan ini tepat. Namun, jika pemda ataupempusat mengalokasikan dana khusus maka alsan ini tidak tepat. Perawatan museum juga tidak tergantung pada banyak-tidaknya pengunjung. Museum mesti terawat dengan baik.

Mengunjungi rumah pahlawan seperti ini boleh dibilang sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Ini hanya salah satu bentuk. Ada bentuk lain seperti mengunjungi makamnya, mengenangnya dengan menceritakan kepada generasi penerus, atau juga membuat tulisan tentang pahlawan itu.

Selain kisah ini, ada juga gonjang-ganjing lain seputar hari pahlawan. Ada yang pesimis tentang keberadaan pahlawan di masa kini. Ada yang takut menjadi pahlawan. Ada pula yang kurang berminat membicarakan hal seputar pahlawan di zaman sekarang. Ada yang berkomentar pahlawan hanya ada di zaman dulu sebagai pembela bangsa. Sekarang sudah tidak ada lagi. Apalagi sekarang sangat langka sosok seorang pahlawan. Gonjang-ganjing ini muncul dengan berbagai latar belakangnya.

Pahlawan adalah orang yang berjasa bagi bangsa. Kalau definisi ini dipegang, maka semua orang bias menjadi pahlawan. Semua orang bias berjasa bagi bangsa. Lepas dari besar-kecilnya jasa itu. Ada macam-macam jasa untuk bangsa. Menjadi atlet diSea Games, menjadi duta bangsa di luar negeri untuk mempromosikan wisata Indonesia, menjadi wakil Indonesia dalam debat internasional antara mahasiswa se dunia, menjadi wakil Indonesia dalam perlombaan internasional, menjadi TKI di luar negeri, menjadi dokter, guru, pembersih jalanan, pengusaha yang memajukan rakyat, dan sebagainya. Kalau demikian sudah banyak yang menjadi pahlawan. Dengan demikian menjadi pahlawan itu tidak ditentukan oleh zaman. Dulu, sekarang, dan nanti, kita bisa menjadi pahlwan.

Soal diakui menjadi pahlawan atau tidak itu soal lain. Pengakuan itu hanya bentuk apresiasi. Apreasi memang perlu tapi tanpa apreasi pun pekerjaaan tetap berjalan. Lagi pula pengakuan itu hanya sebuah bentuk pengakuan yang diberikan oleh pemerintah. Masih banyak orang yang memberi pengakuan atas tiap pekerjaan.

Apalagi kalau gelar itu diperoleh dengan mengeluarkan biaya tertentu atau megajukan persyratan yang rumit. Kita berkaca pada guru-guru kita di Indonesia yang dikenal dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Kita semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, kalau ada yang mau menghormati dan mengenang jasa kita dengan member gelar pahlawan kita ucapkan terima kasih. Selamat hari pahlawan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh feiranauzder
Selasa, 24 Oktober 2011. Jalan Dewi Sartika, Bogor, hampir digenangi air hujan. Hujan sore itu cukup deras. Saya bersama beberapa teman kebetulan tidak sengaja lewat di jalan ini.
Pemandangan memilukan. Jalan ini dijadikan pasar. Tempat jual beli. Jualan yang dominan adalah kebutuhan rumah tangga. Sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Sore itu, sekitar pukul 4. Sayur dan buah-buahan itu terlihat segar. Boleh jadi karena kena air hujan sehingga tidak layu dan kering. Sebagian masih tergeletak di atas aspal. Sebagian lagi, ada di atas tenda.

Para pemiliknya terlihat huru-hara. Antara menyelamatkan diri dari air hujan atau menyelamatkan jualannya dari arus air. Kalau mau lebih berharga, boleh jadi mereka menyelamatkan diri dulu. Kena air hujan berarti siap sakit. Sakit berarti membutuhkan obat. Ini pengeluaran yang cukup besar.

Sebaliknya, menyelamatkan jualan berarti siap diguyur hujan dan basah. Kalau jualan dibawa air, apalagi yang diharapkan? Jualan itu menjadi sumber pemasukan mereka. Mereka menjual untuk mencari nafkah. Pertanyaannya adalah mengapa mereka mencari nafkah di tempat ini? Ini kan jalan dan bukan pasar. Siapa yang memperhatikan mereka?

Indonesia identik dengan kesemrawutan. Jakarta sebagai ibu kota negara saja sudah semrawut lalu lintas dan pemukimannya. Kesemrawutan ini rupanya menjalar ke luar kota. Pemandangan di jalanan di Bogor ini menjadi cerminan kesemrawutan itu. Kalau ada bangunan pasar yang layak, para penjual ini bisa menikmati teduhan yang layak saat hujan seperti ini. dan, lalu lintas menjadi lancar. Mereka tak perlu lagi menjual di jalan.

Boleh jadi ada bangunan pasar. Sebab, hampir di tiap kota di Indonesia mempunyai pasar daerah. Bisa jadi kejadian sore ini mencerminkan membeludaknya penjual di pasar resmi. Kalau demikian, animo masyarakat menjadi penjual tinggi. Bisa jadi profesi itu saja yang berhasil mereka raih. Namun, tak mudah membuat rekaan seperti ini. Bisa jadi masalahnya kompleks. Kadang-kadang keinginan untuk cepat laku membuat penjual mencari jalan pintas. Apakah menjual di jalan merupakan jalan pintas?

Bisa jadi di jalan ada banyak pembeli sehingga cepat laku. Namun, cara yang menguntungkan penjual ini merugikan pengguna jalan.

@@@@@

Kondisi serupa juga terjadi malam hari. Jalan Surya Kencana, pukul 10 malam. Sebagian jalan digunakan oleh penjual sayur-sayuran. Jualan ini tidak untuk dijual malam ini. Meskipun ada juga yang melakukan transaksi jual-beli kecil-kecilan. Sebagian jualan itu masih terbungkus rapi dalam karung. Hanya sebagian kecil yang sudah dibuka dan digelar di atas aspal. Pemiliknya berselimutkan kain tebal duduk di samping jualannya. Malam ini, Bogor memang amat dingin.

Boleh jadi, jualan ini baru dijual esok pagi. Sayuran segar biasanya didapatkan ketika pagi-pagi ke pasar. Lebih segar lagi, kalau sayur itu baru saja diambil dari semaiannya pagi itu juga. Namun, di Bogor rupanya agak sulit. Sebab, lahan sayur ada di kawasan puncak. Bisa jadi, sayur-sayur yang diletakkan di jalan ini baru saja didatangkan dari kawasan puncak. Di manakah mereka menjual sayur-sayur itu?

Boleh jadi, sayur itu dijual di jalan ini juga. Penjualnya tak mau repot memindahkan lagi jualannya yang cukup banyak. Kalau saja ada tempat yang aman, mengapa para penjual ini menurunkan jualannya di jalan seperti ini? Mereka memang kelihatan nekat. Menjual di jalan. Namun, terlalu dini untuk menilai kenekatan ini semata-mata salah mereka. Bisa jadi, di sini saja mereka dapat menjual dagannganya dengan laris. Posisinya strategis untuk pembeli. Pengguna jalan bisa langsung membeli dari mobil. Jalan itu memang tidak ditutup semuanya. Sebagian masih bisa digunakan untuk mobil searah. Sebagiannya untuk pasar. Namun, tetap saja kondisi ini merugikan pengguna jalan. Beginilah nasib jalan dan kondisi pasar di kota hujan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Buruh Migran Indonesia
Sungguh sadis nasib buruh di negeri ini. Kapan buruh bisa menikmati kehidupan yang layak? Di Papua dan Batam buruh berhadapan dengan aparat keamanan. Mereka memperjuangkan upah yang sesuai dengan kerja mereka. Apa daya mereka mesti berhadapan dengan aparat kepolisian. Nyawa melayang. Buruh tak beda dengan majikan, sama-sama ingin menikmati hidup yang layak. Itulah sebabnya mereka berjuang mendatangi Istana Merdeka, kantor PT Freeport Indonesia, dan Markas Besar Kepolisian Negara hari ini, seperti dikutip kompas.com. 
                                                                           
Kalau pengusaha mengimpikan hidup sejahtera, buruh pun ingin seperti itu. Buruh tidak menuntut banyak asal saja upah mereka cukup untuk menghidupi keluarga. Merekalah penopang hidup istri/suami dan anak. Sungguh sadis nasib buruh. Mereka tidak hanya berjuang dalam pekerjaan harian. Mereka juga berjuang agar mendapat upah yang layak meski berhadapan dengan aparat kemanan. Buruh juga manusia. Saatnya memberikan upah yang layak bagi mereka.

CPR, 29/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Gerard Stolk
AIDS/HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan salah satu penyakit menular yang membahayakan. Kalau remaja di Indonesia terkena penyakit ini, bagaimana masa depannegeri ini selanjutnya? Indeks Prestasi Manusia (IPM) Indonesia semakin buruk, amat rendah, tambah lagi dengan bahaya AIDS/HIV. Bagaimana mengubah IPM ini? 

Wahai generasi muda Indonesia, masa depan negeri ini ada di tangan kalian. Kalau kalian tak bisa menghindari penyakit ini, bias jadi Indonesia tidak berubah dalam banyak hal. Padahal negeri ini mengharapkan peran serta kalian. Negeri ini sudah menderita dengan berbagai karutmarut social, ekonomi, keamanan, dan sebagainya. Kalianlah yang mengubah semua ini.

Awas HIV/AIDS……. Biarkan hidup kalian terhindar darinya. Virus itu sungguh membuat masa depan negeri ini suram. Kalian punya peluang untuk menolak dan menerima penyakit ini. Namun, masyarakat Indonesia mengharapkan kalian menolaknya dengan senang hati. Boleh bergaul dengan sesama kaum muda asal jangan sebebas-bebasnya sampai kebablasan terjangkit virus AIDS.

Yang tua dan yang terjangkit bagaimana? Jangan berharap banyak kepada mereka. Mereka hanya mengharapkan perubahan, penyembuhan. Dan, kalian yang masih bersih, yang tidak terjangkit yang bias menyembuhkannya. Yang tua, jangan diharapkan. Syukur kalau sembuh, kalau tidak, masa depan mereka sudah hancur. Kaum muda/i…….bersatulah menjauhi virus ini.

CPR, 1/12/2011
Gordi Afri

foto oleh comac70
Apakah Indonesia masih mempunyai hukum? Kalau masih, sudahkah hukum itu ditegakkan?

Begitu pertanyaan teman saya tadi pagi. Saya tak menyangka dia melontarkan pertanyaan setajam itu. Kami pun duduk di ruang kosong di sudut kampus. Teman saya ini tampaknya hobi mengumbar pertanyaan. Entah untuk apa dia bertanya, mungkin mencari tahu saja, mungkin mau mendapat jawaban, mungkin mau melihat reaksi kami, atau apa saja. Katanya, dia gerah melihat kondisi Indonesia sekarang ini. Saya salut dia memikirkan kondisi bangsa. Ini baru namanya nasionalisme. Nasionalisme tak harus bertumpah darah sampai mati. Nasionalisme juga mulai dari memikirkan nasib bangsa seperti ini.

Lima menit kemudian beberapa teman akrab mulai bermunculan. Rupanya mereka heran, ada apa kok pagi-pagi lampu ruang diskusi sudah menyala. Pasti ada orang di dalamnya. Beruntunglah, sesama hobi berdiskusi, mudah sekali tertarik membahas apa saja. Kami memang bukan para ahli atau pengamat. Kami hanya “pengamat kecil-kecilan” yang masih terkurung dalam tempurung akademik. Semoga suatu saat, suara kami bergema hingga luar sana. Bersama rakyat kecil yang menyuarakan kesejahteraan bersama. Kiranya ini impian rakyat Indonesia sekarang ini.

Kami mencoba mendiskusikan pertanyaan tadi. Ada apa sebenarnya dengan Indonesia? Pencurian marak di mana-mana, perampasan, perampokan, pembakaran kantor, demo, pemerkosaan, pencurian, dan pe-pe lainnya yang bersifat kriminal. Indonesia dengan pemandangan seperti ini serasa hutan belantara, tempat para binatang mencari mangsa seenaknya. Memang Indonesia masih ‘harum’ dengan predikatnya misalnya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan. Betapa tidak, banyak negara terancam dari segi ekonomi sekarang. Beruntunglah Indonesia masih bisa bertahan.

Kami mencoba mulai dengan melihat hukum di Indonesia. Yang kami tahu, hukum itu berfungsi untuk mengatur kehidupan bersama. Hukum menjadi pilar yang membangun keutuhan negara Indonesia. Kalau begitu, mengapa bangsa ini terus saja terpuruk padahal sudah lama hukum ada di negeri ini? Ada banyak hukum di negeri ini. Tentunya sesuai kehadirannya, hukum dibuat untuk mengatur kehidupan bersama. Ini tugasnya teman-teman yang belajar hukum, benarkah demikian asal-usul munculnya hukum.

Diskusi berjalan lebih kurang 45 menit. Saatnya kami siap-siap masuk ruang kuliah. Kami mencoba merangkum diskusi kecil-kecilan kami. Kami sepakat bahwa negara ini tampak seperti ‘hutan rimba’. Hukum yang ada tidak ditegakkan. Bangsa ini seperti dikepung oleh pelaku-pelaku yang kuat, yang siap menerkam mangsa yang lemah. Siapa saja yang tidak kuat, dia akan dikuasai oleh kaum penguasa. Rasanya tidak berlebihan jika belajar dari kasus pemerkosaan dan pencurian yang merebak akhir-akhir ini. Hampir tiap pekan muncul kasus serupa. Bagaimana menguranginya?

Kami sepakat hukum ditegakkan. Kalau pemerkosa diganjar hukuman seberat-beratnya, ada kemungkinan pelaku berikutnya merasa was-was sebelum berbuat. Kalau gerombolan pencuri yang beraksi di dekat mesin ATM atau di minimarket diganjar hukuman berat, boleh jadi pelaku berikutnya mulai takut. Paling tidak, pelaku tindak kriminal seperti ini diberi hukuman seberat-beratnya dan jangan bertele-tele dalam penyelidikan. Sayangnya, negeri ini berjalan lamban. Menyelidiki satu kasus saja bisa bertahun-tahun. Kasus bank century bahkan belum ada ujungnya. Padahal bertahun-tahun berlalu.

Kami tetap yakin, kalaiu pelaku diganjar hukuman berat bila perlu hukuman mati, tindakan kriminal berkurang. Berlebihan kiranya kalau menerapkan hukuman mati. Masa pencuri sendal dihukum mati? Intinya bahwa, kami mau supaya pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang membuatnya jera. Kami tahu latar belakng tindakan itu beragam sehingga hukumannya tidak bisa disamakan. Namun, kami yakin kalau penyelidikannya bertele-tele, kasus kriminal di negeri ini semakin bertambah. Akhirnya, tinggal menunggu waktu negeri ini benar-benar hutan rimba raya. Rakyat semakin beringas memangsa sesamanya. Rakyat Indonesia tentunya tidak ingin hal itu terjadi. Maka, mari kita mulai memulihkan negeri ini. Pemerintah dan DPR juga bekerja keras. Diskusi selesai dan selamat memulai kuliah lagi….

CPR, 7/2/2012
Gordi Afri

foto oleh Purnomo Shiddiq
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM pada awal tahun 2012 menuai protes masyarakat. Di kompasiana ini ada banyak tulisan yang membahas isu-isu seputar kenaikan BBM.

Beberapa berita hari ini di kompas.com juga menayangkan isu-isu seputar BBM. Mahasiswa di Solo dengan tegas menolak kenaikan BBM ini. Aksi dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Solo ini menarik karena sekaligus mempromosikan penghematan BBM. Mereka mendorong sepeda motor sejauh satu kilometer menuju gedung DPRD Kota Solo. Aksi ini boleh dibilang langka. Biasanya orang berunjuk rasa dengan pawai kendaraan yang tentu juga memboroskan BBM.

Aksi mahasiswa ini pun bisa ditafsirkan macam-macam. Sebab, sehari-harinya mereka juga menggunakan sepeda motor, meskipun sebagian mungkin menggunakan sepeda. Apakah ini (mendorong sepeda motor) hanya aksi sesaat untuk menarik simpati rakyat? Tetapi kiranya aksi ini punya tujuan jelas, mengajak masyarakat melakukan protes atas rencana kenaikan BBM yang diajukan pemerintah. Tampaknya tidak masuk akal jika aksi mendorong sepeda motor ini ditujukan untuk mengajak masyarakat melakukan hal serupa. Sebab, motor mesti berjalan dengan bahan bakar. Beda dengan sepeda yang tanpa bahan bakar.

Di Semarang ceritanya lain lagi. Sekitar 100 elemen dan komponen masyarakat di kota ini mengadakan pertemuan di Markas Polrestabes Semarang. Dari pertemuan ini dihasilkan beberapa himbauan yakni mengajak masyarakat untuk tetap hidup damai, tanpa ricuh menanggapi rencana kenaikan BBM ini. Mereka melihat penjual dan pembeli (BBM) sebagai saudara sehingga tidak perlu ribut. Mereka juga mengajak siapa saja yang melakukan aksi untuk beraksi secara damai, menjaga suasana kondusif di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini.

Banjarmasin sudah lebih jauh lagi. Di sana sudah terasa antrian besar-besaran. SPBU yang biasanya tidak menjadi tempoat antrian kini malah mulai antri. Harga BBM (khususnya bensin) pun sudah dipatok oleh pengecer. Harga bensin Rp 6.000 per botol dengan ukuran sekitar 1 liter, biasanya harga di pengecer hanya Rp 5.500 per botol. Demikian diwartakan kompas.com hari ini.

Tiga situasi ini menandai keresahan masyarakat terhadap rencana pemerintah ini. Bagi saya yang orang awam terhadap masalah BBM, rencana ini tampaknya memiliki agenda tersembunyi. Kondisi global memang emmpengaruhi harga BBM kita. Namun, bukankah Indonesia termasuk negara yang kaya BBM? Ke manakah orang elit negeri ini yang bisa mengelola kekayaan alam ini dengan bijaksana?

Rencana pemerintah ini juga cenderung dinilai aneh. Pemerintah berencana menaikan BBM lalu memberi subsidi BLT. Mengapa dana BLT ini tidak digunakan untuk menstabilkan harga BBM? Apakah pemerintah mau populer di mata masyarakat dengan kebijakan BLT ini? Padahal semua orang juga tahu pemberian benatuan semacam ini tidak mendewasakan (mandiri) rakyat. Beberapa hari yang lalu, seorang tokoh publik menilai kebijakan BLT seperti ini bagai perumpamaan memberi ikan kepada pemancing dan bukan memberi kail. Jadi, pemerintah kita mau memanjakan rakyatnya?? Kalau begitu kapan rakyat mandiri dan Indonesia bangkit dari kemiskinan ini??


CPR, 13/2/2012
Gordi Afri

foto oleh the1 sttimes
Beberapa hari belakangan, media massa di Indonesia dihiasi dengan berita seputar rangkaian demo yang dilakukan oleh mahasiswa (oknum mahasiswa), kelompok buruh, kelompok sopir angkutan, dan sebagainya. Saya menghargai aksi demo ketiga kelompok ini. Namun, saya tidak setuju dengan demo para mahasiswa.

Untuk diketahui saja, bahwa tidak semua mahasiswi/a di Indonesia terlibat daam aksi demo penentangan kenaikan BBM. Kampus kami tidak mempunyai utusan atas nama kampus untuk terlibat dalam aksi demo. Entah ada yang ikut, itu pasti atas nama pribadi. Yang jelas, kami sebagai mahasiswi/a berhak untuk setuju atau tidak setuju dengan aksi demo itu. Apakah kami tidak peka dengan rakyat kecil? Apakah kami tidak bersolider dengan aksi demo para mahasiswi/a di sejumlah kota di tanah air, Jakarta, Bandung, Jember, Sukoharjo, Surakarta, Probolinggo, Medan, Makasar, Surabaya, Malang, Jember, Semarang, Samarinda, Jambi, Lampung, Brebes, Yogyakarta, Palangkaraya, Kendari, Ternate, dan lain-lain?

Tampaknya, kami seperti pembangkang yang tidak peduli dengan rakyat kecil. Kami juga merupakan bagian dari rakyat kecil. Bukankah ini sebuah pengkhianatan? Entah pembaca menilainya seperti itu atau mencap dengan label lainnya, itu sah-sah saja, yang jelas saya dan teman-teman di kampus tidak mau terlibat dalam aksi demo itu. Saya termasuk mahasiswa yang tidak setuju dengan aksi demo yang dilakukan mahasiswa beberapa hari ini. Jangan menilai saya pembangkang karena saya akan memberikan alasan di balik aksi untuk tidak demo.

Pertama, saya mesti mengakui dan berterima kasih atas perjuangan teman-teman mahasiswa untuk memperjuangkan hak rakyat kecil. Saya salut dengan perjuangan teman-teman. Tetapi, saya tidak setuju dengan perjuangan dalam bentuk demo. Mengapa saya tidak setuju? Aksi demo yang digelar di beberapa kota itu tidak mempunyai alasan yang jelas. Jangan-jangan teman-teman hanyalah gerombolan yang ikut-ikutan saja tanpa tahu tuntutan demo itu seperti apa? Apa yang teman-teman perjuangkan dengan aksi demo itu?
Menurut hemat saya, jika aksi demo itu mempunyai tuntutan yang jelas, hampir pasti bahwa demo itu berhasil. Katakanlah membatalkan kenaikan BBM yang sedang direncanakan pemerintah dan DPR. Itu tuntutannya dan hanya itu. Tuntutan itu mesti digemakan dalam aksi demo yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa dari berbagai kota di penjuru tanah air. Jadi, demo itu berlangsung selama tuntutan itu belum dipenuhi.

Tetapi, tuntutan itu, menurut hemat saya, tidak cukup. Ibaratnya dalam berdebat, kita memilih untuk tidak setuju dengan sebuah pendapat dan mempunyai pendapat lain yang kita ajukan. Kalau mahasiswa tidak setuju dengan kenaikan BBM, lau apa kira-kira solusinya? Dengan membatalkan kenaikan BBM, apa kira-kira yang bisa dilakukan pemerintah dan rakyat sehingga keduanya tidak mengalami kerugian besar?

Pilihan lain bisa bermacam-macam. Bisa dengan mengajukan tuntutan menasionalkan perusahaan asing yang mengelola sumber BBM di negeri ini. Cara inilah yang dilakukan pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela. Ini hanya salah satu contoh saja. Teman-teman mahasiswa bisa membuat pilihan lain yang kiranya bisa dterapkan di negeri ini jika kenaikan BBM dibatalkan. Dengan tuntutan yang jelas, aksi demo itu terarah dan tidak ada dualisme.

Kedua, aksi demo yang dilakukan mahasiswa justru merugikan masyarakat lainnya. Lihat saja aksi demo beberapa hari belakangan yang dibarengi dengan aksi brutal lainnya. Salah satu kerugian yang sudah pasti  adalah kemacetan. Bayangkan kerugian masyarakat jika beberapa ruas jalan utama ditutup blokade aksi mahasiswa. Ini sama dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Apakah tidak lebih baik kalau mahasiswa cukup beraksi di salah satu tempat tanpa menutup akses jalan yang digunakan masyarakat lainnya? Atau apakah nmahasiswa harus menutup akses jalan itu supaya masyarakat tahu bahwa mahasiswa masih eksis memperjuangkan kehidupan rakyat kecil? Dalam hal ini teman-teman mahasiswa mesti berpikir ulang. Jangan menganggap diri paling berkuasa sehingga di jalan pun paling berkuasa. Padahal tindakan itu justru tidak memperjuangkan kehidupan rakyat kecil.

Aksi brutal lainnya adalah pemboikotan dan pelumpuhan jaringan listrik PT Telkom selama 2 jam di Kendari, membakar ban bekas dan aksi lainnya.

Tampaknya agak berlawanan antara aksi demo dengan tujuan memperjuangkan kehidupan rakyat kecil dan tindakan yang dilakukan. Mau peduli dengan rakyat kecil tetapi melumpuhkan jaringan listrik yang justru merugikan banyak orang. Mau peduli dengan rakyat kecil tetapi dengan membakar ban motor yang memperparah kerusakan lingkungan. Muncul pertanyaan, ini aksi demo atau ungkapa kemarahan? Kalau mau marah bereskan dulu penyebab kemarahan itu, dan jangan merugikan masyarakat lainnya.

Inilah argumen saya untuk memilih tidak ikut aksi demo bersama teman-teman mahasiswa lain. Kalau saya ikut maka jumlah pelaku pembakaran motor dan ban bisa bertambah. Kalau saya ikut maka pelaku perusakan lingkungan bertambah. Kalau saya ikut maka panjang kemacetan di beberapa kota jadi bertambah.

Meski saya tidak ikut demo, saya menghargai aksi demo yang dilakukan teman-teman mahasiswa di beberapa kampus di beberapa kota di penjuru tanah air. Kalau tuntutan demo dan solusinya jelas, saya akan mengajak mahasiswa lainnya untuk demo. Kita bersama-sama memperjuangkan kehidupan kita sebagai rakyat kecil dengan cara yang pas, tepat, dan tidak merugikan kepentingan umum. Negeri ini bukan milik kita, para mahasiswa saja, tetapi milk seluruh rakyat Indonesia. Kita hanyalah bagian kecil dari seluruh rakyat Indonesia.***

CPR, 30/3/2012

foto oleh the1 sttimes
Aksi demo beberapa hari ini ibaratnya pertandingan antara mahasiswa dan pemerintah. Pemerintah berencana menaikkan harga BBM per 1 April 2012. Mahasiswa dan rakyat kecil di seluruh penjuru nusantara menolak. Ada apa? Ya, jelas rakyat kecil akan rugi. Sudah susah payah mencari uang masih ditambah lagi dengan beban baru.

Kini, mahasiswa dinyatakan menang. Tuntutan untuk membatalkan kenaikan harga BBM berhasil. Pemerintah kalah, kalau bisa disebut demikian. Masa pemerintah kalah sama rakyat kecil, apalagi mahasiswa? Ya, menang kalah itu hanya soal waktu. Yang jelas, pemerintah kalah karena kebijakan itu (jika diterapkan) merugikan rakyat banyak.

Salut dengan perjuangan mahasiswa di seluruh tanah air. Dengan kemenangan itu, kaum intelektual muda ini patut berbangga. Kapan lagi kalau bukan sekarang, kaum muda memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sekali seumur hiduplah jadi kenangan manis, kaum muda menang berhadapan dengan pemerintahnya. Dengan kemenangan itu, bertambahlah nilai perjuangan kaum muda.

Meski menang, kaum intelektual muda ini masih menyisakan tugas besar untuk diperbaiki. Aksi demo bernuansa anarkis masih menjadi kesan buruk yang mesti dihilangkan. Ada mahasiswa dan aparat keamanan yang luka-luka bahkan masuk rumah sakit. Kiranya ini menjadi pelajaran penting agar aksi demo berikutnya tidak terjadi dengan aksi anarkis seperti ini.***

CPR, 31/3/2012

foto oleh Johanes Christian
Ada rasa bangga mendengar nama “Jakarta”. Ibu kota negara, tempat bertugas para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret yang menyeramkan. Apakah itu?

Jakarta menjadi tempat tinggal orang terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta.

Sebutan termiskin kiranya tidak salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja beberapa foto hasil jepretan teman saya beberapa waktu lalu. Ini hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.

Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas pol PP.

Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol mimunan ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.

Selain botol, mereka juga biasanya memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.

Penulis pernah tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.

Waktu 2 minggu menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun  pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.

Kelihatannya hidup kami (saya dan para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.

Kami tidak hanya memulung, kalau siang hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua untuk dijual lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual kembali. Kalau ada rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari rumah makan terdekat, lalu bergembira bersama dalam pesta kecil-kecilan.

Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja-yang saya lihat-pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung. Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga. Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki lagi.***

CPR, 5/4/2012

Powered by Blogger.