Halloween party ideas 2015


Sebuah fakta bisa ditafsir macam-macam. Tafsiran ini menimbulkan beragam pendapat. Tafsiran ini dilatarbelakangi posisi penafsir. Bisa saja dari A ke B. Bisa juga tafsirannya melampaui fakta. Memutarbalikkan fakta. Dari fakta ke bukan fakta. Dari fakta ke kejadian yang diciptakan.

Zaman ini susah mencari kebenaran. Kebenaran menjadi nilai relatif. Mana yang benar dan mana yang salah? Tergantung yang menilai. Dari sana dikatakan A dari sini dikatakan B. Sebagai pihak C, hanya bisa mendengar dan membaca pendapat si A  dan si B.

Apalagi kalau masuk yang namanya kriminal dan politisasi. Fakta bisa menjadi perdebatan jika dipolitisasi dan dikriminalisasi. Berita kriminal kadang-kadang menyisakan pertanyaan besar. Sulit menemukan bukti sebenarnya. Itu karena di baliknya ada berbagai motif. Balas dendam, utang, cinta, seks, dan sebagainya.

Demikian dengan fakta yang dipoltisasi. Kesaksian saksi mata bisa berubah ketika fakta yang dilihatnay dipolitisasi. Amat sedikit saksi yang memertahankan kesaksian akuratnya. Ada yang diteror dengan berbagai cara sehingga membuat kesaksian palsu.

Negeri ini sudah antah-berantah. Sulit mengungkap siapa pelaku yang sebenarnya dalam peristiwa kriminal. Hukum sudah tidak berwibawa. Penindak pelanggar yang konon katanya bertindak tegas-tepat kini bisa bertindak dengan berbagai motif. Sulit dipercaya jika faktanya korban dijadikan tersangka. Sim sala bin negara juga bakal kehilangan wibawa jika sendi-sendinya seperti hukum tidak berwibawa lagi.

Masih bisa hidupkah negeri antah-berantah ini? Banyak pihak ingin menegakkan keadilan. Faktanya langkah mereka dihadang berbagai pihak. Sulit memang. Menegakkan kebenaran sama dengan menegakkan batang pisang yang dipotong sebagiannya. Sulit bukan?

PA, 28/3/13

Gordi


Peristiwa LP Cebongan yang menakutkan itu mengubah persepsi masyarakat Indonesia dan dunia terhadap kota Yogyakarta. Ketakutan ini memunculkan gelar baru untuk kota Yogyakarta yakni sebagai “Kota Menakutkan”.

Selama ini, Yogyakarta mempunyai gelar yang khas karena uniknya di antara berbagai kota di negeri ini. Ada gelar “Kota Mahasiswa” karena memang Yogyakarta mempunyai banyak universitas, sekolah tinggi, akademi, SMA, SMP, SD, hingga TK.

Penduduk provinsi Yogyakarta sebagiannya terdiri atas mahasiswa/pelajar. Menurut data Kompas, 27/3/13, hlm. 22, mahasiswa asal Sumatera Utara di Yogyakarta berjumlah 18.000 sedangkan Riau 15. 000 dan NTT 13.000. Kalau dijumlahkan mahasiswa dari 3 daerah ini menjadi 36.000 orang. Bayangkan 1 kota saja jumlah mahasiswanya seperti itu. Belum dihitung dari daerah lain termasuk dari Yogya sendiri. Maka, Yogyakarta layak disebut “Kota Mahasiswa”.

Sebutan atau gelar lain adalah “Kota Pendidikan”. Ini masih ada kaitan dengan sebutan kota mahasiswa tadi. Hanya saja dalam hal ini, sebutan ini muncul karena Yogyakarta menjadi pusat pendidikan. Tidak saja menyangkut jumlah mahasiswa tetapi menyangkut banyaknya pilihan pendidikan yang dikembangkan di kota ini.

Gelar yang ketiga adalah “Kota Budaya”. Sebutan ini berkaitan dengan budaya. Budaya berkaitan erat dengan budayawan. Yakni, mereka yang berkecimpung dalam bidang budaya. Mereka yang mengembangkan seni budaya. Budaya berkembang karena kota Yogyakarta memberi tempat yang berharga untuk para budayawan. Jangan ehran jika banyak budaya, seni tari/lukis/batik, dans ebagainya berkembang pesat di kota ini. Meski perkembangannya juga akdang-kadang berbentur dengan gempuran budaya modern-hedonis-konsumtif sekarang ini. Tetapi, kota Yogyakarta masih memberi porsi terbesar pada budaya tradisional.

Di balik semua gelar di atas, ada juga gelar baru yang entah sampai kapan bertahan yakni “Kota Menakutkan”. Gelar ini muncul terkait terbunuhnya 4 tahanan yang nota bene menjadi tanggung jawab pemerintah di LP Cebongan. Ada yang emnduga pembunuhnya/penyerangnya adalah kelompok khusus nan elit. Jika dugaan ini benar, segeralah pihak polisi dan jajarannya mengungkapkan pelakunya.

Jika tidak, gelar keempat ini semakin menjadi-jadi. Sekarang saja, beberapa warga NTT di Yogyakarta mulai mengungsi. Kalau tahun 2010 warga Yogya mengungsi karena takut abhaya Merapi. Sekarang warga mengungsi karena tidak adanya perlindungan pemerintah. Warga uyang dalam perlindungan pemerintah saja diserang dan mati, apalagi warga biasa yang hidup tenang tetapi tidak ada perlindungan resmi, kapan-kapan bisa diserang juga.

Jauh dari kesan “Kota Menakutkan” ini, pemerintah sebaiknya segera mengungkap pelaku dan mulai menjamin keamanan warganya. Jika tidak, bukan saja kota Yogyakarta yang bertambah gelarnya, citra negara Indonesia di mata internasional juga akan hancur. Indonesia akan dinilai sebagai negara pelanggar HAM. Tentunya pemerintah dan rakyat tidak mau dicap demikian. Pemerintah dan rakyat ingin hidup damai dan tenang. Namun, melihat gelagatnya, pemerintah rupanya belum bisa mengungkap cepat-tepat pelaku penyerangan. Ini menambah ketakutan warga di Yogyakarta dan juga semakin memperpanjang gelar “Kota Menakutkan” bagi kota Yogyakarta.

Semoga pemerintah mau dan mampu mengungkap pelaku penyerangan dan memberi jaminan keamanan bagi warga Yogyakarta khususnya warga NTT yang sedang dalam trauma-menakutkan.

PA, 27/3/13

Gordi

Ku buka jendela
Dua daun jendela di kamarku
Dari luar terpancar pemandangan indah
Hijau daun dan langit memerah

Udara pagi nan segar menyapaku
Menyapu semua angin malam di kamarku
Ku sapa udara segar itu
Ku menghirupnya dalam-dalam

Udara itu masuk memenuhi kamarku
Mengganti kedudukan udara malam
O betapa segarnya pagi ini
Betapa bersihnya udara ini

Ku melongok keluar jendela
Memandang sekitar
Ke utara tampak Gunung Merapi
Memancarkan keindahannya

Tidak ada kabut menyelimutinya
Tidak ada penghalang yang menghalangi mata
Aku terpana melihat keindahan itu
Lama ku menatapnya

Betapa indah ciptaan-Mu Tuhan
Alam adalah tempat semua ciptaan
Di udara, matahari, langit, bumi, dan tumbuh-tumbuhan
Terima kasih Tuhan untuk CINTA-mu pagi ini

PA, 26/3/13

Gordi

ilustrasi google.co.id

Jangan katakan nasib. Nasib itu tidak ada. Tetapi ada orang yang selalu mendewakan nasib. Nasibmu mati duluan, nasibmu menderita sepanjang usia, nasibmu menjadi orang cacat.

Nasib itu tidak ada. Yang dikatakan orang itu adalah pelabelan sosial. Dan itu menyakitkan. Mereka berargumen nasib itu sulit diubah. Dan memang jika cacat kita sulit berubah. Tetapi bukan berarti itu nasib.

Lebih parah lagi orang menyebutnya takdir. Takdir yang dimaksud adalah keadaan yang diberikan Pencipta. Takdir menjadi pemabuk. Takdir menjadi orang melarat. Sekali lagi itu tidak ada.

Jangan pula menyindir nasib menjadi tahanan. Ditahan lalu ditembak. Mau bilang apa, nasi sudah menjadi bubur. Lantas apakah tahanan itu menjadi korban takdir atau nasib?

Bukan. Bukan itu lho. Mereka adalah korban balas dendam. Jika penyerang itu berasal dari kelompok korban pada kasus sebelumnya. Tetapi jika tidak, mereka itu adalah korban dari sistem yang tidak adil.

Andai mereka ditahanan di tahanan polisi, keadaannya boleh jadi tidak seperti ini. Tetapi lagi-lagi mau bilang apa, mereka ditahan di LP Cebongan. Mereka pun kini tidak bernyawa. Hanya tangis duka dan nada sedih yang ada. Nada haru menggema di sekitar keluarga, sahabat, dan kerabat korban.

Mungkin ada kelompok yang puas. Puas karena telah menghabisi nyawa 4 orang ini. Sampai kapan mereka ini puas? Entahlah, mungkin masih haus darah lagi. Boleh jadi mereka mencari korban tambahan. Jika itu yang mereka harapkan, sungguh mereka bak singa yang lapar. Tidak puas dengan kejadian memilukan beberapa malam lalu, masih mau mencari korban lagi.

Tetapi, kita berharap, cukuplah. Cukup dengan kejadian yang menimpa 4 orang ini. Mereka adalah korban. Semoga pelaku penyerangan diusut tuntas. Biarkan publik tahu bahwa sistem hukum kita seperti ini. Jika tidak, kami, yang menjadi masyarakat dan rakyat negeri ini bingung, sebenarnya ada apa dengan hukum kita? Jika ini tidak selesai, sungguh kami yang nota bene rakyat kecil ini akan ketakutan.

Dan, wahai pemerintah, tahukah kalian bahwa kami merasa takut? Kalau kami takut, masihkah kalian menangguhkan peristiwa ini tanpa ada keadilan yang ditampakkan kepada publik? Kalau kami takut, kami tidak bebas lagi tinggal dan hidup di negeri tercinta ini. Bukankah ini negeri kita bersama?

Besar harapan kami agar kasus ini segera diusut. Semua pihak bahu membahu menyelesaikannya. Jangan biarkan kami bertanya berlama-lama, mencari titik akhirnya.

PA, 25/3/13
Gordi


ilustrasi, kapanlagi
Topik penjara di Sleman atau LP Cebongan ramai dibicarakan di kompasiana. Isu itu memang membuat mata banyak orang terbuka. Terbuka untuk melihat bahwa penjara memang bukan tempat aman.

Saya melihat ketidaknyamanan ini seperti bisnis narkoba, tempat pemerasan, tempat yang tidak layak hidup kalau di dalamnya ada adu pukul untuk anggota baru, dan yang baru saja kita dengar, nyawa melayang di penjara.

Saya bayangkan andai penjara yang dihuni para artis dan koruptor seperti Jupe, Anggie, dan beberapa koruptor lainnya, diserang massa seperti di Cebongan, betapa publik lebih marah lagi.

Apa pun motifnya, tidak dibenarkan tindakan penyerangan seperti itu. Ini bentuk kekuasaan yang melampaui wewenang penjaga penjara dan tahanan. Penjara sebenarnya menjadi tempat membina para tahananan dan bukan tempat mengakhiri hidup. Bukan pula tempat untuk membalas dendam.

Semoga peristiwa ini tidak terulang lagi. Untuk itu, usut tuntas pelaku penyeranngan. Dari oknum atau kelompok mana saja hendaknya diselesaikan secara hukum. Kalau tidak mata rantai ini akan berlanjut. Esok-lusa tiba-tiba ada penyerangan lagi.

PA, 24/3/13

Gordi

Sebuah usaha atau kerja keras akan bermakna jika disertai pengorbanan total. Tanpa pengorbanan kerja keras itu bisa dianggap sia-sia belaka. Atau juga bisa dicap bekerja karena ada dalil. Ada niat tersembunyi di baliknya. Ada intrik tertentu di baliknya. Lain kalau dikerjakan dengan niat tulus dan pengorbanan total, kerja keras itu membawa kepuasan batin bagi pekerjanya.

Seorang tukang sampah sekali pun akan merasa puas jika ia bekerja dengan pengorbanan. Dari pagi hingga sore bekerja memungut sampah. Siang bolong di bawah terik matahari dia berkorban. Mendorong gerobak, melewati gang kecil nan sempit, menghirup udara kotor dan memuakkan di siang bolong. Itulah model pengorbanannya.

Dia menjalankan itu bukan semata-mata demi memperoleh rezeki. Meski tak dipungkiri niat itulah yang mendorongnya berkorban. Tetapi di balik rezeki itu, dia sebenarnya berkorban demi kebaikan bersama. Tanpa dia, sampah berserakan dan menimbulkan penyakit. Bau tak sedap di sekitar perumahan, dan sebagainya.

Ini pun dirasa oleh ibu rumah tangga. Ketika beliau tidak datang mengambil sampah, sampah bertumpuk. Ibu jadi bingung mau dikemanakan sampah-sampah itu. Mau dibuang sendiri tak mungkin. Sebab, masa untuk buang sampah sedikit saja harus berjauh-jauh ke tempat pembuangan sampah akhir ibu kota.

Di Jakarta, sekitar Gelora Bung Karno, baru saja ada perhelatan besar. Pertandingan antara Indonesia dan Arab Saudi dalam rangka kualifikasi Piala Asia-Australia 2015. Jumlah penonton diperkirakan 17 ribu orang. Berapa jumlah sampah yang terbuang? Pasti ada banyak. Tak mungkin jumlah penonton demikain tidak meninggalkan jejak buruk—sampah—di sekitar area penonton.

Di sana ada tukang sampah yang bekerja keras membersihkan area penonton. Juga di area lain di sekitar kawasan itu. Belum lagi sampah yang berserakan di jalan masuk. Tetapi siapa peduli dengan sampah ini?

Manusia dengan enteng membuang begitu saja. Tak memikirkan kalau sampah sekecil itu bisa menimbulkan penyakit. Lagi-lagi tanpa sadar membuang begitu saja. Sebuah kebiasaan jelek yang diturun-temurunkan.

Salut pada tukang sampah yang bekerja dengan pengorbanan tinggi. Jasamu besar bagi banyak orang. Semoga dengan kiprahmu banyak orang makin sadar betapa menertibkan sampah itu menjadi bagian dari tata hidup bersama.

Ini hanya celotehan belaka. Penulis pernah menjadi tukang mulung di ibu kota. Jadi, penulis tahu pekerjaan tukang sampah itu seperti apa. Paling tidak sudah mencicipi pengorbanannya meski hanya beberapa bulan saja.

PA, 24/3/13
Gordi



Rasa senang muncul ketika membuka kompasiana.com siang ini. Saya mengira masih macet. Saya pun memutuskan untuk bekerja dulu pada pagi tadi. Ya pekerjaan seorang tenaga kerja, membersihkan dan mencuci mobil. Mencuci bagian luarnya dan membersihkan bagian dalamnya. Debu-debunya diisap pakai mesin pengisap debu.

Setelahnya saya beristirahat sejenak dan membuka kompasiana. Mata belalak karena tampilannya berubah. Bukan perubahan besar dan baru. Perubahan dari tampilan kemarin saat sedang macet.

Mudah-mudahan ini sudah bagus sekali. Keamanan atau perlindungan data-data di kompasiana makin baik. Biar kompasianers bisa berdunia maya dengan nyaman dan tak khawatir. Rasa khawatir kadang membuat tidak nyaman menulis. Tidur pun terganggu. Minat menulis juga demikian.

Akhirnya, terima kasih untuk tim admin. Saya mengucapkan terima kasih meski sudah banyak kompasianers yang sudah mendahului mengucapkan itu. Saya juga mengucapkan selamat bertemu kembali kepada teman-teman kompasiana. Semoga perubahan ini membawa semangat baru bagi kita semua. Selamat siang.

PA, 23/3/13
Gordi



Ada dua makanan wajib orang Indonesia yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di media massa. Penguasa pun kadang-kadang gerah ketika rakyat menyinggung soal itu. Tudinggan lalai dari tanggung jawab begitu cepat keluar dari mulut warga kecil. Bukan asal keluar. Itulah ungkapan kekecewaan mereka. Ungkapan kekesalan. Karena itu menyangkut kehidupan harian mereka.

Bawang dan cabai. Dua makanan yang hampir dikonsumsi setiap hari. Bahkan lebih dari sekali sehari. Betapa terganggungya pola makan jika pasokan kedua makanan ini terganggu. Ini perkara perut. Ketika perut terusik, muncul pula hujatan dari dalamnya. Untung saja pertu tidak berontak. Tetapi dari kerongkongan ada permintaan makanan berasa bawang dan cabai. Maka, mau tak mau manusia mesti mencari kedua makanan itu.

Perut telanjur tergantung dengan rasa dua makanan ini. Maka, ketika itu hilang, perut tentu mencari. Apa lacur, manusia bukannya tidak mau memenuhi permintaan perut. Manusia gerah, harga dua barang itu melambung tinggi. Tidak sampai di udara. Tetapi, cukup membuat manusia susah memperolehnya di pasar.

Pertanyaannya mengapa harga bawnag dan cabai naik? Kalau bawang mulai turun, cabai malah naik. Mengapa ini terjadi? Rakyat menuding penguasa kurang becus menangani pasokan barang ini. Ya penguasa yang berhak menentukan pengaturan, pengedaran, dan keterjaminan barang-barang kebutuhan pokok seperti ini. Rakyat hanya tahu, barang itu ada di pasar, dibeli, dan dikonsumsi. Betapa pusingnya pemerintah/penguasa memenuhi kewajibannya mengatur barang ini.

Ya itu tugas yang diembankan kepada mereka. Sebelum menjadi penguasa di bidangnya, orangnya pasti tahu tugasnya. Nah, kalau sampai harga melambung seperti ini, tentu rakyat seluruhnya merasa gerah. Bagaimana mungkin, harganya langsung naik begitu saja. Perlu kajian mendalam akan kejadian ini. Kajian inilah yang hendaknya terus diupayakan. Jangan sampai ada keluhan baru dikaji. Kalau begini, apa saja kerjanya penguasa itu?

Rakyat merindukan makanan wajibnya. Jika pemerintah berbaik hati, biarkan kami menimati makanan kesukaan kami itu. Kami tahu mungkin sulit mengaturnya. Tetapi, kalian punya kuasa untuk mengatur. Aturlah sedemikian rupa sehingga kami bisa membeli makanan itu sesuai kemampuan ekonomi kami. Kami hanya menikmati sebagian kecil dari kekayaan negeri ini. Tolonglah kami wahaia penguasa.

PA, 21/3/13

Gordi

Onggokan pasir yang tak bernilai
Sia-sia belaka jika tak diolah
Datang karena dibawa air
Tertampung karena ditahan onggokan batu

Pasir itu sumber hidup
Darinya bisa memperoleh uang
Untuk membiayai kehidupan sehari-hari
Menyekolahkan anak-anak

Pasir itu ditampung dengan sabar
Kelak pada saatnya bisa diambil
Dijadikan bahan dasar pembuatan bata
Yang bisa dijual kepada yang memerlukan

Hanya butuh kesabaran
Sabar untuk menampung pasir
Sabar untuk mengambilnya dari kali
Sabar untuk mengolahnya menjadi bata

Juga siap untuk sia-sia
Sia-sia jika air hujan membawanya
Sia-sia Jika air banjir mengoyak onggokan itu
Sia-sia jika tidak menghasilkan uang sesuai harapan

PA, 20/3/13

Gordi


Pernah mendengar suara katak? Saya yang lahir dan hidup di kampung sudah biasa mendengar suara katak. Musim hujan menjadi musim suara katak. Telinga saya juga tidak asing dengan bunyi katak.

Beberapa tahun terkahir saya tidak emndengar suara katak lagi. Saya pindah ke kota dan tinggal jauh dari kampung halaman. Tidak ada katak meski hujan. Suara itu pun jadi asing di telinga.

Saya tinggal di kota Yogyakarta selama beberapa bulan belakangan. Kebetulan rumah kami agak luas. Ada selokan yang cukup panjang dan bersih. Nah, di sinilah saya menemukan katak. Suaranya keluar dari sini.

Sejak saya tiba di kota ini, beberapa kali saya mendengar suara katak. Bunyi itu khas dan musiman. Muncul saat musim hujan. Ketika hujan reda, suara katak mulai terdengar. Yang paling ramainya keluar dari sekitar selokan.

Saya tidak hanya mendengar tetapi melihat. Beberapa kali, sambil menutup pintu gerbang rumah, saya mengintip sumber suara. Saya melihat ada katak menempel di pinggir selokan. Dari situlah muncul suara itu. Ternyata bunyinya merdu. Tidak ada yang merebut bersuara. Jangan heran jika bunyinya saling bersahutan. Saya mendengar sahutan ini meski kadang-kadang memekakkan telinga.

Andai manusia bisa belajar dari suara katak, betapa indah hidup ini. Katak tidak merebut. Dia punya kuasa untuk bersuara. Dia juga punya hak untuk menunjukkan suaranya. Namun, mereka bersuara dengan teratur. Tidak saling rebut. Malah, saling bersahutan.

Saya membayangkan bunyi katak ini seperti irama tarian anak-anak Sekolah Dasar yang rapi dan indah dipandang. Bisakah manusia zaman modern ini seperti itu? Belajar dari sang katak, hidup untuk saling mendengar dan mengikuti dan tidak saling mendahului, saling merebut.

PA, 19/3/13

Gordi


Malam ini saya membuat kegiatan baru. Biasanya setelah makan malam, saya membaca koran lalu membuka internet.

Malam ini lain. Setelah makan, baca koran, lalu menonton TV. Tidak langsung buka internet. Namun, apa yang terjadi?

Saya menonton TV selama 15 menit. Menonton dua acara. Pertama adegan artis dan penjual makanan. Artis membeli makanan lalu memakannya. Kemudian dia membagikan kepada temannya. Dia membuat temannya menderita karena tidak bisa makan yang pedas.

Kemudian dia membayar semua makanan yang dibeli. Menariknya di sini dia membayar lebih. Dia sempat mengtakan, “Saya kaya, saya bayar berapa saja yang kamu dapatkan dalam sehari.”

Dia akhirnya membayar Rp. 300.000. Pertama dia memberi Rp. 100.000 kepada penjual. Kemudian, dia menambah Rp. 200.000. Woaoa... artis memang kaya. Tetapi, sebaiknya jangan foya-foya.

Acara kedua, on the spot. Saya tidak menikmati acara ini karena dapat bagian akhirnya saja. Ada kisah tentang perampok yang membantu orang miskin. Idenya sedehana. Dia merampok orang kaya dan memberi sumbangan untuk orang miskin. Maksudnya baik tetapi caranya kurang baik.

Setelah acara ini, saya tidak betah lagi menonton. Padahal saya menonton sendirian. Saya ingin membaca di ruang baca. Kebetulan ada 2 buku yang sedang saya baca. Saya memilih satu. Menarik sekali. Saya menikmati membacanya. Namun, setelah beberapa tulisan tuntas, saya tidak menikmati lagi.

Saya ingin membuka internet. Jadilah tulisan ini. Saya menulis dari pengalaman saya yang tidak betah menonton TV dan membaca. Saya betah menulis. Saya berkomitmen, setelah tulisan ini diposting, saya melanjutkan membaca kedua buku tadi.

Dunia membaca jangan ditinggalkan. Kebetulan di salah satu buku ada kutipan menarik, “Seorang pembaca belum tentu menulis. Tetapi seorang penulis pasti membaca.” Menarik bukan?

PA, 18/3/13

Gordi

Ada berita Jakarta terancam kekurangan air bersih. Muncul pertanyaan benarkah itu? Apa jadinya jika Jakarta kekuarngan air bersih? Ibu kota negara kok kekurangan air bersih?

Pertanyaan akan bertambah jika mau sekadar bertanya mencari penyebabnya. Saya kira para ahli sudah tahu akan hal ini. Semua orang juga tahu, Jakarta kekurangan air bersih. Jumlah penduduk saja membludak otomatis kebutuhan air bersih meningkat.

Yang tidak jelas adalah penyelesaiannya. Belum ada isu menarik dan aktual untuk mengatasi hal ini. Ada wacana pemurnian air Ciliwung. Kelak, air itu bisa diminum setelah disaring dan dimurnikan. Air yang jijik jika dilihat itu akan menjadi air yang menghidupi warga Jakarta.

Tetapi apa gerangan, wacana itu tinggal wacana. Buktinya, isu kekuarangan air mencuat lagi. Kalau toh ada yang ahli mengurai air itu, mengapa tidak segera dilakukan? Atau masihkah berkutat dengan birokrasi yang berbelit?

Warga membutuhkan air bersih. Itu persoalan utama. Maka, sebaiknya itu yang menjadi target untuk dicapai. Bagaimana saja caranya air bersih harus sampai di rumah warga. Kalau tidak, apa pun wacannya, warga sudah bosan mendengar wacana besar-kecil tentang pengadaan air bersih.

Saya bayangkan nanti huru-haranya warga Jakarta merebut air bersih. Air dari sekitar Jakarta pun akan ditarik. Ditarik dalam arti, dijual ke Jakarta. Pengeluaran warga pun bertambah. Ini aspek sosial dan ekonominya.

Selain itu, apa jadinya penilaian warga dunia terhadap kota Jakarta? Ibu kota negara Indonesia kekurangan air bersih. Padahal Indonesia juga terkenal dengan hutan tropisnya. Mereka akan bertanya, kalau begitu kemana hutan di Indonesia?

Mereka memang tidak tahu, kalau Indonesia itu negara kepulauan. Hutan yang tersisa sedikit hanya ada di Pulau Sumatera, Jawa, dan Irian, sedangkan di Jawa, ada kekurangan air bersih. Jadi, menurut kita, tidak ada hubungannya hutan dengan kurang air.

Tetapi, warga luar menilai ini ironis. Antara hutan dan kekurangan air. Citra mereka akan Indonesia mengarah pada negatif. Kalau ibu kotanya saja—di mana ada kantor kerja presiden dan pemimpin tinggi negara lainnya—kekurangan air, apa lagi daerah lainnya. Citra ini akan memengaruhi sektor pariwisata. Mereka enggan datang ke Indonesia.

Dari semua yang dibahas ini, intinya adalah segeralah mengatasi persoalan air di Jakarta. Warga tahu, masalah ini tidak mudah ditangani. Tetapi jika ada komitmen, masalah sebesar apa pun bisa diatasi. Warga pun setuju, apa saja yang diperintahkan pemimpinnya, asal itu demi kebaikan warga, mereka akan ikut. Asal komitmen pemimpin mesti ada lebih dulu.

Saya kira Jokowi-Ahok beserta para pemimpin pemerintah lainnya di Jakarta akan mengatasi hal ini.

PA, 18/3/13

Gordi



Yang lama tidak selamanya sudah kuno. Kalau modelnya kuno tentu masih ada yang bisa diambil dari model itu.

Buku lama bisa dianggap sebagai barang kuno. Tetapi sebenarnya tidak ada istilah buku baru. Ada buku baru kemudian besok sudah menjadi buku lama ketika ada buku yang baru diterbitkan.

Saya tadi membuka-buka 2 majalah lama. Terbitan tahun 1994 dan 1995. Sekadar iseng daripada duduk saja di perpustakaan. Naluri membaca saya langsung muncul ketika masuk ruang pustaka.

Meski sekadar membuka-buka, saya menemukan hal baru di dalam kumpulan jilid majalah lama itu. Saya jadi tahu perkembangan sebuah kasus pada waktu itu. Ada juga kolom yang ditulis oleh tokoh/penulis terkenal hari-hari ini. Ternyata mereka ini menulis sejak dulu. Sebutlah nama beken Karni Ilyas yang sekarang menjadi pemimpin redaksi TV One.

Dia dulu menulis di majalah FORUM dan menjadi pemimpin redaksi di situ dari tahun 1991-1999. Saya jadi tahu latar belakang tokoh ini. Boleh jadi saya hanya tahu kalau dia ini hanya wartawan TEMP dan bekerja di TV One, kalau tidak membuka majalah lama ini.

Ah sungguh mengasyikkan membaca buku/majalah lama. Tidak selamanya kuno. Tulisan lama kadang-kadang bisa menjadi informasi menarik yang terkait dengan perkembangan sekarang.

Jadi, yang lama tidak selamanya kuno. Dan yang lama jangan dibuang. Tentu kalau tidak ada tempat penyimpanan boleh dibuang atau disumbnagkan ke perpus daerah, teman, sekolah, kampus, dan sebagainya. Saya beruntung punya waktu untuk berkunjung dari satu pustaka ke pustaka lainnya, dan sempat membuka-buka majalah lama.

Dengan demikian, tidak ada argumen tidak ada bahan untuk dibaca. Bukalah majalah lama dan bacalah informasi di dalamnya. Semoga ebrmanfaat dan menginspirasi.

Salam awal pekan.

PA, 18/3/13

Gordi


Burung nuri
Tergantung di sangkarnya
Di atas wadas cantik
Terperangkap

Dia berkicau pada waktunya
Kadang-kadang ribut
Suaranya melengking
Kadang-kadang hanya sebentar saja

Kicauannya bermakna
Kalau kicau panjang ada maksudnya
Ia lapar
Ia haus

Kalau kicau pendek
Ada maksudnya juga
Ia hanya menunjukkan kehebatannya
Ia hanya ingin tampil

Kadang-kadang kicauannya amat berarti
Misalnya kalau ada tamu
Dia berkicau
Memanggil tuannya

Kadang-kadang ia berkicau
Karena hendak minta makan
Kicauannya selalu bermakna
Kalau salah ditafsirkan bisa jadi bermasalah

Kicauannya juga
Menjadi teman berbincang
Meski ia tak tahu
Bahasa manusia

Ia mengerti apa maksud tuannya
Ia dilatih untuk berbuat begini dan begitu
Dengan tamu ia ramah
Kadang ia marah bila tamu tak memberinya pisang

Burung nuri
Burung sahabat setia
Burung penghilang kebosanan
Burung pelipur hati yang sedih

PA, 15/3/13
Gordi


Segelas air bening
Tergeletak di atas meja
Lama kumemandangnya
Bening......

Air itu siap diminum
Apa daya aku sibuk dengan aktivitasku
Aku hanya melihatnya
Kerongkongan mulai kering

Ayo ambil segera
Namun langkahku terhenti
Ada yang lebih mendesak
Aku harus selesaikan pekerjaan ini

Air itu bening....
Berwadahkan gelas kaca
Mengkilat dan jernih
Siap memuas dahaga

Air itu sumber hidup
Siap membasahi kerongkongan
Menyegarkan tubuhmu seketika
Tak diragukan lagi peran air dalam tubuh

Masih kutatap air itu
Ada apa dengan tangan ini
Enggan mengambil
Padahal kerongkongan mulai kering

Suara hampir parau
Ayooo.....
Segera kuambil air itu
Membasahi kerongkongan yang kering ini

Seketika
Tubuhku segarrrrr
Tenaga baru
Semangat baru....


*puisi 4 menit

PA, 15/3/13

Gordi

Bawang-bawang
Merah, putih, bombay
Punya selera
Tinggal dipilih

Suka yang merah saja
Yang putih saja
Yang bobay saja
Atau semuanya

Rakyat memerlukan bawang
Itu makanan enak bagi mereka
Ya tanpa bawang jadi hambar
Hilang rasa dan nafsu makan

Apa daya
Kini jadi lain
Harganya melonjak
Melumpuhkan daya beli masyarakat bawah

Ke pasar tidak berselera
Ada bawang tetapi mahal
Di dapur tidak ada persediaan
Mau abaikan saja, selera makan hilang

Jadi gimana ni pemerintah
Maukah kalian membantu kami?
Jika kalian tak suka bawang
Jangan buat kami terpaksa tak suka

Kami betul-betul membutuhkan bawang
Kalau itu tidak ada lagi
Bagaimana kami makan?
Kami hilang selera makan tanpa bawang

Kalau boleh
Izinkan kami
Menikmati makanan kami
Biarkan kami membeli dengan harga yang cukup

PA, 15/3/13

Gordi


Barang berharga selalu menjadi rebutan. Emas adalah salah satu di antara sekian barang yang berharga. Ada laptop, tablet, hp canggih, dan sebagainya. Emas dan semua perhiasan emas menjadi target para pencopet.

Pencopet makin gila meraih barang tersebut. Di kereta, terminal, ruang tunggu, angkutan umum, dan tempat umum lainnya, terjadi perampasan emas. Yang paling rawan adalah kalung emas.

Ada pencopet yang makin gila lagi. Tidak puas dengan perhiasan emas, toko emas pun dibabat. Pemilik dan penjaganya dibekuk dengan senjata, barangnya dijarah. Ini pencurian besar-besaran. Bukan main untungnya jika emas tersebut laku. Dan bukan main ruginya bagi pemilik toko emas. Satu kilo gram emas saja, sudah menjanjikan duit melimpah bagi pencopet.

Pencopet tidak akan pernah jera. Dari toko emas ke toko emas, selalu kecolongan. Di beberapa kota, toko emas selalu menjadi target pencopet, selain mini market. Masyarakat kiranya sudah sampai pada bahaya ketakutan berhadapan dengan pencopet emas. Lebih parah lagi jika pemilik toko dihajar habis-habisan.

Mau jadi apa negeri ini? Mulianya logam emas itu, dikotori isu pencopetan emas. Memang emas itu menjadi perbincangan hangat di masyarakat negeri ini. Di beberapa tambang emas di negeri ini, masyarakat selalu rugi. Lingkungan sekitar mereka rusak, tidak ada untung bagi mereka, kemiskinan kian mengancam, dan sebagainya.

Singkat cerita, emas itu mulia. Namun pemiliknya tidak mulia. Pemakai kalung emas siap jadi target pencopet. Masyarakat dis ekitar tambang emas siap menderita kerugian lingkungan jika ada usaha tambang.

Emas itu mulia namun menjadi rebutan. Maka, emas yang mulia itu di satu sisi menjadi tidak mulia. Justru menjadi sumber konflik dan kekerasan dalam masyarakat.

PA, 14/3/13

Gordi


Masihkah kota menjadi tempat hidup yang layak bagi manusia? Kota menjadi tempat menarik bagi orang desa. Jangan heran jika orang desa berbondong ke kota. Mereka mendambakan hidup di kota. Jadilah kota sebagai tempat berkumpulnya orang desa.

Kota didambakan sebagai tempat nyaman untuk manusia. Hidup di kota kota serba enak. Demikian pikiran banyak orang desa. Apakah di desa tidak nyaman? Nyaman juga hanya saja gengsi orang desa mendesak mereka untuk tinggal di kota. Orang kota lebih maju, kata mereka.

Memang enak hidup di kota. Paling tidak sarana lancar. Mau di dunia nyata, transportasi, kebutuhan harian, maupun di dunia maya. Namun, apakah itu menjamin hidup nyaman? Sebetulnya tidak. Dampak negatifnya juga ada. Orang terkurung dengan kenyamanannya. Selain itu, keamanan menjadi barang mahal bagi orang kota.

Daya pikat kota makin tinggi. Dari orang desa hingga pencopet kelas kakap. Baik yang berdasi maupun yang di jalanan. Bukankah di kota, tinggal orang berdasi yang korupsi dan penjahat jalanan? Ya kota bukan lagi tempat yang nyaman bagi manusia. Maka, kota yang didambakan sebagai tempat nyaman kini menjadi tempat yang kurang manusiawi. Manusia tidak menjadi manusia yang seutuhnya ketika tinggal di kota. Manusia di kota menjadi pengecut, penakut, angkuh, dan tidak ramah. Kejahatan adalah tanda bahaya bahwa kota tidak layak bagi manusia. Masihkah kalian orang desa mau ke kota?

PA, 14/3/13

Gordi
Powered by Blogger.