Halloween party ideas 2015
Showing posts with label KOMPASIANA 1. Show all posts

foto oleh aqilfithri
Dua bulan lebih, kami tidak bertemu. Kampus ditinggalkan begitu saja. Kami tak tahu, siapa saja yang menjaga kampus kami selama liburan. Pastinya ada pegawai sekretariat dan perpustakaan yang selalu mengawal kampus tercinta ini.

Selama liburan, kami, para mahasiswi/a tidak bertemu secara fisik. Interaksi tetap terjalin melalui jejaring sosial. Inilah mudahnya zaman sekarang, kami bisa bertemu di dunia maya. Ada cerita yang terpotong-potong selama liburan. Misalnya, teman-teman yang mengadakan kursus di bidang tertentu sesuai minatnya. Ada yang mengambil kursus menulis, public speaking, spiritualitas, bertani, bertukang, petugas listrik, dan sebagainya. Ini semua, kami tahu lewat dunia maya.

Hari ini, Rabu, 1/2/2012,kami bertemu secara fisik. Cerita liburan sudah dikisahkan sebagiannya. Namun, kami tetap membahas kegiatan liburan. Diawali dengan jabatan tangan sebagai tanda baru bertemu lalu berbincang mengenai kabar harian.Alhamdulilah, teman-teman saya sehat semua. Tak ada yang kurang. Yang tidak hadir hari ini adalah mereka yang mengambil mata kuliah yang berbeda dengan kami. Meski tidak kuliah, mereka sibuk menyelesaikan skripsi di rumah. Pekerjaan ini yang membuat kami huru-hara dalam tugas harian belakangan ini.

Kami rindu bertemu dan lebih dari bertemu, kami rindu dengan kampus kami. Kampus adalah tempat kami berjuang dengan susah payah mencari ilmu. Dalam kampus ini, kami bisa berkenalan dengan para dosen yang mencintai kami. Dalam interaksi itu, kami menjalin diskusi yang hangat tentang bidang yang kami geluti. Kami juga berkenalan dengan pemikiran para tokoh berkaliber di dunia melalui buku-buku di perpustakaan. Kampus memang menyediakan segalanya demi menunjang kegatan belajar kami. Makanya, kami rindu kembali ke kampus tercinta.

CPR, 1/2/2012
Gordi Afri

foto oleh comac70
Apakah Indonesia masih mempunyai hukum? Kalau masih, sudahkah hukum itu ditegakkan?

Begitu pertanyaan teman saya tadi pagi. Saya tak menyangka dia melontarkan pertanyaan setajam itu. Kami pun duduk di ruang kosong di sudut kampus. Teman saya ini tampaknya hobi mengumbar pertanyaan. Entah untuk apa dia bertanya, mungkin mencari tahu saja, mungkin mau mendapat jawaban, mungkin mau melihat reaksi kami, atau apa saja. Katanya, dia gerah melihat kondisi Indonesia sekarang ini. Saya salut dia memikirkan kondisi bangsa. Ini baru namanya nasionalisme. Nasionalisme tak harus bertumpah darah sampai mati. Nasionalisme juga mulai dari memikirkan nasib bangsa seperti ini.

Lima menit kemudian beberapa teman akrab mulai bermunculan. Rupanya mereka heran, ada apa kok pagi-pagi lampu ruang diskusi sudah menyala. Pasti ada orang di dalamnya. Beruntunglah, sesama hobi berdiskusi, mudah sekali tertarik membahas apa saja. Kami memang bukan para ahli atau pengamat. Kami hanya “pengamat kecil-kecilan” yang masih terkurung dalam tempurung akademik. Semoga suatu saat, suara kami bergema hingga luar sana. Bersama rakyat kecil yang menyuarakan kesejahteraan bersama. Kiranya ini impian rakyat Indonesia sekarang ini.

Kami mencoba mendiskusikan pertanyaan tadi. Ada apa sebenarnya dengan Indonesia? Pencurian marak di mana-mana, perampasan, perampokan, pembakaran kantor, demo, pemerkosaan, pencurian, dan pe-pe lainnya yang bersifat kriminal. Indonesia dengan pemandangan seperti ini serasa hutan belantara, tempat para binatang mencari mangsa seenaknya. Memang Indonesia masih ‘harum’ dengan predikatnya misalnya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan. Betapa tidak, banyak negara terancam dari segi ekonomi sekarang. Beruntunglah Indonesia masih bisa bertahan.

Kami mencoba mulai dengan melihat hukum di Indonesia. Yang kami tahu, hukum itu berfungsi untuk mengatur kehidupan bersama. Hukum menjadi pilar yang membangun keutuhan negara Indonesia. Kalau begitu, mengapa bangsa ini terus saja terpuruk padahal sudah lama hukum ada di negeri ini? Ada banyak hukum di negeri ini. Tentunya sesuai kehadirannya, hukum dibuat untuk mengatur kehidupan bersama. Ini tugasnya teman-teman yang belajar hukum, benarkah demikian asal-usul munculnya hukum.

Diskusi berjalan lebih kurang 45 menit. Saatnya kami siap-siap masuk ruang kuliah. Kami mencoba merangkum diskusi kecil-kecilan kami. Kami sepakat bahwa negara ini tampak seperti ‘hutan rimba’. Hukum yang ada tidak ditegakkan. Bangsa ini seperti dikepung oleh pelaku-pelaku yang kuat, yang siap menerkam mangsa yang lemah. Siapa saja yang tidak kuat, dia akan dikuasai oleh kaum penguasa. Rasanya tidak berlebihan jika belajar dari kasus pemerkosaan dan pencurian yang merebak akhir-akhir ini. Hampir tiap pekan muncul kasus serupa. Bagaimana menguranginya?

Kami sepakat hukum ditegakkan. Kalau pemerkosa diganjar hukuman seberat-beratnya, ada kemungkinan pelaku berikutnya merasa was-was sebelum berbuat. Kalau gerombolan pencuri yang beraksi di dekat mesin ATM atau di minimarket diganjar hukuman berat, boleh jadi pelaku berikutnya mulai takut. Paling tidak, pelaku tindak kriminal seperti ini diberi hukuman seberat-beratnya dan jangan bertele-tele dalam penyelidikan. Sayangnya, negeri ini berjalan lamban. Menyelidiki satu kasus saja bisa bertahun-tahun. Kasus bank century bahkan belum ada ujungnya. Padahal bertahun-tahun berlalu.

Kami tetap yakin, kalaiu pelaku diganjar hukuman berat bila perlu hukuman mati, tindakan kriminal berkurang. Berlebihan kiranya kalau menerapkan hukuman mati. Masa pencuri sendal dihukum mati? Intinya bahwa, kami mau supaya pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang membuatnya jera. Kami tahu latar belakng tindakan itu beragam sehingga hukumannya tidak bisa disamakan. Namun, kami yakin kalau penyelidikannya bertele-tele, kasus kriminal di negeri ini semakin bertambah. Akhirnya, tinggal menunggu waktu negeri ini benar-benar hutan rimba raya. Rakyat semakin beringas memangsa sesamanya. Rakyat Indonesia tentunya tidak ingin hal itu terjadi. Maka, mari kita mulai memulihkan negeri ini. Pemerintah dan DPR juga bekerja keras. Diskusi selesai dan selamat memulai kuliah lagi….

CPR, 7/2/2012
Gordi Afri

foto oleh chris" 1st account
Masalah banjir di Jakarta sudah menjadi tradisi tahunan. Ada teman yang menyebut banjir besar ini datang tiap lima tahunan. Muncullah istilah banjir besar lima tahunan. Sementara banjir kecil selalu menghantui warga Jakarta tiap tahun.

Salah satu penyebab banjir ini adalah kurang lancarnya peredaran air dibeberapa kali di Jakarta. Ada alur kali yang cukup jelas namun air tidak bisa mengalir lancar.

Kali penuh dengan sampah-sampah yang menghambat aliran air. Maka, tak heran kalau orang menyebut Kali Paling Kotor (KPK) di Indonesia adalah kali di Jakarta.

Tidak menutup kemungkinan kali di kota besar lainnya di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Hanya saja, Jakarta sudah terkenal dengan kalinya yang kotor. Di balik peranan Jakarta sebagai ibu kota negara, kota metropolitan ini  menjadi ‘buah bibir’ orang ketika dikaitkan dengan masalah banjir.

Ini adalah beberapa foto yang diambil pada tahun 2010 yang lalu. Pemandangan di sekitar selokan Jalan Gunung Sahari-Mangga Besar. Dalam keadaan normal ketinggian airnya seperti ini. Hanya tersisa ruang sekitar 30-40 senti meter di atas permukaan air. Tak heran jika hujan turun  sekitar satu jam saja, permukaannya naik sampai ke bibir jalan.

Sampai kapan kali ini bersih? Begitu pertanyaan yang sering muncul. Di beberapa kali, terus menerus dilakukan pengerukan pada dasar kali. Namun, cara ini tampaknya tidak menyelesaikan masalah dasarnya. Tidak lama kemudian, permukaan kali naik lagi. Sampah-sampah terbenam dan bertumpuk di dasarnya sehingga permukaan air naik.

Jawaban atas pertanyaan ini adalah sampai warga Jakarta tertib membuang sampah ke sungai. Jawaban sepele namun pelaksanaannya tidak sepele. Budaya tertib sampah belum mengakar. Mari menyayangi lingkungan hidup. Lingungan bersih, manusia pun sehat. Kali bersih, warga pun bangga.

CPR, 12/2/2012
Gordi Afri


foto anak-anak di daerah Cilincing oleh moelzcore
Di sela-sela pelajaran bersama anak-anak, saya menyelipkan pertanyaan tentang masa depan mereka. Kalian mau jadi apa nanti kalau sudah besar? Pertanyaan untuk merangsang keinginan mereka melanjutkan sekolah.

Ada beragam jawaban. Saya mau jadi tentara, kata orang pertama. Saya mau jadi guru, saya mau jadi olahragawan, saya mau jadi pilot, demikian jawaban beberapa orang. Ada dua orang yang mau jadi TKI di luar negeri. Beberapa lagi mempunyai jawaban sama, mau jadi perawat/bidan sehingga bisa mengobati orang sakit di sekitar.

Saya bangga dengan jawaban anak-anak. Jika semuanya berjalan sesuai cita-cita, hanya dua orang yang ingin mengabdikan tenaganya di luar negeri. Sebagian besar untuk negeri ini. Bahkan yang bercita-cita menjadi perawat/bidan mau mengabdi untuk keluarga.

Tak masalah punya cita-cita. Dibandingkan saya, mereka memiliki keinginan kuat untuk meraih cita-cita itu. Saya dulu punya banyak cita-cita, guru, mantri, pastor, tentara, dan sopir angkot. Dalam benak anak-anak ini terpampang situasi masa depan yang akan dihadapi. Mereka pun tampaknya ingin menghadapinya dengan baik. Dengan cita-cita yang ada, mereka belajar mempunyai satu tujuan.

Lepas dari berubahnya cita-cita itu, saya tahu akan ada kesulitan besar. Keluarga mereka sebagian besar tidak mampu melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Tak jarang sebagian besar memilih sekolah kejuruan sehingga cepat bekerja dan mencari uang untuk keluarga. Orientasi praktis. Memang itu yang dibutuhkan. Namun untuk itu juga tentu butuh perjuangan.

Ada cita-cita sudah cukup bagi orang tertentu. Cita-cita inilah yang menanamkan kemauan untuk belajar kepada anak-anak. Kata sebagian orang, kalau ada kemauan pasti ada jalan. Saya yakin kalau anak-anak memiliki kemauan kuat, mereka akan diberi jalan sampai cita-cita itu. Bukan tak mungkin ada yang membantu dalam proses pendidikan mereka nantinya.

Ada banyak anak sekolah yang mempunyai cita-cita mengubah keluarga. Namun selalu kandas dengan biaya untuk meraih cita-cita itu. Di Jakarta pasti banyak. Meskipun banyak orang kaya Jakarta, orang miskin juga banyak. Mungkin jumlahnya kecil ketimbang orang kaya atau menengah ke atas, namun keadaan orang miskin di Jakarta amat memprihatikan.

Ada rasa miris ketika melewati kompleks perumahan orang miskin di Warakas. Mengapa mereka seperti ini? Apakah rasa keadilan sosial di kota ini sudah tumpul? Banyak anak orang kaya menikmati kesenangannya di rumah-rumah elit, di mol, di tempat pariwisata. Namun, anak-ana miskin ini hanya bisa bersenang-senang di sekitar tumpukan sampah, di bawah tol, di sekitar rumah yang sesak, di sekitar selokan yang bau dan kotor.

Anak-anak teruslah bermimpi menggapai cita-cita. Akan ada orang yang melihat perjuangan kalian. Semoga banyak orang yang memperhatikan keadaan kalian nantinya. Tidak semua orang kaya di Jakarta menutup mata dengan keadaan orang miskin. Masih banyak juga yang membuka mata lebar-lebar dan memikirkan perubahan mereka. Kiranya tinggal menunggu waktu juga untuk memulai perubahan itu.

Namun, sebelum semuanya itu terjadi, biarlah kalan mengubah keadaan keluarga. Perubahan dari dalam akan sangat terasa ketimbang menunggu perubahan dari luar. Terima kasih anak-anakku, kalian mempunyai cita-cita yang mulia, mengubah keadaan keluarga.

CPR,13/2/2012
Gordi Afri

foto oleh Bambang Subaktyo
Membantu sesama tak harus dengan modal uang. Memiliki uang banyak tidak otomatis bisa membantu sesama. Banyak orang mencari uang. Namun, banyak orang memiliki uang banyak yang hatinya haus akan ketenangan. Modal utama membantu sesama adalah kemauan yang kuat.

Di sekitar jalan ke kampus kami, ada banyak gang kecil. Tak ada angkutan kota yang melewati jalanan ini. Yang bisa masuk hanya bajai dan mobil pribadi. Kami yang sering menggunakan sepeda, bisa dengan leluasa melewati daerah ini. Hanya saja ada dua hal yang membuat kami ekstra hati-hati. Pertama, banyaknya polisi tidur. Kedua, banyak anak kecil berkeliaran.

Di setiap gang pasti ada sekelompok tukang ojek. Ada yang tiga orang, dua orang, dan empat orang. Yang paling ramai ketika pagi hari. Mereka berjasa mengantar anak sekolah atau juga orang dewasa yang berangkat pagi ke tempat kerja. Mereka biasanya mengantar ke halte trans-jakarta terdekat atau ke jalan utama di mana angkot lewat.

Menjadi tukang ojek itu tidak selalu dipandang rendah. Beberapa teman tukang ojek pernah bercerita, kalau sebagian dari mereka itu adalah penganggur. Ada yang baru saja dipecat dari kantor karena perusahaannya bangkrut. Ada juga yang memang tidak punya pekerjaan tetap. Ada yang memang ‘panggilan’ hidupnya di situ. Ada yang sudah belasan tahun menjadi tukang ojek. Mau tidak mau untuk menghidupi keluarga, mereka jadi tukang ojek. Apa pun pekerjaannya asal menghasilkan duit. Begitu filosofi mereka setelah tidak punya pekerjaan tetap.

Beberapa kali saya bersama tukang ojek membantu korban tabrak-lari di jalanan. Kebanyakan korban kecelakaan di jalanan mendapat pertolongan pertama dari tukang ojek. Sebelum warga sekitar datang, tukang ojek menjadi kelompok pertama yang memberi pertolongan. Mereka membantu tanpa mengharap imbalan. Mengantar ke rumah sakit, menyelamatkan dompet dan handphone korban, membantu menghubungi keluarga korban, dan sebagainya.

Menjadi tukang ojek memang tak melulu mencari uang. Mereka turut membantu memperlancar perekonomian bangsa dengan mengantar pekerja ke kantornya. Mereka juga membantu dalam bidang pendidikan dengan membantu para orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah. Mereka juga membantu dalm bidang sosial dengan memelopori solidaritas warga untuk korban kecelakaan di jalanan.

Sudah saatnya bangsa ini kembali ke filosofi tukang ojek. Jangan melulu mencari keuntungan yang malah menyengsarakan sesama. Kalau orientasinya uang melulu, banyak rakyat yang tidak mendapat bagian. Uang negara disedot ke kantong sekelompok orang tertentu. Jurang antara kaum berada dan kaum tak berada semakin lebar. Dari sini muncul kecemburuan sosial.

Tukang ojek pun tidak ada yang ego. Kalau seorang baru saja selesai mengantar penumpang, dia tidak mengantar lagi jika masih ada teman yang belum mendapat giliran. Dalam hal ini tukang ojek beda dengan sekelompok kaum berpunya yang merebut diskon 100 pembeli ipone terkemuka di negeri ini. Tak heran jika tukang ojek itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

CPR,16/2/2012

foto oleh hukum97
Pernahkah para sahabat sekalian melihat anak kecil mencium tangan orang tuanya sebelum bepergian? Jika tidak dengarlah cerita saya berikut ini. 

Setiap hari Sabtu, saya mendampingi anak-anak di daerah Warakas, Jakarta Utara. Mereka biasanya berkumpul di satu rumah dan belajar bersama. Saya dan beberapa teman di sana membimbing mereka. Berbagai mata pelajaran di sekolah kami pelajari bersama. Sebelum mulai pelajaran-yang biasanya berlangsung jam 8-9-anak-anak dilatih untuk membaca buku bacaan yang ada di rak buku. Tidak semua anak mengikuti kegiatan membaca ini. Tetapi, untuk mereka yang datang lebih awal, diwajibkan untuk membaca.

Sebelum anak-anak meninggalkan ruang belajar, mereka dibiasakan mengucapkan terima kasih kepada para pengajar. Selain ucapan, mereka biasanya mencium tangan para pengajar. Kami berjabatan tangan lalu anak-anak mengangkat tangan kami ke kepala atau ke pipi mereka. Tentu saja mencium tangan di sini jangan diartikan sebagai ungkapan kesombongan. Mosok kami menyuruh anak-anak mencium tangan kami supaya dilihat sebagai orang yang berkuasa. Tidak!

Saya tidak tahu, siapa yang melatih mereka seperti itu. Pertama kali membantu di sana, saya kaget ketika anak-anak mencium tangan saya. Untung saja, setelah selesai mengajar, saya selalu mencuci tangan, membersihkan bekas kapur atau spidol di jari. Kebiasaan ini pun sudah menjadi tradisi di sana. Anak-anak juga sudah tahu, beginilah mereka mengungkapkan tanda terima kasih mereka kepada orang yang dituakan, termasuk orang tua sendiri.

Ungkapan semacam ini pernah saya lihat sebelumnya di sebuah panti asuhan di daerah Jakarta Selatan. Lagi-lagi tangan saya dicium atau diletakkan di atas kepala mereka sebelum bepergian, misalnya ke sekolah. Saya geli tetapi lama-kelamaan jadi biasa.

Ada yang mengartikan ungkapan seperti ini sebagai tanda minta restu (berkat) dari orang tua. Ketika anak mencium tangan bapak dan ibu di pagi hari, di situlah anak meminta restu orang tuanya sekaligus minta berkat atas kegiatannya pada hari itu. Kalau begitu saya pun jadi bangga karena saya ini menjadi sumber berkat bagi anak-anak itu.

Tampaknya anak-anak yang terbiasa dengan hal ini patuh pada orang tua. Saya melihat anak-anak di Warakas berbeda dengan anak-anak lainnya yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini. Saya tidak sedang mengadili mereka yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini. Masing-masing orang tua mempunyai cara mendidik yang berbeda terhadap anak-anaknya. Tentu saja masih ada anak-anak yang baik yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini.
Yang mau saya katakan adalah anak yang terbiasa dengan hal ini mempunyai sikap patuh kepada orang tuanya. Sebelum bepergian dia meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan sikap bertanggung jawab, lebih tepatnya patuh kepada orang tua. Beberapa orang tua di Warakas mengakui hal ini. Mereka jarang cemas dengan anak-anak mereka yang sedang berada di sekolah karena mereka yakin anaknya selalu minta restu sebelum bepergian. Anak-anak tidak mau pulang kalau orang tuanya belum menjemput. Anak-anak juga jarang keluar rumah tanpa sepengetahuan orang tua.

Gordi Afri
17/2/2012


foto dari google
DPR kini sedang menyosialisasikan tata cara berpakaian khususnya bagi staf perempuan, untuk berbusana lebih sopan, tanpa menggunakan rok mini di kompleks parlemen ini.

Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung hal ini merupakan bagian dari pembenahan dalam rangka perbaikan citra DPR. Aturan yang merupakan arahan badan urusan rumah tangga (BURT) kepada sekjen DPR ini ditujukan juga kepada semua staf dan anggota DPR. Jadi, bukan hanya sekretaris dan staf yang diperbaiaki cara berpkaiannya, cara berpakaian anggota DPR juga turut diperbaiki.

Pertanyaannya adalah apakah citra DPR bisa diperbaiki dengan tata cara berpakaian ini?
Bisa diduga bahwa citra DPR kini sedang buruk di mata masyarakat bukan karena stafnya berpakaian seksi tetapi karena masalah korupsi. Jadi, sebenarnya yang perlu dibenah adalah perubahan perilaku korup ini. Meskipun ini tidak dilakukan secara kolektif namun perilaku seorang anggota DPR yang korup bisa merusak citra anggota DPR secara keseluruhan. Citra buruk karena perilaku korupsi memang bukan hanya milik DPR, kaum eksekutif dan yudikatif juga hampir kena.

Daripada sibuk mengurus rok mini di DPR, lebih baik mereka mengubah perilaku korup yang melekat dalam diri beberapa anggotanya. Bukan tidak mungkin giliran berikutnya ada yang tertangkap korup. Pakaian seksi sama sekali tidak akan mengubah perilaku korup. Pakaian seksi juga sbenarnya merupakan bagian dari seni. Memang perludikritisi karena seni juga mengenal tempat. DPR bukan tempat yang baik untuk pameran seni berpakaian seksi.
Sayang sekali bahwa kebiasaan untuk menilai seni dari berpakaian rok mini belum dimiliki oleh sebagian orang sehingga ada interpretasi macam-macam terhadap perempuan berpakaian mini.

Berpakaian sopan memang merupakan bagian dari budaya timur dan budaya bangsa. Salut dengan anggota DPR yang menjunjung tinggi nilai budaya ini. Lebih bagus lagi kalau menjunjung tinggi nilai budaya lain seperti tidak korupsi. Budaya tidak korup inilah yang bisa mengembalikan citra DPR dan membangun kesejahteraan bangsa. Akhirnya, marilah kita semua berubah bukan hanya soal luar (berpakaian seksi) tetapi juga soal dalam (perilaku sehari-hari).

Semoga, dengan pakain yang tidak seksi di DPR, penghuni rumah ini juga tidak mempunyai ‘dompet rancangan UU ’ yang seksi. Jika bisa diselesaikan dengan cepat mengapa harus ditampung di ‘dompet’?


CPR, 6/3/2012
Gordi Afri

foto oleh Surlygirl
Makan malam dengan nasi itu biasa bagi kebanyakan orang Indonesia. Makan malam dengan dua potong roti itu luar biasa. Apalagi bagi saya yang Indonesia tulen.

Roti adalah makanan khas orang Eropa. Sejak kecil, mereka sudah merasakan enaknya roti bakar. Konon, mereka biasanya meracik roti itu dengan makanan lain seperti telur, sayur, dan tomat. Saya melihat beberapa kali, mereka meracik roti bakar itu. Kelihatannya mereka sangat menikmati makanan itu.

Roti bagi mereka adalah sarapan. Roti hanya dimakan pada saat pagi hari. Makan siang dan malam dengan menu yang berbeda. Jadi, roti digunakan sebagai makanan “alas perut’ sebelum berangkat kerja bagi orang Eropa.

Menjadi aneh ketika orang Indonesia, maksudnya saya, makan roti ini untuk santap malam. Ada apa ini? Asal tahu saja, saya tidak sedang berguyon. Ini kisah sungguhan bukan rekaan.
Merunut ke belakang, saya pernah makan roti, baik pagi hari maupun siang hari. Rasanya enak. Beberapa kali sempat meracik sendiri. Ya itu tadi, roti dicampur telur, sayur atau tomat. Saya makan roti pada siang hari ketika sakit. Satu-satunya makanan yang “diterima perut” adalah roti. Saya “diperbudak” oleh perut. Tetapi tidak apa-apalah. Sehebat-hebatnya manusia, entah dia presiden, olahragawan, gubernur, perdana mentri, orang berkaliber, suatu saat mesti tunduk pada kemauan perut.

Bukan hanya malam ini saja, saya santap malam dengan dua potong roti. Tiga malam yang lalu, saya melakukan hal serupa. Ini terjadi karena ada masalah dengan mulut saya. Ini bukan soal selera makan. Toh, sebagai orang Indonesia, saya lebih mencintai nasi daripada roti. Kalau saya makan nasi, perut saya kenyang. Sedangkan kalau makan roti, perut saya masih meminta menu tambahan.

Tiga malam yang lalu, mulut saya (sebelah kiri) agak kaku karena kena bius. Persis sama dengan yang dialami malam ini. Dibius karena baru saja diadakan cabut gigi sebelah kiri bawah. Tenatng cabut gigi nanti saya ceritakan di blog ini. Itulah sebabnya, mulut saya tidak bisa berfungsi dengan baik. Bahkan, agak sulit untuk membuka dengan lebar. Yang jelas, agak sulit memasukan nasi dengan sendok ke mulut. Salah satu jalan adalah tidak boleh makan nasi untuk sementara. Dan, itu yang saya lakukan. Tetapi, saya memilih makan roti supaya perut tetap diisi makanan.

Lagi pula, saya mesti minum obat. Kata dokter, jangan minum obat dengan perut tanpa terisi makanan. Maksudnya jelas, minumlah obat setelah makan. Nah, kalau perutnya belum terisi makanan, bagaimana mau minunm obat? Makan roti saja biar gampang kunyahnya. Gara-gara cabut gigi, saya makan dua potong roti untuk santap malam.***

CPR, 12/3/2012
Gordi Afri

fotoo leh kecek
Mengapa muncul ide menulis tentang poligami? Ya karena istilah poligami itu masih menyimpan tanda tanya besar. Namun, seolah-olah kita menerimanya begitu saja selama ini. Makanya, ada ide untuk menelusurinya.

Poligami memang bukan kata yang baru bagi kita. Kata ini kerapkali digunakan entah untuk mengungkapkan fakta, menyampaikan guyonan, mengungkapkan tuduhan, dan sebagainya. Ini sah-sah saja sejauh sesuai konteksnya. Dan, tak seorang pun melarang siapa saja menggunakan kata ini.

Saya tidak mau mempersoalkan bagaimana kita menggunakannya. Yang dipersoalkan adalah arti kata ini mengundang tanda tanya besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa terbitan tahun 2008 mendefinisikan kata poligami demikian.Poligami (hal perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan lebih dari seorang). Poligami dikategorikan sebagai kata benda atau n. Kata ini bukan termasuk salah satu kata yang terdaftar tetapi hanya sebagai kata turunan atau kata lain dari pemaduan. Pemaduan diturunkan dari kata dasar madu.

Kata poligami dalam penegrtian di atas tidak adil. Yang disoroti hanya lelaki. Saya tidak sedang membela lelaki. Kebetulan saya lelaki tetapi tidak ada hubungan dengan maksud tulisan ini. Apakah hanya lelaki yang mempunyai hubungan dengan banyak perempuan? Kasarnya apakah lelaki saja yang kawin dengan banyak wanita? Apakah wanita tidak mempunyai suami lebih dari satu?

Boleh jadi kata poligami saja yang muncul karena kita di Indonesia-secara umum-menganut budaya patriarkat. Ini hanya kemungkinan yang muncul dalam benak saja. Saya tentunya tidak berandai-andai jika ini benar. Tetapi saya juga tidak mau menjadikan alasan ini sebagai dasar munculnya istilah ini. Yang jelas hanya penyusun kamus saja yang tahu. Atau bahkan mungkin penyusun belum memikirkan bentukan kata ini secara lebih luas.

Kata poli, kita sudah tahu, berarti banyak. Kata banyak mengandung pertanyaan lebih lanut, banyak apa? Banyak lelaki saja? Banyak wanita saja? Tentunya kalau mau adil banyak wanita dan lelaki. Faktanya memang ada satu lelaki yang menikah (atau mempunyai) dengan banyak wanita sekaligus. Dan, boleh jadi ada wanita yang menikah (atau mempunyai) dengan banyak lelaki sekaligus.

Oleh karena itu, alangkah baik kalau dua kata lanjutannya disertakan. Itulah sebabnya saya menyertakan dua kata lanjutan pada judul tulisan di atas yakni poliandri dan poligini. Tak perlu penjelasan banyak untuk dua kata ini. Asal tahu saja permasalahannya tadi. Poliandri itu untuk wanita yang mempunyai atau menikah dengan beberapa lelaki sekaligus. Dan, poligini untuk lelaki yang mempunyai atau menikah dengan beberapa wanita sekaligus.

Nah, kalau begitu untuk apa ada istilah poligami? Rasanya boros kalau ada tiga kata, toh yang efektif dua saja. Atau poligini atau poliandri. Dua kata ini sudah cukup untuk menjelaskan dua masalah tadi. Istilah poligami tampaknya menyangkut hubungan yang lebih dari satu (poli). Jadi, poligami mencakup hubungan antara satu wanita dan banyak lelaki atau hubungan antara satu lelaki dan banyak wanita. Maaf, sengaja memakai kata satu dan bukan seorang, untuk membedakan dengan banyak.

Demikian saja ocehan yang terlintas pagi ini. Selamat beraktivitas untuk semuanya. Salam kompasiana.

CPR, 19/3/2012
Gordi Afri

foto oleh Dismolanza
Jangan bilang sulit memulai menulis. Yang sulit adalah kemauan untuk menulis. Kalau kemauan ada, menulis jadi gampang. Ada kemauan ada jalan.

Saya punya satu tips untuk memulai menulis yakni melihat komentar atau berkomentar tentang satu tulisan. Saya yakin kalau kita sering berkomentar tentang tulisan teman, kita jadi terangsang untuk membuat tulisan.

Coba saja iseng-iseng membuat beberapa komentar pasti kita akan biasa menulis. Komentar itu sendiri termasuk tulisan. Tinggal saja mengembangkan komentar itu, jadilah tulisan yang siap ditayangkan. Jadi, mulailah dengan komentar.

Ini hanya salah satu tips. Ada banyak tips lainnya yang bisa membantu. Intinya jangan pernah mengeluh dengan membuat tulisan.

Komentar sekalipun itu sangat jorok, tetap ada manfaatnya. Bisa saja kita melihat pelajaran di balik komentar jorok itu. Nah, kalau yang jorok saja bisa diubah jadi yang baik apalagi komentar yang baik mungkin sekali dibuat lebih baik lagi.

Jadi, tunggu apalagi, mulailah menulis sekarang juga.
Selamat pagi semuanya,….

CPR, 23/3/2012
Gordi Afri

foto oleh wahyou_jp
Gubernur sebagai pemimpin masyarakat hendaknya tidak tinggal diam di kantor tetapi turun ke lapangan merasakan kehidupan rakyat kecil.

Terkait dengan pilkada Jakarta, ada beberapa hal yang mesti dirasakan juga oleh gubernur nanti. Masyarakat mengharapkan agar gubernur dan rakyat sama-sama merasakan hal itu. Bukan sekadar merasakan tetapi bagaimana mencari solusinya.

Masalah banjir misalnya. Semua warga sudah tahu kapan banjir itu menghantui mereka. Dan pada saat itu rakyat menjadi korban. Kantor-kantor pemerintah sampai istana juga terkena imbasnya. Tetapi masyarakat seolah-olah tinggal sendiri. Solusi yang diajukan pemerintah bersifat reaksif. Bantuan sementara untuk masyarakat biasanya hanya dengan memberi sembako dan peralatan transportasi lainnya. Nah, sampai kapan hal ini menjadi sandaran? Bukankah kalau ada solusi permanen, masyarakat Jakarta tidak sibuk lagi dengan masalah klasik ini?

Karena banjir merupakan masalah besar di Jakarta maka penanganannya mesti melibatkan semua warga Jakarta. Beberapa ahli tata kota baik dari dalam maupun luar negeri pernah mengatakan penanganan banjir mesti ada keterlibatan warga. Hanya dengan itu masalah banjir bisa diatasi.

Sebagai langkah awal, warga sebaiknya dilibatkan untuk menjaga pemukiman mereka agar tetap bersih. Pemandangan yang tidak asing kiranya ketika di mana-mana ada sampah berserakan. Lebih parah lagi ketika sampah itu menghambat perputaran air di setiap selokan. Kunci utama masalah banjir adalah masalah kelancaran saluran air.

Oleh karena itu, mesti ada gerakan dari atas yang didukung oleh gerakan dari bawah untuk menuntaskan masalah sampah yang menjadi biang keladi masalah banjir. Gerakan ini bukanlah gerakan sekali jadi tetapi membutuhkan proses. Tidak gampang menggerakkan warga Jakarta yang sudah sedemikian kehilangan kepekaan akan masalah sampah untuk berubah sikap. Tetapi seperti kata pepatah, tak ada yang sulit selain memulai mengerjakannya.

Tulisan ini terkesan ideal belaka namun saya yakin kalau masalah sampah diatasi, kehidupan warga Jakarta akan berubah. Oleh karena itu, kepada para calon gubernur dan wakil gubernur, harapan kami ini disampaikan. Kami akan mendukung dengan banyak bekerja (bukan banyak berkata-kata) jika bapak-bapak sekalian memulainya. Kami orang kecil kadang-kadang membutuhkan dukungan dari bapak-bapak yang mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan bersama.

CPR, 25/3/2012
Gordi Afri

foto oleh Melda Sitompul
Sebentar lagi pilkada DKI akan berlangsung. Ada berjuta janji dan berlaksa kata-kata yang akan didengarkan menjelang pilkada.

Saya mencoba melihat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan oleh calon gubernur ketika menjabat nanti. Hal yang akan diutarakan di sini muncul dari kondisi ril masyarakat Jakarta saat ini.

Jakarta sebagai kota khusus yang menjadi ikon negara Indonesia semestinya setara dengan ibu kota negara lainnya. Orang bilang melihat Indonesia itu seperti melihat Jakarta. Kalau Jakarta nyaman dan indah maka orang menilai Indonesia itu indah dan nyaman. Kalau orang Jakarta ramah maka orang akan menilai Indonesia itu ramah. Sebaliknya kalau Jakarta itu kotor, polusi, macet maka seperti itulah gambaran orang tentang Jakarta.

Maka, tidak salah kalau beberapa hal berikut menjadi perhatian untuk calon gubernur Jakarta.

Pertama, perbaikilah jalan-jalan di Jakarta. Banyak warga Jakarta mengeluh dengan kondisi jalan yang berlobang, rusak, sempit, macet, dan sebagainya. Jalan di Jakarta menjadi salah satu faktor penentu lancarnya perputaran perekonomian. Kalau ke pasar macet maka orang akan malas ke pasar. Kalau ke tempat kerja harus melalui kemacetan maka orang akan berdesak-desak merebut peluang untuk tiba di tempat tujuan. Banyak akibat yang ditimbulkan hanya dengan merebut jalan.

Kedua, ciptakan Jakarta yang nyaman. Akhir-akhir ini masyarakat Jakarta diresahkan dengan aksi premanisme, perampokan, pencurian, dan kejahatan lainnya di Jakarta. Masyarakat tahu hanya pemerintah yang memiliki kekuatan personel keamanan yang bisa menghadapi premanisme semacam ini. Entah bagaimana caranya masyarakat hanya mengharapkan satu hal yakni rasa aman. Masyarakat tak bisa memahami jika polisi diam saja atau lambat menangani kasus pencurian. Pertanyaan masyarakat adalah ke mana saja aparat keamanan ini? Apakah berpangku tangan saja atau membiarkan??

Ketiga, buatlah urusan administrasi yang tidak berbelit panjang. Urusan KTP elektronik yang baru saja dilaksanakan membuat sebagian masyarakat bosan. Pelayanan di kantor-kantor administrasi mulai dari kelurahan dan jajarannya kadang-kadang lambat. Bayangkan betapa bosannya masyarakat ketika tidak dilayani dengan baik oleh aparat. Semua orang tahu warga Jakarta mau cepat-cepat sehingga baiklah kalau urusan administrasi dipercepat. Kalau bisa cepat mengapa mesti dibuat lambat?

Keempat, layanilah masyarakat miskin di kota Jakarta. Banyak orang miskin dari daerah mencari rezeki di Jakarta. Mereka mendengar cerita kalau banyak uang negara beredar di Jakarta. Mereka juga ingin mendapat uang untuk melanjutkan hidup ini. Meski sampai di Jakarta mereka hanya mendorong gerobak, meminta-minta, dan sebagainya, mereka mau bertahan hidup di Jakarta. Oleh karena itu, aparat pemerintah sebaiknya memperlakukan mereka seperti manusia lainnya. Kiranya tak etis kalau mereka ditolak dengan kasar atau diusir dengan paksa tanpa memberi pekerjaan. Tak etis juga kalau menggunakan kekuatan pol pp untuk menjebloskan mereka ke panti sosial.

Kelima, berilah fasilitas kepada pedagang kaki lima atau rakyat lainnya yang mendirikan rumah di atas tanah sengketa. Rasanya tidak adil kalau lapak pedagang kaki lima digusur lalu mereka dibiarkan mencari tempat berlindung. Mereka tentu butuh naungan sementara untuk bertahan hidup. Baik kalau masalah pemindahan disiapkan jauh-jauh hari sehingga tidak menimbulkan aksi penolakan dari masyarakat.

Ini hanya beberapa masalah yang dialami masyarakat DKI. Masalah lain tentu saja ada. Kiranya calon gubernur yang terhormat mendengar keluh-kesah kami warga Jakarta.

CPR, 25/3/2012
Gordi Afri

foto oleh the1 sttimes
Aksi demo beberapa hari ini ibaratnya pertandingan antara mahasiswa dan pemerintah. Pemerintah berencana menaikkan harga BBM per 1 April 2012. Mahasiswa dan rakyat kecil di seluruh penjuru nusantara menolak. Ada apa? Ya, jelas rakyat kecil akan rugi. Sudah susah payah mencari uang masih ditambah lagi dengan beban baru.

Kini, mahasiswa dinyatakan menang. Tuntutan untuk membatalkan kenaikan harga BBM berhasil. Pemerintah kalah, kalau bisa disebut demikian. Masa pemerintah kalah sama rakyat kecil, apalagi mahasiswa? Ya, menang kalah itu hanya soal waktu. Yang jelas, pemerintah kalah karena kebijakan itu (jika diterapkan) merugikan rakyat banyak.

Salut dengan perjuangan mahasiswa di seluruh tanah air. Dengan kemenangan itu, kaum intelektual muda ini patut berbangga. Kapan lagi kalau bukan sekarang, kaum muda memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sekali seumur hiduplah jadi kenangan manis, kaum muda menang berhadapan dengan pemerintahnya. Dengan kemenangan itu, bertambahlah nilai perjuangan kaum muda.

Meski menang, kaum intelektual muda ini masih menyisakan tugas besar untuk diperbaiki. Aksi demo bernuansa anarkis masih menjadi kesan buruk yang mesti dihilangkan. Ada mahasiswa dan aparat keamanan yang luka-luka bahkan masuk rumah sakit. Kiranya ini menjadi pelajaran penting agar aksi demo berikutnya tidak terjadi dengan aksi anarkis seperti ini.***

CPR, 31/3/2012

foto oleh Johanes Christian
Ada rasa bangga mendengar nama “Jakarta”. Ibu kota negara, tempat bertugas para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret yang menyeramkan. Apakah itu?

Jakarta menjadi tempat tinggal orang terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta.

Sebutan termiskin kiranya tidak salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja beberapa foto hasil jepretan teman saya beberapa waktu lalu. Ini hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.

Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas pol PP.

Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol mimunan ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.

Selain botol, mereka juga biasanya memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.

Penulis pernah tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.

Waktu 2 minggu menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun  pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.

Kelihatannya hidup kami (saya dan para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.

Kami tidak hanya memulung, kalau siang hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua untuk dijual lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual kembali. Kalau ada rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari rumah makan terdekat, lalu bergembira bersama dalam pesta kecil-kecilan.

Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja-yang saya lihat-pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung. Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga. Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki lagi.***

CPR, 5/4/2012

Powered by Blogger.