Halloween party ideas 2015
Showing posts with label KOMPASIANA 1. Show all posts

foto ilustrasi oleh Ishaqzain
Sabtu, 10/12/2011. Ketika bertemu anak-anak untuk belajar Matematika hari ini, saya teringat akan syair lagu di SMA dulu. Lagu itu dinyanyikan ketika guru memberikan seabrek pekerjaan rumah. Seperti kita tahu, sebagian dari kita waktu sekolah merasa pekerjaan rumah itu membosankan. Maka, lagu ini diciptakan untuk menghibur. Syairnya demikian: matematika aku tak bisa, bahasa inggris aku meringis, biologi aku gerogi, fisika itu membosankan… maaf, syair lengkapnya saya lupa.

Dari syair ini, tergambar jelas mata pelajaran yang sulit. Uniknya bidang-bidang ini tergabung dalam mata pelajaran eksata (dari eksak, tepat). Memang eksata atau juga dikenal dengan sebuta IPA-Matematika merupakan mata pelajaran favorit yang peminatnya sedikit. Orang-orangnya kalem dan sopan, tak banyak bicara, menurut pengakuan beberapa teman. Benarkah demikian?

Hari ini, saya ditugaskan untuk mengajar Matematika. Mengajar dalam bahasa teknisnya, kenyataannya sama-sama belajar bersama anak-anak. Jujur saja, saya sudah lupa sebagian besar dari mata pelajaran ini. Lebih-kurang 7 tahun lalu, untuk terakhir kalinya saya mempelajari bidang ini. Namun, matematika sebenarnya bukan bidang yang asing.

Saya mulai dengan cerita kepada anak-anak. Cerita tentang seorang anak kecil yang dipercayakan ibunya menjaga toko. Anak itu melayani pembeli, mengambil barang, menjadi kasir, dan sebagainya. Anak itu sudah hafal mata uang meski belum sekolah. Dia memang tak berniat sekolah di sekolah formal. Anak itu juga sudah hafal jenis barang beserta harganya. Jadi, sebenarnya Matematika itu ada dalam kehidupan sehari-hari. Ketika bangun pagi, membeli bubur misalnya. Di situ ada matematika (plus ekonomi ya…). Ada transaksi yang melibatkan nominal uang. Nominal itulah matematika. Di situ ada angka, jumlah, kurang, kali, dan sebagainya.

Anak-anak terpana memandang saya ketika mengisahkan cerita itu. Lalu, saya tanya, benarkan kalau Matematika itu sering dijumpai dalam hidup sehari-hari? Mereka berteriak, benar…. Namun, semudah itukah Matematika? Kalau cuma seputar kali, bagi, kurang, tambah, hampir semua orang bisa. Penjual koran, kernet metromini, penjual pulsa, pedagang sayur keliling, dan profesi lainnya bisa dan pintar Matematika. Matematika lebih dari situ. Namun, dasarnya adalah seputar penjumlahan, pengurangan, dan lain-lain. Kalau dasar itu kuat, pokok bahasan lain bisa diatasi.

Ketika Matematika diajarkan di sekolah kesannya sulit. Kami juga menghadapi hal serupa. Anak-anak diajarkan membuat tabel tentang perbandingan tinggi badan siswa beserta jumlah siswa. Atau juga tabel perbandingan pelemparan mata dadu dan banyaknya lemparan dadu. Soal ini mengasyikkan. Anak-anak pun tidak banyak bicara ketika mengerjakannya. Dalam penyelsaian soal, ada empat unsur dasar matematika tadi, kurang-tambah-kali-bagi. Saya mencoba menjadikan matematika sebagai pelajaran yang mengasyikkan. Caranya mulai dengan bercerita. Dalam cerita itu ada unsur dasar matematika.

Saya memang baru kali ini diminta mengajarkan matematika. Saya bukan siapa-siapa dibanding guru matematika di sekolah dasar dan sekolah lanjutan lainnya. Kiranya mereka lebih banyak pengalaman bergelut dengan mata pelajaran yang menakutkan siswi/a ini. Kalau ada kisah lain, baiklah jika dibagi. Anak-anak membutuhkan pelajaran yang membuat mereka senang dan bisa paham. Matematika mesti menjadi pelajaran yang mengasyikkan. Di dalam ruang kecil itu, kami menutup pelajaran kami dengan pekerjaan rumah. Yahhhh pekerjaan rumah lagi.

Saya berpesan kepada anak-anak, “Kerjakan soal ini ketika kalian selesai bermain di rumah.” Permainan membuang energi sekaligus membuang isi memori otak. Maka, selesai bermain anak-anak bisa fokus menyelesaikan pekerjaan rumah, apalagi matematika yang bermain dengan angka. Matematika tidak seperti hafalan yang bisa memperbanyak isi memori otak. Namun, matematika menguras waktu karenakeasyikkan bermain dengan angka.

CPR, 11/12/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi dari neeravbhatt
Berita itu megejutkan! Seorang pedagang sayuran diperkosa di angkot (Kompas15/12/2011, 26 ). Kejadiannya pada pagi hari, pukul 3. Sebelum diperkosa, barang-barang berharga milik ibu dua anak yang sedang menstruasi ini dirampas. Ibu ini tak berdaya karena pemerkosa mengancamnya dengan golok. Depok memang rawan dengan kecelakan. Menurut laporan Kompas, setidaknya ada 10 peristiwa kejahatan di dalam angkot di Depok dalam periode Agustus 2010 hingga awal tahu 2011. Betapa sadis peristiwa ini. Saya merasa muak dengan pelaku ketika membayangkan apa yang terjadi pada diri ibu ini. Tak ada lagi tempat yang aman di negeri ini.

Pemerkosaan di angkot kerapkali terjadi. Pelaku rupanya tak jera. Masyarakat dimbau untuk tetap waspada. Ada imbauan supaya jangan naik angkot sendirian dan juga ketika di angkot sudah ada penumpang laki-laki lebih dulu sementara perempuannya tidak ada. Saya kira ini imbauan yang berguna, jangan naik angkot sendiri. Bawalah teman yang bisa dipercaya. Pelaku selalu beraksi kapan dn di mana saja. Waspadalah terhadap semua ini.

Pemerkosaan itu terjadi tidak hanya di angkot. Tidak menutup kemungkinan kasus serupa terjadi di tempat umum lainnya hanya saja media belum mengungkapnya. Masih segar dalam ingatan kita mahasiswi Universitas Bina Nusantara yang diperkosa lalu dibunuh dan dibuang ke sungai beberapa waktu lalu. Ada juga seorang mahasiswi di Jakarta Timur yang memilih melompat dari angkot daripada berhadapan dengan pria “berhidung belang” dalam angkot. Pemerkosaan juga terjadi di rumah. Ingat istri polisi yang diperkosa di rumah? Kejadianya juga terjadi pukul 3 pagi dan bertempat di Depok (Kompas 12/12/2011, 1 ). Ada apa dengan Depok? Istri kepala unit Reskrim saja tidak luput dari korban pemerkosaan. Pelaku tidk memandang jabatan, siapa saja bisa jadi korban. Dan korbannya selalu kaum perempuan, tua-muda.

Tidak ada lagi tempat yang aman. Pedagang sayur dan istri polisi itu jadi korban di pagi hari. Andai saja pedagang sayur itu membawa teman boleh jadi dia terhindar dari peristiwa ini. Namun, apa boleh buat, di pagi hari banyak orang masih terlelap. Maksud hati baik, berdagang demi menghidupi keluarga. Belanja pagi-pagi sudah biasa baginya. Menjadi luar biasa ketika peristiwa ini menimpanya. Istri polisi juga sendiri. Dua anak dan suaminya tidak ada di rumah. Jangan-jangan ini gejala bahwa masyarakat tidak boleh menyendiri di mana dan kapan saja.

Polisi rupanya masih kalah dengan penjahat (pemerkosa). Sudah jelas bahwa pemerkosaan di angkot terjadi berkali-kali namun sampai hari ini belum ada tindakan tegas untuk menguranginya. Polisi memang tidak bisa bekerja sendiri. Dinas lalulitas sebaiknya secara rutin memeriksa keamanan di angkutan umum termasuk menertibkan pengemudi angkutan kota. Tujuannya adalah memberi rasa aman kepada masyarakat. Masyarakat juga sebaiknya sebisa mungkin bisa menyelamatkan diri dengan berbagai cara. Pemerkosaan sudah marak dan kejadiannya tidak terduga lagi. Kaum lemah seperti perempuan selalu menjadi korban. Sampai kapan kejadian seperti ini? Berapa lagi perempuan yaang akan mengalami hal ini?

Saya berharap peristiwa semacam ini berhenti di sini. Masyarakat mengharapkan bantuan dari berbagai pihak termasuk seluruh masyarakat untuk mengantisipasi hal ini. Masyarakat aman maka ekonomi maju. Peristiwa yang menimpa ibu yang berdagang tadi merugikan ekonomi keluarga. Ekonomi keluarga ini mempengaruhi juga keluarga lain. Mata rantainya semakin luas, hingga negeri ini rugi. Berapa pelanggan yang masih menunggu sayuran dari ibu ini? Mereka juga tentu rugi karena ibu ini tidak datang-datang. Polisi sebagai pelopor keamanan sebaiknya menjamin keamanan masyarakt di negeri ini. Peristiwa ini hanya contoh bahwa betapa keamanan itu masih “mahal” bagi masyarakat. Kita semua mendukung upaya polisi untuk mengusut tuntas kasus semacam ini. Polisi kerapkali dibenci karena kurang becus menangani perkara semacam ini. Namun kita berharap, polisi harus menang dari penjahat. Polisi harus lebih cepat menyelamatkan warga. Polisi harus mengantisipasi kejahatan dalam angkutan. Kita berharap pada polisi dan kita juga tetap waspada. Mari bersatu melawan pelaku pemerkosaan.

CPR, 15/12/011
Gordi Afri


foto oleh [Jadranka]
Ini syair lengkap tentang lagu yang saya singgung pada tulisan sebelumnya, Betulkah Matematika itu Menakutkan? Saya berhasil menghubungi teman SMA saya yang sering menyanyikan lagu ini. Saya tidak tahu kapan lagu ini diciptakan, pengarang dan penciptanya pun tidak tahu. Saya tahu waktu SMA teman-teman saya biasa menyanyikannya. Suara mereka keras sehingga semua penghuni ruangan mendengarnya. 
Satu kelas pun jadi gaduh.

Datanglah guru pembina OSIS mengamankan seluruh isi kelas. Kami terdiam. Kadang-kadang guru itu menyiksa kami. Terlalu sering kami menjerit dalam kelas. Jeritan bukan karena sakit tetapi jeritan karena sakit hati kalau guru menyiksa kami karena lalai mengerjakan tugas.

Nyanyian ini memang memggambarkan suasana hati para pelajar. Saya tak tahu, apakah pelajar sekarang mengalami hal serupa. Maksudnya, merasa lelah dengan seabrek pekerjaan rumah. Apa pun tantangannya, masa pendidikan memang mesti dilalui. Di situ ada kisah yang menjadi bagian hidup kita. Kisah kasih di sekolah dengan si dia, kisah kasih paling indah kisah kasih di sekolah…..(syair lagu juga kan????)

Cita-citaku jadi sarjana
Rupanya hanya mimpi belaka
Mogok lingkungan dan pergaulan
Lebih dominan jadi preman
Melihat guru aku menggerutu
Setiap pri jarang kusentuh
Mata pelajaran yang diajarkan
Masuk kiri keluar kanan
Bahasa inggris aku meringis
Matematika aku tak bisa
Sejarah bikin aku alergi
Biologi aku gerogi
Fisika itu paling kubenci
Menyontek itu soal biasa
Tapi menggambar, orkes,
dan nyanyi aku hobi
Tolonglah dewi fortuna
agar ku lulus dari sma
Ku pasrah bila akhirnya
SMA aku gagal

CPR, 11/12/2011
Gordi Afri

foto oleh Ramadhan2nd
Saya ingat masa-masa indah bersama ibu. Waktu kecil, saya dekat dengan ibu. Tentu saja kita semua memiliki kedekatan dengan ibu, kecuali mereka yang diasuh oleh kakek/nenek atau baby sitter. Kedekatan itu sejak awal dirasakan saat saya menikmati ASI. Dari air susu ibu itulah saya bertumbuh dan berkembang hingga saat ini. Kata para ahli, anak yang kekurangan ASI memiliki pertumbuhan kurang sempurna dibanding anak yang asupan ASI-nya banyak.

Kedekatan dengan ibu amat terasa sebelum mengenyam pendidikan dasar. Ketika kakak dan bapak ke sekolah, saya hanya ditemani ibu. Ibu selalu setia menemani saya. Kadang-kadang saya mengganggu pekerjaannya, namun tak pernah saya melihat dan merasakan kebencian ibu kepada saya. Ibu memang mencintai anak-anaknya termasuk saya. Ketika pulang sekolah saya bermain dengan kakak saya. Kadang-kadang kakak memarahi saya, dan saat itulah saya berlindung kepada ibu. Begitu juga ketika bapak marah, ibu selalu menjadi tempat perlindungan.

Apakah ibu pernah marah? Tentu saja. Tetapi marah bukan karena benci, tetapi karena cinta. Cinta ibu untuk anaknya. Saya pernah dimarahi gara-gara tidak mengerjakan tugas yang dipercayakan kepada saya. Hal-hal sederhana, sesuai kemampuan saya waktu itu. Mencuci piring, memasak, atau memberi makan kepada peliharaan kami. Dari marah ini, saya sadar, betapa ibu mencintai saya.

Ibu juga yang menyemangati saya dalam pendidikan. Sebelum sekolah, saya belajar bersama ibu, setiap malam. Kami membuka buku gambar, lalu ibu menjelaskan tulisan yang ada di gambar itu. Di tempat belajar itu, ada poster besar berisi huruf abjad berukuran besar dan angka-angka dari 1-100. Ada juga perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. Poster itulah sarana pembelajaran kami. Sesekali ketika saya bosan, ibu membuka buku gambar, atau bercerita. Tujuannya sederhana, untuk menyemangati saya. Kadang-kadang saya tertidur karena cerita yang terlalu lama. Kebiasaan belajar bersama ibu, berkembang terus hingga saya selesai SD. Pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Sesekali dengan bapak dan kakak. Namun, seringkali bersama ibu. Ibu juga yang menguatkan saya untuk belajar menyelesaikan sekolah dasar.

Kedekatan ini begitu kuat sampai-sampai ibu merasa sepi ketika, saya tinggal jauh darinya. Ibu meneteskan air mata ketika saya dan bapak pergi ke kota kecamatan untuk melanjutkan pendidikan menengah, SMP. Saya memandangnya sebentar sebelum mobil kami berjalan. Ibu menangis sambil memeluk adik saya dan melambaikan tangan, merelakan saya pergi. Saya tahu, ia dengan berat hati melepas kepergian saya. Namun, bagaimana pun saya mesti bersekolah. Air mata itu menetes lagi ketika saya melanjutkan pendidikan ke kota kabupaten yang letaknya semakin jauh dari rumah. Ibu hanya berpesan, “Nak, belajarlah dengan rajin dan berbuat baiklah dengan sesama.” Pesan itu begitu menggema hingga saya ingat sampai sekarang.

Selama pendidikan menengah, saya jarang pulang ke rumah. Hanya 2 kali setahun, pada saat liburan panjang. Ibu tidak marah. Saya selalu mengirim surat minimal sekali dalam dua bulan. Komunikasi kami waktu itu hanya melalui surat. Ibu senang membaca surat saya. Tiap kali teman sekolah saya berkunjung ke rumah, ibu tersenyum sebelum mempersilakan teman untuk duduk. Ibu tahu, pasti ada surat dari saya. Kegembiraan ibu lebih besar ketika saya kembali saat liburan. Saat itu biasanya, ibu berlama-lama bercerita dengan saya. Kebiasaan ibu ini berlaku untuk semua kami, anak-anaknya. Kami berasal dari desa dan harus melanjutkan pendidikan menengah ke kota.

Waktu liburan adalah kesempatan emas untuk mengobati rasa rindu ibu. Saat hendak kembali ke sekolah, selesai liburan, air mata ibu jatuh lagi. Ini pertanda dia mencintai anak-anaknya. Dengan sabar, dia menyiapkan bekal secukupnya berupa makanan ringan, dan menyelipkan uang saku secukupnya. Ibu lalu berpesan, “Nak apa saja yang kalian minta-asal itu demi pendidikan-kami akan memenuhinya. Kalian harus sekolah dengan baik. Jangan khawatir dengan hidup kami di rumah. Kami mempunyai banyak makanan untuk kebutuhan sehari-hari.” Pesan ini menguatkan saya untuk terus belajar hingga akhir masa SMA.

Ibu merasa berat sekali ketika saya harus melanjutkan pendidikan ke tempat yang lebih jauh lagi. Namun, ia tetap mendukung. “Asal itu kemauan kamu, silakan pergi, kami akan mendukungmu,” kata ibu waktu itu. Saya mengarungi lautan untuk pertama kalinya. Saya dan ibu tinggal di pulau yang berbeda. Lagi-lagi air mata ibu menetes lagi. Saya juga meneteskan air mata. Saya tak tahan melihat air mata ibu kesekian kalinya. Kami berpelukan sebelum saya meninggalkan rumah. Seminggu kemudian, ibu menelepon saya, menanyakan keadaan saya di tempat yang baru. Saya bahagia dan ibu senang mendengar cerita saya. Dia sempat tertawa karena saya bercerita membuat lelucon layaknya di rumah . Sebelum menutup pembicaraan ibu menangis lagi, sambil menyerahkan gagang telepon kepada bapak.

Ibu merupakan sosok yang besar bagi saya. Apa yang dibuatnya murni untuk kebaikan kami anak-anaknya. Saat kami sakit, ibu yang huru-hara mencari bantuan ke tetangga. Saya ingat ketika saya sakit, ibu pergi ke rumah bidan pagi-pagi buta. Untung saja adik saya yang paling kecil tidak menangis mencarinya. Adik masih terlelap ketika ibu berangkat. Hebat! Perjuangan ibu sungguh luar biasa. Terlalu indah mengenang kebersamaan bersama ibu. Sekian tahun kami hidup berjauhan. Namun, kami sering berbagi cerita. Saat yang dinanti adalah masa liburan. Terima kasih ibu, kasihmu selalu kukenang, cintamu begitu besar, dan jasamu luar biasa. Tetes air matamu menguatkan saya dalam hal apa pun termasuk dalam menghadapi tantangan. Terima kasih ibu….

CPR, 17/12/2011
Gordi Afri

toko buku gramedia di Jambi, foto oleh georgesouisa
Harga terjangkau dicari banyak orang. Itulah potret hidup rakyat Indonesia. Sekelompok orang mungkin lebih nyaman dengan harga mahal. Apalagi produk luar negeri. Woao..keren dan gengsi.

Padahal itu kenyaman semu. Toh, ada juga produk dalam negeri yang keren dan bermutu. Persisnya paham ke-gengsi-an yang sempit. Gengsi tak identik dengan produk luar negeri. Namun, inilah keyakinan sebagian warga Indonesia. Merekalah yang secara tak langsung menarik produk luar negeri dan membanjiri pasar rakyat di seluruh tanah air.

Saya dan teman saya baru saja mengunjungi toko buku Gramedia Matraman, Rabu, 20/12/2011. Meski namanya toko buku, di sana dijual juga barang-barang lain. Ada peralatan tulis, perangkat komputer, dan barang elektronik lain. Lebih panjang kalau didaftar di sini. Semuanya ini mempermudah pengunjung yang hobinya belanja. Daripada keluar masuk mol, lebih baik sekalian aja beli di gramedia. Namun, tentu saja yang banyak dijual adalah buku.

Buku-buku dari banyak penerbit dijual di sini. Dari kelompok penerbit kompas-gramedia saja sudah banyak, tambah lagi dengan penerbit lainnya. Buku apa saja bisa dicari di sana. Berbagai bidang ada, buku-buku lama juga kadang-kadang ada. Lebih dominan buku baru dan best seller. Saking banyaknya buku yang dipajang, pengunjung bisa bingung menentukan buku mana yang dibeli. Sebaiknya pengunjung merencanakan membeli buku apa sebelum berkunjung ke sana.

Melihat beragam judul, hati ini ingin meraih semuanya. Tentu tak mungkin. Saya pun kadang-kadang tergoda untuk membeli beberapa buku sekaligus. Apa daya, kantong mahasiswa terbatas. Kalau mau lebih hemat, rajin-rajin saja berkunjung ke sana dan duduk berlama-lama membaca. Satu buku bisa dibaca 2-3 kali kunjungan. Hemat kan???

Nah, untuk kita yang ‘kantong tipis’, gramedia menyediakan buku murah. Harga terjangkau tetapi kualitasnya bagus. Tak ada bedanya dengan buku lain yang dipajang di rak.

Saya menduga buku ini dijual murah karena terlalu banyak cetak atau juga sudah tidak laku di pasaran. Atau juga karena mau cuci gudang. Istilah yang tidak asing bagi saya yang hobi memburu buku murah. Di beberapa penerbit cuci gudang dibuat menjelang akhir tahun. Buku-buku dijual murah sehingga gudang diisi dengan buku baru.

Kami membeli beberapa buku murah ini. Ada banyak pembeli sebelum kami, namun kami beruntung karena bisa mendapat beberapa buku. Bagi yang belum, di sana masih banyak. Persediannya cukup banyak. Tempatnya di lantai 2 pojok kiri. Bisa jadi ada di lantai lain juga. Kami hanya melihat di lantai ini. Lumayan dengan 50 ribu rupiah dapat 3 sampai 5 buku. Harganya berkisar 10 ribu hingga 30 ribu rupiah. Sebagian besar buku novel. Bagi yang hobi sastra silakan mampir ke sana. Yang tidak pun, silakan ke sana, masih ada bidang lain. Jangan lewatkan kesempatan yang datang hanya beberapa kali setahun.

CPR, 20/12/2011
Gordi Afri

foto oleh Zam Lope
Teman-teman tak asing lagi dengan keberadaan sebuah tempat parkir di mana saja. Di tempat umum yang ramai kerapkali disediakan tempat parkir yang luas. Keberadaan tempat ini mendukung kenyamanan pengunjung. Kenyamanan ini yang kadang-kadang menjadi incaran pencopet. Ada-ada saja benda yang hilang, mulai dari helm, sepeda motor, bahkan mobil. Atau juga ban motor dan mobil kempes. 

Ini perilaku bukan main jahatnya. Pelakunya tentu punya maksud di baliknya. Maksud yang membahayakan pengunjung. Kita berharap kejadian semacam ini berkurang. Keamanan ditingkatkan seiring dengan banyaknya pengunjung. Kita juga mesti hati-hati dan waspada dengan kendaraan kita. Pilihlan tempat yang aman.

Setelah memarkir sepeda motor di parkiran Gramedia Matraman, mata saya tertuju pada beberapa pohon yang tumbuh di situ. Karena terbiasa, saya pun tidak memerhatikan dengan serius. Saya mengajak teman saya untuk melanjutkan ke toko buku. Tak ada lagi bayangan tentang pohon-pohon itu. Yang jelas, saya memarkir sepeda motor tepat di bawah sebuah pohon sehingga terhindar dari panas matahari.

Ketika keluar, saya melihat pohon-pohon itu lagi. Satu pohon yang agak berbeda, membuat mata saya menatap lebih lama lagi. Ada pohon dan buahnya. Beberapa di antara buahnya berwarna merah. Sebagian lagi masih hijau seperti warna daun pohon itu. Pohon itu tak ada duanya di tempat parkir itu. Ternyata itu buah rambutan. “Ah…rambutan yang memikat hati.” Beda dengan pohon lainnya yang berjenis sama.

Woao….andai buahnya boleh dipetik, saya akan memetiknya. Saya tidak tahu enak apa nggak buah rambutan itu. Warnanya tidak semerah rambutan yang dijual di pasar buah, segar dan bersih. Beda juga dengan rambut yang disemir sehiangga kelihatan merah sedikit. Beda juga dengan bibir gadis cantik yang diples gincu merah. Rambutan ini berwarna merah samar-samar dan kelihatan kotor, tidak segar. Rambutan ini tumbuh di antara celah-celah konblok di tempat parkiran itu. Di bawahnya selalu ada manusia dan sepeda motornya, yag mengelilinginya. Pohon ini kurang sehat, karena menghirup udara kotor yang dibuang dari kendaraan di sekitarnya.

Ah…saya tak mau menatap lebih lama lagi. Toh, buahnya tidak akan dimakan. Saya hanya bisa kagum akan keberadaannya. Rambutnya pun kurang menarik karena kurang bersih. Lebih menarik memandang pohon lain yang menyejukkan pengunjung di bawahnya. Namun, rambut(an) ini memberi warna tersendiri di lahan parkir ini.

Saya menarik kopling lalu menekan injakan gigi sepeda motor dan melaju pelan menuju pos tukang parkir. Selamat jalan dan hati-hati……

CPR, 20/12/2011
Gordi Afri

foto oleh ppinantes2
Pada sebuah pertemuan akbar, seorang penyapu jalan bertemu seorang pegawai kantor. Mereka berbagi pengalaman pada pesta akbar yang dihadiri ratusan orang ini. Pertemuan ini digagas untuk mempertemukan para penyapu jalan dan atasan mereka, dinas kebersihan. Pegawai kantor ini adalah seorang yang ramah dan baik hati. Ia suka bergaul dengan rekan-rekannya di kantor. Ia selalu hadir lebih dulu ketimbang teman-teman pegawainya. Dia memang bukan pemimpin di kantor itu. Dia hanya seorang pegawai biasa. Di atasnya masih ada beberapa pemimpin. Mulailah mereka berbincang.

“Pekerjaan kamu apa?” tanya sang pegawai.

Pegawai ini kelihatan aneh. Masa dia tidak bisa membedakan pegawai kebersihan dan penyapu jalan. Semestinya dia tahu mana yang pegawai dan mana yang bukan. Namun, agak sulit membedakannya. Peserta pesta amat banyak. Lagi pula, semuanya mengenakan seragam batik.

“Saya tidak punya pekerjaan. Saya hanya petugas penyapu jalan,” jawab sang penyapu jalan.

Dia menjawab apa adanya, tanpa malu, dengan pegawai kantor yang ramah ini. Dia tahu, yang berhadapan dengannya sekarang adalah pegawai kantor. Dari wangi parfumnya, dia tahu, ini pegawai.

“Bapak pegawai kantor, bukan?” sambungnya lagi.

“Ya, saya pegawai kantor. Pekerjaan kita berbeda, namun kita semua mendapat gaji.”

“Betul pak, saya senang mendapat gaji. Angkanya kecil, namun saya bahagia. Dengan gaji itu, saya bisa menghidupi istri dan anak-anak saya.”

“Saya mendapat banyak gaji, tetapi saya tidak terlalu bangga dengan gaji itu. Saya kesal karena teman-teman datang kemudian dari saya. Saya mengimpikan agar kami datang lebih awal, sebelum jam kantor mulai.”

“Saya bahagia, bisa bangun pagi dan membersihkan jalanan. Sebelum anak sekolah dan orang tua yang mengantar mereka menggunakan jalan, kami sudah membersihkannya. Sebelum tengah hari, kami sudah kembali ke rumah. Alhamdulilaah, kami selalu mendapat rezeki secukupnya selama puluhan tahun pekerjaanku sebagai penyapu jalan.”

Kisah ini hanyalah fiktif. Kalau ada yang tersinggung mohon maaf, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan pembaca. Dari kisah sederhana ini, kiranya kita tahu. Kebahagiaan seorang tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang diperoleh. Kebahagiaan seseorang tidak pula ditentukan oleh status/kedudukan sosial. Kebahagiaan sesorang ditentukan oleh kesuksesannya dalam bekerja. Bagimana dia menjalankan pekerjaannya, itulah yang menentukan kebahagiaannya. Singkatnya kebahagiaan itu muncul dari dalam. Bukan dari luar. Semoga terinspirasi.

CPR, 21/12/2011
Gordi Afri

foto oleh Donald Palansky Photography
Natal kali ini amat istimewa bagi saya. Istimewanya terletak dalam beragamnya ucapan selamat Natal yang dikirim teman-teman saya. Saya termasuk orang yang hobi membandingkan ucapan Natal dari tahun ke tahun. Dari perbandingan ini, saya melihat tahun ini ada peningkatan jumlah dan beragamnya isi ucapan itu. Tentang peningkatan, hal ini dipengaruhi juga oleh meluasnya jaringan pergaulan saya. 

Ada beberapa sahabat Muslim yang memberi ucapan selamat. Ini bukti bahwa, mereka sudah menerima saya sebagai sahabat, dan mereka menghargai saya dengan segala perbedaannya. Kepada beberapa teman Muslim, saya bertanya, katanya ada larangan untuk mengucapkan Selamat Natal. Mereka mengatakan itu kehendak pribadi tanpa dilandasi imng-iming lain. Ini berarti bahwa larangan itu (kalau memang demikian adanya) sebenarnya ditafsirkan macam-macam.

Romo Aloys Budi Purnomo, hari ini di KOMPAS mengatakan, seorang Muslim tidak serta mengimani Yesus dengan ucapan selamat hari Natal kepada umat Kristiani. Jadi, mengucapkan selamat Natal tidak berarti bahwa seseorang mengimani Yesus. Kalau larangan ucapan selamat Natal benar-benar ada dalam ajaran Islam berarti banyak yang melanggar, termasuk Presiden SBY yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani di Indonesia.

Berikut ini saya sertakan beragam ucapan selamat Natal dari sahabat saya. Ucapan ini merupakan ekspresi kegembiraan selama Natal tahun ini. Ada ekspresi lain yang diungkapkan ketika saya bertemu langsung dan berjabatan tangan. Yang ada di sini adalah ucapan yang dikirim lewat media sosial seperti facebook dan surat elektronik.

Ada yang berupa rumusan sederhana dan lazim, “Met Hari Natal ya…” Ada lagi rumusan lain yang lebih panjang. “Tak terasa waktu terus berlalu bagaikan air mengalir yang tak pernah kembali. Hari-hari yang dilalui penuh dengan suka dan suka, itulah seni hidup. Tetapi, ingat satu hal yang pasti, ‘KASIH SETIA TUHAN’ tak pernah berakhir dalam hidup kita. Selamat menantikan detik-detik masa raya adven (masa penantian-dari saya)-Natal Tuhan Yesus Putra. Natal memberkati kita semua….Haleluya..Amin!”

Ucapan ini menekankan tentang KASIH SETIA Tuhan, mudah-mudahan saya juga SETIA.
Ada lagi rumusan pendek. “Selamat Natal ya…Damai dan Kasih-Nya selalu menyertai kita…”

Beda lagi dengan rumusan penuh kreasi berikut ini, “Detik demi detik berlalu. Tanpa kita sadari NATAL sudah hampir tiba, maka marilah kita saling memaafkan, untuk memulai bulan yang penuh berkat tanpa ada DOSA di antara kita!! Dengan setulus hati, kami ucapkan SELAMAT MENJELANG NATAL 2011 dan HAPPY NEW YEAR 2012.”

Ada teman yang mengucapkan dalam 2 bahasa, “JOY BLESSING, LOVE, PEACE, HAPPINES are my wishes for you this Christmas, ‘MERRY CHRISTMAS’ Semoga indahnya damai Natal bisa membuat kita semakin dekat dengan Tuhan dan semakin membuat kita sadar arti kata ‘Mencintai’ dan ‘Mengasihi’ sesama.”

Lain lagi dengan ucapan bernada puitis berikut ini, “Kasih TUHAN YESUS tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, karena itu mari kita balas dengan mempersembahkan hidup kepada-Nya. Met Natal, Semoga damai dan kasih-Nya beserta kita semua.”

Ucapan berikut ini menitikberatkan pada bayi Yesus, “Lihatlah di depan pintu hati kita, pasti kita akan menemukan bayi kecil sedang menangis. Ambil dan rawatlah Dia sebab Dia adalah Yesus yang hari ini datang membawa damai abadi. Selamat Natal.”

Ucapan terakhir diawali dengan kesadaran akan Terang Natal. “Lilin Natal telah bersinar, lagu GLORIA berkumandang di mana-mana, namun tiada kata seindah Salam, tiada kasih yang sempurna selain Kasih Tuhan, jika tangan tak sempat berjabatan, semoga hati saling memaafkan dengan mengucapkan ‘MERRY CHRISTMAS’ Semoga Sukacita Natal menjadi kebahagiaan kita semua.”

Demikianlah beberapa keunikan ucapan Selamat Natal tahun 2011. Ucapan ini mencerminkan betapa kayanya makna Natal tahun ini. Terima kasih dan semoga kita semua hidup dalam Damai.

CPR, 26/12/2011
Gordi Afri

foto oleh Kait Seidel
Mengawali tahun baru 2012, saya dan ketiga teman berangkat ke daerah Puncak. Pukul 6 pagi, kami mulai menyusuri tol yang cukup lenggang. Mobil yang melaju dengan arah yang sama bisa dihitung dengan jari. Arah sebaliknya lebih banyak. Empat puluh lima menit berlalu, kami tiba di ujung tol. Selanjutnya menuju daerah Megamendung. Laju kendaraan berkurang sedikit karena ada angkot yang sering berhenti. Arah Ciawi-Puncak baru saja dibuka pukul 6 pagi. Arah sebaliknya justru semakin padat. Entah mengapa, semua meninggalkan puncak ketika tahun baru mulai. Mungkin takut macet pada siang dan sore harinya.

Pukul 7.30, kami tiba di Megamendung. Penduduk di sana masih istirahat. Menurut seorang kenalan, semalam suasana di Megamendung agak ramai. Penduduk melewatkan tahun 2011 dengan senang. Banyak yang tidur larut malam. Jangan heran jika pagi ini, mereka seperti ‘bangsawan’ alias bangun kesiangan.  Kami bercanda dan menikmati segarnya udara pagi di sekitar Gereja Katolik Santo Yakobus, Megamendung. Gereja ini letaknya agak ke dalam dari jalan raya. Suasananya hening dan damai ketika kami tiba di situ.

Meski penduduk di sekitar masih terlelap, sebagian penduduk Jakarta yang menghabiskan malam tahun baru di daerah Megamendung rela datang ke gereja mengikuti ibadat pagi ini. Pukul 8, umat mulai berdatangan. Halaman gereja mulai dipadati warga. Saya terkesan dengan pemandangan ini. Lebih terkesan lagi dengan khotbah pastor dengan tiga kata mujarab-nya. Misa yang dimulai pukul 9 ini mampu membangkitkan semangat umat. Saya merangkum khotbah itu dengan kata-kata mujarab itu, Impian, Harapan, dan Usaha.

Inilah awal tahun baru. Kalau Anda tidak mempunyai impian, Anda akan melewatkan tahun ini tanpa makna. Begitu kira-kira kata-kata pastor itu. Selanjutnya dia menjelaskan demikian. Namun, impian saja tidak cukup. Saya kira belum ada orang yang hidup hanya dengan bermimpi. Anda mesti menaruh harapan akan impian itu. Mimpi itu mesti menjadi kenyataan. Di sinilah butuh harapan. Mimpi dan harapan menjadi lengkap ketika Anda berusaha. Usaha dengan diawali impian dan harapan akan mengantar Anda pada pemaknaan hidup di tahun baru ini.

Beginilah kami mengawali tahun baru ini. Saya dan beberapa teman mengamini khotbah pastor itu. Tiga kata itu kiranya menjadi pesan universal. Pesan yang sebaiknya digenggam oleh semua orang. Andai rakyat Indonesia meyakini hal ini maka kekecewaan di tahun 2011 akan menjadi titik pijak untuk belajar membarui diri. Bersama gerimis yang turun tak henti, kami melangkah ke tempat berikutnya. Kami mengunjungi  kenalan kami di perumahan Megamendung Indah. Daerah yang cukup dingin, bersih, dan segar. Pagi hingga siang ini, suhunya cukup dingin. Kami yang datang dari Jakarta merasakan suhu itu cukup dingin ketimbang warga yang biasa dengan suhu itu.

Lewat tengah hari, kami turun. Sempat macet beberapa saat di sekitar Megamendung sebelum datang mobil polisi membawa kabar gembira. Sistem satu arah mulai berlaku. Mobil yang mau naik berhenti di ujung tol. Dari atas melaju lancar. Kami singgah sebentar di Puri Avia Cipayung. Bersalaman dengan beberapa kenalan. Ada cerita dan kisah baru yang tebersit dari pertemuan ini. Ada pula kisah lama yang didengarkan kembali. Ya..semua orang ingin mengenangkan masa lalunya.

Pukul 14.00, kami turun dan melaju dengan cukup lancar. Arah Puncak-Ciawi dipadati kendaraan. Namun, perjalanan tetap mengasyikkan karena tidak ada hambatan. Beruntung tidak ada kecelakaan di jalan tol. Kami tiba kembali di Jakarta pukul 15.30. Meski di Jakarta kami menikmati udara kotor, kami puas dengan tiga kata mujarab yang didengar pagi ini. Inilah awal tahun baru 2012. Tahun kiamat menurut ramalan. Bagi saya, tahun ini tahun penuh semangat. Semangat yang dibangun di atas tiga kata mujarab. Selamat tahun baru 2012.

CPR, 2/1/2012
Gordi Afri


foto oleh temanggung.com
Kadang-kadang kita pesimis dengan orang cacat. Cacat fisik, cacat pikiran, dan cacat yang lain. Nada pesimis muncul pertama-tama karena ada perasaan atau sangkaan, dia berbeda dengan saya. Melihat orang buta, kita akan berprasangka, ahh saya lebih baik dari dia. Dia tidak bisa melihat. Melihat orang tuli, kita berprasangka, ahh saya lebih baik dari dia. Dia tidak bisa mendengar. Dan ketika melihat cacat yang lainnya. Sebenarnya kita manusia mempunyai cacat masing-masing.

Saya pernah mendengar istilah cacat pusaka. Cacat ini biasanya melekat kuat dalam diri kita. Bentuknya berbeda-beda namun selalu menyangkut kebiasaan kita. Cacat ini sebenarnya bisa disembuhkan. Namun, ada juga yang sama sekali tetap menjadi pusaka kita.

Saya teringat seorang teman sekolah saya waktu SMA. Dia selalu menggertakkan tangannya di meja sebelum berbicara. Amat gaduh di kelas kalau dia menjawab pertanyaan atau bertanya pada guru. Selalu ada bunyi ketukan-meja sebelum suaranya didengarkan.

Ada teman yang berkomentar itu cacat pusakanya. Komentar ini ditanggapi bermacam-macam, pro dan kontra. Lalu yang kontra membuat solusi singkat. Mereka memegang tangan teman itu tiap kali dia mau bicara. Mula-mula dia agak kesal. Mau bicara tetapi tidak bisa menggertakkan tangannya. Dengan paksa akhirnya suaranya keluar juga. Lama-lama kebiasaannya ini hilang. Dia berbicara dengan tenang tanpa ada ketukan-meja yang terdengar lagi. Singkatnya, cacat pusakanya hilang. Kelompok kontra tadi senang karena mereka bisa membuktikan pendapat mereka.

@@@@@@

Orang cacat tak kalah jauh dengan orang tidak cacat. Mereka membuktikan ini dengan menyanyi. Saya kagum melihat sekelompok orang cacat (tunanetra = orang buta) menyanyi dan bermain musik. Dituntun oleh pemandu, mereka naik ke panggung dalam acara Natal bersama anak-anak panti di Panti Vinsensius Kramat-Jakarta Pusat 25/12/2011 yang lalu.

Semua peserta terdiam saat dua orang tunanetra menyanyi beriringan. Yang lainnya, memetik gitar, memainkan tuts piano, dan memukul dram. Semuanya kompak. Telinga mereka sudah terlatih untuk mendengar suara yang lain sehingga musiknya selalu pas. Tak ada yang fals. Bisa saja mereka sudah berlatih sebelumnya. Namun, acungan jempol tetap diberikan sebagai pendorong semangat. Saat peserta lain meminta satu lagu lagi, dengan sigap pemandunya memberitahu semua pemain musik tentang judul lagu. Lalu, pemain piano mengawali dengan iringan pembuka.

Acara yang digagas oleh kelompok Sant Egidio ini dihadiri sekitar 800-an lebih anak-anak panti di daerah Jakarta dan sekitarnya. Semua anak duduk di meja yang sudah diberi kode khusus. Setiap panti dipersilakan mementaskan acaranya masing-masing.

Orang cacat memang mempunyai talenta. Sama seperti orang tidak cacat. Talenta ini hendaknya diasah di panti, tempat mereka dibina. Saya pernah tinggal bersama teman-teman tunadaksa (cacat tubuh) dan tunagrahita (cacat pikiran, idiot). Dalam keseharian, mereka dibiasakan untuk mengerjakan satu aktivitas tertentu. Ada yang bisa menjahit, menyanyi, menyulam, dan sebagainya. Ada juga yang bisa diajak bicara dengan logika yang bisa dimengerti. Jangan menyepelekan orang cacat. Mereka manusia yang punya bakat seperti kita. Belajar dari penyanyi tunanetra yang ‘manggung’ di Panti Vinsensius pada hari Natal tahun 2011.

Kalau mereka yang terbatas secara fisik saja bisa mempersembahkan sesuatu untuk orang lain, bagaimana dengan kita yang masuk dala kategori ‘normal’? sebaiknya kita lebih dari mereka. Tidak mudah memang. Langkah pertama adalah mengenali jati diri kita. Melihat kemampuan dan bakat kita. Itulah yang kita kembangkan di kemudian hari sehingga tidak kalah dengan penyanyi tunanetra itu. Banyak penderita ‘tuna-tuna’ itu yang berhasil dalam ebrbagai bidang, bagaimana dnegan kita? Sudah siapkah kita?

CPR, 3/1/2012
Gordi Afri

foto oleh Sandipras
Di Indonesia amat jarang ditemukan siswi/a Katolik dan Kristen mengenyam pendidikan di sekolah berbasis Islam. Ini bukan karena alasan tertentu tetapi faktanya memang lebih banyak murid Muslim di sekolah mananapun di Indonesia. Di sekolah negeri misalnya didominasi oleh siswi/a Muslim. Sebagian besar penduduk Indonesia Muslim. Jadi, tak heran dengan fakta demikian.

Namun, ada juga sekolah Muslim yang didominasi oleh murid non-Muslim. Inilah yang terjadi di sekolah Muhammadiyah di Ende, Flores, NTT. Jangan heran juga karena mayoritas penduduk di sana adalah Katolik dan Kristen. Direktur Eksekutif, Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq dalam diskusi beberapa waktu lalu mengatakan, di sekolah Muhammadiyah hak siswi/a untuk menerima pelajaran agamanya dipenuhi. Ini terutama di sekolah Muhamadyiah yang memiliki cukup banyak siswi/a yang seagama. Contohnya di sekolah Muhammadiyah di Ende, Papua, dan Kalimantan Barat yang 2/3 muridnya beragama Katolik dan Kristen.

Menjadi persoalan ketika jumlah siswi/a sedikit. Misalnya di sekolah negeri yang jumlahnya siswi/a Katolik dan Kristen amat sedikit. Kalau mau memenuhi hak siswa sebaiknya sekolah menyediakan guru agama. Namun, kadang-kadang terganjal birokrasi dan administrasi. Alangkah baiknya kalau pelajaran agama itu diserahkan pada siswi/a sendiri. Biarlah mereka yang mencari guru agama. Soal-soal ujian diserahkan ke bagian tata usaha sekolah sehingga bisa diproses dan siswi/a bisa mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh sekolah.
Terima kasih untuk sekolah Muhammadiyah. Sekolah mana lagi yang menerapkan hal ini berikutnya. Ini contoh yang bijak dalam mendukung toleransi antar-agama dan kepercayaan. Bukan tidak mungkin di ssekolah ini terjadi dialog antar-siswa/i, antara orang tua dan guru serta pihak sekolah.

CPR, 4/1/2011
Gordi Afri


bendera bintang kejora, foto Jhon M Yogi
Belakang ini, nama Bintang Kejora agak tenar di media massa. Sebetulnya sudah lama nama ini didengar. Hanya saja beberapa waktu belakangan nama ini tenar beserta dengan persoalannya. Bintang Kejora, nama bendera yang dikibarkan di beberapa daerah di Papua. 

Saya tidak tahu banyak tentang Bintang Kejora dan segala permasalahannya. Mungkin media massa banyak mengulasnya namun saya kurang mencermatinya. Yang saya tangkap hayalah satu yakni pengibaran bendera itu membuat pejabat Indonesia geram. Tak jarang terjadi aksi berdarah antara aparat dan masyarakat sipil yang mengibarkan bendera ini. Data pastinya bisa dicari di internet.

Sebenarnya apa yang salah dengan pengibaran Bintang Kejora ini? Ada isu-isu bahwa pengibaran itu terkait dengan separatisme. Maksudnya, masyarakat yang mengibarkan bendera itu mau memerdekakan diri. Ini berarti mereka mau berpisah dengan NKRI. Namun, benarkah demikian? Apakah rakyat Papua mau memisahkan diri dari NKRI? Isu semacam ini bisa menjadi heboh di tengah kondisi masyarakat Papua yang jauh dari sejahtera.

Lagi-lagi kondisi ini digambarakn media. Saya belum pernah ke sana. Hanya bisa baca di koran dan media elektronik tentang masyarakat Papua yang kondisi sosial-ekonominya tidak memuaskan. Harga bahan pokok tinggi, sarana transportasi belum memadai. Ini juga terkait kondisi topografi Papua yang kebanyakan rawa-rawa sehingga sulit dijangkau angkutan darat. Perusahaan Amerika, Freeport yang mengelola tambang di Papua sama sekali belum bisa menyejahterakan rakyat Papua.

Kembali ke masalah Bintang Kejora. Bintang Kejora adalah identitas budaya. Pada zaman Presiden Gusdur (1999 - 2001), bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan. Asal, tingginya tidak melebihi kibaran bendera negara, Merah Putih. Tepatnya bendera ini dinaikkan hingga 10 sentimeter di bawah tinggi kibaran Merah Putih. Demikian benang merah bincang-bincang bersama mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolumbia, Michael Menufandudalam acara Kaum Muda Gusdurian di The Wahid Instute, Jumat, 6/1/2012. Menurut Mikael, kibaran bendera Bintang Kejora sama sekali tidak ada kaitan dengan isu-siu separatisme, pemisahan dari NKRI. Boleh jadi istilah itu diciptakan oleh ‘Jakarta’. Maksudnya, istilah itu diciptakan oleh aparat.

Masyarakat Papua tidak menjadikan kibaran Bintang Kejora sebagai langkah awal untuk berpisah. Bendera itu adalah identitas budaya. Jika demikian, kibaran bendera itu tidak perlu diprotes. Kalau dihentikan malah melanggar hak masyarakat untuk menekspresikan identitas budayanya.

Saya kurang tahu, bagaimana peraturan pengibaran bendera dalam sebuah negara. Apakah kibaran itu hanya boleh untuk bendera negara yang berlaku secara nasional? Di mana-mana, saya lihat ada juga bendera partai politik. Di jalannan di ibu kota, bendera partai berkibar sepanjang jalan. Apakah bendera-bendera partai itu lebih layak dikibarkan ketimbang bendera Bintang Kejora? Toh, keduanya ada persamaan yakni mau mengekspresikan identitas masing-masing. Satunya identitas budaya, lainnya identitas politik.

Persoalan kibaran bendera Bintang Kejora tidak terlalu menarik ketimbang membicarakan kondisi sosial-ekonomi rakyat Papua. Lebih baik memperbaiki situasi ini daripada sibuk dengan masalah kibaran bendera. Negara boleh menuntut penurunan Bintang Kejora namun apakah yang dibuat negara ketika rakyat Paua dijajah oleh bangsa asing melalui kehadiran perusahaan tambang di sana? Apakah negara hanya mampu mengirimkan sejumlah aparat keamanan? Di manakah keberpihakan negara atas kondisi rakyatnya? Pertanyaan ini tidak untuk dijawab serentak namun perlu menjadi bahan pertimbangan bersama. Saudari/a kita di Papua menunggu partisipasi dan kerja sama seluruh rakyat negeri ini untuk mengubah situasi sosial-ekonomi mereka. Mari bersatu kitorang basudara….

CPR, 10/1/2012
Gordi Afri


foto oleh Dianseh
Kemarin, hari yang cukup unik. Uniknya karena ada suasana baru. Sejak bangun pagi, suasana itu tercipta. Suasana itu juga yang memorakporandakan rumah kami. Seperti biasa sejak awal hari yang baru, kami mulai mempersiapkan aktivitas. Pagi ini juga kami melakukan seperti itu. Hanya saja suasananya lain.

Saya–seperti penghuni rumah lainnya–bangun dari tempat tidur dan mencari kontak lampu. Seperti biasa tugas ini dijalankan saat bangun tidur di pagi hari. Tetapi terang yang diharapkan itu tidak ada. Lampu tidak menyala. Rupanya sedang padam, giliran listrik padam atau ada gangguan sementara. Saya melanjutkan perjalanan ke kamar mandi untuk mandi pagi. Mandi dalam keadaan setengah gelap. Di luar memang sudah mulai sedikit terang namun di kamar mandi masih setengah gelap. Meski demikian, saya bisa mandi. Lumayan…bau badan hilang.

Setelahnya saya melakukan aktivitas biasa. Posisi kontak lampu di kamar masih seperti tadi pagi. Dan ternyata posisinya masih “on”. Anehnya, bukan hanya di kamar saya saja. Di kamar lain juga seperti itu. Termasuk di kamar mandi. Ketika aliran listrik kembali normal, sebagian kamar tidur mendadak terang. Kamar mandi dan beberapa ruang lainnya juga demikian. Padahal tidak ada penghuni di dalamnya.

Beginilah pengalaman aneh hari ini. Semua gara-gara listrik mati. Andai saya ke luar rumah hari ini, arus listrik tetap jalan. TAgihan akhir bulan membengkak karena lampu-lampu yang menyala tadi. BEruntunglah saya masih di rumah sehingga mematikan semua lampu itu. Pelajaran yang dipetik dari pengalaman ini adalah ketelitian dalam menekan stop kontak di rumah Anda. PAstikan bahwa kontak dalam posisi “off” ketika Anda keluar rumah atau ketika ada gangguan dengan aliran listrik. Kita tak tahu kapan listrik mati, biasanya tiba-tiba saja apalagi di musim hujan. Oleh karena itu, waspadalah selalu, mencegah sejak dini sebelum tagihan listrik Anda membengkak. Terima kasih dan salam.

CPR,11/1/2012
Gordi Afri

foto oleh Metro+Dollars
Akhir-akhir ini ada berita yang mengejutkan. Entah benar atau direkayasa, yang jelas saya sempat membacanya di media cetak. Saya juga bertanya pada beberapa teman. Dan memang menurut laporan media, hal itu benar. Boleh jadi memang keadaan di tempat kejadian tidak seperti itu. Namun, perlu dicari ada apa di balik berita itu.

Dua berita yang mirip di dua tempat yang berbeda. Dua kasus yang mirip di dua tempat. Rakyat tidak diberi kartu tanda penduduk (KTP). Kasus itu terjadi di Tanah Merah, Jakarta dan daerah Register 45, Mesuji, Lampung. Saya tidak tahu penyebab sebenarnya untuk kasus di Lampung. Di Tanah Merah juga hampir sama. Saya hanya menangkap penjelasan dari pihak berwenang bahwa rakyat yang menghuni tempat itu ilegal. Disebut ilegal karena mereka tidak mempunyai daerah asal yang jelas. Mereka juga menempati lahan yang kepemilikannya abu-abu. Di Lampung ada indikasi lahan itu milik perusahaan sawit, sedangkan di Jakarta lahan itu diduga milik Pertamina.

Pertanyaan saya kepada pihak pengurus KTP, bagaimana solusi untuk kasus semacam ini? Mengapa mereka tidak diberi KTP? Sebenarnya KTP itu dibuat untuk apa? Kalau untuk mendata rakyat, mengapa tidak semua rakyat yang memenuhi syarat bisa memperolehnya? Apakah karena menempati lahan ‘ilegal’ mereka dianggap bukan warga negara sehingga tidak perlu diberi KTP?

Saya agak risih dengan solusi singkat, tidak akan diberi KTP, semacam ini. Di negeri ini KTP amat berperan. Birokrasi mana di Indonesia yang tidak membutuhkan identitas penduduk semacam ini? Saya tidak tahu pikiran pihak berwajib atas solusi ini. Apakah mereka sudah memikirkan betapa rumitnya penduduk ini nanti jika mengurus surat-surat lain yang berkaitan dengan masalah kependudukan dan masalah terkait seperti pendidikan dan kesehatan? Jangankan yang tidak ber-KTP, yang ber-KTP saja masih berbelit jika mengurus surat-surat penting di beberapa kantor.

Hai…pemerintah….tolonglah kami rakyat jelata ini. Sudah susah mencari sesuap nasi, kami disibukkan lagi dengan urusan kependudukan semacam ini. Tentang asal-usul penduduk yang tidak jelas, bagaimana nantinya masalah yang dihadapi anak-anak mereka yang lahir di daerah yang dianggap ‘ilegal’ itu? Toh, mereka lahir di daerah itu, apakah pihak berwajib masih menuntut asal-usul yang sah? Bagaimana mengurus KTP mereka beberapa tahun mendatang jika KTP orang tua mereka saja tidak ada?

Tentang warga tanah Merah, mengapa mereka dibiarkan tinggal di situ selama beberapa waktu berlalu? Mengapa lahan itu tidak digunakan oleh Pertamina jika itu milik pertamina? Apakah tidak bisa dikatakan ‘angkuh’ jika saya membeli banyak lahan lalu dibiarkan kosong, tidak diisi bangunan atau diolah untuk keperluan lain? Mengapa tida diberikan saja kepada mereka yang belum mempunyai lahan untuk tempat tinggal?

Janganlah bersikap seperti penguasa semua lahan. Bumi ini terbatas, cukup untuk menghidupi penghuninya. Kalau saya menguasai satu pulau misalnya, saya dikatakan angkuh. Sebab, saya mengambil lahan yang sebenarya digunakan untuk menghidupi warga lain.

Munkin terlalu rumit dan berat jika saya mengusulkan untuk memberi KTP kepada mereka ini. Namun, menurut saya, itu mesti dilakukan. Sejauh pemerintah mengakui mereka sebagai warga-dan memang mereka adalah warga-sebaiknya mereka diberi KTP sebagai identitas kependudukan. Identitas ini tidak saja menandai mereka sebagai warga negeri ini tetapi juga memudahkan mereka memperlancar urusan kependudukan dan masalah terkait.

Kalau memang lahan itu ilegal, carilah lahan kosong untuk mereka. Ambilah sebagian hutan dan latihlah mereka mengolah tanah agar mempunyai penghasilan. Daripada lahan kita diserobot perusahaan asing yang merugikan keseimbangan lingkungan, lebih baik lahan itu dipakai untuk menghidupi warga negeri ini.

Saya tahu dan sadar usulan ini agak sulit dalam pelaksanaannya. Tida ada yang mudah jika mau menyejahterakan rakyat. Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian. Sekarang mungkin rumit, namun di tahun mendatang, akan tampak keteraturannya.

CPR, 14/1/2012
Gordi Afri

Powered by Blogger.