Halloween party ideas 2015
Showing posts with label SOSBUD. Show all posts

Bicara soal asap amat menarik. Asap yang muncul di Riau dan terbang ke Malaysia dan Singapura. Asap ini rupanya dikaitkan dengan isu lain yang berkait. Entah di mana keterkaitannya. Yang terkait kadang sulit dibuktikan. Itulah sebabnya di meja pengadilan sulit menemukan keterangan yang sah. Ada keterangan tetapi mudah diputarbalik menjadi bukan keterangan. Maksudnya, keterangan itu dianggap tidak sah.

Rupanya isu asap ini juga bisa dikaitkan dengan isu lain. Ada yang berkomentar, isu asap ini hanya bentuk pengalihan isu. Asap sengaja dikepulkan agar semua orang melihatnya. Bila perlu rakayt negeri ini menyaksikannya. Di televisi, di koran, di majalah, di kedai kopi, di pasar. Semuanya menyinggung topik isu asap. Asap itu memang membuat pembicaraan jadi menarik.

Seperti asap yang sifatnya membutakan mata manusia, asap ini juga bisa membutakan mata hati manusia. Rakyat terpana dengan isu asap sampai lupa bahwa mereka sedang dibuai. Mereka ingin melihat asap dan lupa akan kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan. Mereka tidak peduli. Seolah-olah kenaikan harga BBM itu wajar sehingga tidak perlu jadi bahan pembicaraan di kedai kopi.

Asap memang membuat segalanya jadi kabur. Dan, rakyat negeri ini tidak kuat lagi melawan kebijakan pemerintah. Rakyat seolah-olah menutup mata untuk kritis terhadap pemerintah. Suara hati jadi kabur. Rakyat seolah-olah pro dengan kebijakan pemerintah yang juga bisa menghasilkan kebijakan semu. Rakyat sama sekali tidak diuntungkan dengan kebijakan seperti ini.

Jika ini yang terjadi dengan isu asap ini, betapa asap ini mau mengaburkan perhatian rakyat negeri ini. Tetapi benarkah rakyat akan terbuai dengan pengalihan isu ini? Bukankah rakyat akan bisa melihat setelah matanya diserbu asap?

Pemerintah boleh mengalihkan perhatian rakyat ke isu ini. Jadi, isu asap ini hanyalah bentuk pengalihan isu. Tetapi, seperti asap sulit dipindahkan tanpa ada angin, kiranya cara pemerintah ini agak sulit. Tanpa angin maksud yang jelas, kebijakan pemerintah sulit diterima. Rakyat masih punya perhatian untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Asap sebagai pengalihan isu kiranya tidak terlalu menjadi perhatian rakyat.

PA, 26/6/13
Gordi

Asap. Tak bosan-bosannya aku bicara soal asap. Asap dan aku bagaikan hidup dan mati. Kok aneh ya. Bandingan yang tidak sepadan. Apa sih asap itu sehingga disandingkan dengan aku yang adalah manusia? Bukankah manusia bisa membuat asap sedangkan asap tidak bisa membuat manusia?

Memang aku dan asap tidak bisa disandingkan. Tetapi, bukan berarti aku dan asap tidak boleh disandingkan. Aku dan asap, seperti aku katakan, bagaikan hidup dan mati. Aku besar karena asap. Aku hidup karena asap. Aku bertumbuh dan berjuang karena asap.

Asap bagiku adalh sumber hidup. Sejak kecil aku bergumul dengan asap. Di rumah asap itu menyelimuti rumah-dapur kami. Dari luar tampak membubung asap dari bubungan ijuk dapur kami. Di dalamnya ada api. Ada api berarti ada yang dimasak. Dimasak berarti ada yang akan dimakan, disantap. Dan begitulah ritual kami di pagi hari. Kalau tidak ada asap berarti tidak ada yang dimasak. Dan itu berarti kami tidak makan. Tidak ada bahan makanan untuk sarapan.

Asap adalah napas hidup. Tanpa asap, hidup tak berarti lagi. Dari asap kami memperoleh kehangatan. Kehangatan di awal hari yang memacu daya juang. Kami hidup dari asap. Makanan kami dimasak dengan api dengan balutan asap. Asap itu pertanda kami berjaung di dapur. Memanaskan makanan, menanak nasi, memanaskan air, menggoreng ikan/daging, dan sebagainya. Asap itu juga yang menyertai api yang akan kami gunakan untuk memasak pakan hewan peliharaan kami. Jadi, asap itu tidak saja napas hidup bagi kami tapi juga bagi hewan peliharaan kami.

Asap itu juga pertanda kesuburan. Asap bagi kami adalah sahabat dalam membuka ladang. Ada asap berarti ada sesuatu yang kami kerjakan di ladang. Asap itu ternyata selalu beserta kami baik di rumah maupun di ladang. Itulah sebabnya asap itu menjadi napas yang menghidupkan daya juang kami.

Sebagai napas hidup, asap itu tak jarang membuat kami tambah semangat. Kami sama sekali tak takut asap. Bagi sebagian orang, asap itu membutakan mata. Mata kami, seperti mata mereka, akan buta jika terkena asap. Tapi, kami bisa menghindar dari sengatan asap. Asap itu akan tetap ada dan akan tetap membutakan mata kami. Tetapi kami akan selalu berjuang untuk menyalakan api dan menghindari kepulan asap itu. Itulah sebabnya kami makin kreatif menghindari asap.

Kalau orang modern menghindari dan memusuhi asap, boleh jadi wajar karena mereka tidak pernah bergaul dengan asap. Hidung mereka mungkin mudah sesak karena kepulan asap. Mata mereka juga tidak kuat menahan kepulan asap. Tidak demikian dengan kami. Kami merasa asap itu adalah parfum. Parfum, sebagaimana kita tahu, sifatnya memberi keharuman. Dan, asap itu justru memberi keharuman pada tubuh kami, pakaian kami. Jangan heran jika badan kami berbau asap. Baunya yang mungkin menjijikkan untuk hidung orang modern. Tidak bagi kami. Orang ebrbau asap bagi kami adalah orang yang berjuang. Baik itu di dapur, atau di ladang.

Kami tidak menghindari dari asap karena asap menyertai perjalanan dan perjuangan hidup kami. Asap memang membuat udara jadi kotor. Dan kami sudah tercemar dengan udara kotor berasap. Tetapi kami tetap sehat dan bisa berjuang. Asap kami mungkin beda dengan asap pembakaran hutan zaman modern. Asap kami murni asap alami, hasil pembakaran bahan alam. Asap sekarang mungkin asap berbau politis dan hasil pembakaran zat kimia. Kongkalingkong pejabat yang suka parfum modern. Hasilnya adalah parfum asap yang menyengat hidung dan membuat sesak napas manusia di 3 negara.

PA, 27/6/13
Gordi

Orang Jogja terkenal dengan kesabarannya. Terutama yang tampak di jalanan. Memang boleh dibilang sifat khas orang Jogja adalah sabar. Sabar di jalanan dan di tempat antrian. Entah sampai kapan sifat ini bertahan. Yang jelas, sampai sekarang sifat sabar masih melekat dalam kepribadian orang Jogja.

Sabar, bagi orang Jogja, menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang membuat mereka terkenal. Di mana-mana semua tahu, orang Jogja itu sabar. Sifat sabar ini memiliki porsi besar dalam kerpibadian orang Jogja. Karena besarnya, sifat lain pun tidak begitu terkenal. Bahkan sifat sabar ini dimiliki oleh sebagian besar orang Jogja. Sehingga, beberapa orang yang tidak sabar pun lenyap dari pandangan orang banyak. Memang tidak banyak yang tidak sabar. Lebih banyak yang sabar.

Hari-hari ini, orang Jogja belajar sabar. Atau tepatnya lebih sabar lagi. Sebab, jalanan Jogja mulai ramai. Mobil dan kendaraan lain dari luar kota Jogja berdatangan. Sudah mulai terlihat di jalanan utama kota ini, penuh, sesak, padat. Akan seperti apakah reaksi orang Jogja melihat pemandangan jalanan ini?

Orang Jogja kiranya dituntut untuk tetap sabar. Sabar ini juga boleh jadi membuat pendatang dari luar kota merasa betah untuk mengunjungi kota istimewa ini. Dengan kata lain, karena sifat sabar, orang dari berbagai kota datang ke Jogja untuk melihat langsung bagaimana orang Jogja tetap sabar di jalanan.

Idelanya seperti itu. Kenyatannya boleh jadi lain. Tetapi, tetap sifat sabar ini menjadi ciri khas. Beberapa orang mulai gerah. Tak tahan dengan situasi jalanan seperti ini. Harap maklum karena orang Jogja tidak terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Tetapi, ada yang mengatasinya dengan cara sederhana. tak perlu terlalu sering keluar rumah. Apalagi jika tidak ada keperluan. Lebih menarik melihat jalanan padat dari dalam rumah daripada ikut terlibat dalam kepadatan dan keramaian jalan itu. Dan memang orang Jogja sudah mengalami bagaimana padatnya jalanan kota beberapa waktu belakangan hingga ke depannya.

Tidak ada resep ampuh selain belajar lebih sabar lagi. Sifat sabar yang sudah dimiliki dijaga dan dikembangkan ke level lebih tinggi lagi. Biarlah kesabaran itu menjadi cerminan mayoritas warga kota istimewa ini. Salam sabar untuk semua.

PA, 29/6/13
Gordi

Jalan darat di negeri ini memprihatinkan. Di KOMPAS beberapa hari belakangan dilaporkan situasi jalan lintas pulau yang memprihatinkan. Di Papua, ada jalan yang berlumpur. Sulit dijangkau mobil. Bahkan harus bersusah payah untuk melewatinya. Di daerah lain, pada laporan lain juga, diberitakan jalan darat yang keadaanya memprihatinkan. Jalanan itu tidak terurus. Entah ke mana perhatian pemerintah dan pemerhati transportasi darat setempat. Tentu saja masyarakat yang dirugikan.

Lain lagi dengan cerita jalan darat di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Di sini jalanannya bagus. Kalah jauh dengan kondisi jalan darat di Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan daerah lainnya. Tetapi kondisi jalan tidak menjamin amanya berlalu lintas. Justru di kota-kota ini jalanan menjadi tidak nyaman karena kendaraannya banyak. Jalan darat memang sejauh ini belum memuaskan pengguna jalan.

Semalam, saya berangkat dari Yogyakarta ke Jakarta. Naik bis. Melintasi jalan darat, jalur utara-selatan Pulau Jawa. Saya menghitung, kira-kira ada 3 tempat kemacetan. Magelang, Brebes, dan daerah Indramayu. Entah ada juga daerah lainnya, saya tidak tahu. Kebetulan saja, saya sadar ketika kendaraan kami melewati daerah tersebut. Saya memang banyak tidurnya. Maklum, jalan malam hari. Pilihan naik bis menjadi pilihan terakhir karena tiket kereta api penuh, tiket pesawat mahal.

Saya prihatin dengan kondisi jalan ini. Bukan kali ini saja saya melewati jalan ini. Lebih dari dua kali. Dan, saya pun bisa mengira, perbaikan jalan ini berlangsung menjelang musim lebaran. Kesempatan bagi sebagian besar negeri ini mudik, kembali ke kampung halaman mereka. Masyarakat tahu tentang ini. Dan, pemerintah juga tahu. Hanya saja, rakyat bertanya-tanya, mengapa perbaikan jalan selalu setiap tahun dan pada waktu yang sama? Terkesan perbaikan ini hanya tambal sulam saja. Polesan yang tidak bertahan lama. Sebab, tahun depan, menjelang lebaran, akan ada perbaikan lagi. Apakah kualitas pekerja jalan di negeri ini hanya menghasilkan jalan darat yang habis terpakai dalam jangka waktu setahun?

Di daerah Flores Barat, NTT, ada seorang tokoh terkenal yang membangun jalan darat tidak asal-asalan. Dia adalah seorang Pastor dari Swis. Masyarakat Flores Barat biasa memanggilnya Pater Waser, SVD. Konon, ada cerita, sebelum mengerjakan jalan, dia mengerahkan para pekerjanya untuk menggali lubang sedalam 80 cm. Lubang ini akan ditanami batu. Batu ini selanjutnya menjadi fondasi yang kuat untuk pijakan jalan. Di atas batu akan diratakan pasir. Kemudian kerikil, dan terakhir aspal. Saya tidak melihat langsung proses pengerjaan jalan ala pastor ini. Tetapi, saya melihat sebagian dari prosesnya yakni membenamkan batu dalam lubang 80 cm. Dan, bahkan saya pernah melewati jalan buatannya yang hanya terbuat dari susunan batu yang rapi dan rata. Tidak perlu ada aspal di atasnya, jalan sudah bisa digunakan dan nyaman.

Meski pastor ini giat dan terkenal dengan pembangunan jalannya, jatah jalan yang dikerjakannya tidak panjang. Konon, ada sindiran, kalau semuanya diserahkan ke pastor ini, tidak ada lagi proyek jalan di Flores Barat. Saya tidak tahu apakah ini benar. Tetapi benar bahwa pastor ini tidak mendapat banyak jatah untuk pembangunan jalan. Padahal kualitas jalan yang dibangunnya bagus.

KIranya, semua rakyat menginginkan agar kondisi jalan darat di negeri ini dibenahi. Biarkan rakyat merasakan nyamannya berkendara di jalan darat. Tentu semua setuju jika kondisi jalan darat saat ini memprihatinkan. Waktu tempuh Yogya-Jakarta menjadi lebih lama beberapa jam dari waktu normal. Jika jalan darat belum dibenahi, kiranya tak berlebihan jika perbaikan jalan menjadi seperti pemilu. Musiman saja dan teratur. Jalan diperbaiki setiap tahun. Dan, akan memperlambat laju transportasi dan distribusi barang kebutuhan pokok. Dari segi ekonomi ada kerugian. Demikain juga dari efisiensi waktu, kesehatan, dan kenyaman berkendara. Semuanya diragnkum dalam satu kata, memprihatinkan. Masihkah pemerhati rakyat di negeri ini membiarkan warganya prihatin? Kita tunggu pembenahannya.

Jakarta, 3/7/13
Gordi


Negeri ini selalu dilanda gempa. Memang tidak selalu di daerah yang sama. Daerah yang berbeda-beda dilanda gempa. Dan, kalau dihitung-hitung boleh disimpulkan bahwa negeri ini selalu dilanda gempa. Mungkin karena daerahnya luas. Kalau di Papua ada gempa, orang luar negeri selalu mendengar berita Indonesia dilanda gempa. Demikian juga ketika Yogya dilanda gempa, koran luar negeri juga memberitakan tentang gempa di Indonesia. Tak ketinggalan jika gempa itu terjadi di Mentawai atau Padang atau Aceh. Dan, rasa-rasanya Aceh selalu saja dilanda gempa bumi. Ilmu alam seperti Fisika dan turunannya sudah memberi jawaban ilmiah. Itu terjadi karena Aceh masuk dalam lingkaran patahan. Maksudnya daerah di bawah wilayah Aceh masuk dalam lingkaran yang tanahnya selalu akan bergerak karena patahan itu. Dan Aceh tidak sendiri. Padang juga terindikasi masuk lingkaran ini. Jangan heran jika di sana selalu terjadi gempa entah besar atau kecil.

Saya tidak mempersoalkan mengapa terjadi gempa. Gempa, bagi saya, merupakan gejala alam. Sebagaimana matahari terbit dan terbenam, demikianlah gempa. Gempa terjadi sesuai aturannya sendiri. Manusia dengan ilmu yang digelutinya bisa menerka kekuatan gempa, titik pusat gempa, sedikit perkiraan waktu terjadinya, tetapi tidak bisa memastikan berapa besar kerugian yang ditimbulkannya. Dan, memang itu menjadi kewenangan pihak luar manusia. Manusia kiranya tidak bisa memastikan atau menerka berapa kerugian gempa. Setelah gempa pun manusia tetap tidak bisa menerka dengan pasti berapa kerugian. Paling-paling menjumlahkan atau membuat perhitungan sementara lalu disimpulkan sekian.

Karena gempa menjadi gejala alam, sebaiknya manusia juga belajar dari alam. Alam memang mempunyai peraturannya sendiri yang kadang-kadang tidak bisa dipelajari. Lihat saja sekarang, sedang hujan. Ilmu manusia memperkirakan bulan Juni-Juli di Indonesia akan terjadi kemarau. Tetapi nyatanya sekarang hujan. Ini berarti alam memang sulit ditebak. Gempa juga sulit ditebak karena menjadi gejala alami. Setiap gempa selalu menuntut korban. Baik manusia maupun material lainnya. Itu yang pasti dari gempa bumi. Korban itu bukanlah keinginan manusia tetapi menjadi konsekuensi dari gejala alam itu. Jadi, tidak ada kaitan dengan iman dan keyakinan manusia. Tidak bisa kiranya mengatakan karena kamu masuk keyakinan A atau B, maka kamu menjadi korban gempa, maka gempa ini datang, maka di sini selalu ada gempa hebat, dan maka-maka lainnya. Penyebab gempa bukanlah keyakinan tetapi gejala alam. Itulah sebabnya tidak elok kiranya mengaitkan gempa dengan keyakinan tertentu.

Manusia kiranya bisa berusaha untuk menghindari jatuhnya banyak korban gempa. Dalam hal ini, rakyat Indonesia kiranya perlu belajar dari rakyat Jepang. Jepang juga termasuk negeri yang sering dilanda gempa. Tetapi di sana korban manusianya tidak terlalu banyak seperti ketika terjadi gempa di Indonesia. Bukan untuk membandingkan. Tetapi untuk mengatakan bahwa rakyat Jepang sudah siap menghindari gempa. Gempa tidak bisa ditolak tetapi bisa dihindari. Dengan kata lain, gempa yang menjadi gejala alam tetap terjadi dan tidak ditolak karena memang tidak bisa ditolak, tetapi manusia menghindarinya. Manusia bisa menyelamatkan dirinya dari korban gempa. Itulah yang selalu menjadi pelajaran turunan bagi rakyat Jepang. Alhasil mereka tidak panik ketika terjadi gempa, dan tidak banyak yang menjadi korban gempa.

Saya kira pelajaran tentang bagaimana menghindari gempa amat relevan untuk rakyat Indonesia terutama di daerah yang rawan gempa seperti Aceh dan Padang. Juga Yogyakarta atau Kepulauan Mentawai. Dengan pelajaran itu, rakyat sudah siap dan tidak huru-hara ketika terjadi gempa. Gempa tetap terjadi tetapi rakyat bisa menyiasatinya agar tidak menjadi korban alias selamat. Tentu ini hanya omongan belaka. Tetapi baik kalau omongan ini diteruskan ke telinga rakyat sehingga rakyat kiranya banyak yang penasaran. Dari penasaran, mereka bertanya, dan mereka akan berusaha mencari pengetahuan tentang bagaimana menyiasati gempa ini. Dan, mungkin memang mudah diucapkan. Memang mengucapkan itu mudah. Menerapkannya dalam hidup harian susah. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Kalau rakyat Jepang bisa pasti rakyat Indonesia juga bisa. Bukan sekadar mau meniru rakyat Jepang tetapi demi keselamatan rakyat Indonesia yang juga sering mengalami gempa.

Jadi, pertanyaan mengapa Aceh selalu dilanda gempa, bukan saja dijawab dengan ilmu alam, tetapi mestinya juga disertai dengan pertanyaan, bagaimana menyiasati gempa yang selalu terjadi di Aceh? Itu yang kiranya relevan. Bagaimana menjadi korban yang tidak dikorbankan dalam gempa? Bagaimana menjadi orang yang selamat dalam gempa? Dan pertanyaan lainnya. Ini obrolan pagi setelah menyaksikan berita-berita seputar gempa Aceh beberapa hari belakangan.

Jakarta, 6/7/13
Gordi

Gempa bumi tak terpisahkan dari kehidupan kami. Kami, tidak seperti teman kami di daerah lain, dibesarkan dalam suasana gempa. Saat aku kecil, daerah kami dilanda gempa. Dan saat aku remaja, gempa itu datang lagi. Aku ingat, betapa orang-orang di kampung kami lari berhamburan ke luar rumah saat gempa. Dan keadaan serupa datang lagi, kini.

Aku tak asing dengan gempa. Tetapi setiap kali gempa selalu menyisakan trauma berat bagiku. Aku takut jika membayangkan berulang kali, detik-detik yang mendebarkan itu. Aku pun bisa menilai, jangan-jangan ke depannya, daerah kami akan terus dilanda gempa. Kata orang pintar, daerah kami masuk jalur gempa. Jadi, kapan pun, daerah kami selalu menjadi tempat gempa. Dan, kami akan mengalami keadaan yang selalu mendebarkan karena gempa itu.

Aku sudah tanya pada keluarga kami, kapan akan pindah. Jawabnnya selalu sama, kita tidak mungkin pindah dari daerah ini. Ini kampung kami, daerah kami, rumah kami, tempat kami dibesarkan, tempat kami mencari nafkah. Tak mungkin semuanya ini ditinggalkan. Kami memang sudah melekat dan menyatu dengan tanah leluhur kami. Memindahkan kami sama saja dengan memindahkan gunung. Mustahil kami akan pindah. Pertanyaan terus dilontarkan pada keluarga yang lain. Jawabnnya sama juga. Kami tidak akan pindah.

Kami tidak puas dengan jawaban orang tentang gempa yang melanda daerah kami. Mereka datang sesaat setelah gempa. Sambil memberi bantuan, mereka mengamati kami, membuat penelitian tentang gempa ini. Mereka juga memberi penjelasan panjang lebar tentang seluk beluk gempa itu. Kami terus bertanya. Dan kami mendapat banyak jawaban. Tetapi, dari semua jawaban itu, tidak ada yang memuaskan pikiran kami. Jadi, mengapa kami dilanda gempa? Atau tepatnya mengapa daerah kami selalu menjadi langganan gempa?

Kami bosan dengan penjelasan manusia. Jawabnnya bertele-tele. Apalagi kami orang kampung yang tidak pernah belajar tentang ilmu alam. Ilmu yang menuntut keseriusan cara berpikir. Kami tidak paham istilah yang mereka jelaskan. Kami pun akhirnya berani bertanya pada Tuhan. Tuhan, mengapa kami dilanda gempa? Apa salah kami? Apakah Tuhan ingin kami pindah dari tempat ini? Bukankah ini tanah leluhur kami? Ataukah Tuhan mau supaya kami tercabut dari leluhur kami?

Tuhan, kami tak bosan bertanya padamu. Kami merasa puas ketika bertanya padamu. Kami tahu kami tidak mendapat jawaban langsung darimu. Tetapi kami puas jika kami bertanya. Hanya dengan itu kami terhibur. Kami tahu, jika kami bertanya pada manusia, Kami tidak puas. Malah, kami tambah pusing dengan penjelasan yang rumit tentang kegempaan.

Tuhan, hanya kepadamu kami bertanya. Meski tak ada jawaban, kami tetap ingin bertanya. Mungkin memang kami hanya mampu bertanya dan tak mampu menjawab. Bagi kami, persoalan gempa ini, menjadi jelas ketika kami bertanya pada Tuhan. Tak ada yang lebih dari itu. Itulah sebabnya kami mohon, dengarkan kami yang selalu bertanya ini. Mungkin tidak ada jawabn yang kami dapat. Tetapi kami puas setelah kami bertanya.

PA, 7/7/13
Gordi

Kami dari kelompok korban gempa. Kami ingin ditemani. Kami merasa sepi. Kami butuh bantuan. Kami butuh semangat baru. Kami butuh penenangan. Kami butuh kalian semua.

Kami berharap pemerintah sebagai pemangku jabatan negeri ini tidak melupakan kami. Kami tahu, kami hanya sebagian dari rakyat Indonesia. Dan, kami tidak menuntut lebih dari yang dibuat pemerintah. Kami hanya ingin agar kami dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Kami lihat pemerintah mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Kami memang tahu, pemerintah sibuk. Dan banyak tugas yang harus dikerjakan. Bidang politik dan ekonomi adalah dua hal yang menyita banyak perhatian pemerintah. Juga bidang lain yakni korupsi. Kalau bapak presiden mulai buka akun facebook, kami hanya berharap semoga beliau tidak saja menyapa warga maya tetapi juga kami warga yang menjadi korban gempa.

Kami tahu, media massa tidak terlalu tertarik memberitakan penderitaan kami. Kami memang orang kecil yang tak bermedia. Maksudnya media yang bisa menjadi penyambung suara kami amat terbatas. Kami tidak punya stasiun TV, radio, hp, dan sebagainya. Tetapi kami yakin suara kami didengarkan. Asal saja ada yang mau dan rela mendengar. Kami hanya bisa merintih, menjerit, meminta pertolongan. Kami memang sedang dalam kondisi yang membutuhkan banyak bantuan. Kami hanya ingin agar kami didengarkan. Dari didengarkan sampai pada diperhatikan.

Kami beruntung masih punya teman wartawan yang memberitakan kondisi kami. Tetapi kami sadar, mereka bukan pemegang kuasa dalam industri media. Boleh saja mereka melaporkan tetapi redaksi medialah yang berhak memberitakan.

Jika pemerintah mau mendengar dan memerhatikan kami, kami akan serempak berseru, jangan lupakan kami. Kami butuh perhatian pemerintah.
Gejolak sosial-ekonomi-politik negeri ini bisa menenggelamkan suara kami. Dan, jadinya kami pun minim perhatian. Apalagi perhatian kepada kami menuntut kerja keras pemerintah. Kalau diabandingkan, lebih menarik memperhatikan kasus korupsi, gejolak ekonomi, masalah sosial, ketimbang memerhatikan kami korban gempa. Padahal kami juga termasuk warga negara yang harus diperhatikan.

Bapak presiden, kami hanya berharap, bapak tidak melupakan kami. Kami rakyat kecil, korban gempa, yang butuh banyak bantuan. Bapak bisa membantu, memberi perhatian pada kami, melalui jajaran pembantu bapak, atau juga kepala daerah yang berkuasa dibawah bapak. Kami akan dengan senang hati menerima bantuan dan menerima perhatian bapak. Terima kasih sudah membaca unek-unek kami.


Jakarta, 8/7/13
Gordi

Bolehkah bersukaria dalam penderitaan? Bukan saja, boleh-boleh saja. Tetapi, jika demikian adanya harus bersukaria. Bersukaria di sini tidak berarti tidak melupakan atau tidak menghargai mereka yang menderita. Penderitaan tetap ada dan perlu dihargai tetapi tidak larut dalam penderitaan.

Saya membayangkan anak-anak yang kehilangan orang tua dalam gempa beberapa waktu di beberapa wilayah. Aceh, Mentawai, dan Malang. Meski di Mentawai dan Malang, belum diketahui berapa korban manusia. Di Aceh sudah jelas ada korban manusia. Semoga di dua tempat lainnya tidak ada korban.

Kehilangan orang tua atau sanak saudara memang merupakan penderitaan berat. Salah satu di antara sekian penderitaan hidup yang dialami manusia. Mereka ini akan kehilangan orientasi hidup. Tidak jelas dan tidak tentu ke mana mereka akan melangkah. Tidak ada kasih sayang dan pelukan sang Ibu, sang Bapa, Kakak, Adik, atau bahkan Kakek-Nenek. Singkatnya keluarga tercinta.

Kasih sayang amat diperlukan oleh seorang anak manusia. Dengan itu, ia akan berkembang dengan baik. Masa kecilnya akan bahagia. Itu sebabnya anak-anak korban gempa yang menjadi yatim piatu misalnya bisa dibawa ke panti asuhan. Atau, kalau ada keluarga yang berbaik hati, dibawa ke rumah untuk selanjutnya dibesarkan. Di situ mereka akan mendapat kasih sayang pengganti yang meskipun tentu tidak sebanding dengan kasih sayang dari keluarga kandungnya. Tetapi apa pun situasinya mereka mesti mendapat kasih sayang itu.

Anak-anak jangan dibiarkan larut dalam penderitaan. Memang kehilangan orang tua dan sanak saudara sulit dilupakan. Tetapi, sedapat mungkin anak-anak korban gempa itu dihibur untuk melupakan sejenak peristiwa kehilangan. Dan juga untuk menghilangkan trauma. Dengan ini anak-anak boleh bergembira, bersukaria dalam penderitaa. Tujuannya untuk menghilangkan trauma akan penderitaan.


CPR, 9/7/13
Gordi 

foto, shutterstock
Jakarta banjir. Bukan berita baru. Di postingan facebook teman-teman ramai dibicarakan banjir ini. Ada yang dituangkan dalam status ada pula yang di foto. Ah sama saja. Bukan berita baru. Intinya Jakarta Banjir. Ada yang embel-embel bereaksi kurang bagus. Menyalahkan presiden, gubernur, partai politik, pemimpin lembaga tertentu, dan sebagainya. Wajar jika muncul reaksi spontan seperti ini. Tapi, jangan jadikan ini sebagai hobi. Maksudnya, saking seringnya, jadi terus-terusan nyalahin yang lain.

Banjir memang mau tak mau seperti mewajibkan warga Jakarta untuk menjadikannya hobi. Hobi karena sering mengalamaninya. Sering mengalami harusnya sering pula mengatasinya. Namun, Jakarta tidaklah demikian. Makin sering banjir, makin sering pula jadi korban. Pengamat luar Jakarta dan luar negeri bisa-bisa tertawa. Yang jelek malah dibiarkan. Dibiarkan melanda Jakarta. Banjir itu menelan korban. Mungkin bukan warga tetapi bisa merusak kenyamanan, keindahan, kebersihan, bahkan merusak ekonomi dan pariwisata Jakarta. Seharusnya jika itu merusak, cepat mengatasinya. Yang terjadi malah dibiarkan.

Dibiarkan karena belum bisa mengatasinya. Ada usaha tentu saja. Perbaikan kanal, pembersihan selokan, dan sebagainya. Tapi ya, tampaknya itu-itu saja. Banjir tetap melumpuhkan Jakarta. Banjir memang tidak bisa ditolak. Yang bisa ditolak adalah kerugiannya. Banjir itu ibarat teriknya matahari. Panas dan menyengatkan. Kita tidak bisa mendinginkannya, tidak bisa menghalau cahayanya. Yang bisa ya, cari perlindungan agar teriknya tidak merusak mata dan kulit. Demikianlah banjir.

Maka, kalau Jakarta banjir lagi, itu berita lama. Harapannya muncul berita baru. Maksudnya, berita yang menggambarkan bagaimana warga Jakarta mengatasi banjir itu sehingga tidak ada kerugian. Salam semangat dan semoga menemukan jalan keluar mengatasi banjir ini.

PRM, 09/02/15
Gordi

FOTO, floresa
Miris rasanya membaca berita tentang Ibu Enik Nangge (44 tahun). Dia dioperasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Sayangnya, operasi itu tidak sampai selesai. Meski tidak selesai, RSUD tetap meminta ganti rugi atas operasi yang berjalan setengah itu. Malang bertambah karena dia dianjurkan untuk operasi lanjut di Makasar atau di Bali. Ibu Enik seperti pemeran pepatah, sudah jatuh, lalu tertimpa tangga. Belum selesai operasi, diminta bayaran, lalu dianjurkan melanjutkan beroperasi di tempat lain (lihat floresa.co edisi on line pada 23 dan 26 Februari 2015). 

Ibu Enik kiranya bukan orang pertama. Boleh jadi ada pasien lain yang mengalami nasib sama. Kisah Ibu Enik hanyalah pembuka jalan untuk pasien lainnya. Pasien memang berhak mendapat pelayanan yang baik dari pihak rumah sakit. Tentu, selain hak mendapat pelayanan, pasien juga berkewajiban membayar biaya. Di sini ada relasi pasien-rumah sakit. Ada hak dan kewajiban.

Pihak rumah sakit semestinya menjadi rumah yang nyaman bagi pasein. Misi rumah sakit kiranya sudah jelas, melayani pasien. Dalam kasus Ibu Enik, rumah sakit sudah bertindak dan mengarah pada misinya. Sayang, misinya tidak tuntas. Malah, boleh dibilang, misi RSUD Ruteng gagal. Selain gagal, pelayan RSUD juga mengecewakan dan membebani pasien. Ibu Enik dan keluarga sudah dibebani penyakit kista. Beban itu bertambah lagi dengan biaya yang diminta pihak rumah sakit. Tambah lagi jika jadi dioperasi di luar daerah.

Beban Ibu Enik mesti diringankan. Sayang jika dia dan keluarga dibiarkan menderita karenan banyaknya beban. Salah satu yang bisa dibuat adalah mengoptimalkan pelayanan RSUD Ruteng. Kehadiran RSUD ini tentu menjadi harapan terbesar masyarakat Manggarai. Bahkan, juga masyarakat di dua kabupaten tetangga, Manggarai Barat dan Timur. Sejauh ini, RSUD Ruteng adalah andalan utama masyarakat. Di Labuan Bajo dan Borong kiranya fasilitas kesehatan belum selengkap RSUD Ruteng. Tentu di Cancar juga ada RS St Rafael. Tetapi, di sana juga butuh biaya yang kiranya lebih mahal karena statusnya sebagai lembaga swasta.

Pemerintah kiranya tidak keliru membangun RSUD Ruteng. Berada di tengah, antara Barat dan Timur. Berada di jantung ibu kota kabupaten. Bisa didatangi pasien dari seluruh Manggarai. Sayang jika tujuan awal ini tidak diwujudkan dalam pelayanan RSUD Ruteng. Pelayan kesehatan—dokter dan perawat atau bidan—RSUD dalam hal ini mesti didesak untuk mewujudkan tujuan ini. Tidak semua pelayan kiranya menghendaki kejadian ini. Masih ada pelayan rumah sakit yang mau melayani sampai tuntas. Rakyat—seperti pelayan rumah sakit—juga ingin mendapat pelayanan yang baik. Dan ini tugas para pelayan.

Tugas ini mulia sekaligus menuntut kerja keras. Di desa-desa, rakyat mulai senang dengan kehadiran bidan desa (bides). Bides ini menjadi ‘dokter pertama’ yang menghadapi pasien di kampung-kampung. Banyak cerita betapa mulianya tugas para bides ini. Banyak di antara mereka menjadi anak kesayangan segenap warga kampung. Sebutan ini muncul karena keterlibatan mereka dalam kehidupan masyarakat. Meski demikian, banyak juga cerita tentang bides yang lari meninggalkan tugasnya. Dia tidak merasa betah di tempat tugasnya yang kadang membuatnya merasa sepi dan terisolasi. Dalam hal ini, bides boleh dibilang gagal dalam membawa misinya melayani masyakarat.

Kisah bides sukses dan bides gagal bukan saja milik para bidan dan perawat. Dokter juga ada yang sukses dan gagal. Gagal dalam mengemban tugasnya. Gagal karena meninggalkan tugasnya. Gagal karena melaksanakan tugas setengah-setengah. Hasilnya seperti yang dialami Ibu Enik. Dan, Ibu Enik tidak sendiri. Banyak pasien seperti Ibu Enik. Ada yang batal dioperasi, tunda diobati, gara-gara dokter sedang ke kota. Mestinya dokter tahu, tugasnya adalah melayani pasien. Dan, pasien mestinya diberitahu, jika dokter tidak bisa melayani, diberitahu datanya. Diberitahu juga jika tidak bisa dioperasi, entah itu karena kurang saranan atau kurang tenaga kesehatan.

Rakyat juga butuh pelayanan yang baik. Jangan biarkan mereka menderita karena pelayanan yang buruk. Jangan biarkan pasien berikutnya menjadi Ibu Enik yang kedua dan seterusnya. Biarkan pengalaman Ibu Enik menjadi pertama dan terakhir. Jangan biarkan pasien dari seluruh Manggarai keluar kota untuk mengontrol kesehatannya. Kalau bisa diatasi di Manggarai, layanilah di Manggarai. Biarkan penyakit berat saja, yang tidak bisa diatasi di RSUD Ruteng,  dirujuk keluar kota. Tugas pemerintah kabupaten serta rakyat Manggarai untuk mewujudkan RSUD Ruteng sebagai pusat pelayanan kesehatan yang nyaman bagi para pasien.

Gordi Afri
Alumnus SMAK Loyola Labuan Bajo dan STF Driyarkara Jakarta.

*Artikel ini dimuat di website flores.co dengan perubahan sedikit oleh redaksi. 



FOTO kompasiana
Beberapa hari lalu seorang teman menulis status di facebook. Dia menulis tentang pelayanan kesehatan di RS Umum kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Pelayan rumah sakit mau mengoperasi sang pasien. Apa daya, operasi berlangsung hanya setengah jalan. Tidak sampai selesai. Namun, pihak rumah sakit meminta bayaran atas operasi yang berjalan setengah itu. Beritanya bisadisimak di sini. 

Ini menandakan bahwa pelayanan rumah sakit di negeri ini belum memadai. Ini mesti diakui. Alasannya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena tenaga medis kurang. Peralatan kurang memadai. Persediaan rumah sakit tidak merata. Sarana komunikasi dan transportasi kurang memadai. Daftarnya pun bisa panjang. Tidak perlu ditulis di sini.

Status teman di atas beda dengan pernyataan sahabat saya yang bekerja di Jepang. Dia juga menyampaikan hal yang hampir sama—lihat postingan sebelumnya tentang restoran di Jepang—yaitu tentang rumah sakit. Kata sahabat saya, “Di Jepang, rumah sakit lebih banyak dari pasien.” Maksudnya jelas, di sana banyak rumah sakit.

Banyak rumah sakit bisa berarti pelayanannya juga bagus. Logikanya jelas, rumah sakit yang pelayanannya jelek, akan ditinggalkan. Bisa diakui bahwa, Jepang memang sudah maju dalam bidang ini. Belum ada berita dari Jepang tentang buruknya pelayanan kesehatan.  Kalau pun terjadi, berarti perkataan sahabat ini tidak ada artinya. Apalah artinya membangun banyak rumah sakit jika pelayanannya jelek.

Indonesia dan Jepang seperti sepeda dan sepeda motor. Artinya, Jepang lebih maju jalannya pembangunan ketimbang Indonesia. Indonesia masih menggeliat seperti pengayuh sepeda. Sedangkan, Jepang, sudah melaju seperti pengendara sepeda motor Mega-pro. Namun, bukan berarti Indonesia sama sekali kalah. Indonesia punya pelaung besar untuk menyaingi Jepang. Jepang dan Indonesia memang pernah bertengkar selama 3,5 tahun. Namun, kini semuanya hanya dicatat dalam sejarah lampau. Sejarah kini mencatat relasi bisnis dan budaya kedua negara makin baik.

Ini berarti Indonesia masih punya harapan untuk mencapai kemajuan seperti di Jepang. Indonesia juga bisa membangun rumah sakit seperti yang dimiliki orang Jepang. Betatapun Jepang—dengan merek mobil, berbagai model mesin, computer, kamera dan peralatan elektronik lainnya—sudah maju sekali, Indonesia tetap punya peluang untuk mencapai ini semua. Indonesia tidak boleh kalah dari Jepang. Dalam sejarah boleh saja kalah, tapi dalam meraih masa depan yang cerah, tidak boleh kalah.

Jepang dengan budaya kerja kerasnya mampu menjadi pesaing kekuatan ekonomi raksasa dunia. Budaya kerja keras ini kiranya juga mesti menjadi bagian dari Indonesia. Indonesia juga terkenal dengan budaya kerja kerasnya. Lihatlah para petani di pedesaan yang meski minim perhatian pemerintah, mereka tetap berjuang dengan giat. Lihatlah nelayan di laut-laut Indonesia yang tak takut dibawa arus meski kehidupan mereka pas pasan saja. Mereka tidak meminta macam-macam pada pemerintah. Kalau diperhatikan sungguh baik dan patut berte rima kasih. Kalau tidak diperhatikan juga, kehidupan mesti berlanjut. Ini bukti bahwa Indonesia juga punya budaya kerja keras.

Andai pemerintah dengan budaya kerja keras ini memerhatikan sistem kesehatan di negeri ini, niscaya kasus yang menimpa pasien di RSU Ruteng ini tidak terulang kembali. Pasien akan mendapatkan pelayanan yang memadai. Indonesia memang negara berpulau—agak sulit memetakan sistem kesehatan. Dari satu pulau ke pulau berikutnya butuh waktu berjam-jam. Belum lagi, dari satu kota ke kota lainnya dalam satu pulau, butuh berjam jam juga. Semua ini bukan penghambat jika pemerintah dan rakyat berkomitmen kuat membenahi sistem kesehatan.

Selain masalah pemerataan pelayan kesehatan—agar tidak menumpuk di kota dan di kota-kota tertentu saja—masalah transportasi juga mesti dibenahi. Inilah salah satu biang belum optimalnya sistem kesehatan di Indonesia. Di Pulau Flores, sarana transportasi masih minim. Rakyat sudah bisa membeli motor dan mobil tetapi pemerintah belum menyediakan jalan raya. Rakyat sudah belajar computer tetapi pemerintah—PLN—belum mengalirkan listrik secara merata.

Pemerataan ini mesti secepatnya dibenahi. Jangan membuat rakyat terus menderita. Jangan membiarkan rakyat mati gara-gara lamban dan lambatnya pelayanan dari pelayan rumah sakit. Jangan membiarkan rakyat dari NTT dan Bali harus berobat ke Surabaya dan Jakarta. Jangan biarkan rakyat dari Papua harus berobat ke Makasar. Jangan biarkan rakyat dari Kepulauan Mentawai, harus mengarungi lautan berjam-jam hanya untuk berobat di kota Padang atau malah terbang lagi ke Jakarta.

Masih ingat cerita bayi dari Papua yang lahir di pesawat Merpati tujuan Makasar. Bayinya salamat. Ini berarti, Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk membenahi sistem kesehatannya. Tak ada perawat dan dokter, para pramugari pun bisa jadi pelayan kesehatan sementara.

Kelak, jika sistem kesehatan kita sudah dibenahi, rakyat merasa nyaman berobat di negeri ini. Orang berduit di Jakarta dan di kota-kota berduit lainnya di negeri ini tidak perlu lagi berobat ke Singapura, Taiwan, Tailand, dan Malaysia. Atau juga ke Eropa—misalnya ke Jerman. Biarkan rakyat mendapat tempat yang layak dan nyaman untuk berobat di negerinya sendiri. Indonesia dalam hal ini bisa belajar dari Jepang, atau juga Italia yang sistem kesehatannya masuk kategori top di dunia.  

Salam cinta Indonesia.

PRM, 25/2/15
Gordi

ILUSTRASI happyblog
Hidup melarat mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan mereka. Atau kalau bukan melarat, miskin. Melarat mungkin keterlaluan. Baiklah bilang saja miskin. Yang meskipun mungkin tak cukup menggambarkan kehidupan mereka.

Mereka yang datang negeri seberang atau benua seberang. Mengadu nasib di negara kaya. Berharap mengubah hidup. Yang ada malah tidak juga. Keinginan memang tidak akan pernah menjadi 100 persen. Keinginan itu menjadi nyata jika direalisasikan. Meskipun merealisasikannya amat sulit. Butuh kerja keras. Dan, mungkin kerja keras itulah yang mereka butuhkan. Satu-satunya jalan itu saja. Tidak ada yang lain lagi. Negeri kaya ini pun sudah melewatinya.

Ya tentang para imigran itu. Hati tergerak untuk membantu setiap kali melihat kehidupan mereka. Jadi tukang minta-minta. Di pintu gereja, di emperan toko, di piazza tempat berkumpulnya orang banyak, bahkan di gerbang sekolah sampai di kios koran. Muncul pertanyaan sebelum mendekati mereka, mengapa mereka seperti ini? Tidak adakah yang mengubah kehidupan mereka?

Mungkin sulit menjawabnya. Kesulitan ini juga muncul saat mencoba memahami kehidupan mereka. Sudah tahu dan jelas sekali mereka pendatang. Datang dengan harapan mengubah nasib. Apa daya nyatanya tidak ubah juga. Malah jadi aneh. Mereka meminta sepotong roti, koin euro, dan sebagainya. Tapi, kok begitu keluar dari kompleks toko, kompleks gereja, kompleks kios koran, mereka dengan asyiknya menghembuskan asap rokoknya, meneguk bir kesukaannya, bahkan sampai membuang sepotong roti.

Betul-betul tidak mengerti dengan kehidupan mereka. Jika masih seperti ini tak salah jika dinilai sombong. Lebih baik tidak membantu, begitu komentar seorang teman. Dia tahu mereka ini pantas dibantu tetapi kalau kelakuan mereka seperti itu lebih baik tidak membantu. Apalagi jika mereka mencuri. Mulai dari mencuri sepeda di parkiran misalnya. Itu perkara kecil tetapi betul-betul tidak enak dan haram untuk ukuran negara kaya dan nyaman ini. Betapa jadi tidak enaknya jika pengendara sepeda dihantui rasa was-was sepedanya dicuri setiap kali memarkir sepedanya.

Membantu memang baik tetapi jika tidak ada niat untuk menerima bantuan lebih baik jangan membantu. Akhirnya, kalau mereka tidak berubah, mereka tetap saja menjadi miskin dan melarat di negara kaya. Mereka tetap jadi pengemis di tengah kerumunan orang kaya yang lalu lalang di restoran di pinggir jalan. Mereka hanya jadi tukang pengemis di tengah keramaian orang kaya yang menghabiskan malam minggunya di restoran sambil makan, minum, goyang, dan bercerita atau merencanakan bisnisnya. Ah hidup ini tak enak.

PRM, 1/6/15
Gordi

gambar dari google www.merdeka.com
Banjir menjadi bahaya yang sering melanda warga Indonesia. Di berbagai daerah warga mengalami bencana ini. Menjadi aneh karena banjir terjadi bukan hanya dikota tetapi juga di daerah. Mengapa semua ini terjadi? 

Banjir menjadi tanda sekaligus rambu bahwa alam Indonesia sudah rusak parah. Kita mulai dengan banjir di Jakarta. Penyebabnya di sini banyak. Yang jelas terlihat adalah masalah sampah. Sampah menyumbat semua saluran air. Juga tanah yang dilapisi beton dan semen.

Selain itu banjir di Jakrta disebabkan oleh tidak adanya resapan air di daerah puncak. Air dari puncak mengalir tanpa meresap di tanah. Di puncak tanah resapan berkurang. Di mana-mana ada semen dan beton. Vila, penginapan, dan hotel dibangun di mana-mana.
Banjir bukan hanya di Jakarta. KOMPAS hari ini mewartakan banjir di beberapa kota.
Paling tidak di empat pulau. Jawa di Bojonegoro, Jawa Timur, Kalimantan di Jalan Trans-Kalimantan, Sumatera di Aceh dan Sulawesi di Makasar. Empat daerah ini berada di 4 dari 5 pulau besar di Indonesia.

Saya kira sudah cukup bukti untuk mengatakan alam Indonesia sudah rusak parah. Kita belum bicara soal alam di bawah laut. Tetapi di darat kita sudah lihat dengan mata kepala sendiri.

Tambang minyak bumi dan batu bara serta perusahaan kelapa sawit masih menyebar di mana-mana. Kita tidak terlalu berani mengatakan bahwa beberapa hal ini menajdi penyebab rusaknya alam. Tetapi dari hasilnya kita sudah melihat. Bekas daerah tambang menyisakan lobang menganga yang tak bisa digunakan lagi.

Jadi, tunggu bukti apa lagi untuk menanggulangi bahaya rusaknya alam Indonesia? Kita semua terpanggil untuk menjaga alam ini. Rasanya terlambat untuk melempar kesalahan kepada para pengusaha tambang dan kelapa sawit.

Yang mendesak sekarang ini adalah bagaimana kita menjaga alam kita. Yanggersang ditanami seuatu. Yang masih bisa ditanam kita tanam dengan berbagai jenis pohon. Yang longsor kita tanam dengan pohon penyangga. Yangtersumbat kita lancarkan. Mari bersatu menjaga alam Indonesia.

PA, 4/1/13
Gordi

Banjir: Tanda Rusaknya Alam Indonesia

ilustrasi dari google
Rakyat Jakarta sudah bersatu dalam pesta festival malam tahun baru. Mereka bersatu karena pesta rakyat. Meski dalam suasana lain mereka bercerai. Lihat saja kasus kriminal masih meraja lela di sana. 

Banyak yang mengkritik kebijakan Gubernur DKI dalam menggelar pesta ini. Danayang dikeluarkan tentu saja besar. Bahkan ada yang menilai buang-buang duit saja. Di satu sisi memang seperti itu. Tetapi apakah tidak ada sisi lainnya?

Gubernur Jokowi mengatakan bahwa festival ini merupakan keinginan rakyat. Rakyatlah yang meminta. Biasanya rakyat membuat pesta di kafe dan mol. Ini tentu saja dinikmati oleh sebagian warga. Yang kelas menengah dan atas. Sementara pesta rakyat tahun ini dinikmati oleh semua kalangan warga.

Maka, di satu sisi pesta ini mengikutsertakan semua lapisan warga. Soal dana yang dikeluarkan tidak bisa dipungkiri. Besar. Tetapi dana itu tidak disia-siakan. Coba hitung berapa besar dampaknya pesta ini bagi kebersamaan warga?

Warga bersatu. Tanpa sekat. Warga merasa dekat satu sama lain. Bisa saling sapa. Saling kenal. Kalau sudah kenal saling jaga, saling bangun Jakarta, salingmenghormati. Tanpa jarak. Yang miskin dekat dan disapa oleh yang kaya. Demikian sebaliknya.

Sisi ekonomi tentu saja biayanya besar. Tetapi sisi sosial dampaknya juga besar. Paling tidak Jokowi sudah mulai merintis persatuan warga Jakarta. Sisi lain yang masih mengalami kekurangan tentu saja diterima dan semoga menjadi bahan pelajaran untuk penyelenggara selanjutnya.

PA, 2/1/13
Gordi

foto oleh BMI
Banyak isu negatif  tentang TKI. Isu ini memang ada yang hanya kabar angin belaka. Namun di samping itu, ada isu positif juga tentang TKI. Tentu tak semua isu positif juga benar.

Isu negatif itu misalnya TKI kita pembunuh majikan. Ini memang bisa dibuktikan. Ada TKI yang berlaku demikian. Namun mestinya perlu diselidiki alasannya. Tak sepenuhnya kesalahan ada pada TKI.

Isu lain seputar TKI yang diperkosa. Mengapa kok TKI itu bisa diperkosa? Apakah dia tidak bisa melindungi dirinya? Atau apakah begitu bajingannya pemerkosa itu? Mengapa tidak diberi hukuman sewajarnay buat pelaku?

Isu positif seputar TKI yang sukses. Ada yang kuliah sambil bekerja. Dia mendapat pendidikan tinggi dan bergelar. Pulang ke Indonenesia dan memberdayakan warga di kampungnya. Ada juga yang berhasil menyekolahkan anggota keluarganya, membuatkan rumah yang layak bagi keluarga, dan menyejahterakan keluarga.

Dengan isu semacam ini tak perlu lah berprasangka buruk terhadap TKI. Tak semua mereka bertindak sesuai yang digambarkan orang. Mereka tentu bervariasi. Ada yang emmang seperti yang diisukan tetapi ada yang sama sekali tidak. Bagaimana pun mereka itu saudari/a sebangsa. Mereka mesti dilindungi jika berada di luar negeri. Kita wajib memberi perlindungan. Dari pemerintah sampai rakyat sipil.

Kalau isu buruk tentang TKI muncul di media massa internasional yang malu bukan mereka saja. Warga sebangsa malu. Meski ada yang membela diri, asal bukan anggota keluarga saya. Sikap semacam ini hanya cari aman. Kita sebaiknya membela siapa saja TKI yang jadi korban itu.

Selamat bekerja untuk teman-teman TKI di luar negeri. Kalian adalah duta bangsa. Duta budaya dan pariwisata.

PA, 17/12/12
Gordi

*Pernah dimuat di blog kompasiana pada 17/12/12

foto demo 1 Mei 2011 di New York, foto oleh peoplesworld
Dunia hari ini memperingati atau merayakan hari buruh internasional. Di mana-mana warga dunia merayakan hari ini. Asia, Afrika, Amerika, Eropa, Australia. Itulah sebabnya dinamakan hari buruh internasional. Masing-masing negara tentu merayakannya dengan caranya sendiri. Bahkan mungkin dalam negara juga tidak ada perayaan secara nasional. Boleh jadi hanya perayaan tingkat daerah. Atau juga mungkin tidak ada sama sekali. 

Merayakan hari buruh atau membuat demo? Tak penting mendebatkannya. Toh ada yang bisa saja berargumen berdemo juga menjadi bagian dari perayaan atau peringatan. Pertanyaan yang kiranya pas adalah mengapa ada demo?

Tentu ada sebabnya.  Kalau boleh menebak salah satu alasannya adalah kurang puas. Kurang upah, kurang tunjangan, dan kurang-kurang lainnya. Boleh ditambah alasan lainnya. Intinya demo ini ada sebabnya. Di beberapa belahan dunia, hari ini menjadi hari untuk berdemo. Hari buruh menjadi kesempatan untuk berdemo.

Sampai kapan pun kiranya tidak pernah ada kepuasan. Buruh kiranya tidak akan menikmati kepuasan yang mereka harapkan. Meski setiap tahun mereka berdemo, pada akhirnya kepuasan akan hal yang mereka cari tidak akan tercapai.

Kepuasan memang mesti dicari. Pencarian seumur hidup. Katakanlah demikian. Sebab, tahun lalu buruh berdemo. Tahun ini juga buruh berdemo. Tahun depan juga buruh akan berdemo. Dua tahun lagi boleh jadi buruh akan berdemo.

Demo terus menerus bisa saja menghilangkan nama peringatan hari ini. Hari buruh menjadi hari demo. Tentu demo dalam arti tertentu yakni demo tanggal 1 mei. Bukan demo lainnya. Hari buruh terkait erat dengan hari demo.

Tentu yang berdemo hari ini tidak semua buruh. Hanya sebagian yang berdemo. Boleh jadi mereka yang berdemo hanya kelompok yang tidak puas. Dan kelompok yang tinggal-diam di rumah menikmati kepuasan pekerjaan mereka. Atau juga kelompok yang mengisi hari ini dengan kegiatan lain yang bukan dengan demo. Atau juga kelompok yang tidak mau peduli dengan kepuasan akan hak mereka. Mereka tahu mereka kurang dihargai sehingga mereka merasa kurang puas. Tetapi, mereka enggan membuat protes karena mereka tahu, suasana ini tidak gampang berubah. Demo tidak menjamin masalah akan selesai. Tetapi demo bisa juga menjadi semacam rambu. Rambu yang menuntut adanya perubahan.

Hanya saja perubahan di mana-mana membutuhkan waktu lama. Demo pun kadang-kadang kurang greget untuk membuat perubahan. Jadi, perlukah berdemo atau tidak pada hari buruh? Paskah hari buruh kita peringati dengan berdemo?

Prm, 1/5/2014
Gordi


*Pernah dimuat di blog kompasiana 1 Mei 2014
Powered by Blogger.